"Saya seolah mayat berjalan sejak pria itu merenggut apa yang saya banggakan. Hidup saya tak pernah punya tujuan, apalagi memikirkan perasaan untuk orang lain. Hati saya telah mati, terlebih dengan kejadian yang baru saja saya alami. Siapa yang akan mencintai wanita menjijikkan yang telah dijamah begitu pria tanpa pernikahan seperti saya, Mbok?" Setetes air mata telah menetes di pipi Lani. Dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan kepedihannya."Menangislah, Dhuk, kalau kamu ingin menangis," ucap Mbok Sarem saat melihat Lani seolah menahan tangisnya.Lani pun terisak, "Hidup saya telah hancur. Saya tak punya tujuan lain selain membesarkan Senja dengan baik." Lani sudah tergugu, saat Mbok Sarem sudah memeluknya."Kamu yang sabar ya, Dhuk," hibur Sarem, "suatu saat nanti kamu pasti menemukan orang yang benar-benar mencintai kamu dengan tulu," ucapnya sambil mengusap air mata Lani dengan tangan tuanya. Hinggah pandangannya berhenti dengan menatap lelaki tinggi atletis datang dengan paka
"Bu,.." Lani menahan tangan ibunya yang dengan tak sabar hendak keluar dan bertanya pada Alzam, apa dia ada hubungannya dengan Madan, pria yang telah menodai Lani delapan tahun yang lalu."Itulah yang dari awal membuat saya benci padanya, Bu, padahal dia telah menolong saya dan dengan baik merawat saya.""Kamu kenapa, Dhuk, sampai dia menolongmu?"Lani tergagap dengan ucapannya yang keceplosan. Dia lalu terdiam sesaat, mengambil nafas, lalu duduk sebentar di dipan tempat tidur Senja."Saya dikejar penjahat saat pulang kemari duluh itu, Bu.""Tapi kamu tidak apa-apa, Dhuk?" Towirah menelisik anaknya itu. Perempuan berrambut campur putih hitam dengan disanggul ke atas karena lebatnya rambutnya itu menelisik Lani dengan memindai wajah dan tubuhnya."Tidak apa-apa, Bu," bohong Lani. Bagaimana bisa ibunya itu menelisik dirinya. Karena yang luka bukan yang tampak di luar sekarang. Lecet-lecet di kakinya juga sudah sembuh dengan salep yang diberikan Dandi. Hanya hati dan jiwanya yang kini ma
Sejenak Lani menatap Alzam yang terpaku dengan menyebut sebuah nama yang sama sekali dia tak mengenalnya. Elma. Siapa Elma? tanya Lani dalam hatinya."Mbak, kapan pulang? Senja kangen!" Senja sudah memeluk Lani. Gadis berumur tujuh tahun itu sudah tinggi, walau badannya agak kurus. Dia lalu memandang Alzam yang masih terpaku menatapnya. Disunggingkanya senyumnya walau Alzam membalasnya dengan kaku."Kamu jam segini kok sudah pulang? " tanya Lani akhirnya. "bolos ya?" "Enak aja bolos. Mana aku pernah bolos, Mbak? Ini, ada rapat guru, mau ujian.""Mau ujian, ya?" sejenak Lani bingung karena dia belum membawa uang untuk ujian Senja. "apa kamu sudah ditagih bayar spp?" Gadis itu tersenyum, "Ghak usah dipikir, Mbak. Nanti kalau belum bisa bayar, tinggal minta keringanan saja. Kata Ibu, Mbak habis kena musibah.""Maafkan Mbak Lani, ya." Dipeluknya Senja dengan rasa tak karuan.Sementara Alzam yang masih memperhatikan kedua orang di depannya itu, bergulat dengan pikirannya sendiri. Kenapa
