"Silahkan masuk Pak Kyai!" Alzam mempersilahkan tamunya."Saya izin masuk sebentar."
"Lani, maaf jika aku tak memberitahumu. Kita harus menikah siri sampai kamu merasa kuat dan pergi dari rumah ini seperti keinginanmu. Seperti yang aku katakan, aku tak ingin berbuat dosa dengan tak muhrim untukmu tapi selalu melakukan kontak fisik denganmu."
"Kamu melakukan hal ini tanpa persetujuanku?" Lani sampai membulat matanya.
"Aku hanya ingin menjaga kita agar tak menjadi dosa."
Lani menggeleng.
"Tolonglah, hanya nikah siri. Setelah semuanya ghak ada masalah, aku akan menjatuhkan talak untukmu. Dan kamu bisa pergi jika itu kemauanmu."
"Tidak, Mas!"
"Jangan keras-keras, Pak Kyai sudah di sini."
"Apa? Kamu ya, bisa-bisanya kamu,.."
Alzam menbekam mulut Lani. "Nurut saja. Apa kamu tidak percaya padaku?"
"Tapi jangan menuntut yang tidak-tidak kamu."
"Contohnya?"
"Kamu bukan lagi anak kecil yang harus dijelaskan secara rinci."
"Kalau kamu yang mulai duluan?" canda Alzam dengan menyimpan senyumnya melihat reaksi Lani.
Lani memalingkan mukanya sambil mendengus kesal.
Alzam terkekeh, lalu mengambil jilbab di dalam almari, yang kapan hari dibelinya sebagai baju Lani.
"Kamu pakai ini, ya? Kita mau nikah," bisiknya masih dengan mencandai Lani yang terlihat sewot.
"Aku tidak biasa pakai jilbab."
"O, jadi kamu ghak berhijab setiap harinya?" tanya Alzam. Di keluarganya yang agamis memang tak ada yang tidak memakai hijab. Bahkan mereka memakai hijab panjang dan syar'i.
"Aku memang tidak pernah berhijab."
"Baiklah. Tetapi, ini hanya sebentar, setelah itu dapat kamu lepaskan lagi, kan kita sudah muhrim."
"Apa kamu memang seagamis itu, atau kamu hanya pura-pura alim?"
"Kenapa bertanya seperti itu?"
"Hanya ingin tau."
"Aku hanya ingin merawatmu sampai sembuh tanpa harus melakukan dosa. Itu saja. Bagaimana aku tidak bingung jika kamu menggigil dan aku harus memelukmu. Belum kamu ke kamar mandi harus ada yang jaga. Sedangkan Mbok Sarem tak bisa terus mengawasimu."
"Ah, aku pusing. Terserah, deh. Yang penting jangan pernah mengambil keuntungan dariku."
"Percaya aku. Sekarang kamu sudah tau maksudku kan? Siap-siap ya, calon istriku!" goda Alzam dengan sengaja membuat Lani agar tak tegang.
"Cih!' cibik Lani.
Alzam hanya menyimpan senyumnya dengan berjalan kembali ke Pak Kyai.
"Seperti yang saya katakan tadi, Pak Kyai, kalau dipakai duduk saja dia ghak kuat, jadi kita ke kamarnya saja."
"Baiklah, saya mengerti. Jika tujuanmu memang demi kebaikan, Nak, kamu telah hebat dalam melangkah. Semoga setelah ini kamu akan menemukan kebahagiaan."
"Amiin. Terimaksih, Pak Kyai."
"Mas Alzam menikahi Lani?" bisik Mbok Sarem setelah menarik tangan Alzam "bagaimana bisa ini , Mas? Mas ghak takut Abi? Bagaimana jika beliau tau kamu kini menikah? Bagaimana dengan calon Mas Alzam?"
"Ini hnya sampai Lani sembuh, Bi."
"Pernikahan macam apa itu, Mas?"
"Sudahlah, ayo!"
"Assalamualaikum!' Pak Kyai memberi salam saat Alzam membuka pintu kamar Lani.
"Kita mulai, ya, Mbak."
Sebentar Lani melihat Alzam yang memandangnya dengan menggangguk.
"Siapa namamu dan nama Ayahmu, Dhuk?"
"Saya Daulani, Pak. Wagimin nama bapak saya."
"Baiklah."
"Bismillahirrahmanirrahim! Saudara Alzam Arrazi, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan wanita bernama Daulani binti Wagimin dengan mas kawin berupa alat sholat dan cincin, dibayar tunai."
