"Pak, saya mohon,.." Alzam sampai mengatupkan kedua tangannya."Maaf, Pak. Itu kejadiaannya memang darurat saat Lani sakit dan Mas Alzam merawat Lani.""Maafkan saya, Pak. Terlepas dari semuanya, saya memang mencintai Lani. Dan saya akan menikahinya resmi. Hanya semuanya butuh proses." Alzam sampai bersimpuh di dekat kaki bapaknya Lani yang membuat pria itu bergeser dengan tak enak hati."Kenapa kamu sampai bersimpu? Bangunlah!" Bapak Lani memegang pundak Alzam untuk duduk di sampingnya."Saya mohon maaf melangkahi Bapak.""Asal kamu tidak hanya bermaksud mempermainkan anak saya dengan pernikahan seperti itu, saya akan terima. Bagaimanapun posisi anak saya rentan jika terjadi apa-apa. Saya memang orang bodoh, tapi saya tau itu tak mungkin tidak mendudukkan Lani dalam posisis sulit jika memiliki anak sementara nikahnya hanya siri.""Saya mengerti itu, Pak.""Lalu apa rencana kalian?" "Saya akan usahakan Lani bisa meraih ijazah SMA duluh, baru setelah itu dia sekolah kembali, sambil sa
Alzam dan Lani yang telah sepakat merahasiakan perkawinan mereka, dengan seketika berusaha menjauh. Alzam pun tak lagi memeluk pinggang Lani. Demikian juga Lani yang tadi tangannya juga melingkar di pinggang Alzam.Mereka pun menengok suara yang baru saja menyapanya."Dandi, buset kamu ngageti orang saja." Tinju Alzam pun melayang ke arah Dandi yang sudah terkekeh di belakang dia. Dengan sigap, tinju ditangkis Dandi."Lagi ngapain?" "Ini, Lani daftar kuliah di sini.""Lani kuliah?" tanya Dandi dengan heran. Di sampingnya seorang gadis tengah tersenyum menyapa."Iya, baru juga daftar." Alzam lalu melihat ke gadis berhijab yang bersama dengan Dandi. "Dia siapa? Ghak dikenalin ya?""Dia Hanum, juga mahasiswi di sini."Hanum lalu menyalami Lani dan mengatupkan kedua tangannya di dada untuk Alzam."Dia siapa?" bisik Alzam."Masih pedekate. Ketemuanya juga di komplek ini saat aku pulang kantor mampir makan, kebetulan dia makan di sana," bisik Dandi pula."Ei, lagi bahas aku ya?" Hanum meras
"Hm, begini," ucap Alzam ragu. "Sayang, kalau besuk aku bersama Mbok Sarem pergi, kamu jangan tersinggung, ya.""Memangnya kenapa, Mas kok gharus tersinggung?""Adikku menikah. Aku belum bisa mengenalkanmu ke keluargaku. Kamu yang sabar ya. Dan sekali lagi, kamu jangan tersinggung. Semua ini kita lakukan dengan pelan.""Aku selama ini tidak pernah berharap, Mas. Tapi kamu yang telah memberiku kesempatan ini. Aku akan selalu percaya, tiap apa yang kaulakukan adalah demi kebaikan kita." "Terimakasih. Kita hanya menunggu waktu."Pagi sekali, akhirnya Alzam bersama Mbok Sarem pergi ke kota, ke rumah orang tua Alzam yang dari pagi mulai nikahnya dan malamnya akan diadakan resepsi di gedung."Jaga diri baik-baik, Lani!""Tenang, Mas. aku kan bersama Mbak Tia di sini. Tia adalah asisten Lani yang kini juga membantunya di gudang. Dia anak baru lulus SMA, anak desa Alzam yang baru beberapa hari hari diajak Lani bekerja membantunya.Usaha Alzam yang sejak dipegang Lani makin berkembang memang
Sejenak senyum Alzam hilang ditelan gadis yang kini tengah berdiri menatapnya dengan tersenyum. Tubuhnya tinggi semampai nampak anggun dengan rok dan hijab modisnya."Apa kabar Agna? Senang kamu bisa menyempatkan datang," sambut Salma dengan merangkul Agna dan kedua orang itu pun cipika cipiku seperti biasanya jika ketemu. "Maaf, Ummi, agak telat. ini juga aku longgar-longgarin. Udah pas hari Sabtu juga ada aja acara yang digelar partai," ucapnya lalu menatap Alzam dengan penuh percaya diri.“Ghak apa, Ummi ngerti sebagi tenaga legislatif muda kamu memang banyak acara. Ini kamu sempatin ajakan ummi, ummi sudah senang.”"Kamu juga baru nyampek?" tanyanya ke Alzam."Heem," sahut Alzam malas. Lalu duduk di sebelah kedua nenek kakeknya.“Ayo ummi antar kamu ke kamar Alzam,, biar kamu dirias di sana,”"Ummi, kenapa ghak di kamar tamu saja kayak yang lain?" tanya Alzam protes. dia memang bingung kalau nanti apa-apa di kamarnya dan ada Agna.“Memangnya kenapa? Toh dia calon kamu. Kalian juga
