Farhana bangun menuju sisi ranjang. Ada dua notifikasi pesan dari aplikasi berlogo not nada itu. Dia membuka akun milik Argasatya lebih dulu.Admin mengabarkan bahwa kardus berisi syal sebanyak 25 buah yang dititipkan di lobby, telah mereka terima. Sisa pembayaran pun sudah dilunasi oleh si owner, lengkap dengan bukti resinya."Alhamdulillah kalau cocok. Semoga manfaat untuk mereka yang sedang ibadah," ujarnya. Farhana bersyukur, pelan-pelan dunia barunya mulai menghasilkan pundi uang. Dia betul-betul tak menduga karena semua berawal dari keidealisan dan kepepet."Lumayan buat modal bikin VT jelang lebaran," kekeh Hana saat melihat total fee selama ngonten yang dia simpan di bank online.Setelah itu, dia mulai beralih pada pesan lainnya. Netra sipitnya kian mengecil karena kedua sudut bibir Farhana melengkung senyum, saat membaca sebaris tulisan di sana.Dia mendekap ponselnya di dada seraya menengadah dan memejam. Seakan tengah mengucap syukur, bahwa ada jalan lain untuk kembali be
Tampak dalam foto itu, Kayshan tengah terbaring di ranjang pasien. Tidak ada peralatan medis yang fatal di sana. Meski begitu, Farhana tetap kuatir.Kelopak mata bulat Gauri mengerjap, seakan menunggu validasi dari sang bibi bahwa dirinya tidak bohong. "Am i right, isn't?" Farhana melempar senyum, dia menowel gemas pipi Gauri. "Iya, Nana percaya," ujarnya dihadiahi senyum ompong gadis cilik. "Daddy sakit apa?" Gauri lalu duduk di sisi Farhana, manik matanya mendelik ke atas seakan mengisyaratkan dia tengah berpikir keras."Lama, ih!" cebik Hana terkekeh kecil melihat tingkah bocah gendut ini."Ini Nana ... sakit ini, heart," jawab Gauri sambil menempel-lepaskan tangannya di dada kiri beberapa kali."Jantung?" tebak Farhana mulai serius. Gadis tengil itu menggeleng sambil cengengesan. "No! tebak lagi," pintanya. Pipi tomat Gauri ikut menggembung membuat Farhana mencubitnya gemas."Entah, Nana nggak tahu. Nyerah deh."Gauri mulai mengayunkan kedua kakinya sambil duduk bergoyang ke k
"Kita pulang, oke?" bisik Kayshan lembut sembari mengusap punggung istrinya. Farhana mengangguk pelan meskipun masih tersedu dalam pelukan Kay. "Ayo." Kayshan mengalah, izin undur diri dari ruangan dokter mereka. Dia berjanji akan datang kembali di lain waktu apabila Farhana sudah lebih tenang.Lelaki itu mengajak bangkit, lalu menyeka air mata dari pipi Farhana dan menggenggam jemarinya. Pasangan Ghazwan lantas keluar ruangan diantar oleh dokter mereka.Keduanya sama bungkam hingga tiba di apartemen. Sang CEO memilih berganti baju sebelum bicara dengan Hana yang langsung menelungkup di sofa.Beberapa menit berlalu, lelaki itu menghampiri Farhana dan duduk di pangkal sofa. Dia menarik napas panjang sebelum bicara."Hana," sebut Kayshan pelan. Dia melirik wanita yang masih setia membenamkan wajahnya di bantal. "Demi kebaikanmu, bagaimana kalau kita su--"Farhana mendadak bangun, mendelik ke arah Kayshan. "Su apa? Sudahi status?" cecarnya dengan suara sumbang. "Setelah apa yang Abang l
"Itu? ... itu apa?" desak Hana saat pandangan mereka beradu.Kayshan lagi-lagi tak langsung menjawab, membuat Farhana menebak-nebak sendiri."Waktu itu juga demam, dan mual muntah. Apakah karena kambuh?" runut Hana pelan sambil mengamati ekspresi Kayshan. "Tapi, bau alkohol ... Ck, aku nggak yakin, sih, kalau Abang teler," ungkapnya merasa curiga.Farhana lalu mulai menyambungkan beberapa kejadian silam dengan pengakuan Kay saat ini. Bermula dari Katrin yang dipanggilnya, perkumpulan sahabat Kay malam itu, sampai-sampai apartemennya bagai club malam.Lebih jauh lagi, ingatan Farhana tertuju pada saat Katrin turun dari tangga, sementara Kay berkeringat dan hanya mengenakan bathrobe. Suaminya juga selalu pergi dengan Katrin. Dan yang paling akhir, Kay pulang dipapah Gery serta Kamala pun turut hadir hari itu. Farhana berpikir keras. Dahi sang nyonya mengerut di ikuti manik mata menegas di satu titik, membuat wajah oval itu melukis gurat paras wanita dewasa. Cantik walau tanpa make-up.
