"Beri saya waktu, Tante. Sepertinya dengan kejadian yang menimpa dengan mas saya belum lama ini, membuat saya kembali tak dapat mengambil keputusan pasti. Ini saja kalau bukan karena Elmi sudah ditentukan tanggalnya dan kata pihak lelaki akan ghak gampang untuk mencari hari lain lagi di tahun ini, kita ghak akan teruskan." Alzam berusaha mencari alasan untuk mengulur waktu. "Tapi kamu ghak harus berkorban untuk peristiwa ini, Alzam, jika kamu ingin meluruskan hubungan kalian." Thoriq emmberi nasehat. Nasehat yang justru membebani Alzam."Kamu sudah duapuluh tujuh tahun, Alzam. Sudah pantas menikah, nunggu apa lagi?" ucap Salma yang malah memojokkan Alzam."Mi, ..Ummi ghak tau gimana hidup seorang prajurit. Terlebih Agna masihlah muda. Apa dia siap dengan kehidupan yang kelak kami jalani. Belum lagi kalau aku harus dipindahtugaskan ke daerah terpencil. Sedangkan Agna masih senang-senangnya sekarang ini di partai. Barusan saja saya juga dari daerah konflik dan itu ada kemungkinan kami
"Alzam, rupanya kamu sedang di sini. aku mencarimu dari siang tadi," sapa seorang pemuda yang tba-tiba saja menerobos duduk diantara Alzam dengan Agna di depan gedung.Sejenak Alzam dan Agna salin tatap. Apa yang mereka bicarakan, di tengah jalan tak lagi bisa dibahas, padahal Agna sudah merasa senang Alzam mau mendekatinya dan mengajaknya ngobrol tentang mereka. Bagi Agna, setelah sekian lamanya Alzam hanya mendiamkannya, hari inilah saatnya mereka bicara, meluruskan maksud mereka, walau kata-kata Alzam baru saja yang dia dengar, terkesan amat membuat Agna kecewa. Dia telah pernah bersama wanita lain? pertanyaan itu seolah ingin diungkap Agna maksudnya. Apakah dia jika bertugas di daerah merasa kesepiaan dan butuh hiburan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya dengan tidur bersama wanita? Sejenak Agna menatap Alzam yang kini masih berpelukan dengan Arhand. Rasanya dia tak percaya jika pemuda tampan yang membuatnya kerap menghayalkannya bisa berjalan dengannya itu melakukan hal yang di
"Mas,.." Mbok Sarem yang sedari tadi diam khawatir, "saya permisi duluh, lupa mau manasi makanan ini untuk makan kita nanti. Ibu yang tadi memberikannya." Dengan pura-pura, nylonong di depan mereka dengan menunduk. Alzam dan Lani sampai salin pandang gara-gara Alzam yang mau keceplosan ngomong. Untunglah Mbok Sarem tanggap. "Saya pegawai yang mengelola usaha Mas Alzam, Omah," ujarnya dengan tenang, namun menyadari posisinya saat ini. Alzam menelan ludah, tak enak hati melihat Lani berada dalam posisi itu di depan keluarganya."Kamu tinggal di sini?" tanya Omah dengan pandangan penuh selidik, menatap Lani seolah mencari tahu lebih dalam."Iya, Omah. Rumah saya cukup jauh," jawab Lani sopan, berusaha menjaga agar semuanya terlihat normal."Senang bertemu denganmu," sahut Arhand, yang sedari tadi menatap Lani dengan kagum. Ia mengulurkan tangan, dan Lani menyambutnya dengan senyum ramah. Namun, tangan Arhand tak kunjung ia lepaskan, sampai membuat Alzam tak nyaman. Ia segera menarik t
