"Bu,.." Lani menahan tangan ibunya yang dengan tak sabar hendak keluar dan bertanya pada Alzam, apa dia ada hubungannya dengan Madan, pria yang telah menodai Lani delapan tahun yang lalu."Itulah yang dari awal membuat saya benci padanya, Bu, padahal dia telah menolong saya dan dengan baik merawat saya.""Kamu kenapa, Dhuk, sampai dia menolongmu?"Lani tergagap dengan ucapannya yang keceplosan. Dia lalu terdiam sesaat, mengambil nafas, lalu duduk sebentar di dipan tempat tidur Senja."Saya dikejar penjahat saat pulang kemari duluh itu, Bu.""Tapi kamu tidak apa-apa, Dhuk?" Towirah menelisik anaknya itu. Perempuan berrambut campur putih hitam dengan disanggul ke atas karena lebatnya rambutnya itu menelisik Lani dengan memindai wajah dan tubuhnya."Tidak apa-apa, Bu," bohong Lani. Bagaimana bisa ibunya itu menelisik dirinya. Karena yang luka bukan yang tampak di luar sekarang. Lecet-lecet di kakinya juga sudah sembuh dengan salep yang diberikan Dandi. Hanya hati dan jiwanya yang kini ma
Sejenak Lani menatap Alzam yang terpaku dengan menyebut sebuah nama yang sama sekali dia tak mengenalnya. Elma. Siapa Elma? tanya Lani dalam hatinya."Mbak, kapan pulang? Senja kangen!" Senja sudah memeluk Lani. Gadis berumur tujuh tahun itu sudah tinggi, walau badannya agak kurus. Dia lalu memandang Alzam yang masih terpaku menatapnya. Disunggingkanya senyumnya walau Alzam membalasnya dengan kaku."Kamu jam segini kok sudah pulang? " tanya Lani akhirnya. "bolos ya?" "Enak aja bolos. Mana aku pernah bolos, Mbak? Ini, ada rapat guru, mau ujian.""Mau ujian, ya?" sejenak Lani bingung karena dia belum membawa uang untuk ujian Senja. "apa kamu sudah ditagih bayar spp?" Gadis itu tersenyum, "Ghak usah dipikir, Mbak. Nanti kalau belum bisa bayar, tinggal minta keringanan saja. Kata Ibu, Mbak habis kena musibah.""Maafkan Mbak Lani, ya." Dipeluknya Senja dengan rasa tak karuan.Sementara Alzam yang masih memperhatikan kedua orang di depannya itu, bergulat dengan pikirannya sendiri. Kenapa
"Salah, Mas. Kamu salah besar. Kamu sudah tau kan siapa aku, siapa kamu? Aku bukanlah orang yang pantas untuk dicintai siapapun, terlebih orang seperti kamu, Mas..""O, jadi itu pikiranmu sampai kamu tak memakai uang pemberianku, dan hanya kamu taruh di lacimu?""Mas, bukan tak sudi, Mas. Itu tidaklah hakku.""Lani!" ditariknya Lani dan direngkuhnya dalam pelukannya. "aku sudah tak dapat menahan diriku mengatakan ini. Aku mencintaimu. Sejak kamu aku temukan itu, aku telah jatuh hati padamu."Lani melepaskan dirinya dari pelukan Alzam. "Tidak, Mas. Lupakan semua pikiranmu itu. Kalau saja aku punya tempat lain selain di tempatmu, aku akan pergi, Mas. Tapi aku bisa ke mana lagi. Perlakukan aku seperti pekerja lainnya yang juga bekerja di tempatmu."Alzam menarik tatap Lani dengan sedih."Kamu berhak mendapatkan lebih baik dari aku. Aku saja jijik dengan diriku yang telah dijamah pria dengan paksa. Setiap jengkal tubuhku rasanya hanya seonggok daging yang menjijikkan mengingat kejadian i
