Share

Bab 05. Canggung.

Penulis: HaniHadi_LTF
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-04 03:23:40

"Mau ke kamar mandi?" tanya Alzam.

Lani sejenak memandang Alzam. Rasa aneh dan canggung menjadi terasa di hatinya. Demikian juga dengan yang dialami Alzam. Padahal sebelumnya itu justru tak mereka rasakan.

"Aku mau sholat saja duluh dengan tayamum. Aku takut tiap pegang air selalu kedinginan."

"Baiklah, kalau begitu aku akan ke kamar mandi duluh. Aku mau wudhu, nanti sholatnya aku imami, ya."

Lani mengangguk. Lalu tayamum.

Alzam kemudian ke kamar mandi dan sebentar saja sudah kembali. Mereka pun segera berjamah. Ada yang sejuk dirasakan Lani saat mendengar ayat suci dilantunkan Alzam dengan fasihnya saat dia menjadi imam. Diam-diam Lani merasa jika benar dia dinikahi Alzam memang karena pria itu tak ingin melakukan dosa dengan terus bersamanya tanpa ada kata muhrim.

"Kenapa memandangiku?" 

"Enggak, ghak apa-apa," sahut Lani bingung.

"Jangan terus memandangi aku, nanti kamu jatuh cinta sama aku."

"Aku takkan berani jatuh cinta padamu. Aku tau aku siapa. Hidupku telah hilang dibawa lelaki itu."

"Kenapa kamu berkata seperti itu?"

"Apa yang bisa membuatku berharap pada seorang lelaki agar mau menerimaku?" Lani mengusap air matanya yang tiba-tiba jatuh. "Aku harus segera sembuh. Uang untuk anakku sudah dirampas para biadab itu," ucap Lani dengan turun.

"Tunggu aku."

"Aku sebenarnya takut dengan air, tapi aku tak mungkin ghak buang air kecil. Tiap aku dari sana, aku selalu kedinginan."

"Kan kamu sekarang bisa bebas peluk aku kalau kamu dingin," goda Alzam dengan mengerling.

Lani mendengus sebal, terlebih melihat tatapannya yang masih mengingatkan dia pada seseorang. Entah apa ada hubungan atau sebuah kebetulan dia dengan orang itu, pikir Lani. 

"Ternyata kamu lebih cantik saat memakai jilbab," puji Alzam dengan melihat pantulan Lani di cermin. Lani sampai ikut memperhatikan dirinya. Dan menilai pujian Alzam benar. Hinggah dia kemudian melepas kembali jilbabnya.

"Lho, kok dilepas, baru dibilang cantik."

"Biar aku tak terlihat cantik lagi di matamu."

"Lho, kok gitu, bukannya seorang istri itu harus terlihat selalu menarik di depan suaminya?"

"Iya, itu kalau nikahnya bener, lawong nikah kita aja udah ghak benar."

"Ghak bener mananya? Kita sudah sah."

"Ah, terserah kamu deh, Mas. Yang pasti jangan menuntut apa-apa dariku." Lani nampak terhuyung. Alzam segera menggendongnya ke kamar mandi. Mata mereka yang kemudian bertaut, membuat mereka tak bisa berpaling dari pandangannya. 

"Tinggalkan aku, aku sudah di dalam."

"Enggak, aku akan tetap di sini saja."

"Mas,.. kamu normal kan?"

"Apa?" Alzam sampai terbelalak dengan pertanyaan Lani.

"Kalau masih normal, tinggalkan aku. Keluarlah."

"Sudahlah, aku ghak akan kenapa napa, kamu lekas kencingnya. Aku jagain, daripada kamu jatuh lagi kayak kemarin."

Lani mendengus. "Hadap sana," titahnya.

"Iya, iya."

Tak lama Lani sudah berdiri. Dengan kedinginan. Alzam kembali menggendongnya dan diletakkan di tempat tidur. Diselimutinya Lani dengan dipakaikan jilbab terlebih dahulu. Bibirnya yang mungil dan kemerahan bergetar menahan gemertak di badannya yang kedinginan. Alzam pun dengan tanpa beban lagi dengan memeluk Lani dari belakang hinggah Lani tertidur pulas

Lani yang terbangun duluan meletakkan tangan Alzam yang melingkar di pinggangnya. dibalikkannya badannya hinggah miring menghadap Alzam. Dipandanginya pria tampan dengan kulit putih yang kini mendengkur halus di depannya.

