Lani terdiam. Dia berusaha menghalau perasaan rindunya yang selama ini mengganggunya. Dia bahkan memeluk bantal yang sering dipakai Alzam saat bersamanya tidur. Perasaan ini salah. Aku harus bisa menjauhkannya. Aku tak pantas untuknya. "Dhuk,.."Lani terkesiap. Dia kemudian berdiri dan meninggalkan meja makan itu. Hatinya teramat suntuk memikirkan perasaannya akhir-akhir ini yang kerap merindukan Alzam.Tidak, aku tak boleh memikirkannya lebih dalam lagi. Pernikahan ini harus segera berakhir, tekat Lani.Namun tekat hanya tinggal di bibirnya walau kala itu dia mengucapkannya dengan mantap.Saat malam sudah larut, dan Lani mendengar ada ramai yang berhenti di depan rumah, dia segera keluar kamarnya, menyongsong siapa yang kini tengah datang dan memandangnya dengan tatapan kerinduan yang sangat. Saat lelaki itu membuka pintu rumah dan menampakkan tubuh tinggi tegapnya di depan pintu yang sudah terbuka.Pantulan rembulan juga lampu temaram teras, menampakkan kulitnya yang tampak lebih g
"Saya akan berusaha memberinya pengertian bahwa kami memang tak mungkin bersama. Dari awal dia sudah tau saya tidak mencintainya, Mbok. Saya hanya korban karena adik saya. Saya akan mengatakan itu," tekat Alzam yang kemudian ditarik tangannya oleh Mbok Sarem."Bagaimana bisa, Mas?""Aku mencintainya lebih dari apapun, Mbok. Selama ini aku hanya mencari orang yang bisa aku rindukan setiap saat. Dan itu hanya aku temukan pada diri Lani. Apapaun resikonya, aku akan hadapi.""Mas yakin menghadapi resikonya?""Apapun resikonya, Mbok."Mbok Sarem kemudian hanya menatapnya. Dia tau betul keteguhan Alzam.Mbok Sarem lalu masuk dengan membongkar rangsel besar yang tadi malam dibawa Alzam. Mengeluarkan semua isinya untuk dibawa ke belakang dan dicuci."Kemarin orang tua Mas Alzam kemari.""Memangnya mereka mau ngapain, Mbok?" Mbok Sarem hanya melotot dengan menatap Alzam. "Mas lupa, ini sudah tanggal berapa?""Iya, tau. Elma mau nikah beberapa hari lagi.""Mas Alzam sibuk ngurusi hati aja sih,
"Abi, Assalamualikum!" sapa Alzam saat mendengar orang yang di sebrang adalah abinya. Lani yang di dekatnya masih memeluk Alzam. Sengaja Alzam me-loos speker agar Lani bisa mendengar pembicaraan mereka.Sejenak Alzam menghela nafas lega. Syukurlah bukan dari kantor yang mengatakan ada tugas mendadak. Dia merasa masih enggan berpisah dengan Lani. Ini adalah kebahagiaan yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Dan sedetik pun Alzam tak ingin jauh dari wanita yang bisa membuatnya berdebar saat di dekatnya itu."Bagaimana khabarmu, Nak?" "Baik, Abi. Apa khabar Abi, Ummi juga Elma?""Alhamdulillah baik, Nak." Sejenak terdiam, lalu Alzam mendengar seorang wanita menyahut di telpon."Alzam,..""Iya, Ummi. Ummi sehat?""Ei, kamu mau tau juga bagaimana keadaan Ummi?""Ummi, kenapa bilang begitu?""Habisnya kamu ghak pernah nelpon Ummi. Kapan kamu pulang?""Baru tadi malam, Mi. Makanya Alzam belum bisa telpon. Iin tadi baru mau telpon, sudah keduluan Abi.""Ghak apa, Nak, kalau kamu memang sibuk.