Alzam yang duduk di samping Pak Kyai, sejenak memandang Lani. Pernikahan ini hanya sebuah tujuan, namun kenapa hatinya terus berdebar kencang?
"Saya terima nikah dan kawinnya Daulani binti Wagimin dengan mas kawin tersebut di atas, dibayar tunai." Suara Alzam bergetar.
Lani yang tak luput memperhatikannya. Tiba-tiba saja, setitik airmata menetes di sudut matanya. Kenapa aku menerima ini? Kenapa hatiku berdebar seperti ini? Apa ujung dari pernikahan siri yang kujalani ini?
"Alhamdulillah! Bagaimana saksi?"
Sah! Sah, Pak Kyai!" ucap ketiga murid Kyai Abduh dan Mbok Sarem.
Mbok Sarem sampai berembun matanya melihat kesungguhan ucapan Alzam yang juga nampak buram matanya.
"Sekarang berikan mas kawin itu."
Alzam mengambil mukena yang tadi dia beli saat ke kediaman Pak Kyai juga cincin yang berada di atasnya.
Diraihnya tangan Lani dengan bergetar. Lalu disematkannya cincin yang ternyata memang muat di jari kanan Lani. Tanpa sadar, Alzam mendaratkan ciumannya di kening Lani hinggah sontak membuat mata Lani terbelalak.
"Alhamdulillah, sudah selesai. Apapun tujuan awal kalian menikah, seperti yang diungkapkan Alzam, sekarang kalian adalah suami istri. Mudah-mudahan ada hikmah dari semua ini."
"Terimakasih, Pak!" ucap Lani dengan lirih.
Alzam kemudian mengantar Pak Kyai sampai di pintu.
"Jaga dia baik-baik, Nak. Dia telah mengalami beban yang berat dalam hidupnya," pesan Pak Kyai. Alzam memang sudah menceritakan semuanya ke Pak Kyai yang sudah lama menjadi guru spritual Alzam itu.
"Terimakasih, Pak!" ucap Alzam dengan menyalami Pak Kyai Abduh.
Kyai yang disegani di lingkungan mereka itu tersenyum menyejukkan. Alzam pun masuk setelah mobil yang membawa Kyai Abduh pergi.
"Lani sudah makan dan minum obat, Mbok?" tanyanya pada Mbok Sarem.
"Sudah, Mas, setelah sholat Maghrib tadi."
"Baiklah, Mbok. Terimakasih sudah menjaganya."
"Mas,.."
Alzam sampai berbalik kembali dengan panggilan Mbok Sarem. "Ada apa, Mbok?"
"Mbok, takut. Nanti keluarga Mas Alzam tau bagaimana?"
"Sudahlah, Mbok. Jangan berfikir banyak hal. Yang penting kita fokus pada kesembuhan Lani."
Mbok Sarem masih diam di tempat sambil melintir ujung bajunya. Akan ada badai besar jika abinya tau. Lindungi mereka, Ya Allah! Kasihan Lani nantinya. Dia sudah banyak menderita selama ini.
"Mau ke kamar mandi?" tanya Alzam.Lani sejenak memandang Alzam. Rasa aneh dan canggung menjadi terasa di hatinya. Demikian juga dengan yang dialami Alzam. Padahal sebelumnya itu justru tak mereka rasakan."Aku mau sholat saja duluh dengan tayamum. Aku takut tiap pegang air selalu kedinginan.""Baiklah, kalau begitu aku akan ke kamar mandi duluh. Aku mau wudhu, nanti sholatnya aku imami, ya."Lani mengangguk. Lalu tayamum.Alzam kemudian ke kamar mandi dan sebentar saja sudah kembali. Mereka pun segera berjamah. Ada yang sejuk dirasakan Lani saat mendengar ayat suci dilantunkan Alzam dengan fasihnya saat dia menjadi imam. Diam-diam Lani merasa jika benar dia dinikahi Alzam memang karena pria itu tak ingin melakukan dosa dengan terus bersamanya tanpa ada kata muhrim."Kenapa memandangiku?" "Enggak, ghak apa-apa," sahut Lani bingung."Jangan terus memandangi aku, nanti kamu jatuh cinta sama aku.""Aku takkan berani jatuh cinta padamu. Aku tau aku siapa. Hidupku telah hilang dibawa lela
