Satu jam berlalu sudah. Alzam masih duduk gelisah, memandangi pintu kafe dengan harapan, tapi orang yang ditunggunya belum juga datang. Dalam hati, dia berusaha menyabarkan diri, tapi sedikit demi sedikit kesabarannya terkikis. Tiba-tiba, suara langkah ringan menyentak perhatiannya. Dia menoleh, dan menemukan Lani, wanita yang diam-diam memenuhi ruang hatinya, sedang berdiri di sana dengan senyum tipis."Kenapa makan di sini, Mas? Biasanya kan nggak pernah," tanya Lani, alisnya sedikit terangkat, menyiratkan rasa heran. Alzam tahu, kafe ini bukanlah tempat mereka biasanya bertemu. Dia sudah terlalu sadar akan tatapan-tatapan yang kadang hadir di sekitarnya—terutama dari rekan-rekan dinasnya yang suka mampir ke kafe dekat kampus ini.Dia merapikan napasnya. "Aku janjian sama Arhan di sini," jawabnya pendek. Namun, sebenarnya, jawaban itu terasa kosong, seolah menyembunyikan sesuatu yang ingin lebih banyak diungkapkan. Tatapan matanya ingin sekali memeluk Lani, sekadar mencari ketenanga
"Maksudnya?" tanya Agna, alisnya terangkat penuh tanda tanya pada Arhan yang baru saja melontarkan pernyataan mengejutkan.Arhan menyeringai, setengah menyelidik. "Kamu suka make-up, kan?"Agna mengangguk, mengelus permukaan halus pipinya seolah memeriksa sisa bedak yang melekat. "Iya, rasanya nggak pede aja kalau tanpa make-up.""Wah, sayang sekali. Soalnya, Alzam itu lebih suka gadis yang tampil polos, wajah alami khas Indonesia. Bukan yang bermake-up tebal," ucap Arhan, matanya menerawang sejenak. Bayangan Lani melintas di benaknya - wajah bersih tanpa polesan, bibir mungil yang ranum alami. Arhan terdiam sesaat, memikirkan daya tarik yang memikatnya sejak pandangan pertama. Wanita apa adanya, tanpa topeng.Agna tertawa kecil, nada suaranya sedikit skeptis. "Baru tahu. Kupikir setiap pria pasti suka cewek yang rapi, harum, dan bermake-up."Arhan mengangkat bahu, mencoba menutupi senyumnya. "Memang begitulah dia, aneh kalau kata orang. Tapi itulah Alzam," katanya, merasa getir. Tak
Lani terpaku di tempat. Dilihatnya Alzam yang juga sama-sama terkejut melihat kedatangannya. Mereka bertatapan, tetapi ada kegelisahan di mata Lani yang seketika menelusup ke dalam dadanya, meninggalkan perasaan yang sulit diabaikan."Lani, kamu sudah pulang?" Alzam mencoba berbicara dengan nada yang terdengar tenang, meski tatapannya tak bisa menyembunyikan kebingungan yang membayang.Lani hanya bisa menatap Alzam, pandangannya bergantian antara pria yang selama ini begitu ia percayai dan perempuan di sampingnya. Matanya merayap pada sosok Agna yang tampak begitu nyaman berdiri di samping Alzam, sebuah pemandangan yang membuat hatinya kian gelisah."Kenalkan, Agna. Dia Lani, pegawainya Alzam," ucap Manda yang tersenyum hangat sambil memandang ke arah Lani dan Agna bergantian. Ketenangan di wajah Manda sama sekali tak menyadari badai yang tengah bergolak di hati Lani."Senang berkenalan denganmu. Kamu cantik sekali," ucap Agna tanpa basa-basi, menyampaikan pujiannya sambil mengulurkan