"Ini pembukuan yang harus kamu pelajari. Katanya kamu pingin kerja. Lupakan kalau aku pernah mengatakan sesuatu padamu," ucap Alzam setelah menarik tangan lani dan menyerahkan buku tebal. Namun saat dia menyadari Lani membawa sesuatu di tangannya, dia lalu menatap Lani dengan sekilas melihat kresek besar yang dibawanya."Kamu? Kamu mau ke mana?" tanya Alzam bingung. Lalu ditariknya kresek itu. Dan dibukanya. "Pakaian? Kamu mau pergi dari sini? Mau tinggalkan aku, hanya karena aku mengutarakan isi hati aku?""Saya,..""Balikin pakaian kamu. Setelah ini sarapan, kita segera ke gudang."Dengan pelan, Lani hanya diam sambil menuju ke kamarnya. Mengembalikan pakaiannya. Dan makan."Sudah selesai makannya?" tanya Alzam kemudian dengan menelisik jemari Lani. Cincin itu ada mata berliannya hinggah pasti nampak berkilau jika dipakai.Lani yang merasa Alzam melihat jarinya, jadi tak enak hati. Dia memang telah menaruh cincin itu di dekat alat make upnya."Iya, sudah, Mas." Ditariknya tangannya
Setiap hari Lani melingkari kalender duduk yang berada di depan meja riasnya.. Lima belas hari sudah kepergian Alzam. Selama itu tidak ada khabar tentangnya. Lani kembali beraktifitas. Ke Gudang seperti biasa. Bahkan sekarang dia sudah memegang pembayaran dengan membawanya ke bank untuk sekedar di print. Untunglah ada sepeda matic Alzam yang bisa dibawa Lani ke manapun, hinggah dia tak perlu repot untuk minta antar siapapun yang di sana. Termasuk hari ini."Assalamualaikum!"Mbok Sarem terkejut dengan rombongan yang datang agak siang."Waalaikumussalam, Pak.""Ini Alzam ke mana, Mbok, kok aku telpon ghak bisa-bisa dalam beberapa hari terakhir?" Salma, ummi Alzam bertanya pada Mbok Sarem."Anu, Bu,.. Mas Alzam dinas ke Papua.""Pantas tidak bisa dihubungi, Mi," sahut Elma, adiknya Alzam yang sudah berkeliling mengitari rumah Alzam. Dia selalu bilang, senang dengan rumah Alzam yang berada di pedesaan. Tidak seperti rumah mereka yang di kota dan selalu penuh kesibukan."Wah, bunga Mas A
Lani terdiam. Dia berusaha menghalau perasaan rindunya yang selama ini mengganggunya. Dia bahkan memeluk bantal yang sering dipakai Alzam saat bersamanya tidur. Perasaan ini salah. Aku harus bisa menjauhkannya. Aku tak pantas untuknya. "Dhuk,.."Lani terkesiap. Dia kemudian berdiri dan meninggalkan meja makan itu. Hatinya teramat suntuk memikirkan perasaannya akhir-akhir ini yang kerap merindukan Alzam.Tidak, aku tak boleh memikirkannya lebih dalam lagi. Pernikahan ini harus segera berakhir, tekat Lani.Namun tekat hanya tinggal di bibirnya walau kala itu dia mengucapkannya dengan mantap.Saat malam sudah larut, dan Lani mendengar ada ramai yang berhenti di depan rumah, dia segera keluar kamarnya, menyongsong siapa yang kini tengah datang dan memandangnya dengan tatapan kerinduan yang sangat. Saat lelaki itu membuka pintu rumah dan menampakkan tubuh tinggi tegapnya di depan pintu yang sudah terbuka.Pantulan rembulan juga lampu temaram teras, menampakkan kulitnya yang tampak lebih g
"Saya akan berusaha memberinya pengertian bahwa kami memang tak mungkin bersama. Dari awal dia sudah tau saya tidak mencintainya, Mbok. Saya hanya korban karena adik saya. Saya akan mengatakan itu," tekat Alzam yang kemudian ditarik tangannya oleh Mbok Sarem."Bagaimana bisa, Mas?""Aku mencintainya lebih dari apapun, Mbok. Selama ini aku hanya mencari orang yang bisa aku rindukan setiap saat. Dan itu hanya aku temukan pada diri Lani. Apapaun resikonya, aku akan hadapi.""Mas yakin menghadapi resikonya?""Apapun resikonya, Mbok."Mbok Sarem kemudian hanya menatapnya. Dia tau betul keteguhan Alzam.Mbok Sarem lalu masuk dengan membongkar rangsel besar yang tadi malam dibawa Alzam. Mengeluarkan semua isinya untuk dibawa ke belakang dan dicuci."Kemarin orang tua Mas Alzam kemari.""Memangnya mereka mau ngapain, Mbok?" Mbok Sarem hanya melotot dengan menatap Alzam. "Mas lupa, ini sudah tanggal berapa?""Iya, tau. Elma mau nikah beberapa hari lagi.""Mas Alzam sibuk ngurusi hati aja sih,