"Sepertinya dia hanya trauma. Syukurlah dia tidak mengalami seperti dugaanku," ucap Dandi."Memangnya apa dugaanmu?""Aku kira orang-orang itu sudah sampai memperkosanya dan menularkan penyakit tertentu.""Syukurlah tidak, setidaknya aku bisa lega," ucap Alzam dengan tersenyum. "Hari ini puyengnya sepertinya mulai hilang. Hanya rasa dinginnya yang sepertinya belum pulih.""Tenaganya terkuras waktu melarikan diri itu. Terlebih dia harus melawan arus sungai yang lagi deras-derasnya.""Setidaknya dia bisa diajak bicara dan mulai mempercayai aku. Tidak seperti saat awal-awal duluh yang seperti membenciku.""Kamu tidak bertanya kenapa dia seolah membencimu dengan mengatakan mata dan tatapanmu itu mengingat dia pada seseorang yang teramat dia benci ?""Aku takut itu bisa mengusik masa lalunya yang sesungguhnya ingin dia buang.""Bener juga kamu, Kep."" Aku tak bisa membayangkan kehidupan apa yang telah dialaminya. Saat masih SMA telah mengalami pelecehan dan bahkan harus melahirkan anak da
"Dhuk, katanya tadi makan, ayo!" ajakan Mbok Sarem membuat Lani melupakan kecurigaannya.Lani dengan pelan berdiri. Namun kemudian dia terhuyung, dan hampir jatuh. Untungnya Alzam segera menangkapnya, dan mendekapnya. Sejenak mereka salin berpandangan. Melihat itu timbul kekhawatiran di diri Mbok Sarem. "Ayo, biar Mbok saja yang gandeng ke ruang makan," sela Mbok Sarem.Lani yang masih bersitatap dengan Alzam segera menunduk. Lalu menyambut tangan Sarem yang membimbingnya."Emang masak apa, Mbok?" tanya Alzam begitu mereka sudah sampai di meja makan."Mas Alzam mandi duluh, baru ikutan makan," cegah Mbok Sarem saat melihat Alzam sudah mengambil posisi duduk di dekat Lani. Mbok Sarem memang berusaha menjauhkan Lani dari Alzam."Kalau gitu tunggu, dong, Mbok. Aku mandi duluh. Kayaknya enak kita bisa makan bertiga. Kayak punya keluarga.""Sebentar lagi juga Mas bisa seperti itu," ucap Mbok Sarem dengan pelan, padahal Alzam sudah pergi ke kamarnya. Lani hanya tersenyum menanggapinya. Ta
Dengan canggung Lani membiarkan Alzam tidur di sampingnya. Tidak lama sudah terdengar dengkuran halusnya. Lani hanya tersenyum melihat betapa cepatnya dia tertidur. Dengan tidur meringkung Lani membelakangi Alzam. Tak lupa, selimut pun dipakainya. Kalau kemarin dia tak merasa canggung karena dia sakit, tak bisa berfikir logis. Tapi entah kenapa kini dia merasa tidak enak hati. Dia bahkan meletakkan bantal guling di tengah-tengah mereka.Namun saat Lani terbangun di akhir malam, dia sudah mendapati tangan Alzam di pinggangnya. Bantal yang tadi dia letakkan di sebelahnya, malah pindah di belakang Alzam. Dengan pelan walau agak kaget, tahu semua itu, Lani meletakkan tangan Alzam. Dia lalu duduk sebentar, hendak ke kamar mandi. Sejenak Lani merasa kepalanya sudah enteng. Namun saat dia melangkah, mau berjalan, dia kembali terhuyung.Alzam segera menangkapnya. Lalu membawa Lani ke kamar mandi. Dan menurunkan Lani di dekat closet."Apa kamu hanya pura-pura tidurnya, Mas?" "Aku sudah biasa
"Lani, aku ini masih bujang. Aku saja belum pernah menyentuh perempuan. Mana aku ngerti beginian?" kelunya dengan bingung, membolak-balik benda itu.Lani yang awalnya cemas kini tersenyum lega. "Negatif.""Benarkah?" Alzam tampak lega, begitu senangnya sampai dia tak sadar langsung memeluk Lani erat-erat.Lani sedikit terkejut, kebingungan dengan tindakan Alzam yang mendadak."Syukurlah, apa yang aku takutkan tidak terjadi," seru Alzam melepaskan pelukannya dengan rasa canggung. "Maaf, saking gembiranya aku sampai memelukmu."Lani mengerling, lalu menyindir, "Bukannya kamu udah bisa peluk aku, Mas?"Alzam garuk-garuk tengkuk, salah tingkah. "Iya juga sih," gumamnya malu. Dia pun berjalan ke arah tempat tidur, siap untuk tidur.Lani yang melihatnya hanya bisa mendesah, "Ei, ngapain ke situ lagi?""Mau tidur lah. Masak buang air di tempat tidur?" jawab Alzam sambil tersenyum lebar."Aku udah baikan, Mas. Tadi aku minum susu yang kamu bawa, perutku udah nggak mual lagi. Jadi, kamu nggak