"Kembali, Lani!" Alzam berlari mengejar Lani. Menarik tangannya dan mendekapnya kembali."Lepaskan saya! Lepaskan saya!" Lani berontak. Namun tenaga Alzam yang kuat membuat Lani tak mampu melepaskan diri dan luluh di pelukan Alzam sambil berlinang airmata."Apapun yang terjadi, jangan pernah meninggalkan aku, Lani. Aku mencintaimu dan selamanya akan tetap mencintaimu," ucap Alzam dengan mata yang telah buram membawa Lani ke kamarnya dengan menggendongnya seperti yang selalu dia lakukan saat Lani sakit duluh.Ditidurkannya Lani dengan lembut dan didekapnya kembali. Walau Lani ta berhenti meronta dan menangis."Lepaskan saya, Mas. Lepaskan! kamu telah membohongi saya. Saya seperti orang bodoh kamu perlakukan seperti ini" Lani masih berusaha berontak dan lari hendak keluar.Alzam menarikknya dengan segera mengambil kunci kamar itu setelah menguncinya. Dilemparkannya kuncinya keluar jendela dan ditutupnya jendela kamar yang lebar itu dengan rapat. Lalu ditariknya Lani kembali dan dibawan
"Sayang, ayo bangun, kita belum sholat Ashar," Alzam dengan pelan menepuk-nepuk pipi Lani.Wanita itu membuka matanya dengan mengerjab pelan. "Duh, udah jam segitu Mas, gimana ini?" ujar Lani panik."Yuk, kita mandinya bareng saja," ajak Alzam."Apa? Udah gila ya kamu?""Udah, sini," Alzam segera membopong Lani ke kamar mandi dengan hanya membalut tubuhnya dengan selimut. "Tadi aku juga sudah melihatnya, apa bedanya," ucap Alzam lirih yang langsung dapat tabokan dari Lani. Namun Alzam tidak berhenti dengan gerakan yang membuat Lani bergidik geli."Tuh, kayak gini yang aku takutin. Kita bukannya mandi, kamu malah,.."Alzam terkekeh. "Kita mandi kok ya. sini aku sabunin!"Lani geleng-geleng kepala dan menuruti Alzam yang memandikannya."Tuh, Mas, mukenaku di tas itu, di luar, gimana ini?" Lani dengan bingung mengingat mukenanya yang di luar sementara kuncinya telah dibuang Alzam.Alzam segera mencari jilbab lebar panjang yang pernah dia belikan. Lalu memasangkannya di kepala Lani."Tuh,
"Lani,.." Alzam tertegun melihat wajah di pantulan cermin meja rias.Tampak di depannya kini Lani sedang duduk di depan meja rias dengan sudah mengenakan hijabnya. Dipandanginya wajah di depan cermin itu dengan mata mengaca. Lalu dipeluknya Lani."Kamu cantik sekali dengan wajah imutmu kalau pakai hijab."Lani hanya tersenyum."Yuk!" Ditariknya tangan Lani."Ke mana, Mas?""Cari makanan di luar. Aku senang lihat kamu dengan hijab begini.""Udah setengah lima, Mas.""Ghak apa, cuma sebentar aja, kok.""Tapi kita berduan keluarnya?""Memangnya kenapa?""Gimanapun juga, orang lain ghak tau kita nikah, Mas. Jnagan-jangan kejadaian ghak enak terjadi lagi seperti di siini.""Ghak usah bingung pendapat orang. Yang penting kita tau kita da nikah." Alzam mendaratkan ciumannya di pipi Lani dengan tak jemuh menatap wajah imutnya yang terbalut hijab pesmina warna hitam.Lani pun beranjak dari duduknya, mengikuti Alzam. Semua oarng memandangnya saat mereka keluar, terlebih saat melihat Lani berhij
"Mas,..." cegah Lani agar Alzam tak meneruskan kata-katanya, waalu telinganya terasa panas mendengar kata-kata yang terucap dari bibir kedua orang yang kini menatap mereka dengan jijik."Kalian belum mengerti, jangan asal bicara kalau menilai orang.""lalu kamai harus bagaiamana menilai kalian. Mas orang terpandang dengan kedudukan Mas sebagai abdi negara, seharusnya Mas lebih bisa menghargai posisi Mas itu dengan tidak terlibat dengan wanita seperti dia.""Jaga mulutmu!" Alzam makin tak dapat mengendalikan emosinya."Mas,..!" Lani menarik tangan Alzam agar mereda emosinya. Digandengnya tanpa ingat apapun lengan kokoh itu, seolah dia ingin berlindung di balik lelaki tinggi tegap itu atau ingin meredakan gejola emosinya."Lihat, cara Mbak Lani memegang lengan Mas Alzam sudah beda," celetuk Parmin. Yang kemudian didukung dengan tatapan sinis Parjo."Mereka memang suami istri, Pak. Jadi jangan ngiri kalau ada yang naksir Lani selama ini." Arhand yang selama ini ikut membantu Lani di guda