"Abi, Assalamualikum!" sapa Alzam saat mendengar orang yang di sebrang adalah abinya. Lani yang di dekatnya masih memeluk Alzam. Sengaja Alzam me-loos speker agar Lani bisa mendengar pembicaraan mereka.Sejenak Alzam menghela nafas lega. Syukurlah bukan dari kantor yang mengatakan ada tugas mendadak. Dia merasa masih enggan berpisah dengan Lani. Ini adalah kebahagiaan yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Dan sedetik pun Alzam tak ingin jauh dari wanita yang bisa membuatnya berdebar saat di dekatnya itu."Bagaimana khabarmu, Nak?" "Baik, Abi. Apa khabar Abi, Ummi juga Elma?""Alhamdulillah baik, Nak." Sejenak terdiam, lalu Alzam mendengar seorang wanita menyahut di telpon."Alzam,..""Iya, Ummi. Ummi sehat?""Ei, kamu mau tau juga bagaimana keadaan Ummi?""Ummi, kenapa bilang begitu?""Habisnya kamu ghak pernah nelpon Ummi. Kapan kamu pulang?""Baru tadi malam, Mi. Makanya Alzam belum bisa telpon. Iin tadi baru mau telpon, sudah keduluan Abi.""Ghak apa, Nak, kalau kamu memang sibuk.
Marni menghela napas panjang. Hatinya sempat berbunga, mengira akhirnya impiannya terwujud—punya menantu berseragam, bukan lelaki sembarangan, bahkan Rey. Laki-laki yang pertama kali datang membawa harapan.Namun, Tukiran justru memasang syarat."Syaratnya mudah, tolong antar saya ke rumah Damar. Benar dia pernah memberi alamat saat nanti kami mau mengembalikan lamaran ke sana, tapi saya nggak hafal jalan di sana, jadi saya minta kalian bisa menunjukkan jalannya. Katanya satu perumahan."Atmajaya sekilas bersitatap dengan istrinya, juga dengan Rere. "Ternyata itu syaratnya? Baik, Pak. Kapan kami bisa mengantar?""Ya, nanti saat kalian balik.""Pak, secepat itu?" sahut Mira."Aku nggak mau ada beban. Besok atau kapan pun, sama saja, kenapa nggak nanti saja? Kita harus bareng ke rumah Damar," ujar Tukiran tegas. "Aku mau kembalikan semua yang dia kasih. Biar urusan selesai di sini."Marni spontan menoleh, wajahnya penuh keberatan. "Pak, buat apa? Kan sudah jelas Damar yang salah. Kalau
Tukiran berdiri tegak di depan rumah. Matanya tajam, tangan menunjuk ke arah Rey. "Bagaimana bisa kamu merebut Mira dari Damar? Bahkan sekarang kamu yang membawa Mira pulang?"Mira menegang."Kamu sudah bertunangan dengan orang lain, tapi malah menginap di rumah laki-laki lain!" Suara Tukiran naik. "Kamu mau bikin bapakmu malu?"Rey maju selangkah. "Pak, dengar dulu..."Tukiran mengibaskan tangan. "Dengar apa?!"Rey menarik napas dalam. "Saya menemukan Mira sudah di jalan dalam keadaan..."Kata-kata itu terhenti. Tatapan Tukiran makin tajam.Alzam yang di dalam, keluar dengan Lani."Pakde, dengar Rey menjelaskan sesuatu duluh, baru Pakde bersikap jika Rey memang salah."Marni melangkah cepat, berdiri di antara mereka. "Wes, ayo masuk dulu. Bicaranya di dalam." Suaranya lebih lembut, tetapi tegas. Beberapa orang yang lewat berhenti melirik ke arah mereka, membuat Marni semakin tak nyaman.Tukiran masih tampak kesal, tetapi akhirnya melangkah masuk. Yang lain mengikuti.Suasana terasa l