"Salah, Mas. Kamu salah besar. Kamu sudah tau kan siapa aku, siapa kamu? Aku bukanlah orang yang pantas untuk dicintai siapapun, terlebih orang seperti kamu, Mas..""O, jadi itu pikiranmu sampai kamu tak memakai uang pemberianku, dan hanya kamu taruh di lacimu?""Mas, bukan tak sudi, Mas. Itu tidaklah hakku.""Lani!" ditariknya Lani dan direngkuhnya dalam pelukannya. "aku sudah tak dapat menahan diriku mengatakan ini. Aku mencintaimu. Sejak kamu aku temukan itu, aku telah jatuh hati padamu."Lani melepaskan dirinya dari pelukan Alzam. "Tidak, Mas. Lupakan semua pikiranmu itu. Kalau saja aku punya tempat lain selain di tempatmu, aku akan pergi, Mas. Tapi aku bisa ke mana lagi. Perlakukan aku seperti pekerja lainnya yang juga bekerja di tempatmu."Alzam menarik tatap Lani dengan sedih."Kamu berhak mendapatkan lebih baik dari aku. Aku saja jijik dengan diriku yang telah dijamah pria dengan paksa. Setiap jengkal tubuhku rasanya hanya seonggok daging yang menjijikkan mengingat kejadian i
"Ini pembukuan yang harus kamu pelajari. Katanya kamu pingin kerja. Lupakan kalau aku pernah mengatakan sesuatu padamu," ucap Alzam setelah menarik tangan lani dan menyerahkan buku tebal. Namun saat dia menyadari Lani membawa sesuatu di tangannya, dia lalu menatap Lani dengan sekilas melihat kresek besar yang dibawanya."Kamu? Kamu mau ke mana?" tanya Alzam bingung. Lalu ditariknya kresek itu. Dan dibukanya. "Pakaian? Kamu mau pergi dari sini? Mau tinggalkan aku, hanya karena aku mengutarakan isi hati aku?""Saya,..""Balikin pakaian kamu. Setelah ini sarapan, kita segera ke gudang."Dengan pelan, Lani hanya diam sambil menuju ke kamarnya. Mengembalikan pakaiannya. Dan makan."Sudah selesai makannya?" tanya Alzam kemudian dengan menelisik jemari Lani. Cincin itu ada mata berliannya hinggah pasti nampak berkilau jika dipakai.Lani yang merasa Alzam melihat jarinya, jadi tak enak hati. Dia memang telah menaruh cincin itu di dekat alat make upnya."Iya, sudah, Mas." Ditariknya tangannya
Setiap hari Lani melingkari kalender duduk yang berada di depan meja riasnya.. Lima belas hari sudah kepergian Alzam. Selama itu tidak ada khabar tentangnya. Lani kembali beraktifitas. Ke Gudang seperti biasa. Bahkan sekarang dia sudah memegang pembayaran dengan membawanya ke bank untuk sekedar di print. Untunglah ada sepeda matic Alzam yang bisa dibawa Lani ke manapun, hinggah dia tak perlu repot untuk minta antar siapapun yang di sana. Termasuk hari ini."Assalamualaikum!"Mbok Sarem terkejut dengan rombongan yang datang agak siang."Waalaikumussalam, Pak.""Ini Alzam ke mana, Mbok, kok aku telpon ghak bisa-bisa dalam beberapa hari terakhir?" Salma, ummi Alzam bertanya pada Mbok Sarem."Anu, Bu,.. Mas Alzam dinas ke Papua.""Pantas tidak bisa dihubungi, Mi," sahut Elma, adiknya Alzam yang sudah berkeliling mengitari rumah Alzam. Dia selalu bilang, senang dengan rumah Alzam yang berada di pedesaan. Tidak seperti rumah mereka yang di kota dan selalu penuh kesibukan."Wah, bunga Mas A
Lani terdiam. Dia berusaha menghalau perasaan rindunya yang selama ini mengganggunya. Dia bahkan memeluk bantal yang sering dipakai Alzam saat bersamanya tidur. Perasaan ini salah. Aku harus bisa menjauhkannya. Aku tak pantas untuknya. "Dhuk,.."Lani terkesiap. Dia kemudian berdiri dan meninggalkan meja makan itu. Hatinya teramat suntuk memikirkan perasaannya akhir-akhir ini yang kerap merindukan Alzam.Tidak, aku tak boleh memikirkannya lebih dalam lagi. Pernikahan ini harus segera berakhir, tekat Lani.Namun tekat hanya tinggal di bibirnya walau kala itu dia mengucapkannya dengan mantap.Saat malam sudah larut, dan Lani mendengar ada ramai yang berhenti di depan rumah, dia segera keluar kamarnya, menyongsong siapa yang kini tengah datang dan memandangnya dengan tatapan kerinduan yang sangat. Saat lelaki itu membuka pintu rumah dan menampakkan tubuh tinggi tegapnya di depan pintu yang sudah terbuka.Pantulan rembulan juga lampu temaram teras, menampakkan kulitnya yang tampak lebih g