Lani tersenyum malu, rona di pipinya sedikit memerah, saat tangannya bermain dengan ujung kerudung yang ia kenakan. "O, enggak Oma. Saya memakai KB," ujarnya, nadanya hampir berbisik. Ia menghindari tatapan Oma, tetapi senyum tipis tetap tersungging.Oma Evran menatap Lani dengan mata yang dipenuhi kasih, kerutan-kerutan di wajahnya seakan melunak. "Ternyata kalian benar-benar rencananya matang, ya," suara Oma penuh kehangatan, matanya berbinar seakan menemukan cahaya yang jarang terlihat di usianya yang lanjut. "Oma jadi salut sama kalian."Lani mengangguk kecil, sudut bibirnya tertarik dalam senyuman yang mengandung harap dan kegelisahan. "Nunggu sebentar lagi, Oma. Takut jika ada anak sementara pernikahan kami belum resmi," katanya. Sorot matanya melayang ke arah lantai, seakan kata-katanya sendiri menahan beban yang dirasakan hatinya.Oma menghela napas panjang, aroma malam Maghrib terasa kental di udara. "Kamu benar, Lani. Walau memang tidak seharusnya," balas Oma dengan nada bij
"Apa? Sejak kapan, Mbok? Sejak kapan Lani pergi?" tanyanya, dengan nada bergetar. "Sejak kemarin, Mas. Dia pamit, katanya mau tinggal di mess. Katanya, dia ngak mungkin tinggal di sin, sementara besuk Agna sudah di sini." Lani memang tidak pernah mendengar syarat Agna. "Mess? Kenapa Mbok nggak bilang dari tadi?"Mbok Sarem memandang Alzam penuh keraguan. "Saya pikir, Mas Alzam sudah tahu... Lani juga pesan supaya jangan bilang apa-apa ke Mas." "Dia telah mewujudkan kata-katanya dengan tinggal di sana, tidakkah dia tau aku telah menyiapkan rumah untuknya? Rumah itu memang baru selesai kemarin , Bi, jadi, aku pikir hari ini aku baru membawanya ke sana."Mbok Sarem tak menjawab. Alzam mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menahan amarah yang terus membakar dadanya. Dia segera berbalik, hendak menuju pintu."Mas Alzam," panggil Mbok Sarem. "Tolong... jangan gegabah. Kalau Mas buru-buru mendatanginya, apa kata-kata orang nanti yang belum tau hubungan Mas dengan Lani? Masalahnya bisa
"Omah sudah dipastikan tidak akan datang, Alzam," ucap Salma dengan nada pasrah. Beberapa hari yang lalu, Thoriq dan dia ke Makasar, meminta maaf dan memberitahu kalau resepsi Alzam dilaksanakan Minggu besuk. Bukan kegembiraan karena jarang bertemu yang mereka dapat, justru pertengkaran hebat yang terjadi."Azlam sendiri yang minta tolong Arhand untuk mendekati Agna. Setelah mereka dekat, dia malah mengingkari janjinya," cetus Armand dengan geramnya. "dengan seenaknya dia mengajak Agna menikah.""Lani gadis yang baik, bisa-bisanya dia harus mengalami ini," tambah Oma Evran. "Aku tidak akan menganggap Alzam cucu sampai dia bisa adil dengan apa yang dialami Lani.""Pernikahan ini memang bukan seperti rencana kita, Mi, biar saja jika Oma tak datang, toh pernikahan ini tak pernting bagi Alzam." Ucapan Alzam membuayarkan lamunan Salma."Walau bukan begitu intinya, Zam. Intinya justru perniakahanmu ini telah menghancurkan keluarga kita.""Saya memang salah, Bi, mengajak Agna menikah. Se