Suasana siang itu terasa panas, bukan hanya karena terik matahari yang menyengat, tetapi juga karena ketegangan di dalam rumah Tukiran."Bune, ini sudah siang. Mira kok belum juga diantar ke sini?" Tukiran mondar-mandir di ruang tamu. Wajahnya mengeras, sorot matanya tajam menusuk ke arah Marni yang justru terlihat santai duduk di kursi.Marni menghela napas. "Rey yang antar. Aman."Tukiran mendengus. "Kamu yakin?""Iya.""Dia itu juga laki-laki, Mar. Kamu sadar nggak? Anak perempuanmu nginap di rumahnya!"Marni tetap tenang, tetapi dagunya terangkat sedikit. "Rey nggak akan macam-macam."Tukiran meremas kedua tangannya. "Kamu percaya begitu saja?""Sudah aku bilang, Rey itu orangnya bertanggung jawab, jadi Bapak nggak perlu khawatir."Perdebatan mulai memanas. Tukiran membanting koran ke meja. "Tanggung jawab apa? Bisa-bisanya kamu begitu percaya pada orang yang bariu dikenal, Mar."Marni menatap suaminya. "Kenapa tidak?""Kamu nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, kenapa Mira yang
"Kak Rey, kalau nyupir itu lihat ke depan, jangan tengok ke spion terus!" gerutu Rere atas tingkah Rey yang sering curi pandang ke Mira."Kayaknya kamu udah kebelet banget, Rey, pingin nikah."Maya menimpali.Atmajaya terkekeh. Mira menunduk malu."Mama dan Rere sama aja, bikin aku jatuh di hadapan Mira.""Itu karena tingkah kamu, Rey. Gitu kita nggak boleh ke rumah Mira sekarang, maunya kapan?""Bukan begitu, Pa. La MIra masih ada janji sama Damar, bagaimanapun juga seharusnya kita nunggu mereka urus duluh agar Damar mundur, baru kita maju.""Kelamaan, Rey. Mumpung lihat kamu dan MIra sudah akur.""Maksud Tante?" tanya Mira."Biasanya kamu kata Rey selalu galak sama dia."Mira menatap Rey tajam."Mama, kok diomongin ke Mira, sih," kelu Rey.Semua terkekeh.Mira sendiri kini baru tau, kalau semua tentang dirinya sudah ada di cerita keluarga itu. Perasaan hangat menyelimuti dirinya dengan membalas lirikan Rey di kaca mobilnya."Terus, Mama sama Papa nih, bawa apa ke rumah Mira? Mama ngg
Subuh itu, Maya masih mengantuk saat berwudu di sisi kamar mandi. Suara langkah kaki di belakangnya membuatnya menoleh. Matanya langsung membelalak melihat Rey sudah berdiri di sana, bersandar di dinding dengan wajah santai. Dia mengenakan kaos oblong dan celana pendek seperti kebiasaannya jika di rumah."Kamu ngapain di sini, Rey?" tanyanya ketus, masih berkumur.Rey memasukkan tangannya ke saku celana. "Liat Mira."Maya menghela napas panjang, menatap langit-langit, lalu menatap Rey lagi. "Udah sholat?"Rey melirik jam dinding di ruang tengah yang terlihat dari tempat mereka berdiri. "Belum."PLAK!Tamparan ringan mendarat di pantat Rey."Sholat dulu, dasar teledor!" Maya mendelik, lalu menyentil kening anaknya dengan kesal.Rey mengusap bagian yang ditabok, meringis kecil. "Ma, aku sih mau sholat, tapi kan Mira di sini, aku mau liat dia dulu."Maya makin sebal. "Mau liat Mira apa mau cari alasan?!""Mama juga, aku ngajak Mira tidur di rumahku aja nggak boleh."Maya mendecak. "Mama
Rey menekan layar ponselnya, menunggu nada sambung. Baru mengucap salam.Alzam mengangkat. "Waalaiumussalam! Ada apa, Rey, kok mlam-malam telpon?"Rey melirik Mira yang duduk di sofa, memeluk bantal dengan wajah lelah. "Mira di sini."Hening sejenak."Lho? Kok bisa di rumahmu?""Nanti saja Mira sendiri yang cerita. Yang penting kasih tahu Budemu, biar nggak panik," suara Rey terdengar tenang.Alzam menarik napas. "Oke. Aku kasih tahu Bude Marni sekarang."Sambungan terputus.Mira melirik. "Aku harus pulang sekarang?"Rey mengangkat bahu. "Besok saja. Sekarang istirahat dulu."Mira mengangguk, tampak lega.Tapi Rey belum selesai. "Ayo beli baju dulu."Mira mengernyit. "Kenapa?"Rey melirik bajunya. "Yang kamu pakai aneh."Mira melihat ke dirinya sendiri, baru sadar betapa sempitnya baju Rere yang menempel pas di tubuhnya."Aku pakai baju Rere waktu SMP, ya wajar aneh," Mira mendengus. "Waktu tadi dikasih mama kamu yang awal, kebesaran, makanya dicarikan baju Rere yang lama, e, pas, tapi
