"Kita pulang, oke?" bisik Kayshan lembut sembari mengusap punggung istrinya. Farhana mengangguk pelan meskipun masih tersedu dalam pelukan Kay. "Ayo." Kayshan mengalah, izin undur diri dari ruangan dokter mereka. Dia berjanji akan datang kembali di lain waktu apabila Farhana sudah lebih tenang.Lelaki itu mengajak bangkit, lalu menyeka air mata dari pipi Farhana dan menggenggam jemarinya. Pasangan Ghazwan lantas keluar ruangan diantar oleh dokter mereka.Keduanya sama bungkam hingga tiba di apartemen. Sang CEO memilih berganti baju sebelum bicara dengan Hana yang langsung menelungkup di sofa.Beberapa menit berlalu, lelaki itu menghampiri Farhana dan duduk di pangkal sofa. Dia menarik napas panjang sebelum bicara."Hana," sebut Kayshan pelan. Dia melirik wanita yang masih setia membenamkan wajahnya di bantal. "Demi kebaikanmu, bagaimana kalau kita su--"Farhana mendadak bangun, mendelik ke arah Kayshan. "Su apa? Sudahi status?" cecarnya dengan suara sumbang. "Setelah apa yang Abang l
"Itu? ... itu apa?" desak Hana saat pandangan mereka beradu.Kayshan lagi-lagi tak langsung menjawab, membuat Farhana menebak-nebak sendiri."Waktu itu juga demam, dan mual muntah. Apakah karena kambuh?" runut Hana pelan sambil mengamati ekspresi Kayshan. "Tapi, bau alkohol ... Ck, aku nggak yakin, sih, kalau Abang teler," ungkapnya merasa curiga.Farhana lalu mulai menyambungkan beberapa kejadian silam dengan pengakuan Kay saat ini. Bermula dari Katrin yang dipanggilnya, perkumpulan sahabat Kay malam itu, sampai-sampai apartemennya bagai club malam.Lebih jauh lagi, ingatan Farhana tertuju pada saat Katrin turun dari tangga, sementara Kay berkeringat dan hanya mengenakan bathrobe. Suaminya juga selalu pergi dengan Katrin. Dan yang paling akhir, Kay pulang dipapah Gery serta Kamala pun turut hadir hari itu. Farhana berpikir keras. Dahi sang nyonya mengerut di ikuti manik mata menegas di satu titik, membuat wajah oval itu melukis gurat paras wanita dewasa. Cantik walau tanpa make-up.
Kayshan yang hendak masuk ke kamar, mendadak berhenti mendengar pertanyaan sang istri. Masih berdiri menghadap ambang pintu, dia berkata, "Bukankah tadi kubilang aku nggak sentuh miras. Itu artinya?" Kay lalu menekan tuas pintu dan masuk ke dalamnya.Iris coklat tua Farhana melebar, ini di luar pemikirannya. Jika Kay tidak meminum alkohol itu berarti dia tak pernah teler.Sedangkan malam itu Kayshan berkata agar Farhana melupakan kejadian tersebut, dan menganggap hanya sebuah kesalahan karena efek mabuk.Bukan, bukan karena imbas alkohol tapi tanda-tanda penyakit lamanya kambuh. Kay mengatakan itu agar Farhana tak lagi meminta nafkah batin karena sakit hati, pikirnya.Farhana melongo. Seketika kekurangan oksigen sehingga dia berbalik badan dan membuka lawang balkon. Dia berdiri, berpasrah pada senja yang menyapa.Wajah oval itu memerah, helaan napasnya agak berat meski tarikan diafragma terasa panjang. Sebuah senyum tipis tersungging meski berujung pada luruhnya setetes butir bening.