"Jangan biarkan aku jatuh cinta padanya, Tuhan. Aku bukanlah orang yang cukup berharga untuknya. Biarkan aku menerima kebaikannya, dan hanya sebatas itu," bathin Lani.

"Kamu sudah bangun?"

Lani kaget dengan suara yang tiba-tiba saja bersamaan dengan mata yang terbuka di depannya. Dia kemudian menunduk malu saat ketahuan dia tengah memperhatikan wajah Alzam.

"Mau ke kamar mandi?" tanya Alzam dengan menyimpan senyumnya untuk Lani yang pipi putihnya sampai kemerahan karena menahan malu. Dari tadi Alzam memang sudah tidak tidur saat Lani menatapnya.

Lani mengangguk.

Segera saja Alzam menggendongnya.

"Mas, turunin saja aku, aku mau jalan."

"Ghak usah, toh tubuh kamu mungil saja," ucap Alzam walau dia kini mengakui tubuh yang mungil itu kini membuatnya berdetak karena melihat keelokan padat tubuhnya dan lingkar dadanya. Ih, kenapa pikiranku sekarang jadi begini, guman Alzam dengan tak enak hati. Namun Alzam tak ingin istighfar dengan pikirannya. Bukankah dia telah halal untukku?

"Mas, kamu tinggalin aku di depan ya, sepertinya ghak berputar lagi kepalaku."

."Beneran?"

Lani mengangguk dengan menatap sekeliling yang sekarang sudah tak berputar lagi. Dia pun tersenyum dan membayangkan kesembuhannya.

"Baiklah kalau begitu. Syukurlah kamu berangsur baik."

Namun setelah tersentuh air, lagi-lagi Lani menggigil kedinginan. Padahal dia sudah senang dengan kepalanya yang enteng. Lani dengan cepat berjalan ke tempat tidurnya, dan menyelimuti dirinya dengan selimut tebal dengan sudah bisa duduk. Alzam segera menyusulnya dengan bermaksud mendekap Lani, namun ditahan oleh Lani.

"Aku tidak apa-apa, Mas. Jangan sering mendekapku." Lani memang merasa ada yang lain dengan diperlakukan Alzam seperti itu. Dan Lani tak ingin semakin terhanyut dengan perasaannya yang menurutnya tak pantas dia rasakan untuk siapapun. Terlebih untuk seorang Alzam.

"Tapi kamu menggigil."

"Kamu segeralah wudhu, Mas. Aku ikut sholat. Biar aku pakai kerudung saja biar dinginnya hilang di telingaku. Bukankah itu kata-katamu?"

"Pakailah mukenamu juga untuk sholat. Kamu sudah bisa sambil duduk kan?"  Alzam  sudah memakaikan mukena untuk Lani.

"Terimakasih. Mukenanya cantik," puji Lani pada mukena krem berenda keemasan itu.

"Sama cantiknya dengan kamu."

"Gombal lagi kamu, Mas."

Alzam terkekeh. Lalu segera ke kamar mandi.

"Bagaimana hasilnya?" tanya Alzam ke Dandi setelah tiba di kantornya.

"Sepertinya dia,

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • ISTRI SIRI TENTARA ALIM   Bab 06. Curiga.

    "Sepertinya dia hanya trauma. Syukurlah dia tidak mengalami seperti dugaanku," ucap Dandi."Memangnya apa dugaanmu?""Aku kira orang-orang itu sudah sampai memperkosanya dan menularkan penyakit tertentu.""Syukurlah tidak, setidaknya aku bisa lega," ucap Alzam dengan tersenyum. "Hari ini puyengnya sepertinya mulai hilang. Hanya rasa dinginnya yang sepertinya belum pulih.""Tenaganya terkuras waktu melarikan diri itu. Terlebih dia harus melawan arus sungai yang lagi deras-derasnya.""Setidaknya dia bisa diajak bicara dan mulai mempercayai aku. Tidak seperti saat awal-awal duluh yang seperti membenciku.""Kamu tidak bertanya kenapa dia seolah membencimu dengan mengatakan mata dan tatapanmu itu mengingat dia pada seseorang yang teramat dia benci ?""Aku takut itu bisa mengusik masa lalunya yang sesungguhnya ingin dia buang.""Bener juga kamu, Kep."" Aku tak bisa membayangkan kehidupan apa yang telah dialaminya. Saat masih SMA telah mengalami pelecehan dan bahkan harus melahirkan anak da

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-04
  • ISTRI SIRI TENTARA ALIM   Bab 07. Aku Ingin Sembuh.