"Ummi, .." Alzam merangkul umminya. Berusaha menguatkannya. Wanita itu pun menangis sesenggukan.“Kenapa masmu begitu cepat pergi hinggah dia tak dapat menyaksikan semua ini?” ucapnya kemudian.“Ummi jangan lagi memikirkannya. Dia sudah tenang di sana," hibur Alzam.“Dia bahkan tak dapat merasakan bagaimana indahnya menjadi pengantin. Semua ini gara-gara gadis desa itu. ”“Ummi, kenapa Ummi menyalahkan gadis itu terus? Mas hanya tak belum menemukan jodohnya.”“Aku tidak akan mengampuninya jika ketemu dengannya.”“Jangan berkata begitu, Mi. Kita bahkan tidak tau ada apa dengan mereka. Mas tak pernah bercerita apapun tentang gadis itu. Dia hanya menyimpan foto-fotonya dan mengatakan ”Maaf!" Lebih dari itu kita tidak pernah tau ada apa sebenarnya."“Bisa jadi gadis itu yang membuat masmu tidak mau menikah dengan siapapun dan hanya memikirkannya. Entah apa yang telah diperbuat gadis itu sampai masmu begitu menyimpannya sampai akhir hidupnya. Hinggah kecelakaan itu terjadi, dan masmu,.."“
“Saya tau, kita harus membahasnya, karena kita juga tidak pasti kapan bisa punya waktu luang dan bertemu. Maaf jika selama ini Alzam masih belum bisa memberi kepastian.”“Sebenarnya sih ghak apa-apa, Pak. Asal anak kita salin mendekat. Setidaknya biar mereka salin mengenal terlebih dahulu.”Thoriq menarik nafas lega. Baru saja dia merasakan hal yang perih saat mengenang Madan dengan melihat kebahagiaan Elmi, bagaimana bisa jika sekarang kembali dia dihadapkan dengan masalah pernikahan Alzam?"Kita ngobrol sambil mencicipi hidangan, sekalian kita biar mendekat dengan Alzam yang di sana," ajak Salma. Kedua orang tua Alzam segera menatap sudut, dimana di sana dia memang melihat pemuda tinggi tampan berbaju batik lengan panjang dengan sorot mata coklat lembutnya tengah berbincang dengan sesekali menyunggingkan senyumnya, termasuk dengan mengajak mereka tersenyum tadi. Dia amat tampan dengan bentuk tubuhnya yang proporsional itu, cocok sekali dengan Agna, pikir Sandra.Sementara di sudut,
"Beri saya waktu, Tante. Sepertinya dengan kejadian yang menimpa dengan mas saya belum lama ini, membuat saya kembali tak dapat mengambil keputusan pasti. Ini saja kalau bukan karena Elmi sudah ditentukan tanggalnya dan kata pihak lelaki akan ghak gampang untuk mencari hari lain lagi di tahun ini, kita ghak akan teruskan." Alzam berusaha mencari alasan untuk mengulur waktu. "Tapi kamu ghak harus berkorban untuk peristiwa ini, Alzam, jika kamu ingin meluruskan hubungan kalian." Thoriq emmberi nasehat. Nasehat yang justru membebani Alzam."Kamu sudah duapuluh tujuh tahun, Alzam. Sudah pantas menikah, nunggu apa lagi?" ucap Salma yang malah memojokkan Alzam."Mi, ..Ummi ghak tau gimana hidup seorang prajurit. Terlebih Agna masihlah muda. Apa dia siap dengan kehidupan yang kelak kami jalani. Belum lagi kalau aku harus dipindahtugaskan ke daerah terpencil. Sedangkan Agna masih senang-senangnya sekarang ini di partai. Barusan saja saya juga dari daerah konflik dan itu ada kemungkinan kami