"Tante, ayo sarapan, ini aku buat penyetan mujaer." Bau terasi menguar harum dari dapur, membuat Manda penasaran dan mencarinya. Sampai di dapur dia sudah disambut dengan senyum Lani dan menawarinya makan pagi."Wah, baunya seperti enak sekali, siapa yang masak?" tanya Manda dengan menajamkan penciumannya."Lani Mbak Manda," ucap Mbok Sarem."Dia paling enak kalau bikin penyetan, jadi saya suruh dia bikinkan, biar Mbak Manda di sini pernah rasain masakan dia.""Ternyata selain kamu cantik dan pintar, kamu pandai masak juga. Beruntung sekali yang akan mendapatkan kamu kelak.""Tante bisa saja," ujar Lani malu dengan masih mengupas timun, sementara Manda duduk dengan memperhatikannya. Wanita muda di depannya itu telah mencuri hatinya sejak kemarin dengan segala kelembutannya juga sopan santunnya, terlebih dengan telaten ngobrol dan memapah ibunya. Kekagumannya makin bertambah saat Arhan menceritakan kepandaiannya dalam mengolah usaha juga bergaulnya dengan masyarakat yang kebetulan men
Alam menatap Arhand dengan ragu untuk meneruskan kata-katanya."Dengar Arhand, kamu tak mengerti sutu hal. Kuharap kamu bisa menjaga rahasia ini agar tak bocor ke keluarga kita." Alzam belum berani berterus terang soal pernikahan mereka."Maksudmu apa? Apa aku sekarang tak lagi mengenalimu? Bagaimanapun di keluarga kita, kita menjaga hal yang tak baik, Alzam. Apalagi yang berhubungan dengan pergaulan lain jenis. Apa kamu telah mengabaikannya dengan menyimpan wanita itu di rumahmu? Aku sayangkan, padahal, kemarin aku begitu mengagumi gadis itu yang pandai dalam mengolah usahamu dan pikirannya yang cemerlang tentang dunia usaha. Ternyata dia hanya gadis murahan yang menjajakan dirinya untuk orang kaya sepertimu."Plak!Tamparan keras ditujukan Alzam untuk Arhan yang mulutnya tak mau berhenti. Arhan sampai memegangi mulutnya yang terasa asin. Sepertinya ada darah di bibirnya akibat tamparan Alzam yang keras."Berhenti mengatakan Lani seperti itu. Dia wanita terhormat. Bukan seperti tuduh
“Dia,…” Arhand menatap Lani yang tengah menatapnya. Rasa tak percaya terpancar dari wajah cantik dan polos itu, mata Lani menyimpan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Bayangan kejadian semalam menghantui pikiran Arhand, mengganjal di tenggorokannya, membuatnya ragu untuk melanjutkan ucapannya.“Dia kenapa?” Manda berbisik, mencondongkan tubuh ke arah Arhand. “Mama lihat sendiri, dia itu wanita idaman banget!”“Ya, terserah Mama deh,” Arhand menjawab dengan nada datar, tatapannya masih tak lepas dari Lani, yang sekarang terlihat semakin bimbang.“Kok begitu?” gumam Manda.Di luar kamar Alzam, Mbok Sarem mengetuk pintu dengan lembut. “Mas, ayo makan. Sudah ditunggu Oma dan yang lain,” katanya sambil menggeser pintu sedikit, melihat Alzam berdiri di baliknya dengan wajah muram, berseragam lengkap Angkatan Darat.Alzam menarik napas panjang, menatap bayangannya sendiri yang memantul dari cermin kecil di samping pintu. “Saya bingung, Mbok,” ucapnya perlahan. “Baru saja saya menampar Ar
Satu jam berlalu sudah. Alzam masih duduk gelisah, memandangi pintu kafe dengan harapan, tapi orang yang ditunggunya belum juga datang. Dalam hati, dia berusaha menyabarkan diri, tapi sedikit demi sedikit kesabarannya terkikis. Tiba-tiba, suara langkah ringan menyentak perhatiannya. Dia menoleh, dan menemukan Lani, wanita yang diam-diam memenuhi ruang hatinya, sedang berdiri di sana dengan senyum tipis."Kenapa makan di sini, Mas? Biasanya kan nggak pernah," tanya Lani, alisnya sedikit terangkat, menyiratkan rasa heran. Alzam tahu, kafe ini bukanlah tempat mereka biasanya bertemu. Dia sudah terlalu sadar akan tatapan-tatapan yang kadang hadir di sekitarnya—terutama dari rekan-rekan dinasnya yang suka mampir ke kafe dekat kampus ini.Dia merapikan napasnya. "Aku janjian sama Arhan di sini," jawabnya pendek. Namun, sebenarnya, jawaban itu terasa kosong, seolah menyembunyikan sesuatu yang ingin lebih banyak diungkapkan. Tatapan matanya ingin sekali memeluk Lani, sekadar mencari ketenanga