Thoriq dan Salma mengikuti langkah Arhand yang tergesa keluar ruangan, menyelinap di antara sisa tamu yang masih berdiri dengan berbagai ekspresi. Tatapan penuh tanya Salma mengarah pada punggung lelaki itu."Arhand, tunggu!" panggil Salma, setengah berlari untuk mengejarnya."Biarkan aku, Tante. Aku sudah cukup melihat permainan ini," jawab Arhand tanpa menoleh."Tidak bisa begini. Kamu tidak bisa pergi dengan membawa dendam. Ini keluarga kita juga yang sedang kacau. Setidaknya bicarakan ini dengan tenang," ujar Thoriq yang akhirnya berhasil menyamainya.Arhand berhenti mendadak. Tubuhnya kaku, namun kepalan tangannya terlihat bergetar. "Keluarga? Apakah keluarga membiarkan kebohongan dan pengkhianatan seperti ini terjadi?" Suaranya rendah, namun penuh tekanan.Salma melangkah maju, mencoba menyentuh lengan Arhand, tetapi dia menghindar. "Arhand, apa pun masalahnya, tidak ada gunanya kamu bertindak begini. Lagipula, kamu tahu sendiri-""Jangan harap aku, Mama, Papa, bahkan Oma Evran
Belum juga Arhand bicara lebih banyak, terlihat tamu kebesaran Alzam pamit. Agna dengan sesekali mengapit lengan Alzam mempersilahkan tamunya berpamitan. Arhand menatap semua itu dengan heran, terlebih dia menatap Lani yang tampak sedih. Inginnnya dia mendekat dan meminta penjelasan dari apa yang dilihatnya kini, namun mengingat siapa yang kini pamit dan dikawal, Arhand memilih diam dengan gemuruh di hatinya, mematung di dekat Thoriq dan Salma yang tidak mengerti apapun persoalan Alzam dan Arhand.Setelah semua terasa tenang, dan tinggal segelintir orang, Arhand mendekati alzam yang memng terlihat lebih bayak emnghindar. Ditariknya tangan Alzam dengan kasar untuk menepi. "Aku telah bersusah payah mendekati Agna seperti permintaan kamu. Bahkan kami sudah sering bertemu, lalu tiba-tiba tanpa keterangan apapun Agna memblokir kontakku, makanya aku terbang ke sini sekalian ada barang yang mau aku lihat, ternyata begini kejadiannya.""Maafkan aku Arhand. Kamu tak cerita kalau kamu sudah d
"Salamat ya, Lani, akhirnya kamu bisa mewujudkan impian banyak orang," Thoriq mendekat dan menyalami Lani. Salma bahkan merangkulnya. Lani yang merasa asing dengan perlakuan orangtua Alzam, hanya tersenyum tipis. Bagaiama mungkin, kapan lalu dua orang itu telah mengintrogasinya dengan membawa ponsel Madan, lalu terdengar dari Towirah kalau mereka sudah ke rumah sakit menjenguk Jingga. Hanya Lani masih binngung bagaimana jika nanti mereka benar ingin mengejak Jingga main ke rumahnya agar mereka bisa membuktikan perkataannya untuk memberi Jingga kasih sayang, terlebih dia satu-satunya cucunya kini.Lani masih terdiam di sebelah plakat pabrik itu dengan memandang namanya. Daulani Food Prossesing. Didampingi Mbok Sarem, Budi dan Dita. Maksud apa lagi yang mau dikatakan Mas Alzam dengan semua ini? bathinnya dengan melihat Alzam yang juga sering menatapnya di samping Agna yang menikmati makanan dengan berbincang dengan Pak Wakil Bupati juga Pak Camat dan kelompoknya yang memang sangat mengh
Alzam mematung saat melihat siapa yang kini ada di sampingnya."Acara sebesar ini, dan kamu tidak mengundangku?""Ini memang tidak ada hubungannya denganmu, Agna. Kenapa kamu menyalahkan Alzam yang tidak mengundangmu?" Salma ikut bicara."Aku akan menjadi istrinya, Tante. Itu artinya, pabrik ini juga akan menjadi bagian dari hidup kami nantinya. Apa aku salah jika aku menyalahkan dia tidak mengundangku?""Maaf, Agna, tolong jangan membuat keributan di sini," bisik Alzam dengan berusaha tersenyum menatap hadirin yang datang."Mbak, Agna? Dari tadi saya juga bertanya, kok tidak melihat Anda," sela Pak Wakil bupati dengan menyalami Agna. demikian juga dengan istrinya yang malah cipika cipiku, cium pipi kanan dan kiri."Pabrik ini memang tidak ada hubungan apa-apa dengan hubungan kami, Pak," ucap Alzam dengan tidak mengurangi rasa hormatnya. Alzam memang tau, pengaruh Agna untuk kalangan orang di pemerintahan."Maksud Anda Pak Alzam?" tanya ibu Wakil Bupati heran."Saya hanya mengarahka