Kayshan yang hendak masuk ke kamar, mendadak berhenti mendengar pertanyaan sang istri. Masih berdiri menghadap ambang pintu, dia berkata, "Bukankah tadi kubilang aku nggak sentuh miras. Itu artinya?" Kay lalu menekan tuas pintu dan masuk ke dalamnya.Iris coklat tua Farhana melebar, ini di luar pemikirannya. Jika Kay tidak meminum alkohol itu berarti dia tak pernah teler.Sedangkan malam itu Kayshan berkata agar Farhana melupakan kejadian tersebut, dan menganggap hanya sebuah kesalahan karena efek mabuk.Bukan, bukan karena imbas alkohol tapi tanda-tanda penyakit lamanya kambuh. Kay mengatakan itu agar Farhana tak lagi meminta nafkah batin karena sakit hati, pikirnya.Farhana melongo. Seketika kekurangan oksigen sehingga dia berbalik badan dan membuka lawang balkon. Dia berdiri, berpasrah pada senja yang menyapa.Wajah oval itu memerah, helaan napasnya agak berat meski tarikan diafragma terasa panjang. Sebuah senyum tipis tersungging meski berujung pada luruhnya setetes butir bening.
Langkah kaki terdengar menapaki anak tangga, Farhana masih di ujung undakan dasar saat Kayshan kembali turun. Dia lalu menarik pergelangan tangan Hana dan mengajaknya duduk di sofa. "Ada apa?" tanya Hana lembut sebab melihat kekuatiran di wajah Kayshan."Dia bukan sosok kalem dan polos seperti yang kamu lihat. Dia mulai serakah!" ucap Kayshan menyiratkan seseorang.Farhana mengernyit. "Siapa?" "Kamu akan tahu. Tapi, aku minta ... jangan terlena oleh rupa kesahajaannya," sambung sang CEO.Farhana mendesah panjang. Rupanya Kayshan tidak memakai cermin diri sehingga pria ini tak menyadari, bahwa dirinya pun serupa dengan orang yang sedang diperbincangkan.Wanita ayu itu tersenyum samar melihat suaminya. Dia menelusuri setiap jengkal sosok di hadapan, seakan sedang memberi tahu Kayshan agar mawas diri.Kayshan jadi tak enak hati, dia melepaskan tautan jemari mereka dan mengikuti arah pandangan Farhana."Aku pernah terlena dengan penampilan seseorang," kata Hana menahan senyum. "Kukira
Melihat putranya keluar ruangan, Kamala pun ikut mengejar Kayshan. Wanita paruh baya itu berlari kecil saat sang CEO turun ke lobby gedung.Dia menduga Kay akan pulang ke rumahnya untuk menemui seseorang. Kamala memang meminta beliau untuk datang. Selain karena di dera rindu, sudah waktunya anak itu dikenalkan ke publik.Satu jam terjebak kemacetan, membuat Kayshan makin gusar. Saat mulai memasuki pelataran rumah Kamala, dia memarkirkan mobilnya asal.Lelaki itu berjalan tergesa menuju ruang keluarga sambil berteriak. "Woy!" serunya, sekeliling ruangan terasa lengang. "Dimana kamu?" lirih Kayshan sambil mencari-cari.Ternyata sosok yang Kay cari muncul dari pintu samping. Dia baru saja memberi makan ikan koi kesayangan sang ayah. "Ngapain teriak-teriak sih, Bang?" ujarnya lembut seperti biasa. Dia menghampiri Kay hendak meminta salim. "Aku bukan penjahat," imbuh Kemal pelan."Nggak usah acting, lu!" sengit Kay, melayangkan pukulan menyasar wajah Kemal.Pria muda itu menghindar, tapi