"Alzam, rupanya kamu sedang di sini. aku mencarimu dari siang tadi," sapa seorang pemuda yang tba-tiba saja menerobos duduk diantara Alzam dengan Agna di depan gedung.Sejenak Alzam dan Agna salin tatap. Apa yang mereka bicarakan, di tengah jalan tak lagi bisa dibahas, padahal Agna sudah merasa senang Alzam mau mendekatinya dan mengajaknya ngobrol tentang mereka. Bagi Agna, setelah sekian lamanya Alzam hanya mendiamkannya, hari inilah saatnya mereka bicara, meluruskan maksud mereka, walau kata-kata Alzam baru saja yang dia dengar, terkesan amat membuat Agna kecewa. Dia telah pernah bersama wanita lain? pertanyaan itu seolah ingin diungkap Agna maksudnya. Apakah dia jika bertugas di daerah merasa kesepiaan dan butuh hiburan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya dengan tidur bersama wanita? Sejenak Agna menatap Alzam yang kini masih berpelukan dengan Arhand. Rasanya dia tak percaya jika pemuda tampan yang membuatnya kerap menghayalkannya bisa berjalan dengannya itu melakukan hal yang di
"Mir, bayi Alzam gimana?" tanya Rey begitu Mira mengangkat telpon.Mira menahan sendok yang hendak masuk ke mulutnya. Suara Rey terdengar datar, tapi ada sesuatu di balik nada itu."Telpon itu bilang salam duluh kek, ngak langsung gini."Rey terkekeh. "O iya, lupa. Assalamualaikum, Cayangku!""Hm, manis sekali ujungnya.""Tuh, nggak jawab salam malah bilang begitu.""Iya, sampai lupa juga denger terakhirnya." Mira menatap Mbok Sarem yang makan bersamanya. "Walaikumussalam, Raksasa Darat!""Tuh, kan, nggak enak didengernya. Aku bilang Cayang, kamu bales gitu.""Habisnya aku sebel ingat kamu kalau bilang cayang begitu.""Kenapa? Ingat tatapan mesraku ya?""Ingat tatapanmu yang membuatku takut.""Kok takut?"Mira menyimpan senyumnya. Takut jadi makin sayang kamu, Rey, bathinnya. Walau Rey tidak tampan, entah kenapa Mira suka senyumnya yang kharismatik dan penuh ketulusan."Hey, pertanyaanku belum kamu jawab ya?""Yang mana?""Itu tentang bayi Alzam.""Masih di rumah sakit. Tadi sore Lani
Malam turun perlahan, membawa keheningan yang diselingi suara binatang malam. Lani berbaring gelisah, tangannya menekan dada yang mulai terasa panas dan kencang. Napasnya tak beraturan, keringat dingin membasahi pelipis."Bulek, badannya panas dingin." Mira berbisik pada Towirah yang masih sibuk mencatat siapa saja yang datang tilik bayi.Towirah mengangkat wajah. "Sudah minum obatnya tadi?"Lani menggeleng pelan. "Nggak ada hubungannya, Bu. Ini cuma karena asi terlalu deras."Towirah menatapnya dalam-dalam. Ia tahu anaknya selalu punya asi yang berlimpah. Sejak hamil, Lani rajin minum kuah kacang hijau yang direbus lama, membuat tubuhnya terbiasa menghasilkan asi lebih banyak. Tapi kali ini, situasinya berbeda. Bayinya tak ada, sedangkan tubuhnya tetap memproduksi asi seperti biasa.Mira menatap Lani dengan raut bingung. "Kenapa nggak dipompa aja, Lani?"Lani menutup matanya sebentar, mencoba menahan nyeri yang semakin menusuk. "Nggak kepikiran beli pompa asi waktu beli perlengkapan b
Pagi itu, embun masih menggantung di ujung daun ketika Senja mengayuh sepedanya melewati jalan desa. Udara segar mengisi paru-parunya, membawa aroma khas sawah yang luas membentang. Roda sepeda berdecit pelan saat ia mengerem di depan rumah yang sudah lama tak disinggahinya.Pintu kayu terbuka, dan dari dalam, seorang gadis kecil dengan kerudung ungu berlari keluar. Wajahnya berbinar, lalu tanpa ragu, dia memeluk Senja erat.“Senja!”Tawa renyah mereka bercampur, membawa kembali kenangan lama.“Kamu tambah tinggi!” seru Azra, matanya penuh rasa ingin tahu.“Ah, biasa aja! Kamu juga tambah cantik,” balas Senja.Azra tertawa kecil, lalu menarik tangan sahabatnya masuk ke dalam rumah. Mereka langsung duduk di beranda, seperti dulu saat mereka menghabiskan sore dengan menghafal ayat-ayat pendek.“Gimana sekolah di kota? Seru nggak?” tanya Azra sambil merangkul sahabatnya itu.Senja meletakkan tangan sahabatnya sebelum menjawab. “Seru, tapi beda banget sama di sini. Semua serba internet.
