Share

Bab 06. Curiga.

"Sepertinya dia hanya trauma. Syukurlah dia tidak mengalami seperti dugaanku," ucap Dandi.

"Memangnya apa dugaanmu?"

"Aku kira orang-orang itu sudah sampai memperkosanya dan menularkan penyakit tertentu."

"Syukurlah tidak, setidaknya aku bisa lega," ucap Alzam dengan tersenyum. "Hari ini puyengnya sepertinya mulai hilang. Hanya rasa dinginnya yang sepertinya belum pulih."

"Tenaganya terkuras waktu melarikan diri itu. Terlebih dia harus melawan arus sungai yang lagi deras-derasnya."

"Setidaknya dia bisa diajak bicara dan mulai mempercayai aku. Tidak seperti saat awal-awal duluh yang seperti membenciku."

"Kamu tidak bertanya kenapa dia seolah membencimu dengan mengatakan mata dan tatapanmu itu mengingat dia pada seseorang yang teramat dia benci ?"

"Aku takut itu bisa mengusik masa lalunya yang sesungguhnya ingin dia buang."

"Bener juga kamu, Kep."

" Aku tak bisa membayangkan kehidupan apa yang telah dialaminya. Saat masih SMA telah mengalami pelecehan dan bahkan harus melahirkan anak dari orang itu. Lalu dia berjuang mati-matian dengan menghidupi anaknya dengan menjual gorengan di pertokoan."

"Dia bercerita padamu?"

"Tidak. Tapi pada Mbok Sarem. Dialah yang menuturkannya padaku."

"Asal kamu jangan terlena saja. Nanti kamu jatuh cinta sama dia." Dandi terkekeh.

"Tak taulah, Dan." Alzam seolah menyerah dengan kata-kata itu tanpa berani mengatakan pada sahabatnya, termasuk mengatakan kalau dia telah menikahi Lani walau itu nikah siri dan tak terjadi apapun diantara mereka seperti layaknya suami istri.

"Sekali lagi aku ingatkan, jangan main api. Kehidupanmu, masa depanmu sudah dipastikan."

Alzam hanya terdiam.

"Jika sembuh, apa rencananya?"

"Katanya dia mau cari kerja untuk menghidupi anaknya."

"Kamu kan bisa menyuruh dia bantu-bantu di usahamu itu, toh katanya dia otaknya encer sampai mau dapat jalur beasiswa ke universitas. "

"Bener juga kamu, Dan. Lagipula selama ini aku juga kesulitan menghandel semuanya. Apalagi kalau pas panen membludak dan pesanan juga berdatangan. Aku sampai jarang tidur ngurusi itu usaha."

"Semoga cepat sembuh, dan dia tak lagi terlunta-lunta di jalan dengan bisa bekerja di tempatmu."

Alzam mengangguk. Setidaknya ada alasan untuk menahannya agar tak jauh dariku, bathinnya dengan menyimpan senyum, senyum yang kemudian menghiasi wajahnya sampai dia tak sadar ada yang menyapanya.

"Siang, Kapten!"

Alzam sudah tak dapat mendengar sapaan lain lagi, selain bayangan Lani untuk dia segera pulang. Namun saat dia sampai di kamar Lani, dia tak mendapati wanita itu di sana. Dengan panik dia mencarinya.

"Ke mana Lani, Mbok?" 

"Itu, duduk di sana, Mas." Jari Mbok Sarem menunjuk ke arah taman di samping rumah.

Alzam membuang nafasnya yang seolah tadi berhenti karena dikiranya Lani telah pergi.

"Dia berjalan sendiri ke sana?"

"Iya, alhamdulillah, Mas. Walau dengan masih agak sempoyongan."

Alzam berusaha mendekat ke Lani. Wanita yang menggerai rambutnya yang sepunggung itu, masih sibuk menatap bunga-bunga yang berjejer di taman rumah Alzam. Sejenak Alzam menata hatinya yang berdetak tak karuan, terlebih saat Lani kemudian menoleh dan tersenyum padanya.

"Terimakasih, bajunya bagus. Bisa pas di badanku. Maaf, aku belum bisa pakai kerudungnya."

"Kan aku  sering menggendongmu, jadi aku tau seberapa mungilnya badanmu itu," ucap Alzam yang disambut dengan senyum Lani yang seolah merasa terejek. Padahal dengan tinggi badannya yang 157cm dia tak merasa menjadi orang yang kecil sekali. Hanya saja jika dibandingkan dengan Alzam yang tingginya 175cm dengan bentuk badan proporsional, dia memang terlihat mungil.

"Kepalamu sudah baikan?" tanya Alzam dengan menata hatinya yang berdetak. Dilihatnya Lani begitu cantik dengan dandan tipisnya.

"Heem." 

"Lalu, kamu kok udah dandan cantik, emang kamu udah bisa mandi?'

"Belum, hanya seko saja. Tadi minta Mbok Sarem air hangat. Maaf aku memakai bedak yang kauberi itu. Rasanya ghak enak ghak pakai bedak jika sudah mandi sore, walau cuma seko."

"Itu memang untukmu," ucap Alzam tentang satu set kosmetik yang dia beri di hari pernikahan mereka.

"Terimakasih. Kayak menikah sungguhan saja. Pakai alat make up segala. Aku bahkan sampai sekarang tak pernah mengangankan sebuah pernikahan."

"Setiap orang berhak berangan."

"Tapi itu bukan untukku," ucap Lani lalu tersenyum, senyum yang datar. Bukan senyum yang dimiliki Alzam yang sekilas membayangkan Lani di barisan prosesi pedang poranya, dan menggandengnya.

"Ah, ya,.. kenapa mencariku?" tanya Lani.

"Aku hanya pastikan kamu baik-baik saja."

"Aku sudah baik-baik saja. Mungkin ghak akan lama lagi aku akan sembuh. Terimakasih untuk selama ini merawatku. Setelah ini aku akan pergi dan bisa memulai hidup aku kembali. Agar anakku bisa tetap di sekolah yang aku ingin."

"Bagaimana kalau aku menawari sesuatu?"

Lani menatap Alzam.

"Kamu bisa membantuku mengolah pengolahan jeruk nipis. Minggu depan kayaknya ada panen lagi."

"Yang penting aku dapat kerjaan. Terimaksih."

"Syukurlah kamu mau. Aku suka bingung kalau pas dinas lama."

"Kamu juga kenapa, sudah enak jadi TNI, merintis usaha juga."

Alzam terkekeh. "Menjadi TNI adalah impianku sejak kecil. Keren saja lihat orang berseragam. Namun keluargaku dari pengusaha. Abi Exportir untuk komuditas Hortikultura. Demikian juga dengan masku," ucap Alzam dengan sedih.

"Kamu punya Mas?" 

"Heem. Sayang, dia telah pergi mendahului kami belum lama ini," ucap Alzam dengan mata mengaca. "Kami begitu dekat. Dia yang duluh mensupport aku untuk meneruskan cita-cita militerku di saat semua orang menentangku. Kami sering pergi bersama. Bahkan orang sering melihat kami seolah saudara kembar."

"Masmu exportir?" tanya Lani dengan suara bergetar sambil terus menatap Alzam yang mengangguk.  Mata itu? Apakah dia,..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status