Farhana melongo. Dia diajak paksa oleh Murni pergi ke sini atas perintah suaminya. Tapi, sampai detik ini, dia belum paham mengapa Kayshan memintanya turut hadir.Kemal masih tidak percaya terhadap penjelasan Kamala. Satu-satunya orang yang bisa dia mintai keterangan adalah Khuzaemah. Namun, wanita itu selalu memasang wajah sedih bila Kemal bertanya tentang ummanya."Tapi Ma, kenapa umma nyuruh papa ceraikan Mama?" tanya Kemal. "Bukankah umma punya usaha dagang sendiri sebelum ketemu papa, masa minta jaminan hidup segala?" Kayshan memutar bola mata malas. Adiknya terlalu polos atau memang sama sekali tidak paham situasi. Apakah Kemal tak pernah berpikir jauh tentang Khadijah yang terus bungkam di sisa hidupnya, pikir Kay."Gitu aja nggak paham! ... ibumu menuduh Mama cemburu karena memintanya menjaga jarak. Lagian papa bahagia sekali saat kamu lahir sampai lupa bahwa beliau memiliki Ken dan aku!" hardik Kayshan. Kamala melambaikan tangan pada Kayshan sebagai isyarat agar putranya
Farhan langsung mendekat dan mengusap tengkuk Mehru. Dia lalu menuntun istrinya kembali duduk di sebelah Dewiq yang juga terlihat cemas."Tolong ambilkan itu," kata Dewiq pada Farhan, menunjuk ke box putih berisi peralatannya di bawah meja sofa.Lelaki itu gegas meraih benda yang dimaksud dan langsung menyodorkan pada sang mama. Dewiq lantas memeriksa menantunya seksama. Setelah beberapa menit, dia melihat pada Farhan, bergantian dengan Mehru. "Beli testpack, deh. Coba kalian hitung sendiri," katanya sembari bangun meninggalkan mereka.Farhan melihat ke arah istrinya lalu menoleh memanggil sang mama. "Lah, Nyak?" "Masa dokter dan suster nggak peka, hadeuh!" kekeh Dewiq sembari melambaikan tangan."Mas?""Kayaknya sih iya, Yang." Farhan meraih ponselnya dari saku celana. Dia lalu duduk disamping istrinya sambil mengingat dan menghitung masa subur Mehru. "Palingan baru sepekan lebih deh. Pas private party di spa itu 'kan aku haid hari pertama," ujar Mehru mengingat acara satu bulan
Setelah semua dokumen selesai dirapikan, Farhan di ajak Kemal masuk ke dalam untuk menemui Mehru. Debaran jantungnya mulai tak normal ketika nyaris mencapai ambang pintu. Meski dilakukan serba mendadak, tapi dirinya yakin bahwa Dewiq pasti memberikan segala yang terbaik.Langkah kaki Farhan terhenti ketika melihat wanita cantik dalam balutan kebaya serba putih, berdiri dan menunduk malu-malu. Tidak ada singer seperti Hana. Hanya Tiara mungil sebagai penghias sekaligus penahan agar hijab panjangnya tak mudah bergeser."Neng Eru, suaminya datang," bisik Khuzaemah, mengusap lembut punggung Mehru agar mendongakkan kepalanya.Lengan Farhan ditarik Dewiq agar dia melangkah masuk. Tapi lelaki itu malah menahan tangan ibunya."Nyak, bentaran ngapah. Kagak paham amat ni bunyi jantung dah kek bedug lebaran," sungutnya sambil mengusap dada."Tandanya idup brati. Ayo, waktunya mepet ... kamu 'kan harus kuliah nanti malam," balas sang mama tersenyum lebar.Farhan menepuk wajahnya. "Etdah ... kek
Kemal tak henti menciumi pipi Farhana dan merangkulnya mesra sejak keluar dari ruangan dokter obgyn. Dia masih setengah tak percaya jika saat ini Hana mengandung buah hati mereka. "Baru tiga pekan." Hana melingkarkan lengannya pada pinggang sang suami. "Alhamdulillah. Kita sementara pindah ke rumah ibu atau mama aja gimana, Za. Biar aku tenang kalau ke toko," ujar Kemal sembari menarik tuas pintu mobil di basement."Nggak mau. Aku pengen di Parung. Kuliah sudah online lagi ... ada mbak yang