"Saya akan berusaha memberinya pengertian bahwa kami memang tak mungkin bersama. Dari awal dia sudah tau saya tidak mencintainya, Mbok. Saya hanya korban karena adik saya. Saya akan mengatakan itu," tekat Alzam yang kemudian ditarik tangannya oleh Mbok Sarem."Bagaimana bisa, Mas?""Aku mencintainya lebih dari apapun, Mbok. Selama ini aku hanya mencari orang yang bisa aku rindukan setiap saat. Dan itu hanya aku temukan pada diri Lani. Apapaun resikonya, aku akan hadapi.""Mas yakin menghadapi resikonya?""Apapun resikonya, Mbok."Mbok Sarem kemudian hanya menatapnya. Dia tau betul keteguhan Alzam.Mbok Sarem lalu masuk dengan membongkar rangsel besar yang tadi malam dibawa Alzam. Mengeluarkan semua isinya untuk dibawa ke belakang dan dicuci."Kemarin orang tua Mas Alzam kemari.""Memangnya mereka mau ngapain, Mbok?" Mbok Sarem hanya melotot dengan menatap Alzam. "Mas lupa, ini sudah tanggal berapa?""Iya, tau. Elma mau nikah beberapa hari lagi.""Mas Alzam sibuk ngurusi hati aja sih,
Pagi itu, suasana di rumah Mira begitu meriah. Janur kuning melengkung megah di depan gang, menandai ada hajatan besar. Pregolan terop berdiri kokoh, dihiasi dua pohon pisang raja yang menjulang di sisi kanan dan kiri, pertanda kesakralan acara. Di atasnya, terop model modern dengan gelembung-gelembung kecil dan lampu hias , berpadu dengan rumbai-rumbai bunga, menciptakan nuansa perayaan yang mewah.Empat penerima tamu berdiri di pintu masuk, anggun dalam kebaya beludru merah maroon. Senyum mereka ramah menyambut para tamu yang datang dengan wajah penuh antusiasme. “Sugeng rawuh,” sapa salah satu dari mereka, membungkukkan badan sedikit sebagai tanda penghormatan.Di dalam, gending Jawa mengalun lembut, dipimpin MC Pak Warno yang duduk bersila di atas tikar pandan. Suaranya mendayu-dayu, menyanyikan tembang-tembang penuh makna. “Lir-ilir, lir-ilir...”Bu Gita, pemilik WO, setelah berbincang dengan Pak Warno, berkeliling mengontrol segala sesuatunya agar terlaksana dengan baik.Di hala
Agak siang setelah perginya para tetangga setelah membenahi terop, rumah Mira dipenuhi kesibukan lain sebagai rangkaianaprosesi Jawa berlangsung. Tukiran memasang bleketepe di pregolan rumah di dampingi Marni. Mereka sudah mengenakan pakaian adat Jawa lengkap. Marni memakai kebaya dan sanggul Jawa, sementara Tukiran memakai beskap tangkepan warna krem. Anyaman daun kelapa itu dipercaya sebagai simbol penyucian dan keberkahan bagi calon pengantin. Tukiran, dengan tangan cekatan, memastikan setiap helai daun tersusun rapi.Sementara itu, di dapur, para ibu-ibu sibuk menyiapkan berbagai keperluan untuk acara siraman. Suara gemericik air, dentingan alat masak, dan canda tawa bersahutan, menciptakan suasana hangat.Di serambi rumah, Mira duduk dengan raut wajah yang sedikit tegang. Hari ini adalah hari siramannya, salah satu prosesi penting dalam adat pernikahan Jawa. Ia mengenakan kain batik dengan selendang hijau yang disampirkan di bahu, juga rangkaian melati untuk menutup dada atasn