Hari itu terasa berbeda bagi Lani. Matahari pagi menyinari bangunan pabrik sederhana di samping ladang ladang jeruk. Papan nama sederhana bertuliskan "Daulani Food Processing" berdiri kokoh di depan dengan masih diselimuti kain putih tebal. Tak ada kemewahan, hanya tenda kecil di halaman depan dan beberapa kursi plastik yang sudah diatur rapi, menyatu dengan gudang jeruk yang dijadikan tempat para undangan.Pekerja-pekerja baru mulai berdatangan, satu per satu. Sebagian besar mereka adalah warga sekitar yang rata-rata mereka baru lulus sekolah atau sudah lama tidak sekolah dan tidak ada pekerjaan. Hari itu, wajah mereka dipenuhi harapan baru.Lani mengenakan blouse biru tua dengan jilbab senada. Ia berdiri di depan pintu masuk pabrik bersama Laras, Tia, dan Pak Sajad—rekan-rekannya yang selama ini bekerja keras mempersiapkan segalanya."Semua sudah siap, Mbak Lani?" tanya Pak Sajad sambil mengecek daftar kehadiran pekerja."Alhamdulillah, kayaknya sudah," jawab Lani sambil tersenyum.
"Asik sekali kalian ngobrol, lalu sekarang mau janjian di mana lagi?"Plak! Alzam memegangi pipinya yang terasa panas oleh tamparan Lani. Rasa malu ditahannya saat kebetulan ada orang lewat di dekat kampus itu. Terlebih masih pagi dan banyak mahasiswa, termasuk orang pergi kerja yang lalu lalang."Kamu sudah mulai kembali meragukan karakterku, Mas!"Alzam menunduk. Lagi-lagi karena cemburu dia tak sadar berbuat kekeliruan yang makin memperparah kebencian Lani padanya."Berarti kamu melihat aku sejak datang? Kamu membuntuti aku? Kamu memata-matai aku?""Aku memang membuntutimu. Tapi bukan untuk memata-mataimu. Aku hanya khawatir kamu sakit lagi. Sedangkan kamu tidak mungkin aku ajak bareng.""Iya, aku tau itu. Bahkan sampai kapan pun, kita tak mungkin bareng ke sini, karena di sebelah sana itu kantor istrimu. Dan di sana markasmu. Kamu takut ketauhan ada hubungan denganku.""Berhenti dengan tuduhanmu itu, kamu tau kenapa alasan ini sejak awal."Lani membuang matanya sebal lalu kembali
Lani tiba di gudang dengan langkah tergesa. Suara ketukan palu dan denting logam beradu terdengar jelas, mengisi udara pagi yang penuh kesibukan. Gudang itu hampir selesai direnovasi untuk pembukaan pabrik di sebelahnya minggu nanti. Lani berhenti sejenak, memandang para pekerja yang sibuk, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana."Mabak Lani, sini sebentar," panggil Tia, salah satu pegawainya yang bertanggung jawab menangani perekrutan karyawan baru yang beberapa hari lalu telah dilatih dari orang profesional yang telah didatangkan Alzam.Lani berjalan mendekat, senyum tipis menghiasi wajahnya meski pikirannya masih kacau."Semua pegawai baru sudah terdaftar. Besok mereka sumua ikut dalam pembukaan." Tiyas bertanya sambil menunjukkan daftar nama di tangannya."Baiklah Tia, Atur saja sesuai keinginanmu, yang penting terlihat bagus," ujar Lani sambil melirik daftar itu."Siap, Mbak Lani," jawab Tia singkat."Bagaimana dengan stok bahan baku?" Lani beralih pada Sajad, yang berdiri d