bantu ngasuh Arsha, bibi pun pasti sering ke rumah liat aku," pinta Hana ketika suaminya sudah duduk di belakang kemudi."Tapi, Sayang ...."Farhana menggenggam jemari kiri Kemal lalu mengecupnya. "Aku tenang dan betah karena di sana ada bau Kakak. Please, nggak mau pindah," tuturnya lembut sambil memandangi wajah teduh sang suami.Putra Khadijah terdiam sesaat, lalu tersenyum mengangguk. "Kalah dah kalau ibun sudah begini," balasnya seraya mengusap pipi Hana yang mulai chubby.Perjalanan mereka
Farhan gegas ke tangga belakang. Dia menggantikan Hana memapah Kemal naik ke atas."Kenapa, Bang?" "Entah, tiba-tiba pusing banget sampai muter-muter gini," tuturnya lirih sambil menahan kepala.Mehru yang sedang menggendong Farshad, buru-buru merapikan bale di teras belakang. Tapi Hana langsung berlari masuk dan membuka kamar mereka. Dia meminta Farhan memapah suaminya masuk, dan memeriksanya.Kembaran Hana itu gegas turun ke bawah mengambil tas kerja darurat yang ada di bagasi mobilnya.Farhan memeriksa iparnya ini, kemudian meminta Mehru mengambil cairan infus di mobilnya."Pusingnya range berapa, Bang? 1-10," tanya Farhan."7, bukan pusing sakit kepala tapi semua berputar-putar cepat." Kemal masih memejam, sambil memijat tengkuknya."Kalau nyeri parah di bagian tertentu, bilang ya, Bang. Nanti kuresepkan pereda nyeri sebelum cek lab.""Kayaknya Kakak kecapean deh. Pergi pulang antar aku ngampus, ke kantor, ke toko parfum ... ikut ngasuh Arsha, kadang kebangun malam beberapa kali
Segimanapun lelahnya, Kemal takkan tidur sebelum Hana kembali rileks. Seperti saat ini, dia mengusap lembut pundak mulus istrinya sembari membicarakan tentang rencana Hana.Deep talk mulai jadwal kuliah, kegiatan Kemal, sikon Arsha juga hal lain yang saling berkaitan.Hana serasa menemukan teman sebaya, yang membuatnya bebas mengeluarkan pendapat. Sekaligus figur seperti sang ayah, penyabar juga memiliki visi ke depan.Dengan Kemal dia merasa menjadi dirinya sendiri. Farhana mulai manja, kekanakan meskipun sikap anggunnya sebagai keturunan Tazkiya tetap melekat. Ibun menduselkan kepalanya di dada sang suami. Mendengar detak jantung Kemal sebelum tidur kini bagai candu, selalu membuatnya mudah masuk ke alam mimpi.Rengekan Farshad terdengar oleh Kemal satu jam ke depan. Dia juga lelah tapi tak tega membangunkan Hana.Kemal perlahan melepaskan dekapannya lalu turun dari ranjang mendekati box Arsha. "Hai boy, sama abi, ya. Jangan ganggu ibun, oke?" ucapnya lirih seraya menggendong kepo
Kemal menjawab Kamala hanya dengan gelengan kepala, dia mengejar Hana yang masuk ke kamar mandi belakang.Tok. Tok."Zaa, buka bentar," pinta Kemal mengetuk pintu, saat mendengar suara mual muntah dari dalam kamar mandi. "Sayang ...."Beberapa detik kemudian, panel itu terbuka. Hana menyembulkan kepalanya di celah pintu.Kemal mendorong pelan, kuatir istrinya kenapa-napa di dalam. "Buka, Sayang."Hana menggeleng sembari menahan pintu. "Kak, bawa daleman aku nggak di mobil?"Dia ingat, pernah melihat satu kontainer di bagasi Innova Zenix milik suaminya. Ketika Hana tanya apa isinya, sang suami menjawab itu adalah pakaian mereka.Untuk berjaga-jaga jika mendadak menginap di suatu tempat. Semua perlengkapan pribadi sudah tertata rapi dalam satu box."Bawa, kenapa?" tanyanya sembari merapikan rambut Hana yang menyembul dari ujung pashmina.Hana menarik lengan sang suami agar mendekat. "Ada pembalut juga?" bisiknya.Kemal mengernyit, sedang mengingat apakah dirinya sudah membeli barang sa