Sehari sebelum pernikahan Mira, rumahnya sudah penuh dengan kesibukan sejak subuh. Para tetangga lelaki tampak sibuk memasang terop lanjutan di halaman depan, sementara pihak WO sudah datang lebih awal dan menyelesaikan terop tujuh plongnya, lalu memastikan dekorasi pernikahan untuk besok berjalan lancar.Terop warna abu-abu silver dengan hiasan rumbai sudah terpasang dengan baik. Sementara dekorasi gebyok Jawa klasik diminta keluarga Mira untuk menyesuaikan tema yang mereka usung.Bu Gita, sang Wo sudah mengingatkan kenapa harus pakai dekorasi itu, kenapa tidak yang minimalis seperti yang kini lagi trendnya. Namun di tempat Rey yang sudah memakai dekorasi model itu, membuat Marni mengusulkan ide itu, mengikuti rias manten Jawa Paes Ageng yang telah lama diinginkan Mira dalam pernikahannya. Dan memakai dekorasi Jawa itu, hanya dia ingin bunganya harus hidup semua. Di dapur, suasana tak kalah riuh. Ibu-ibu dan remaja putri berkumpul, ada yang mengiris bumbu, mengaduk santan, dan mem
Pagi, fajar mulai menyingsing, dan di Sendang Agung suasana begitu berbeda. Orang-orang telah bersiap untuk melaksanakan Salat Idul Fitri. Seperti tahun-tahun sebelumnya, penyelengggara sholat iedul fitri ada di dua tempat-masjid dan lapangan. Meski begitu, tidak ada perpecahan di antara mereka. Semua saling menghormati pilihan masing-masing.Di rumah Wagimin dan Towirah, kegembiraan terpancar dari wajah Alzam dan Lani. Lani sibuk memakaikan baju baru untuk bayi mereka yang masih merah, sementara Alzam menyiapkan sarung dan pecinya untuk peri sholat Ied. Tak lupa, Senja yang kini berusia sebelas tahun berdiri di depan cermin, memastikan kerudungnya rapi. Hari ini adalah hari yang bersejarah dalam hidupnya, 31 Maret."Kamu sendiri di rumah, hati-hati ya," pesan Alzam sebeum berangkat pada Lani yang memang belum bisa sholat karena masih dalam nifas.Setelah salat, mereka kembali ke rumah untuk sungkem. Towirah duduk di kursi, menatap penuh kasih pada anak-anak dan cucunya. Alzam lebih d
Arhand baru saja akan menaiki pesawat saat ponselnya bergetar. Dengan sedikit kesal, dia mengangkatnya."Sayang, aku pingin ikut takbir keliling," suara Agna terdengar riang di seberang sana. Tapi pinginnya sama kamu."Arhand menghela napas, melirik jam tangan. Jika dia menunda penerbangan, dia bisa terlambat untuk sampai di Makassar. Tapi, bagaimana mungkin dia menolak permintaan calon istri yang sedang hamil?"Agna, aku sudah di bandara," katanya pelan."Tapi aku ingin kamu di sini," suara Agna merajuk.Arhand menutup mata, mencoba menahan dilema yang menyerangnya. Di satu sisi, ada keluarga yang menunggunya di Makassar. Di sisi lain, Agna adalah prioritasnya. Terdengar suara lain di belakang Agna. Itu pasti Sandra, ibu Agna." Arhand, kalau bisa temani Agna dulu. Dia sedang hamil, emosinya mudah naik turun," kata Manda lembut. "Tolong ya."Arhand mengembuskan napas. Pikirannya berkecamuk, tapi akhirnya dia berkata, "Baiklah, aku ke sana."Malam takbiran di kompleks perumahan mewa
Asraf memegang erat uang tabungannya yang sudah ia kumpulkan sejak lama. Mata bocah itu berbinar, namun raut wajahnya juga menunjukkan kegugupan. Ia menoleh ke arah ayahnya, Guntur, yang tengah menyiapkan motor di halaman rumah.“Yah, tolong antar Asraf, ya?” pintanya penuh harap.Guntur mengernyitkan dahi. “Mau ke mana sore-sore begini? Besok Lebaran, jalanan pasti macet.”Asraf tersenyum kecil, lalu menggenggam erat celengannya yang pecah tadi pagi. “Ke toko, Yah. Mau beli sesuatu.”Meskipun heran, Guntur akhirnya mengangguk. Tak lama, motor pun melaju ke arah pasar yang semakin ramai dengan lalu lalang orang mencari kebutuhan Lebaran. Jalanan penuh sesak, suara klakson dan teriakan pedagang bercampur menjadi satu. Asraf duduk diam di belakang ayahnya, matanya fokus ke depan, seakan sedang memikirkan sesuatu yang besar."Ke sana, Yah." Dia menunjukkan jarinya ke sebuah toko."Jangan langsung gini, Asraf. Dari tadi gitu kenapa? Nggak gampang cari cela buat ke toko itu.""Maaf deh, Ya