"Meminta apa, Mas?" tanya Lani dengan bergegas masuk ke kamarnya. Namun tangannya kemudian ditarik Alzam."Mulai sekarang, kamarmu di kamarku, jadi jangan ke sana lagi." Alzam mengurungkan apa yang ingi dimintanya pada Lani."Tapi barangku, Mas,..""Barang kamu juga sudah Ibu pindahkan, Lani. Ibu harap Mas Alzam benar mewujudkan janjinya untuk memperjuangkan pernikahan kalian," sahut Mbok Sarem."Ibu beresin kamar itu?""Iya. Ini spreinya sudah au Ibu gantikan dengan yang baru.""Ibu,.. kenapa ghak ngomong duluh sama Lani," rengek Lani."Apa kamu ghak suka di kamarku? Sini," Alzam sudah menggendong Lani dan dibawa masuk ke kamarnya.Sarem yang melihat kelakuan keduanya hanya menyunggingkan senyum. Terlebih setelah Alzam menutup pintunya."Mas, ini apaan sih, kok maksa gini. Aku enakan di kamar aku aja, Mas. Kamar kamu kayak rumah. Los banget.""Enakan kayak gini, loos banget, bener katamu. Kita bisa di manapun kalau pingin. Mau dicoba nanti malam?" bisik Alzam yang segera dapat taboka
"Pak, saya mohon,.." Alzam sampai mengatupkan kedua tangannya."Maaf, Pak. Itu kejadiaannya memang darurat saat Lani sakit dan Mas Alzam merawat Lani.""Maafkan saya, Pak. Terlepas dari semuanya, saya memang mencintai Lani. Dan saya akan menikahinya resmi. Hanya semuanya butuh proses." Alzam sampai bersimpuh di dekat kaki bapaknya Lani yang membuat pria itu bergeser dengan tak enak hati."Kenapa kamu sampai bersimpu? Bangunlah!" Bapak Lani memegang pundak Alzam untuk duduk di sampingnya."Saya mohon maaf melangkahi Bapak.""Asal kamu tidak hanya bermaksud mempermainkan anak saya dengan pernikahan seperti itu, saya akan terima. Bagaimanapun posisi anak saya rentan jika terjadi apa-apa. Saya memang orang bodoh, tapi saya tau itu tak mungkin tidak mendudukkan Lani dalam posisis sulit jika memiliki anak sementara nikahnya hanya siri.""Saya mengerti itu, Pak.""Lalu apa rencana kalian?" "Saya akan usahakan Lani bisa meraih ijazah SMA duluh, baru setelah itu dia sekolah kembali, sambil sa
Di luar begitu gelap. Tak ada bintang yang terlihat. Dengan mengendap Lani berjalan melewati belakang rumah , menyusuri belukar hinggah jatuh berkali-kali. Pedih dan perih tak lagi dia rasakan."Ya, Allah, beri aku kekuatan untuk keluar dari semua ini," untaian do'a terus dipanjatkan Lani. Kakinya sudah banyak mengeluarkan darah saat dia menyusuri semak-semak."Aww!" Lani meringis saat duri menancap di kakinya. Segera dia lepaskan duri itu dan dia kembali berlari dengan tertatih."Ini ke mana ujungnya, ya Allah?" Lani merasa tidak kuat lagi, terlebih dengan kerongkongannya yang terasa kering. Dia lalu menggapai air di aliran air yang kini terhampar di depannya. Meminumnya untuk mengeluarkan dahaga yang menyerangnya."Hey, wanita sialan, mau lari ke mana kamu?"Lani sontak menoleh dengan teriakan dari kejauhan. Dua lelaki itu kini bahkan mengejarnya."Ya, Allah, tolong aku! Tolong aku! Izinkan aku keluar dari kejaran mereka." Dengan bingung Lani segera menceburkan diri ke aliran air ya
"Jika nanti kamu sembuh, aku bisa menjatuhkan talak untukmu. Dan kamu bisa pergi seperti kemauanmu." Alzam masih menerangkan maksudnya. Dia mendengar dari cerita Mbok Sarem kapan hari kalau Lani rajin minum obat dan rajin makan walau mulutnya pahit, dengan mengatakan kalau dia ingin segera sembuh dan pergi.Lani menggeleng kuat."Kita hanya menikah sirih, disaksikan pak kyai.""Aku sudah pernah menyetujui pernikahan siri yang berujung dengan kesengsaraanku seperti ini, kenapa aku harus terjun kembali?"tanya Lani dengan menatap pria yang kini ada di hadapannya. "apalagi denganmu, orang yang mengingatkanku pada orang yang paling aku benci di dunia."" Ini hanya untuk membuat kita menjadi muhrim, sementara sampai kamu kuat kembali dan aku bisa melepasmu." Perkataan Alzam agak meninggi melihat sikap Lani."Tidak, aku tidak ingin lagi terlibat dalam masalah," tekat Lani dengan terus menggigil. Giginya kembali gemertak."Entah apa masalahmu kepadaku sampai kamu seolah membenciku. Nama saja
"Lupakan! Ayo, kita ke ruang rapat sekarang. Katanya mau ada operasi khusus."Dandi hanya diam sambil berjalan mengikuti Alzam. Dia sedikit heran dengan arah pembicaran Alzam. Terlebih saat Alzam begitu terlihat menghawatirkan Lani."Maaf, ini agak sakit." Dandi mengambil sampel darah.Lani hanya memandang jarum itu menghisap darahnya. Padahal Alzam malah memalingkan pandangannya seolah tak tega."Aku sudah kebal dengan rasa sakit sejak aku lari dari orang-orang biadab itu, dan tidak lagi merasakan duri yang menancap di kakiku.""Bagaimana kejadiannya hinggah kamu mengalami hal seperti itu?" "Aku hendak pulang ke desa, ada dua orang mencegatku, dan membekamku. Sepertinya mereka suruan seseorang melihat segala macam yang mereka ungkapkan dan laporkan.""Kamu tau orangnya, kenapa dia sampai berniat buruk padamu?"Lani menggeleng."Kamu punya musuh?""Apa mungkin dia tega melakukan itu," gumannya."Dia siapa?""Ini memang salahku, aku menyetujui menikah siri dengan suami orang hanya k