Marni mondar-mandir. Langkah kakinya semakin cepat, hampir tanpa jeda. Nafasnya mulai memburu, bukan karena lelah, tapi cemas yang makin menumpuk."Kenapa belum pulang juga?"Suaranya lirih, lebih seperti bicara dengan diri sendiri. Tatapan matanya sesekali melirik jam dinding. Sudah hampir masuk waktu Isya. Mira belum juga muncul.Tukiran yang duduk di kursi kayu tua hanya bisa menghela napas panjang. "Mungkin masih perjalanan, Bu.""Kalau iya, kenapa pakai tidak bisa dihubungi segala!" bentak Marni tanpa sadar.Tukiran terdiam. Tidak ingin memperkeruh suasana.Marni kembali mengangkat ponsel, menekan nomor Mira. Ditempelkan ke telinga.Suara operator terdengar lagi.Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.Umpatan keluar dari mulutnya."Kenapa ponselnya mati terus?"Tukiran mengelus dada. "Jangan suudzon dulu, mungkin habis baterai."Marni memutar bola mata. "Habis baterai sejak Maghrib? Masuk akal nggak?"Tukiran memilih diam.Marni tak bisa lagi menung
Di meja makan rumah Rey, cangkir kopi masih mengepulkan asap tipis, tapi tidak ada yang menyentuhnya. Rey menatap kosong ke arah cangkir itu, pikirannya terjebak dalam pusaran masalah yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.Di sudut ruangan, Mira duduk dengan punggung tegang. Tatapannya terpaku pada Rey, menunggu jawaban.Ketegangan di antara mereka begitu terlihat.Atmajaya mengamati putranya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Di sampingnya, istrinya masih bersikap canggung."Ayo ke rumah, Ma," bisik Atmajaya."Kenapa harus buru-buru?" tanya istrinya, akhirnya membuka suara.Atmajaya hanya menoleh sekilas ke arah Rey dan MIra sebelum menepuk tangan istrinya dengan lembut. "Mereka perlu waktu untuk bicara.""Tapi, Pa, aku masih pingin ngobrol sama MIra. Siapa tau masih ada jalan keluar. Lihatlah, kulitnya begitu bening, biar cucu kita elak nggak suram terus kulitnya," balas Maya berbisik pula."Ih, apaan sih kamu. Nanti aku jelaskan di rumah," bisiknya pelan.Maya terdiam, tapi
Sandra menyodorkan semangkuk sup hangat ke hadapan putrinya yang tampak pucat. Sendok kecil itu hanya dipegang tanpa niat menyuapkan ke mulutnya. Matanya kosong menatap meja."Kamu harus makan, Nak. Badanmu makin lemah," lanjut Sandra dengan suara lebih lembut.Agna menghela napas. Bau kaldu ayam yang biasanya menggugah selera malah membuat perutnya bergejolak. Dia menutup mulut, menekan rasa mual. Sandra yang melihat itu langsung menyodorkan segelas air putih.Arya Baskara duduk berseberangan, menatap anak perempuannya dengan tatapan tajam. Ada perih dalam hatinya melihat Agna dalam kondisi seperti ini, tapi amarah masih lebih dominan."Jangan diam saja! Kamu sadar nggak apa yang kamu lakukan? Selingkuh, hamil, lalu berharap laki-laki tak berdosa itu menikahi kamu?" Suaranya bergetar menahan emosi.Agna menunduk. Setiap kata dari ayahnya seperti tombak menusuk ulu hati."Papi, Rey sudah janji akan menikahiku," katanya pelan.Baskara tertawa sinis. "Kamu pikir Rey mau kalau anak ini b