    "Dhuk, katanya tadi makan, ayo!" ajakan Mbok Sarem membuat Lani melupakan kecurigaannya.Lani dengan pelan berdiri. Namun kemudian dia terhuyung, dan hampir jatuh. Untungnya Alzam segera menangkapnya, dan mendekapnya. Sejenak mereka salin berpandangan. Melihat itu timbul kekhawatiran di diri Mbok Sarem. "Ayo, biar Mbok saja yang gandeng ke ruang makan," sela Mbok Sarem.Lani yang masih bersitatap dengan Alzam segera menunduk. Lalu menyambut tangan Sarem yang membimbingnya."Emang masak apa, Mbok?" tanya Alzam begitu mereka sudah sampai di meja makan."Mas Alzam mandi duluh, baru ikutan makan," cegah Mbok Sarem saat melihat Alzam sudah mengambil posisi duduk di dekat Lani. Mbok Sarem memang berusaha menjauhkan Lani dari Alzam."Kalau gitu tunggu, dong, Mbok. Aku mandi duluh. Kayaknya enak kita bisa makan bertiga. Kayak punya keluarga.""Sebentar lagi juga Mas bisa seperti itu," ucap Mbok Sarem dengan pelan, padahal Alzam sudah pergi ke kamarnya. Lani hanya tersenyum menanggapinya. Ta

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-04
  • ISTRI SIRI TENTARA ALIM   Bab 08. Hamil?

    Dengan canggung Lani membiarkan Alzam tidur di sampingnya. Tidak lama sudah terdengar dengkuran halusnya. Lani hanya tersenyum melihat betapa cepatnya dia tertidur. Dengan tidur meringkung Lani membelakangi Alzam. Tak lupa, selimut pun dipakainya. Kalau kemarin dia tak merasa canggung karena dia sakit, tak bisa berfikir logis. Tapi entah kenapa kini dia merasa tidak enak hati. Dia bahkan meletakkan bantal guling di tengah-tengah mereka.Namun saat Lani terbangun di akhir malam, dia sudah mendapati tangan Alzam di pinggangnya. Bantal yang tadi dia letakkan di sebelahnya, malah pindah di belakang Alzam. Dengan pelan walau agak kaget, tahu semua itu, Lani meletakkan tangan Alzam. Dia lalu duduk sebentar, hendak ke kamar mandi. Sejenak Lani merasa kepalanya sudah enteng. Namun saat dia melangkah, mau berjalan, dia kembali terhuyung.Alzam segera menangkapnya. Lalu membawa Lani ke kamar mandi. Dan menurunkan Lani di dekat closet."Apa kamu hanya pura-pura tidurnya, Mas?" "Aku sudah biasa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-04
  • ISTRI SIRI TENTARA ALIM   Bab 09. Rasa Ini.

    "Lani, aku ini masih bujang. Aku saja belum pernah menyentuh perempuan. Mana aku ngerti beginian?" kelunya dengan bingung, membolak-balik benda itu.Lani yang awalnya cemas kini tersenyum lega. "Negatif.""Benarkah?" Alzam tampak lega, begitu senangnya sampai dia tak sadar langsung memeluk Lani erat-erat.Lani sedikit terkejut, kebingungan dengan tindakan Alzam yang mendadak."Syukurlah, apa yang aku takutkan tidak terjadi," seru Alzam melepaskan pelukannya dengan rasa canggung. "Maaf, saking gembiranya aku sampai memelukmu."Lani mengerling, lalu menyindir, "Bukannya kamu udah bisa peluk aku, Mas?"Alzam garuk-garuk tengkuk, salah tingkah. "Iya juga sih," gumamnya malu. Dia pun berjalan ke arah tempat tidur, siap untuk tidur.Lani yang melihatnya hanya bisa mendesah, "Ei, ngapain ke situ lagi?""Mau tidur lah. Masak buang air di tempat tidur?" jawab Alzam sambil tersenyum lebar."Aku udah baikan, Mas. Tadi aku minum susu yang kamu bawa, perutku udah nggak mual lagi. Jadi, kamu nggak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-04
  • ISTRI SIRI TENTARA ALIM   Bab 10. Siapa Dia?