Rey duduk di kursi kayu depan rumahnya. Di hadapannya, halaman yang biasa terasa luas kini terasa sempit. Ia menggenggam ponselnya erat, berharap ada balasan dari Mira. Tadi malam, tidurnya tidak nyenyak. Pikirannya dipenuhi bayangan Mira yang sibuk mempersiapkan pernikahan mereka.Ia ingin melihat wajah Mira, meskipun hanya sebentar.Jari-jarinya mengetik cepat. ["Mira, aku kangen. Tolong angkat telponnya sebentar saja. Cuma sebentar."]Tapi tak ada balasan. Rey menatap layar ponselnya dengan napas berat. ["Mira, cuma lima menit saja. Aku cuma mau lihat wajahmu."]Layar ponselnya tiba-tiba bergetar. Panggilan video dari Mira. Dengan cepat, Rey menekan tombol hijau.Namun, bukan wajah Mira yang muncul, melainkan pemandangan dapur rumahnya yang sibuk. Beberapa ibu-ibu terlihat sibuk mengaduk adonan, membentuk kue, dan menata loyang ke dalam oven.Dapur terlihat penuh sesak. Meja panjang dipenuhi adonan yang masih setengah jadi, loyang bertumpuk di sudut ruangan, dan beberapa toples ku
Senja berdiri di ambang pintu ruang keluarga. Cahaya lampu ruangan memantulkan siluet tubuhnya yang tinggi langsing. Sementara di dalam kamar, Lani dan Alzam saling bertukar pandang. Tatapan mereka penuh pertanyaan, seolah mencoba menebak apa yang ada di kepala anak itu.“Aku sudah bicara dengan Yangti dan Yangkung,” kata Senja tiba-tiba, suaranya tenang tetapi ada sedikit ketegangan di sana.Lani mengangkat alisnya. “Bicara soal apa?”“Mereka setuju untuk merayakan besar-besaran.”Alzam bersandar ke sofa, matanya meneliti wajah putrinya. “Maksudmu, merayakan di rumah mereka?”Senja menggeleng. “Bukan. Mereka ingin mengadakan acara dengan anak-anak yatim piatu.”Lani terdiam sejenak, mencerna ucapan itu. Raut wajahnya tidak menunjukkan ketidaksetujuan, justru sebaliknya.“Itu ide yang bagus,” katanya akhirnya. “Berbagi kebahagiaan dengan mereka yang kurang beruntung itu hal yang mulia.”Namun, alih-alih tersenyum senang, Senja malah mengalihkan pandangannya.“Kamu nggak suka?” tanya L
Alzam membungkuk pelan, mendekat ke tempat tidur bayi di samping ranjang mereka. Excel tertidur pulas, nafasnya naik turun dengan tenang, tubuh kecilnya terselimut hangat. Alzam tersenyum lega. "Wah… anak ayah ganteng banget, ya." Suaranya berbisik, nyaris seperti doa, lalu mencium pipinya yang mulai tembem berkali-kali.Bayi itu menggeliak.Lani, yang masih duduk bersandar di bantal, segera menegur dengan suara pelan, "Mas, jangan keras-keras. Jangan diciumi begitu juga. Nanti bangun lagi, nangis lagi, kita nggak bisa tidur."Alzam menoleh, mengangkat sebelah alisnya. "Cemburu, ya?" godanya, sebelum kemudian mendekat dan merengkuh istrinya. "Kamu juga ganteng kok… eh, cantik maksudnya." Dia mengecup pipi Lani dengan gemas.Lani tertawa kecil, tapi segera meletakkan telunjuk di bibirnya. "Ssstt… serius, Mas. Aku masih trauma. Kalau dia bangun dan nangis terus lagi seperti kemarin malam, aku bisa pingsan. Aku takut dia kenapa-napa."Alzam melirik Excel yang masih diam dalam tidurnya. "