"Saya seolah mayat berjalan sejak pria itu merenggut apa yang saya banggakan. Hidup saya tak pernah punya tujuan, apalagi memikirkan perasaan untuk orang lain. Hati saya telah mati, terlebih dengan kejadian yang baru saja saya alami. Siapa yang akan mencintai wanita menjijikkan yang telah dijamah begitu pria tanpa pernikahan seperti saya, Mbok?" Setetes air mata telah menetes di pipi Lani. Dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan kepedihannya."Menangislah, Dhuk, kalau kamu ingin menangis," ucap Mbok Sarem saat melihat Lani seolah menahan tangisnya.Lani pun terisak, "Hidup saya telah hancur. Saya tak punya tujuan lain selain membesarkan Senja dengan baik." Lani sudah tergugu, saat Mbok Sarem sudah memeluknya."Kamu yang sabar ya, Dhuk," hibur Sarem, "suatu saat nanti kamu pasti menemukan orang yang benar-benar mencintai kamu dengan tulu," ucapnya sambil mengusap air mata Lani dengan tangan tuanya. Hinggah pandangannya berhenti dengan menatap lelaki tinggi atletis datang dengan paka
"Bu,.." Lani menahan tangan ibunya yang dengan tak sabar hendak keluar dan bertanya pada Alzam, apa dia ada hubungannya dengan Madan, pria yang telah menodai Lani delapan tahun yang lalu."Itulah yang dari awal membuat saya benci padanya, Bu, padahal dia telah menolong saya dan dengan baik merawat saya.""Kamu kenapa, Dhuk, sampai dia menolongmu?"Lani tergagap dengan ucapannya yang keceplosan. Dia lalu terdiam sesaat, mengambil nafas, lalu duduk sebentar di dipan tempat tidur Senja."Saya dikejar penjahat saat pulang kemari duluh itu, Bu.""Tapi kamu tidak apa-apa, Dhuk?" Towirah menelisik anaknya itu. Perempuan berrambut campur putih hitam dengan disanggul ke atas karena lebatnya rambutnya itu menelisik Lani dengan memindai wajah dan tubuhnya."Tidak apa-apa, Bu," bohong Lani. Bagaimana bisa ibunya itu menelisik dirinya. Karena yang luka bukan yang tampak di luar sekarang. Lecet-lecet di kakinya juga sudah sembuh dengan salep yang diberikan Dandi. Hanya hati dan jiwanya yang kini ma
Sejenak Lani menatap Alzam yang terpaku dengan menyebut sebuah nama yang sama sekali dia tak mengenalnya. Elma. Siapa Elma? tanya Lani dalam hatinya."Mbak, kapan pulang? Senja kangen!" Senja sudah memeluk Lani. Gadis berumur tujuh tahun itu sudah tinggi, walau badannya agak kurus. Dia lalu memandang Alzam yang masih terpaku menatapnya. Disunggingkanya senyumnya walau Alzam membalasnya dengan kaku."Kamu jam segini kok sudah pulang? " tanya Lani akhirnya. "bolos ya?" "Enak aja bolos. Mana aku pernah bolos, Mbak? Ini, ada rapat guru, mau ujian.""Mau ujian, ya?" sejenak Lani bingung karena dia belum membawa uang untuk ujian Senja. "apa kamu sudah ditagih bayar spp?" Gadis itu tersenyum, "Ghak usah dipikir, Mbak. Nanti kalau belum bisa bayar, tinggal minta keringanan saja. Kata Ibu, Mbak habis kena musibah.""Maafkan Mbak Lani, ya." Dipeluknya Senja dengan rasa tak karuan.Sementara Alzam yang masih memperhatikan kedua orang di depannya itu, bergulat dengan pikirannya sendiri. Kenapa
