Share

Bab 04. Pernikahan.

"Silahkan masuk Pak Kyai!" Alzam mempersilahkan tamunya."Saya izin masuk sebentar."

"Lani, maaf jika aku tak memberitahumu. Kita harus menikah siri sampai kamu merasa kuat dan pergi dari rumah ini seperti keinginanmu. Seperti yang aku katakan, aku tak ingin berbuat dosa dengan tak muhrim untukmu tapi selalu melakukan kontak fisik denganmu."

"Kamu melakukan hal ini tanpa persetujuanku?" Lani sampai membulat matanya.

"Aku hanya ingin menjaga kita agar tak menjadi dosa."

Lani menggeleng.

"Tolonglah, hanya nikah siri. Setelah semuanya ghak ada masalah, aku akan menjatuhkan talak untukmu. Dan kamu bisa pergi jika itu kemauanmu."

"Tidak, Mas!"

"Jangan keras-keras, Pak Kyai sudah di sini."

"Apa? Kamu ya, bisa-bisanya kamu,.."

Alzam menbekam mulut Lani. "Nurut saja. Apa kamu tidak percaya padaku?"

"Tapi jangan menuntut yang tidak-tidak kamu."

"Contohnya?"

"Kamu bukan lagi anak kecil yang harus dijelaskan secara rinci."

"Kalau kamu yang mulai duluan?" canda Alzam dengan menyimpan senyumnya melihat reaksi Lani.

Lani memalingkan mukanya sambil mendengus kesal.

Alzam terkekeh,  lalu mengambil jilbab di dalam almari, yang kapan hari dibelinya sebagai baju Lani.

"Kamu pakai ini, ya? Kita mau nikah," bisiknya masih dengan mencandai Lani yang terlihat sewot.

"Aku tidak biasa pakai jilbab."

"O, jadi kamu ghak berhijab setiap harinya?" tanya Alzam. Di keluarganya yang agamis memang tak ada yang tidak memakai hijab. Bahkan mereka memakai hijab panjang dan syar'i.

"Aku memang tidak pernah berhijab."

"Baiklah. Tetapi, ini hanya sebentar, setelah itu dapat kamu lepaskan lagi, kan kita sudah muhrim."

"Apa kamu memang seagamis itu, atau kamu hanya pura-pura alim?"

"Kenapa bertanya seperti itu?"

"Hanya ingin tau."

"Aku hanya ingin merawatmu sampai sembuh tanpa harus melakukan dosa. Itu saja. Bagaimana aku tidak bingung jika kamu menggigil dan aku harus memelukmu. Belum kamu ke kamar mandi harus ada yang jaga. Sedangkan Mbok Sarem tak bisa terus mengawasimu."

"Ah, aku pusing. Terserah, deh. Yang penting jangan pernah mengambil keuntungan dariku."

"Percaya aku. Sekarang kamu sudah tau maksudku kan? Siap-siap ya, calon istriku!" goda Alzam dengan sengaja membuat Lani agar tak tegang.

"Cih!' cibik Lani.

Alzam hanya menyimpan senyumnya dengan berjalan kembali ke Pak Kyai.

"Seperti yang saya katakan tadi, Pak Kyai, kalau dipakai duduk saja dia ghak kuat, jadi kita ke kamarnya saja."

"Baiklah, saya mengerti. Jika tujuanmu memang demi kebaikan, Nak, kamu telah hebat dalam melangkah. Semoga setelah ini kamu akan menemukan kebahagiaan."

"Amiin. Terimaksih, Pak Kyai."

"Mas Alzam menikahi Lani?" bisik Mbok Sarem setelah menarik tangan Alzam "bagaimana bisa ini , Mas? Mas ghak takut Abi? Bagaimana jika beliau tau kamu kini menikah? Bagaimana dengan calon Mas Alzam?"

"Ini hnya sampai Lani sembuh, Bi."

"Pernikahan macam apa itu, Mas?"

"Sudahlah, ayo!"

"Assalamualaikum!' Pak Kyai memberi salam saat Alzam membuka pintu kamar Lani.

"Kita mulai, ya, Mbak."

Sebentar Lani melihat Alzam yang memandangnya dengan menggangguk.

"Siapa namamu dan nama Ayahmu, Dhuk?"

"Saya Daulani, Pak. Wagimin nama bapak saya."

"Baiklah."

"Bismillahirrahmanirrahim! Saudara Alzam Arrazi, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan wanita bernama Daulani binti Wagimin dengan mas kawin berupa alat sholat dan cincin, dibayar tunai."

Alzam yang duduk di samping Pak Kyai, sejenak memandang Lani. Pernikahan ini hanya sebuah tujuan, namun kenapa hatinya terus berdebar kencang?

"Saya terima nikah dan kawinnya Daulani binti Wagimin dengan mas kawin tersebut di atas, dibayar tunai." Suara Alzam bergetar.

Lani yang tak luput memperhatikannya. Tiba-tiba saja, setitik airmata menetes di sudut matanya. Kenapa aku menerima ini? Kenapa hatiku berdebar seperti ini? Apa ujung dari pernikahan siri yang kujalani ini? 

"Alhamdulillah! Bagaimana saksi?"

Sah! Sah, Pak Kyai!" ucap ketiga murid Kyai Abduh dan Mbok Sarem.

Mbok Sarem sampai berembun matanya melihat kesungguhan ucapan Alzam yang juga nampak buram matanya.

"Sekarang berikan mas kawin itu."

Alzam mengambil mukena yang tadi dia beli saat ke kediaman Pak Kyai juga cincin yang berada di atasnya.

Diraihnya tangan Lani dengan bergetar. Lalu disematkannya cincin yang ternyata memang muat di jari kanan Lani. Tanpa sadar, Alzam mendaratkan ciumannya di kening Lani hinggah sontak membuat mata Lani terbelalak.

"Alhamdulillah, sudah selesai. Apapun tujuan awal kalian menikah, seperti yang diungkapkan Alzam, sekarang kalian adalah suami istri. Mudah-mudahan ada hikmah dari semua ini."

"Terimakasih, Pak!" ucap Lani dengan lirih.

Alzam kemudian mengantar Pak Kyai sampai di pintu.

"Jaga dia baik-baik, Nak. Dia telah mengalami beban yang berat dalam hidupnya," pesan Pak Kyai.  Alzam memang sudah menceritakan semuanya ke Pak Kyai yang sudah lama menjadi guru spritual Alzam itu. 

"Terimakasih, Pak!" ucap Alzam dengan menyalami Pak Kyai Abduh.

Kyai yang disegani di lingkungan mereka itu tersenyum menyejukkan. Alzam pun masuk setelah mobil yang membawa Kyai Abduh pergi.

"Lani sudah makan dan minum obat, Mbok?" tanyanya pada Mbok Sarem.

"Sudah, Mas, setelah sholat Maghrib tadi."

"Baiklah, Mbok. Terimakasih sudah menjaganya."

"Mas,.."

Alzam sampai berbalik kembali dengan panggilan Mbok Sarem. "Ada apa, Mbok?"

"Mbok, takut. Nanti keluarga Mas Alzam tau bagaimana?"

"Sudahlah, Mbok. Jangan berfikir banyak hal. Yang penting kita fokus pada kesembuhan Lani."

Mbok Sarem masih diam di tempat sambil melintir ujung bajunya. Akan ada badai besar jika abinya tau. Lindungi mereka, Ya Allah! Kasihan Lani nantinya. Dia sudah banyak menderita selama ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status