Share

Bab 05. Canggung.

"Mau ke kamar mandi?" tanya Alzam.

Lani sejenak memandang Alzam. Rasa aneh dan canggung menjadi terasa di hatinya. Demikian juga dengan yang dialami Alzam. Padahal sebelumnya itu justru tak mereka rasakan.

"Aku mau sholat saja duluh dengan tayamum. Aku takut tiap pegang air selalu kedinginan."

"Baiklah, kalau begitu aku akan ke kamar mandi duluh. Aku mau wudhu, nanti sholatnya aku imami, ya."

Lani mengangguk. Lalu tayamum.

Alzam kemudian ke kamar mandi dan sebentar saja sudah kembali. Mereka pun segera berjamah. Ada yang sejuk dirasakan Lani saat mendengar ayat suci dilantunkan Alzam dengan fasihnya saat dia menjadi imam. Diam-diam Lani merasa jika benar dia dinikahi Alzam memang karena pria itu tak ingin melakukan dosa dengan terus bersamanya tanpa ada kata muhrim.

"Kenapa memandangiku?" 

"Enggak, ghak apa-apa," sahut Lani bingung.

"Jangan terus memandangi aku, nanti kamu jatuh cinta sama aku."

"Aku takkan berani jatuh cinta padamu. Aku tau aku siapa. Hidupku telah hilang dibawa lelaki itu."

"Kenapa kamu berkata seperti itu?"

"Apa yang bisa membuatku berharap pada seorang lelaki agar mau menerimaku?" Lani mengusap air matanya yang tiba-tiba jatuh. "Aku harus segera sembuh. Uang untuk anakku sudah dirampas para biadab itu," ucap Lani dengan turun.

"Tunggu aku."

"Aku sebenarnya takut dengan air, tapi aku tak mungkin ghak buang air kecil. Tiap aku dari sana, aku selalu kedinginan."

"Kan kamu sekarang bisa bebas peluk aku kalau kamu dingin," goda Alzam dengan mengerling.

Lani mendengus sebal, terlebih melihat tatapannya yang masih mengingatkan dia pada seseorang. Entah apa ada hubungan atau sebuah kebetulan dia dengan orang itu, pikir Lani. 

"Ternyata kamu lebih cantik saat memakai jilbab," puji Alzam dengan melihat pantulan Lani di cermin. Lani sampai ikut memperhatikan dirinya. Dan menilai pujian Alzam benar. Hinggah dia kemudian melepas kembali jilbabnya.

"Lho, kok dilepas, baru dibilang cantik."

"Biar aku tak terlihat cantik lagi di matamu."

"Lho, kok gitu, bukannya seorang istri itu harus terlihat selalu menarik di depan suaminya?"

"Iya, itu kalau nikahnya bener, lawong nikah kita aja udah ghak benar."

"Ghak bener mananya? Kita sudah sah."

"Ah, terserah kamu deh, Mas. Yang pasti jangan menuntut apa-apa dariku." Lani nampak terhuyung. Alzam segera menggendongnya ke kamar mandi. Mata mereka yang kemudian bertaut, membuat mereka tak bisa berpaling dari pandangannya. 

"Tinggalkan aku, aku sudah di dalam."

"Enggak, aku akan tetap di sini saja."

"Mas,.. kamu normal kan?"

"Apa?" Alzam sampai terbelalak dengan pertanyaan Lani.

"Kalau masih normal, tinggalkan aku. Keluarlah."

"Sudahlah, aku ghak akan kenapa napa, kamu lekas kencingnya. Aku jagain, daripada kamu jatuh lagi kayak kemarin."

Lani mendengus. "Hadap sana," titahnya.

"Iya, iya."

Tak lama Lani sudah berdiri. Dengan kedinginan. Alzam kembali menggendongnya dan diletakkan di tempat tidur. Diselimutinya Lani dengan dipakaikan jilbab terlebih dahulu. Bibirnya yang mungil dan kemerahan bergetar menahan gemertak di badannya yang kedinginan. Alzam pun dengan tanpa beban lagi dengan memeluk Lani dari belakang hinggah Lani tertidur pulas

Lani yang terbangun duluan meletakkan tangan Alzam yang melingkar di pinggangnya. dibalikkannya badannya hinggah miring menghadap Alzam. Dipandanginya pria tampan dengan kulit putih yang kini mendengkur halus di depannya.

"Jangan biarkan aku jatuh cinta padanya, Tuhan. Aku bukanlah orang yang cukup berharga untuknya. Biarkan aku menerima kebaikannya, dan hanya sebatas itu," bathin Lani.

"Kamu sudah bangun?"

Lani kaget dengan suara yang tiba-tiba saja bersamaan dengan mata yang terbuka di depannya. Dia kemudian menunduk malu saat ketahuan dia tengah memperhatikan wajah Alzam.

"Mau ke kamar mandi?" tanya Alzam dengan menyimpan senyumnya untuk Lani yang pipi putihnya sampai kemerahan karena menahan malu. Dari tadi Alzam memang sudah tidak tidur saat Lani menatapnya.

Lani mengangguk.

Segera saja Alzam menggendongnya.

"Mas, turunin saja aku, aku mau jalan."

"Ghak usah, toh tubuh kamu mungil saja," ucap Alzam walau dia kini mengakui tubuh yang mungil itu kini membuatnya berdetak karena melihat keelokan padat tubuhnya dan lingkar dadanya. Ih, kenapa pikiranku sekarang jadi begini, guman Alzam dengan tak enak hati. Namun Alzam tak ingin istighfar dengan pikirannya. Bukankah dia telah halal untukku?

"Mas, kamu tinggalin aku di depan ya, sepertinya ghak berputar lagi kepalaku."

."Beneran?"

Lani mengangguk dengan menatap sekeliling yang sekarang sudah tak berputar lagi. Dia pun tersenyum dan membayangkan kesembuhannya.

"Baiklah kalau begitu. Syukurlah kamu berangsur baik."

Namun setelah tersentuh air, lagi-lagi Lani menggigil kedinginan. Padahal dia sudah senang dengan kepalanya yang enteng. Lani dengan cepat berjalan ke tempat tidurnya, dan menyelimuti dirinya dengan selimut tebal dengan sudah bisa duduk. Alzam segera menyusulnya dengan bermaksud mendekap Lani, namun ditahan oleh Lani.

"Aku tidak apa-apa, Mas. Jangan sering mendekapku." Lani memang merasa ada yang lain dengan diperlakukan Alzam seperti itu. Dan Lani tak ingin semakin terhanyut dengan perasaannya yang menurutnya tak pantas dia rasakan untuk siapapun. Terlebih untuk seorang Alzam.

"Tapi kamu menggigil."

"Kamu segeralah wudhu, Mas. Aku ikut sholat. Biar aku pakai kerudung saja biar dinginnya hilang di telingaku. Bukankah itu kata-katamu?"

"Pakailah mukenamu juga untuk sholat. Kamu sudah bisa sambil duduk kan?"  Alzam  sudah memakaikan mukena untuk Lani.

"Terimakasih. Mukenanya cantik," puji Lani pada mukena krem berenda keemasan itu.

"Sama cantiknya dengan kamu."

"Gombal lagi kamu, Mas."

Alzam terkekeh. Lalu segera ke kamar mandi.

"Bagaimana hasilnya?" tanya Alzam ke Dandi setelah tiba di kantornya.

"Sepertinya dia,

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status