"Ke depan, Bos," jawab Gery sambil mengacungkan telunjuk ke arah ruang tamu.Kayshan menapaki anak tangga terakhir sembari berkata, "Ikut aku!" Dia menuju ruang kerja dan meminta Murni mengantarkan sarapan ke sana.Gery duduk di sofa berhadapan dengan sang pimpinan. Wajah Kayshan terlihat kusut pagi ini, bahkan dasinya belum tersimpul rapi.Lelaki itu tak bicara sebelum kopi yang Murni antarkan habis. Gery pun enggan bertanya, otaknya sedang merangkai jawaban akurat bila Kayshan menyalahkan dirinya perihal persiapan kejutan kemarin."Menurutmu, aku harus melakukan apalagi?" tanya Kayshan tiba-tiba."...." Gery hanya diam, pertanyaan itu merupakan kalimat menggantung baginya."Hana sepertinya muak denganku." Kay menjelaskan maksud ucapan tadi. "Kukira dia pemaaf," keluhnya bernada lemas.Gery menghela napas. "Sabar aja, Bos. Mungkin effort Anda belum begitu besar," jujur sang asisten.Kayshan lantas mencoba menghubungi Farhana lewat ponsel yang biasa mereka gunakan untuk berkomunikasi.
Kayshan lagi-lagi melihat ke arah jendela. Sesekali melirik jam tangannya. Otak sang CEO tengah berperang antara gengsi dan kesegeraan. Dia harus membawa Farhana ke Malaysia esok sore karena rangkaian kegiatan telah disiapkan untuknya. Semata agar Kayshan yakin bahwa dia tak merusak wanita alim itu.Bisa saja dia meminta mereka ke Indonesia atau melakukan medical test domestik. Tapi, Kayshan takut informasinya bocor mengingat keluarga Farhana adalah praktisi kesehatan dan pemilik rumah sakit elit. Sesama nakes tentu saling mengenal bukan? Pikirnya.Dalam kebingungan itu, dia menggulir daftar kontak. Ingin menginformasikan pada seseorang agar menangguhkan jadwal jika sore ini upayanya belum berhasil.Namun, tanpa dia sengaja tiba-tiba jemari Kayshan menekan satu kontak di ponselnya. Dia gelagapan, ingin memutus panggilan tapi malah langsung tersambung."Assalamualaikum, Kay?" Mendengar suara di seberang, Kayshan menelan ludah. Dia berdehem sebab suaranya mendadak berat."Ehhemm ... w
Farhana bangun menuju sisi ranjang. Ada dua notifikasi pesan dari aplikasi berlogo not nada itu. Dia membuka akun milik Argasatya lebih dulu.Admin mengabarkan bahwa kardus berisi syal sebanyak 25 buah yang dititipkan di lobby, telah mereka terima. Sisa pembayaran pun sudah dilunasi oleh si owner, lengkap dengan bukti resinya."Alhamdulillah kalau cocok. Semoga manfaat untuk mereka yang sedang ibadah," ujarnya. Farhana bersyukur, pelan-pelan dunia barunya mulai menghasilkan pundi uang. Dia betul-betul tak menduga karena semua berawal dari keidealisan dan kepepet."Lumayan buat modal bikin VT jelang lebaran," kekeh Hana saat melihat total fee selama ngonten yang dia simpan di bank online.Setelah itu, dia mulai beralih pada pesan lainnya. Netra sipitnya kian mengecil karena kedua sudut bibir Farhana melengkung senyum, saat membaca sebaris tulisan di sana.Dia mendekap ponselnya di dada seraya menengadah dan memejam. Seakan tengah mengucap syukur, bahwa ada jalan lain untuk kembali be
Tampak dalam foto itu, Kayshan tengah terbaring di ranjang pasien. Tidak ada peralatan medis yang fatal di sana. Meski begitu, Farhana tetap kuatir.Kelopak mata bulat Gauri mengerjap, seakan menunggu validasi dari sang bibi bahwa dirinya tidak bohong. "Am i right, isn't?" Farhana melempar senyum, dia menowel gemas pipi Gauri. "Iya, Nana percaya," ujarnya dihadiahi senyum ompong gadis cilik. "Daddy sakit apa?" Gauri lalu duduk di sisi Farhana, manik matanya mendelik ke atas seakan mengisyaratkan dia tengah berpikir keras."Lama, ih!" cebik Hana terkekeh kecil melihat tingkah bocah gendut ini."Ini Nana ... sakit ini, heart," jawab Gauri sambil menempel-lepaskan tangannya di dada kiri beberapa kali."Jantung?" tebak Farhana mulai serius. Gadis tengil itu menggeleng sambil cengengesan. "No! tebak lagi," pintanya. Pipi tomat Gauri ikut menggembung membuat Farhana mencubitnya gemas."Entah, Nana nggak tahu. Nyerah deh."Gauri mulai mengayunkan kedua kakinya sambil duduk bergoyang ke k