"Maksudnya?" tanya Agna, alisnya terangkat penuh tanda tanya pada Arhan yang baru saja melontarkan pernyataan mengejutkan.Arhan menyeringai, setengah menyelidik. "Kamu suka make-up, kan?"Agna mengangguk, mengelus permukaan halus pipinya seolah memeriksa sisa bedak yang melekat. "Iya, rasanya nggak pede aja kalau tanpa make-up.""Wah, sayang sekali. Soalnya, Alzam itu lebih suka gadis yang tampil polos, wajah alami khas Indonesia. Bukan yang bermake-up tebal," ucap Arhan, matanya menerawang sejenak. Bayangan Lani melintas di benaknya - wajah bersih tanpa polesan, bibir mungil yang ranum alami. Arhan terdiam sesaat, memikirkan daya tarik yang memikatnya sejak pandangan pertama. Wanita apa adanya, tanpa topeng.Agna tertawa kecil, nada suaranya sedikit skeptis. "Baru tahu. Kupikir setiap pria pasti suka cewek yang rapi, harum, dan bermake-up."Arhan mengangkat bahu, mencoba menutupi senyumnya. "Memang begitulah dia, aneh kalau kata orang. Tapi itulah Alzam," katanya, merasa getir. Tak
Hari itu terasa berbeda bagi Lani. Matahari pagi menyinari bangunan pabrik sederhana di samping ladang ladang jeruk. Papan nama sederhana bertuliskan "Daulani Food Processing" berdiri kokoh di depan dengan masih diselimuti kain putih tebal. Tak ada kemewahan, hanya tenda kecil di halaman depan dan beberapa kursi plastik yang sudah diatur rapi, menyatu dengan gudang jeruk yang dijadikan tempat para undangan.Pekerja-pekerja baru mulai berdatangan, satu per satu. Sebagian besar mereka adalah warga sekitar yang rata-rata mereka baru lulus sekolah atau sudah lama tidak sekolah dan tidak ada pekerjaan. Hari itu, wajah mereka dipenuhi harapan baru.Lani mengenakan blouse biru tua dengan jilbab senada. Ia berdiri di depan pintu masuk pabrik bersama Laras, Tia, dan Pak Sajad—rekan-rekannya yang selama ini bekerja keras mempersiapkan segalanya."Semua sudah siap, Mbak Lani?" tanya Pak Sajad sambil mengecek daftar kehadiran pekerja."Alhamdulillah, kayaknya sudah," jawab Lani sambil tersenyum.
"Asik sekali kalian ngobrol, lalu sekarang mau janjian di mana lagi?"Plak! Alzam memegangi pipinya yang terasa panas oleh tamparan Lani. Rasa malu ditahannya saat kebetulan ada orang lewat di dekat kampus itu. Terlebih masih pagi dan banyak mahasiswa, termasuk orang pergi kerja yang lalu lalang."Kamu sudah mulai kembali meragukan karakterku, Mas!"Alzam menunduk. Lagi-lagi karena cemburu dia tak sadar berbuat kekeliruan yang makin memperparah kebencian Lani padanya."Berarti kamu melihat aku sejak datang? Kamu membuntuti aku? Kamu memata-matai aku?""Aku memang membuntutimu. Tapi bukan untuk memata-mataimu. Aku hanya khawatir kamu sakit lagi. Sedangkan kamu tidak mungkin aku ajak bareng.""Iya, aku tau itu. Bahkan sampai kapan pun, kita tak mungkin bareng ke sini, karena di sebelah sana itu kantor istrimu. Dan di sana markasmu. Kamu takut ketauhan ada hubungan denganku.""Berhenti dengan tuduhanmu itu, kamu tau kenapa alasan ini sejak awal."Lani membuang matanya sebal lalu kembali