Langit masih gelap ketika Alzam menggoyang pelan bahu Senja. "Ayo bangun, nanti keburu sholat Subuh datang," suaranya lembut, tapi cukup tegas.Senja menggeliat pelan di atas sofa kecil yang disediakan di kamar rumah sakit. Kelopak matanya masih berat, tapi suara Alzam membuatnya berusaha sadar sepenuhnya. Dengan mata yang masih setengah terpejam, dia mendengus kecil."Lima menit lagi..." gumamnya sambil menarik selimut.Alzam tersenyum kecil, lalu menepuk bahu anak tiri sekaligus keponakannya itu, sekali lagi. "Nanti kesiangan. Kakak mau belikan buat sahur. Kamu mau apa? "Senja yang tadinya malas-malasan langsung membuka mata. "Bubur ayam, tapi jangan pakai seledri!" katanya cepat."Oke, nanti Kakak carikan. Tapi sekarang, ayo bangun."Dengan sedikit ogah-ogahan, Senja akhirnya bangkit. Setelah wudhu, dia sholat tahajut di sebelah Alzam. Suasana di kamar rumah sakit masih sepi. Hanya terdengar suara lembut lantunan doa dari bibir mereka. "Jangan tidur lagi, sebentar lagi Kakak be
"Adik, jangan lama-lama, ya," suara suster terdengar lembut namun tegas.Senja tersentak, menoleh ke arah suster yang berdiri di dekat pintu. Tatapan wanita paruh baya itu ramah, tapi tetap mengandung peringatan.Ia menatap lagi ke inkubator, ke bayi mungil yang masih tertidur nyenyak, lalu mengangguk kecil. "Iya, Suster."Tangannya yang semula menempel di kaca perlahan turun. Ia beranjak pergi, tapi langkahnya tak menuju ruang perawatan Lani. Ia berjalan lurus melewati lorong rumah sakit yang terasa sepi, lalu ke arah taman kecil di belakang gedung.Duduk di bangku kayu, Senja menghela napas panjang. Kepalanya terasa penuh.Kenapa semuanya tiba-tiba jadi begini?Beberapa bulan terakhir, ia tinggal di rumah Thoriq, kakeknya, dan sudah merasa nyaman. Elmi, adik Alzam, memperlakukannya seperti anak sendiri. Kemana-mana mereka selalu berdua. Bahkan Aksa, suami Elmi, juga seperti sosok ayah baginya.Tapi di sisi lain, Lani.Ibunya.Mereka sering menghabiskan waktu berdua hanya untuk ngobr
Kinan masih berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah Agna yang berdiri dengan wajah tanpa ekspresi."Kamu pikir aku nggak tahu apa yang kamu lakukan?" suara Kinan rendah, tapi tajam.Agna menarik napas, berusaha tenang. "Aku nggak ngerti maksudmu.""Jangan pura-pura bodoh," Kinan melangkah lebih dekat. "Selama ini kamu selalu bersembunyi di balik topeng baik-baik, tapi kenyataannya? Kamu selingkuh di belakang suamimu. Untung juga Alzam nggak cinta sama kamu. Kalau cinta, bisa hancur rumah tangga."Pak Bara menghela napas, tak tahu harus bagaimana menghentikan Kinan. "Aku nggak pernah bermaksud menyakiti siapa pun," Agna akhirnya bicara. "Justru karena dia nggak cinta sama aku, hinggah aku,.."Kinan tertawa sinis. "Itu bukan alasan untuk orang selingkuh."Agna menegang."Semua ini memang salahku. Aku yang menyebabkan Agna melakukan semua itu. Jadi tolong, berhentilah menghinanya." Akhirnya Arhand angkat bicara.Air mata sudah menggenang di pip Agna.Pak Bara akhirnya melangkah men