Langkah kaki terdengar menapaki anak tangga, Farhana masih di ujung undakan dasar saat Kayshan kembali turun. Dia lalu menarik pergelangan tangan Hana dan mengajaknya duduk di sofa. "Ada apa?" tanya Hana lembut sebab melihat kekuatiran di wajah Kayshan."Dia bukan sosok kalem dan polos seperti yang kamu lihat. Dia mulai serakah!" ucap Kayshan menyiratkan seseorang.Farhana mengernyit. "Siapa?" "Kamu akan tahu. Tapi, aku minta ... jangan terlena oleh rupa kesahajaannya," sambung sang CEO.Farhana mendesah panjang. Rupanya Kayshan tidak memakai cermin diri sehingga pria ini tak menyadari, bahwa dirinya pun serupa dengan orang yang sedang diperbincangkan.Wanita ayu itu tersenyum samar melihat suaminya. Dia menelusuri setiap jengkal sosok di hadapan, seakan sedang memberi tahu Kayshan agar mawas diri.Kayshan jadi tak enak hati, dia melepaskan tautan jemari mereka dan mengikuti arah pandangan Farhana."Aku pernah terlena dengan penampilan seseorang," kata Hana menahan senyum. "Kukira
Melihat putranya keluar ruangan, Kamala pun ikut mengejar Kayshan. Wanita paruh baya itu berlari kecil saat sang CEO turun ke lobby gedung.Dia menduga Kay akan pulang ke rumahnya untuk menemui seseorang. Kamala memang meminta beliau untuk datang. Selain karena di dera rindu, sudah waktunya anak itu dikenalkan ke publik.Satu jam terjebak kemacetan, membuat Kayshan makin gusar. Saat mulai memasuki pelataran rumah Kamala, dia memarkirkan mobilnya asal.Lelaki itu berjalan tergesa menuju ruang keluarga sambil berteriak. "Woy!" serunya, sekeliling ruangan terasa lengang. "Dimana kamu?" lirih Kayshan sambil mencari-cari.Ternyata sosok yang Kay cari muncul dari pintu samping. Dia baru saja memberi makan ikan koi kesayangan sang ayah. "Ngapain teriak-teriak sih, Bang?" ujarnya lembut seperti biasa. Dia menghampiri Kay hendak meminta salim. "Aku bukan penjahat," imbuh Kemal pelan."Nggak usah acting, lu!" sengit Kay, melayangkan pukulan menyasar wajah Kemal.Pria muda itu menghindar, tapi
Farhana melongo. Dia diajak paksa oleh Murni pergi ke sini atas perintah suaminya. Tapi, sampai detik ini, dia belum paham mengapa Kayshan memintanya turut hadir.Kemal masih tidak percaya terhadap penjelasan Kamala. Satu-satunya orang yang bisa dia mintai keterangan adalah Khuzaemah. Namun, wanita itu selalu memasang wajah sedih bila Kemal bertanya tentang ummanya."Tapi Ma, kenapa umma nyuruh papa ceraikan Mama?" tanya Kemal. "Bukankah umma punya usaha dagang sendiri sebelum ketemu papa, masa minta jaminan hidup segala?" Kayshan memutar bola mata malas. Adiknya terlalu polos atau memang sama sekali tidak paham situasi. Apakah Kemal tak pernah berpikir jauh tentang Khadijah yang terus bungkam di sisa hidupnya, pikir Kay."Gitu aja nggak paham! ... ibumu menuduh Mama cemburu karena memintanya menjaga jarak. Lagian papa bahagia sekali saat kamu lahir sampai lupa bahwa beliau memiliki Ken dan aku!" hardik Kayshan. Kamala melambaikan tangan pada Kayshan sebagai isyarat agar putranya
Farhana celingukan melihat sekelilingnya. Dia bingung dengan pertanyaan Kemal."Hana? ... maksudnya?" tanya Kamala ragu-ragu.Bukan hanya sang mama, Kayshan pun ikut menunggu jawaban Farhana. Kecurigaannya sejak dulu akhirnya menemui titik terang.Jangan salahkan sikapnya yang berubah drastis pada Farhana. Ini adalah akumulasi kekecewaan masa lalu Kayshan. Hana mengendikkan bahu. Sejujurnya dia tidak paham tujuan Kemal bertanya demikian padanya. "Aku nggak paham maksud Kakak," cicit Hana pelan sembari menunduk."Ck, sejak kapan kamu manggil dia Kakak?" sinis Kayshan melirik istrinya.Kemal tersenyum simpul. Boleh jadi untuk hal lain, Kayshan paham detail kisah pelik keluarga Ghazwan. Tapi yang satu ini, sang CEO takkan tahu sejarahnya. "Entah, aku lupa." Farhana memilih mengelak, dia enggan menjelaskan bagaimana dirinya mengenal Kemal. Lelaki santun berparas bagai blasteran Timur Tengah dan Sunda. Idola para khidmah dan staf wanita bahkan santriwati Tahfiz di lingkungannya.Farhan
Kayshan mendekati istrinya. "Maaf untuk apa, Hana?" bisiknya sembari menyeka air mata Farhana."Maaf kalau aku tanpa sengaja melukai Kakak," tutur Hana pelan melihat Kemal. Ingatan masa kecilnya belum jelas betul, dia takut salah arti. "Pokoknya maaf."Kayshan tersenyum manis seraya berkata, "Wajar kalau lupa, kamu masih piyik." Pria itu mengusap pucuk kepala istrinya, ada rasa lega semua luka lamanya tak terbuka bersamaan.Sementara Kemal lagi-lagi diterpa kehampaan. Harapannya terlalu tinggi pada Farhana. "Iya, nggak apa-apa ... aku cuma merasa lucu. Pertemuan orang tuaku kok seperti ki--" Dia menunduk, urung melanjutkan kalimatnya. Percuma, siapalah dirinya kala itu, tidak terlihat bahkan sampai saat ini. Kemal pun memilih pergi meninggalkan hunian Kamala. Wanita senja itu mengejar putra bungsunya. Dia meminta Kemal untuk datang ke GE esok pagi. Rencana awal harus tetap berjalan, meskipun Kayshan masih mengungguli hasil voting meeting hari ini.Kemal hanya mengangguk, bersedia men