Lani tiba di gudang dengan langkah tergesa. Suara ketukan palu dan denting logam beradu terdengar jelas, mengisi udara pagi yang penuh kesibukan. Gudang itu hampir selesai direnovasi untuk pembukaan pabrik di sebelahnya minggu nanti. Lani berhenti sejenak, memandang para pekerja yang sibuk, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana."Mabak Lani, sini sebentar," panggil Tia, salah satu pegawainya yang bertanggung jawab menangani perekrutan karyawan baru yang beberapa hari lalu telah dilatih dari orang profesional yang telah didatangkan Alzam.Lani berjalan mendekat, senyum tipis menghiasi wajahnya meski pikirannya masih kacau."Semua pegawai baru sudah terdaftar. Besok mereka sumua ikut dalam pembukaan." Tiyas bertanya sambil menunjukkan daftar nama di tangannya."Baiklah Tia, Atur saja sesuai keinginanmu, yang penting terlihat bagus," ujar Lani sambil melirik daftar itu."Siap, Mbak Lani," jawab Tia singkat."Bagaimana dengan stok bahan baku?" Lani beralih pada Sajad, yang berdiri d
Lani lalu mengatur napasnya yang terengah, berbaring di tempat tidur setelah pemeriksaan sederhana yang dilakukan Dandi. Cahaya dari jendela menyorot wajahnya yang tampak semakin lesu. Dandi duduk di kursi sebelahnya, menunduk seolah mencari kata-kata yang tepat."Kamu tau ini dan kamu menyembunyikannya?" ucap Dandi pelan, matanya menatap Lani dengan cemas. "Kamu hamil, Lani. dan ini bukan hal yang remeh.""Aku tau, tapi apa yang bisa aku perbuat?""Kamu harus jujur pada Alzam."Kata-kata itu menggema di kepala Lani. Sebuah gelombang emosi menerpanya, antara ketakutan, kepasrahan, dan kemarahan. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis. "Mas... jangan beri tahu Mas Alzam. Aku mohon!" Suara Lani sampai bergetar.Dandi terkejut. "Apa maksudmu, Lani? Dia berhak tahu.""Tidak, Mas, agar kekacauan tidak makin parah." Lani berusaha duduk, meskipun tubuhnya lemah. "Aku tidak mau menghancurkan pernikahannya yang sebentar lagi. Dia sudah memilih wanita itu.""Tapi dia hanya mencintaim
Lani duduk di kamarnya sendiri. Tangannya gemetar saat meraih cermin kecil di meja rias. Bayangan dirinya tampak lelah, wajah yang dipenuhi bekas air mata. "Apa yang sudah aku lakukan?" batinnya bergetar. "Kenapa semuanya terasa seperti jebakan yang tak pernah berakhir?"Dia menoleh ke jendela, berharap ada jawaban di luar sana, tetapi hanya ada kesunyian yang dingin. Setetes air mata jatuh. "Aku harus berhenti bergantung pada ilusi. Dielusnya perutnya. Demi kamu,bunda akan kuat jalani semua ini. Seolah bayi yang baru berupa benih itu mendengar apa yang diungkapkan Lani dengan bergolak. Mual pun tak lagi bisa dihindari Lani. dengan berlari Lani ke wastafel."Huek, huek!" Lani memegangi perutnya. Kepalanya pun mendadak pening.Tepat saat itu Alzam masuk. Dengan penuh cemas, dipijitnya tengkuk Lani walau berkali kali Lani mengibaskan tangannya."Jangan keras kepala Lani, aku akan memijit tengkukmu agar lebih baik." Alzam lalu berlari ke kamarnya untuk mengambil minyak kayu putih.Lani b
Agna berdiri di depan rumah Alzam, udara dingin terasa menusuk, tapi kemarahan dalam dirinya cukup membakar segalanya. Tanpa ragu, ia mengetuk pintu beberapa kali dengan kekuatan penuh, membuat suara ketukan terdengar tegas dan tak terbantahkan. Tak lama, Mbok Sarem membuka pintu. Wajahnya menunjukkan keterkejutan dan ketegangan."Mbak Agna?""Mana Lani? Di mana wanita merebut tunangan orang itu?" tanya Agna dengan nada dingin, melangkah masuk tanpa diundang. "Aku ingin bertemu dengannya."Mbok Sarem hanya menghela napas berat. Sebelum ia bisa menjawab, Lani muncul dari ruang tengah. Dia mengenakan pakaian sederhana, tapi wajahnya menunjukkan kepanikan yang tak bisa disembunyikan. Melihat Agna, Lani berhenti di tempat, seolah beku oleh rasa bersalah dan ketakutan."Jadi, kau wanita itu," suara Agna mengalun, penuh ironi.Lani menunduk, tak bisa membalas tatapan penuh amarah itu. "Aku tidak bermaksud menyakitimu...""Jangan berbicara seolah-olah kau korban di sini," potong Agna tajam.