    "Saya seolah mayat berjalan sejak pria itu merenggut apa yang saya banggakan. Hidup saya tak pernah punya tujuan, apalagi memikirkan perasaan untuk orang lain. Hati saya telah mati, terlebih dengan kejadian yang baru saja saya alami. Siapa yang akan mencintai wanita menjijikkan yang telah dijamah begitu pria tanpa pernikahan seperti saya, Mbok?" Setetes air mata telah menetes di pipi Lani. Dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan kepedihannya."Menangislah, Dhuk, kalau kamu ingin menangis," ucap Mbok Sarem saat melihat Lani seolah menahan tangisnya.Lani pun terisak, "Hidup saya telah hancur. Saya tak punya tujuan lain selain membesarkan Senja dengan baik." Lani sudah tergugu, saat Mbok Sarem sudah memeluknya."Kamu yang sabar ya, Dhuk," hibur Sarem, "suatu saat nanti kamu pasti menemukan orang yang benar-benar mencintai kamu dengan tulu," ucapnya sambil mengusap air mata Lani dengan tangan tuanya. Hinggah pandangannya berhenti dengan menatap lelaki tinggi atletis datang dengan paka

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-04
  • ISTRI SIRI TENTARA ALIM   Bab 11. Wajahku.

    "Bu,.." Lani menahan tangan ibunya yang dengan tak sabar hendak keluar dan bertanya pada Alzam, apa dia ada hubungannya dengan Madan, pria yang telah menodai Lani delapan tahun yang lalu."Itulah yang dari awal membuat saya benci padanya, Bu, padahal dia telah menolong saya dan dengan baik merawat saya.""Kamu kenapa, Dhuk, sampai dia menolongmu?"Lani tergagap dengan ucapannya yang keceplosan. Dia lalu terdiam sesaat, mengambil nafas, lalu duduk sebentar di dipan tempat tidur Senja."Saya dikejar penjahat saat pulang kemari duluh itu, Bu.""Tapi kamu tidak apa-apa, Dhuk?" Towirah menelisik anaknya itu. Perempuan berrambut campur putih hitam dengan disanggul ke atas karena lebatnya rambutnya itu menelisik Lani dengan memindai wajah dan tubuhnya."Tidak apa-apa, Bu," bohong Lani. Bagaimana bisa ibunya itu menelisik dirinya. Karena yang luka bukan yang tampak di luar sekarang. Lecet-lecet di kakinya juga sudah sembuh dengan salep yang diberikan Dandi. Hanya hati dan jiwanya yang kini ma

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-04
  • ISTRI SIRI TENTARA ALIM   Bab 12. Wajah Itu.

    Sejenak Lani menatap Alzam yang terpaku dengan menyebut sebuah nama yang sama sekali dia tak mengenalnya. Elma. Siapa Elma? tanya Lani dalam hatinya."Mbak, kapan pulang? Senja kangen!" Senja sudah memeluk Lani. Gadis berumur tujuh tahun itu sudah tinggi, walau badannya agak kurus. Dia lalu memandang Alzam yang masih terpaku menatapnya. Disunggingkanya senyumnya walau Alzam membalasnya dengan kaku."Kamu jam segini kok sudah pulang? " tanya Lani akhirnya. "bolos ya?" "Enak aja bolos. Mana aku pernah bolos, Mbak? Ini, ada rapat guru, mau ujian.""Mau ujian, ya?" sejenak Lani bingung karena dia belum membawa uang untuk ujian Senja. "apa kamu sudah ditagih bayar spp?" Gadis itu tersenyum, "Ghak usah dipikir, Mbak. Nanti kalau belum bisa bayar, tinggal minta keringanan saja. Kata Ibu, Mbak habis kena musibah.""Maafkan Mbak Lani, ya." Dipeluknya Senja dengan rasa tak karuan.Sementara Alzam yang masih memperhatikan kedua orang di depannya itu, bergulat dengan pikirannya sendiri. Kenapa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-04
  • ISTRI SIRI TENTARA ALIM   Bab 13. Pergi.