Langkah Arhand melambat saat mendekati mobil. Agna, yang berada di sisinya, juga ikut berhenti. Mereka saling bertukar pandang sebelum akhirnya menoleh ke belakang."Mami, Papi duluan aja. Kita masih mau mampir ke ruangan Alzam," ujar Agna, suaranya datar, tapi ada sedikit ketegangan di sana. Merela tau, Sandra tidak akan tinggal diam dengan pemitan mereka.Benar saja, Sandra mendengus, seolah tidak senang dengan keputusan itu. "Buat apa? Mereka pasti sibuk sama bayinya. Ngapain juga kalian ke sana? Merepotkan diri saja," gerutunya."Kita cuma mau pamit," Arhand menimpali. "Sebentar aja."Arya, yang berdiri di sisi Sandra, hanya melirik sekilas. "Iya, Hand, dia saudaramu. Sudah sewajarnya kamu harus pamit padanya. Cepatlah kalau memang itu maumu. Kami bisa duluan pulang."Tanpa menunggu lebih lama, Arhand menggenggam tangan Agna, membawanya melangkah menuju ruang perawatan Lani. Namun, saat mereka tiba di sana, tempat itu kosong. Tidak ada Lani, tidak ada Alzam.Agna mengerutkan kening
Di ruang tunggu rumah sakit, Agna bersandar pada kursi dengan wajah yang sulit suram. Sesekali, kakinya bergerak gelisah, sementara matanya melirik ke arah pintu, menunggu orang yang kini ke ruang administrasi. Arhand masih di dalam, mengurus segala urusan sebelum mereka bisa pulang.Di sebelahnya, Sandra tak henti-henti berbicara."Jadi, Lani akhirnya nggak dapat donor dari Arhand?"Nada suaranya penuh dengan penekanan, seolah ingin memastikan semua orang tahu betapa anehnya keputusan itu.Agna mendengus pelan. Ia melirik Sandra, lalu menoleh ke Arya yang duduk di seberangnya. Dari tadi tingkah maminya begitu membuatnya sebal."Mi, ini sudah bolak-balik dibahas," ucap Agna akhirnya, mencoba menahan kesal."Tapi aneh, kan?" Sandra masih bersikeras. "Masak Arhand, yang katanya peduli, nggak jadi donor? Ada apa sebenarnya? Atau jangan-jangan—""Mi. Sudah ada temannya Mas Alzam yang tiba lebih duluh."Arya memotong cepat. Wajahnya tetap tenang, tapi intonasi suaranya sedikit menekan."K
Rey dan Mira duduk di taman rumah sakit, memperhatikan orang-orang yang berjalan menuju ruang bayi yang tak jauh dari pandangannya, walau di sebrang mereka duduk. Mira ikut menatap ke arah yang sama, tangannya masih menggenggam botol air mineral yang tadi ia beli di kantin rumah sakit."Kita kok belum lihat ke sana. Masih di sini saja?""Jangan ke sana.""Memang kenapa? Aku kan juga pingin lihat gimana rupa bayinya Lani sama Alzam itu," guman Mira."Ntar kamu jadi segera pingin punya anak, padahal kita kan belum waktunya itu,..." Rey terkekeh."Ih, pikiran kamu ngeres." Mira bahkan sempat bergidik saat selintas terbayang Rey sebesar itu mendekatinya."Tuh kan, bayangin aku," gurau Rey.Lagi-lagi Mira bergidik. "Amit-amit deh bayangin kamu, Rey. Yang ada malah aku sawanan. Kamu sebesar itu."Rey terkekeh. Namun dia kemudian terdiam."Lihat, siapa yang datang," gumam Rey pelan.Mira mengernyit. "Siapa?"Sebelum Rey menjawab, seorang lelaki melangkah pelan menuju tempat wudhu di musholla