"Siapa wanita itu, apa aku mengenalnya" tanya Agna dengan geram."Kamu sudah mengenalnya. Dia Lani. Kami telah menikah siri beberapa bulan yang lalu.""Jadi kalian menikah? Aku dari duluh sudah merasa heran dengan sikapnya. Dan dugaanku kini terbukti, dia bukan sekedar kerja di sana.""Maaf, aku emmang jatuh cinta padanya sejak pertama menolongnya. Dan pernikahan itu bukan Lani yang mengawali. Dia hanya terpaksa karena sakit parah. Dia juga tidak mengerti kalau aku sudah bertunangan. Jadi tolong jangan menyalahkan dia.""Hm, kamu ternyata yang menyebabkan semuanya jadi rumit, Mas.""Maaf, kamu ytau sendiri pertunangan kita bukanlah kehendak kita.""Kamu sudah terang-terangan mengatakan cinta padanya, Mas." Airmata Agna sudah tak terbendung lagi."Alzam hanya menundukkan kepalanya merasa bersalah.""Kalian telah menikah dan kamu tiba tiba saja mengajakku menikah. Kalian ada masalah dan aku kamu jadikan pelarian?" analisanya lagi dengan menggertakkan giginya."Maafkan aku, Agna," ucap A
Alzam seketika berdiri, menarik tangannya dari kepala Lani. Tubuhnya seakan tak mampu menyangga berat beban yang mengimpit dada. Kata-kata Lani menggema di benaknya, setiap kalimat seperti cambuk yang mengoyak hatinya. "Ceraikan aku." Kalimat itu menghantamnya seperti badai yang tak mampu ia hindari. Ia menatap Lani, berharap ada perubahan di wajah wanita itu. Namun, yang ia lihat hanya luka yang menganga, terlalu dalam untuk disembuhkan dengan kata-kata maaf."Lani..." suara Alzam terdengar lirih, hampir seperti desahan penuh kepedihan. Tangannya gemetar saat mencoba mendekati Lani, namun jarak di antara mereka terasa seperti jurang yang tak terjembatani. "Aku tahu aku telah melakukan kesalahan yang tak termaafkan. Aku tahu aku sudah menghancurkanmu... tetapi aku tidak bisa melepasmu begitu saja. Kamu adalah hidupku. Aku tak bisa hidup tanpa melihatmu ada di dekatku."Lani mengalihkan pandangannya, menyembunyikan air mata yang kembali jatuh. "Kau masih belum mengerti, Mas. Semua ini
Di rumah sakit, Salma menatap wajah mungil Senja yang sedang tidur lelap di tempat tidurnya. Tangannya gemetar ketika menyentuh pipi cucunya yang lembut. Air mata mengalir di wajahnya, bercampur antara rasa haru dan rasa bersalah yang mendalam. Ia merasa waktu berhenti sejenak, seolah seluruh kesedihan dan penyesalan yang meliputi keluarganya tertumpu pada gadis kecil ini."Senja... betapa kecil dan rapuhnya kau," bisik Salma, suaranya nyaris tak terdengar. Matanya beralih ke Towirah yang berdiri di sampingnya, memandang dengan sorot tajam penuh luka."Kami tahu ini tidak akan pernah cukup," ucap Salma, menoleh pada Towirah dan Wagimin. "Tapi kami benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Kami ingin Senja tahu bahwa dia memiliki keluarga yang mencintainya.""Kalian tak bisa menebus semua penderitaan yang anak kami alami."Thoriq yang di sisi Salma menelan ludah, nada bicaranya penuh penyesalan. "Kami tidak bermaksud membenarkan apa yang telah terjadi. Kami datang karena kami ingin menga