Farhan menarik kaca spion dalam. Dia memastikan penampilannya sudah rapi. "Apeeeee?" sambar Dewiq kali ini tak kalah judes. Farhan menunjuk ke arah saudaranya juga keluarga Kusuma yang hadir. Mereka tampak membawa kotak hias berisi beberapa barang."Itu apaan?" cicit Farhan. Jantungnya sudah berdebar kencang tapi Dewiq malah keluar dari mobil tanpa menjawab pertanyaannya, begitupun dengan sang ayah.Ahmad hanya menaik-turunkan alisnya ketika Farhan turun dari mobil. Sang ayah menepuk pundak putranya lalu menggamit lengan Farhan.Farhan bertanya pada Mahendra dan Aiswa tapi mereka bilang tidak tahu apa-apa. Hanya diminta datang ke sini pagi ini.Sang dokter mulai gugup ketika melihat kediaman Mehru. Teras rumah gadis itu dipenuhi pria sepuh yang menyambut kedatangan keluarganya.Netra jeli putra Ahmad sibuk melihat sana sini, barangkali ada sosok yang bisa memberi penjelasan singkat, tapi harapannya kosong. Bahkan kembarannya pun entah kemana.Rombongan dipersilakan masuk hunian. Set
Ahmad keluar dari ruang baca dan langsung diberondong pertanyaan oleh Farhan."Dalem, Kak, daleeeeemmmm ...." kata Ahmad, menyahuti panggilan putranya yang terlihat gusar. (Dalem bentuk sangat halus dari iya, selain nggih, dalam budaya Jawa)Farhan menarik lengan Ahmad untuk duduk di ruang tengah. "Babeh ingkar janji?" Dahi sang yai mengernyit. "Janji apa?""Janjiku kepadamu, kek lagu lawas." Farhan merengut sebal, entah kemana larinya emosi tadi. Begitu melihat wajah teduh Ahmad semua seketika sirna. "Yang tentang jodohin itu, loh!" "Enggak. Ayah memang masih menerima beberapa proposal baru. Tapi semuanya dikembalikan ... termasuk milik donatur Banten itu," beber Ahmad sambil menunjuk ke arah meja console tempat biasa dia menaruh map-map proposal. "Tuh, kosong."Farhan mendadak termenung. Jadi, penolakan Mehru tadi apakah dia sedang menyembunyikan sesuatu? Ucapan Dewiq yang mengatakan pada Mehru bahwa dirinya akan menggelar lamaran ... jadi ditujukan pada gadis mana? Pikir Farhan.
Mehru melangkah tegap meninggalkan taman penghubung antar cluster itu. Kepalanya menunduk, menyembunyikan senyum getir.Dia mawas diri. Mehru sempat mencari tahu silsilah keluarga Reezi dari Mifyaz. Pemuda itu memang tak bercerita banyak, dia hanya mengatakan bahwa sang dokter adalah cucu dari tokoh terpandang nan alim di daerahnya.Habrizi juga merupakan putra pertama Raden Hasbi, seorang pebisnis ulung di Singapura. Ibunya adalah putri pemilik salah satu perusahaan penyuplai obat-obatan dan alat medis. Posisi dokter itu terlalu tinggi untuknya. Bahkan jika Reezi menunduk pun, belum tentu keluarga besarnya setuju.Jika saja ayahnya masih hidup, mungkin Mehru bisa sedikit menegakkan kepala. Dulu, saat pabrik kerupuk mereka masih berjaya, keluarganya dipandang mampu lagi disegani. Namun, semua itu cuma masa lalu. Mehru buru-buru menepis kekecewaannya dengan menggeleng kepala sembari terus melangkah ke suster station.Satu pekan berlalu begitu saja. Sikap Farhan masih sama. Dan sudah