    "Salah, Mas. Kamu salah besar. Kamu sudah tau kan siapa aku, siapa kamu? Aku bukanlah orang yang pantas untuk dicintai siapapun, terlebih orang seperti kamu, Mas..""O, jadi itu pikiranmu sampai kamu tak memakai uang pemberianku, dan hanya kamu taruh di lacimu?""Mas, bukan tak sudi, Mas. Itu tidaklah hakku.""Lani!" ditariknya Lani dan direngkuhnya dalam pelukannya. "aku sudah tak dapat menahan diriku mengatakan ini. Aku mencintaimu. Sejak kamu aku temukan itu, aku telah jatuh hati padamu."Lani melepaskan dirinya dari pelukan Alzam. "Tidak, Mas. Lupakan semua pikiranmu itu. Kalau saja aku punya tempat lain selain di tempatmu, aku akan pergi, Mas. Tapi aku bisa ke mana lagi. Perlakukan aku seperti pekerja lainnya yang juga bekerja di tempatmu."Alzam menarik tatap Lani dengan sedih."Kamu berhak mendapatkan lebih baik dari aku. Aku saja jijik dengan diriku yang telah dijamah pria dengan paksa. Setiap jengkal tubuhku rasanya hanya seonggok daging yang menjijikkan mengingat kejadian i

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-04

Bab terbaru

  • ISTRI SIRI TENTARA ALIM   Bab 366. Pesan Rey

    "Mas, telpon kamu bunyi itu," ucap Lani.Alzam segera mengambil ponsel itu, dan melihat sebuah nomor tak dikenal."Nomor nggak dikenal," gumam Alzam sebelum akhirnya menekan tombol jawab. "Halo?"Suara di seberang sana terdengar lirih tapi jelas. Suara yang membuat napas Alzam tercekat. "Alzam... ini aku, Rey."Alzam langsung berdiri tegak. "Rey? Kamu di mana?""Aku... nggak bisa lama. Aku cuma—aku hidup, Zam. Tolong jaga Mira. Tadi aku telpon dia nggak bisa."Suara Rey terdengar tergesa. Ada deru nafas berat. Seperti sedang berlari atau menyembunyikan diri."Kamu di mana sekarang? Lokasimu? Siapa yang bersamamu?" tanya Alzam cepat."Aku nggak bisa bilang. Mereka..."Tiba-tiba terdengar bunyi gaduh dari seberang. Seperti suara pintu dibuka paksa, lalu Rey menutup telepon dengan cepat."Rey! Rey!!"Alzam menatap layar yang sudah gelap. Panggilan terputus."Mas, itu tadi Rey?" Lani berdiri di belakangnya, wajahnya tegang.Alzam mengangguk pelan. "Dia masih hidup.""Syukurlah. Kita pasti

  • ISTRI SIRI TENTARA ALIM   Bab 365. Menyusuri jejak

    "Jangan dipikirkan terus, Sekarang minum teh jahe sing anget, biar rileks," ujar Mbok Sarem lembut, menaruh cangkir ke meja kecil. Menatap Mira dengan penuh iba.Lani yang baru kembali dari mengatur jadwal patroli satpam ikut duduk di dekat mereka. Rambutnya dikuncir rapi terihat setelah jilbabnya terlepas. Excel sudah tertidur, dan Alzam masih di pabrik membantu mengganti baterai CCTV dengan teknisi."Mira, kamu harus jaga kesehatan. Jangan-jangan Rey juga sedang berjuang supaya kamu tetap kuat di sini," kata Lani sambil menggenggam tangan Mira.Mira mengangguk. "Aku tahu... tapi suara itu, Lani. Dia sesak napas. Seperti dikejar... lalu diam, lalu teleponnya ditutup paksa. Kamu tahu betapa galaunya aku sekarang?"Lani menarik napas. "Dan itu sebabnya Mas Alzam nggak tinggal diam."Di sisi lain, Alzam sedang berdiri di belakang ruang kendali keamanan pabrik. Bersamanya, ada seorang pria tinggi dengan tuuh proporsional. Dia Evind, sahabat lama Alzam semasa kuliah, yang kini bekerja di