"Kita pulang, oke?" bisik Kayshan lembut sembari mengusap punggung istrinya. Farhana mengangguk pelan meskipun masih tersedu dalam pelukan Kay. "Ayo." Kayshan mengalah, izin undur diri dari ruangan dokter mereka. Dia berjanji akan datang kembali di lain waktu apabila Farhana sudah lebih tenang.Lelaki itu mengajak bangkit, lalu menyeka air mata dari pipi Farhana dan menggenggam jemarinya. Pasangan Ghazwan lantas keluar ruangan diantar oleh dokter mereka.Keduanya sama bungkam hingga tiba di apartemen. Sang CEO memilih berganti baju sebelum bicara dengan Hana yang langsung menelungkup di sofa.Beberapa menit berlalu, lelaki itu menghampiri Farhana dan duduk di pangkal sofa. Dia menarik napas panjang sebelum bicara."Hana," sebut Kayshan pelan. Dia melirik wanita yang masih setia membenamkan wajahnya di bantal. "Demi kebaikanmu, bagaimana kalau kita su--"Farhana mendadak bangun, mendelik ke arah Kayshan. "Su apa? Sudahi status?" cecarnya dengan suara sumbang. "Setelah apa yang Abang l
"Itu? ... itu apa?" desak Hana saat pandangan mereka beradu.Kayshan lagi-lagi tak langsung menjawab, membuat Farhana menebak-nebak sendiri."Waktu itu juga demam, dan mual muntah. Apakah karena kambuh?" runut Hana pelan sambil mengamati ekspresi Kayshan. "Tapi, bau alkohol ... Ck, aku nggak yakin, sih, kalau Abang teler," ungkapnya merasa curiga.Farhana lalu mulai menyambungkan beberapa kejadian silam dengan pengakuan Kay saat ini. Bermula dari Katrin yang dipanggilnya, perkumpulan sahabat Kay malam itu, sampai-sampai apartemennya bagai club malam.Lebih jauh lagi, ingatan Farhana tertuju pada saat Katrin turun dari tangga, sementara Kay berkeringat dan hanya mengenakan bathrobe. Suaminya juga selalu pergi dengan Katrin. Dan yang paling akhir, Kay pulang dipapah Gery serta Kamala pun turut hadir hari itu. Farhana berpikir keras. Dahi sang nyonya mengerut di ikuti manik mata menegas di satu titik, membuat wajah oval itu melukis gurat paras wanita dewasa. Cantik walau tanpa make-up.
Kayshan yang hendak masuk ke kamar, mendadak berhenti mendengar pertanyaan sang istri. Masih berdiri menghadap ambang pintu, dia berkata, "Bukankah tadi kubilang aku nggak sentuh miras. Itu artinya?" Kay lalu menekan tuas pintu dan masuk ke dalamnya.Iris coklat tua Farhana melebar, ini di luar pemikirannya. Jika Kay tidak meminum alkohol itu berarti dia tak pernah teler.Sedangkan malam itu Kayshan berkata agar Farhana melupakan kejadian tersebut, dan menganggap hanya sebuah kesalahan karena efek mabuk.Bukan, bukan karena imbas alkohol tapi tanda-tanda penyakit lamanya kambuh. Kay mengatakan itu agar Farhana tak lagi meminta nafkah batin karena sakit hati, pikirnya.Farhana melongo. Seketika kekurangan oksigen sehingga dia berbalik badan dan membuka lawang balkon. Dia berdiri, berpasrah pada senja yang menyapa.Wajah oval itu memerah, helaan napasnya agak berat meski tarikan diafragma terasa panjang. Sebuah senyum tipis tersungging meski berujung pada luruhnya setetes butir bening.
Langkah kaki terdengar menapaki anak tangga, Farhana masih di ujung undakan dasar saat Kayshan kembali turun. Dia lalu menarik pergelangan tangan Hana dan mengajaknya duduk di sofa. "Ada apa?" tanya Hana lembut sebab melihat kekuatiran di wajah Kayshan."Dia bukan sosok kalem dan polos seperti yang kamu lihat. Dia mulai serakah!" ucap Kayshan menyiratkan seseorang.Farhana mengernyit. "Siapa?" "Kamu akan tahu. Tapi, aku minta ... jangan terlena oleh rupa kesahajaannya," sambung sang CEO.Farhana mendesah panjang. Rupanya Kayshan tidak memakai cermin diri sehingga pria ini tak menyadari, bahwa dirinya pun serupa dengan orang yang sedang diperbincangkan.Wanita ayu itu tersenyum samar melihat suaminya. Dia menelusuri setiap jengkal sosok di hadapan, seakan sedang memberi tahu Kayshan agar mawas diri.Kayshan jadi tak enak hati, dia melepaskan tautan jemari mereka dan mengikuti arah pandangan Farhana."Aku pernah terlena dengan penampilan seseorang," kata Hana menahan senyum. "Kukira