  • ISTRI SIRI TENTARA ALIM   Bab 362. Sara itu

    Hari itu, rencana pengintaian mulai disusun dengan sangat serius. Lani berdiri di hadapan empat orang satpam yang ia percaya. Wajah-wajah mereka tampak tegang, tapi penuh semangat. Ini bukan sekadar tugas biasa. Ini tentang perlindungan. Tentang memastikan tidak ada lagi teror diam-diam yang mengusik ketenangan Mira."Pak Slamet dan Pak Darto, kamu ambil shift jam sembilan sampai jam satu malam. Pak Joko dan Pak Komar jaga jam satu sampai jam empat pagi gantian. Setelah itu ganti satpam pagi," ucap Lani tegas, namun tenang.Alzam berdiri di samping istrinya, memegang sketsa tata letak pabrik dan rumah Lani di sekitarnya. Ia menunjuk titik-titik strategis di peta."Kita pakai sistem sinyal. Senter dengan lampu merah, artinya ancaman, siap siaga. Lampu biru, hanya patroli biasa. Kalau kalian lihat sesuatu yang mencurigakan, langsung nyalakan lampu merah dan tiup peluit tiga kali. Yang lain langsung ke titik itu. Jangan ada yang bergerak sendiri, kita tim. Paham?"Semua menjawab kompak

  • ISTRI SIRI TENTARA ALIM   Bab 362. Lamanya,..

    Munding Wangi masih diliputi kabut sisa embun malam. Pabrik milik Lani yang beberapa hari lalu ditutup karena libur lebaran, kini sudah kembali beroperasi penuh. Suara mesin-mesin penggilingan dan para buruh yang lalu-lalang memenuhi lorong pabrik menjadi tanda bahwa tempat ini hidup kembali. Namun suasana hati Lani masih diliputi kekhawatiran. Bukan soal produksi, bukan soal modal, melainkan soal Mira.Lani berdiri di tengah lapangan kecil yang menghubungkan bangunan utama pabrik dan kantor. Ia memanggil delapan orang satpam yang selama ini bertugas menjaga keamanan pabrik dan rumahnya. Beberapa wajah tampak masih ngantuk, tapi semua segera berdiri tegak saat Lani mulai bicara."Saya tahu ini bukan tugas biasa. Tapi beberapa malam terakhir, ada seseorang yang mondar-mandir di sekitar rumah saya. Mira khawatir, dan saya juga. Saya curiga orang itu Damar. Kalian tahu siapa dia karena duluh dia juga custumer pabrik ini untuk urusan lmbah kult jeruk. Jadi saya butuh kalian untuk siaga. K

  • ISTRI SIRI TENTARA ALIM   Bab 361. Janji Damar

    Damar duduk sendiri di teras rumahnya. Angin malam Surabaya membelai pelan wajahnya, namun keringat dingin justru mengalir di pelipisnya. Pikirannya kacau. Perasaannya tak tenang. Sejak kabar tentang Rey yang hilang dalam tugas diterimanya di warung kopi komplek seminggu lalu, dadanya seperti diikat erat oleh kegelisahan. Budi, rekan lama yang kini sering datang ke perumahan, jadi sumber informasi utamanya."Kulit jeruk dari Lani masih dikirim ke toko ya?" tanya Damar pada Budi waktu itu.Budi mengangguk. "Bukan cuma itu, Dam. Mira juga balik kerja ke tempat Lani. Mbok Sarem bilang dia sering diam, tapi kerjaannya rapi."Hati Damar berdesir. Mira. Nama itu tak pernah benar-benar hilang dari benaknya. Sejak Rey hilang, bayangan Mira muncul lebih sering, lebih nyata, seperti hantu masa lalu yang tak pernah selesai.Tapi malam ini bukan tentang Mira. Malam ini, suara Vero yang meninggi dari dalam rumah menusuk telinganya."Kamu pikir aku nggak tahu kamu sering keluar malam belakangan ini

  • ISTRI SIRI TENTARA ALIM   Bab 361. Kenangan malam pertama

    Hampir sebulan Mira akhirnya larut dalam kerjaannya di Munding Wangi. Kesibukan jadi pelarian yang ampuh dari gelombang rindu yang menyerangnya nyaris setiap malam. Tapi malam ini, saat seisi rumah mulai sunyi, dan hanya suara jangkrik serta detak jam dinding yang terdengar, Mira kembali duduk di sajadahnya.Pakaian tidurnya masih basah di bagian pundak oleh air wudu. Ia menatap kosong ke arah jendela yang tertutup tirai tipis. Di atas sajadah itulah, Mira menumpahkan segalanya. Dalam tiap doa tahajud, namanya selalu disebut. Bukan hanya sekali. Tapi berkali-kali."Ya Allah... kembalikan Rey padaku... Jika dia memang untukku... Tolong jangan biarkan aku hidup dalam ketidakpastian seperti ini."Air matanya jatuh. Pelan. Tenang. Tapi menyayat. Seperti air yang mengikis batu, doanya terus mengalir setiap malam. Dan selalu saja ingatan tentang Rey tak bisa diusir.Ia menyentuh ponselnya. Layar menyala, dan di sana terpampang foto pernikahan mereka. Rey yang mengenakan beskap warna merah m

  • ISTRI SIRI TENTARA ALIM   Bab 360. Perjalanan

    POV Damar.Pagi belum sepenuhnya hidup ketika aku duduk di pojok warung kopi komplek perumahan para anggota veteran. Tempat itu bukan tempat favorit, tapi punya satu kelebihan: berita gosip dari segala lapisan bisa melintas di sana seperti aroma kopi robusta yang menyengat. Aku duduk dengan jaket hitam tipis, topi diturunkan sedikit, menyamarkan wajahnya dari siapa pun yang mungkin kenal."Rey belum pulang juga ya? Kabar terakhir sih katanya sempat ilang waktu patroli. Kayaknya kejauhan masuk zona rawan."Aku tak perlu menengok. Suara itu milik Pak Aryo, pensiunan tentara yang sekarang jualan pancingan. Dia sedang bicara pada teman duduknya sambil menyeruput kopi dengan pelan."Katanya yang ikut patroli itu bilang dia disuruh cek sendiri jalur komunikasi. Tapi nggak balik-balik. Udah semingguan, kan?""Hampir ebulan malah. Tapi keluarganya nggak mau buka suara. Padahal istrinya itu, yang cantik itu loh... siapa namanya—""Mira."Jantungku bergetar halus saat nama itu disebut. Mira. Ak

  • ISTRI SIRI TENTARA ALIM   Bab 359. Menghibur

    Udara pagi menampar lembut wajah Mira yang masih pucat. Jendela kamar terbuka sejak subuh, tapi hawa sejuk pegunungan Sendang Agung tak mampu membekukan panas yang mengendap di dadanya. Ia duduk diam di pinggir ranjang, pandangan tertuju pada layar ponsel yang terus gelap. Tak ada notifikasi. Tak ada pesan masuk. Dan tak ada nama Rey yang muncul.Dari balik pintu yang setengah terbuka, Laras melongok pelan, lalu mengetuk."Mira, aku bawain teh anget, mau?" tawarnya sambil masuk tanpa menunggu jawaban.Mira hanya menoleh sebentar. Sorot matanya kosong, senyum pun tak muncul. Laras meletakkan gelas di meja kecil dekat tempat tidur."Kalau kamu pengen cerita... atau cuma pengen duduk bareng tanpa ngomong apa-apa, aku siap kok," lanjut Laras, duduk di kursi rotan.Mira tetap diam. Ia kembali menatap layar ponselnya. Lalu meletakkannya di pangkuan, seolah pasrah.Laras menghela napas pelan. "Nggak apa-apa. Aku ngerti kok. Tapi kamu jangan terus begini.""Iya, Tan, ayo jalan-jalan sama Lindi

  • ISTRI SIRI TENTARA ALIM   Bab 358. Kita pulang

    Tangis belum benar-benar reda saat Marni mengusap kepala Mira yang terkulai di pangkuannya. Aroma lepet dan ketupat yang tadi sempat membuat suasana rumah di Sendang Agung jadi hangat, kini tak lebih dari sekadar sisa-sisa tradisi yang menggantung kaku di meja ruang tamu. Rere dan Maya duduk bersisian, tak lagi berkata apa-apa, hanya menatap Mira yang tak henti menatap pintu seperti mengharap sesuatu tiba-tiba muncul dari sana."Ndok, ikut pulang ke Sendang Agung, ya... biar tenang dulu hatimu." Marni membujuk sambil membenarkan letak kerudung Mira yang sedikit miring. Suaranya lirih, tapi sarat keteguhan seorang ibu yang ingin menyelamatkan anaknya dari gelombang yang terlalu besar untuk dihadapi sendirian."Nanti kalau Rey sudah pulang, kamu bisa kembali ke sini. Di rumah, kamu bisa tenang dulu," ujar Marni, suaranya serak seperti baru saja menangis di dalam mobil.Mira menggeleng pelan. "Kalau aku pulang sekarang, terus nanti Rey pulang... dia nggak langsung ketemu aku, Bu. Aku pen

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status