Marni menghela napas panjang. Hatinya sempat berbunga, mengira akhirnya impiannya terwujud—punya menantu berseragam, bukan lelaki sembarangan, bahkan Rey. Laki-laki yang pertama kali datang membawa harapan.Namun, Tukiran justru memasang syarat."Syaratnya mudah, tolong antar saya ke rumah Damar. Benar dia pernah memberi alamat saat nanti kami mau mengembalikan lamaran ke sana, tapi saya nggak hafal jalan di sana, jadi saya minta kalian bisa menunjukkan jalannya. Katanya satu perumahan."Atmajaya sekilas bersitatap dengan istrinya, juga dengan Rere. "Ternyata itu syaratnya? Baik, Pak. Kapan kami bisa mengantar?""Ya, nanti saat kalian balik.""Pak, secepat itu?" sahut Mira."Aku nggak mau ada beban. Besok atau kapan pun, sama saja, kenapa nggak nanti saja? Kita harus bareng ke rumah Damar," ujar Tukiran tegas. "Aku mau kembalikan semua yang dia kasih. Biar urusan selesai di sini."Marni spontan menoleh, wajahnya penuh keberatan. "Pak, buat apa? Kan sudah jelas Damar yang salah. Kalau
Tukiran berdiri tegak di depan rumah. Matanya tajam, tangan menunjuk ke arah Rey. "Bagaimana bisa kamu merebut Mira dari Damar? Bahkan sekarang kamu yang membawa Mira pulang?"Mira menegang."Kamu sudah bertunangan dengan orang lain, tapi malah menginap di rumah laki-laki lain!" Suara Tukiran naik. "Kamu mau bikin bapakmu malu?"Rey maju selangkah. "Pak, dengar dulu..."Tukiran mengibaskan tangan. "Dengar apa?!"Rey menarik napas dalam. "Saya menemukan Mira sudah di jalan dalam keadaan..."Kata-kata itu terhenti. Tatapan Tukiran makin tajam.Alzam yang di dalam, keluar dengan Lani."Pakde, dengar Rey menjelaskan sesuatu duluh, baru Pakde bersikap jika Rey memang salah."Marni melangkah cepat, berdiri di antara mereka. "Wes, ayo masuk dulu. Bicaranya di dalam." Suaranya lebih lembut, tetapi tegas. Beberapa orang yang lewat berhenti melirik ke arah mereka, membuat Marni semakin tak nyaman.Tukiran masih tampak kesal, tetapi akhirnya melangkah masuk. Yang lain mengikuti.Suasana terasa l
Suasana siang itu terasa panas, bukan hanya karena terik matahari yang menyengat, tetapi juga karena ketegangan di dalam rumah Tukiran."Bune, ini sudah siang. Mira kok belum juga diantar ke sini?" Tukiran mondar-mandir di ruang tamu. Wajahnya mengeras, sorot matanya tajam menusuk ke arah Marni yang justru terlihat santai duduk di kursi.Marni menghela napas. "Rey yang antar. Aman."Tukiran mendengus. "Kamu yakin?""Iya.""Dia itu juga laki-laki, Mar. Kamu sadar nggak? Anak perempuanmu nginap di rumahnya!"Marni tetap tenang, tetapi dagunya terangkat sedikit. "Rey nggak akan macam-macam."Tukiran meremas kedua tangannya. "Kamu percaya begitu saja?""Sudah aku bilang, Rey itu orangnya bertanggung jawab, jadi Bapak nggak perlu khawatir."Perdebatan mulai memanas. Tukiran membanting koran ke meja. "Tanggung jawab apa? Bisa-bisanya kamu begitu percaya pada orang yang bariu dikenal, Mar."Marni menatap suaminya. "Kenapa tidak?""Kamu nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, kenapa Mira yang
"Kak Rey, kalau nyupir itu lihat ke depan, jangan tengok ke spion terus!" gerutu Rere atas tingkah Rey yang sering curi pandang ke Mira."Kayaknya kamu udah kebelet banget, Rey, pingin nikah."Maya menimpali.Atmajaya terkekeh. Mira menunduk malu."Mama dan Rere sama aja, bikin aku jatuh di hadapan Mira.""Itu karena tingkah kamu, Rey. Gitu kita nggak boleh ke rumah Mira sekarang, maunya kapan?""Bukan begitu, Pa. La MIra masih ada janji sama Damar, bagaimanapun juga seharusnya kita nunggu mereka urus duluh agar Damar mundur, baru kita maju.""Kelamaan, Rey. Mumpung lihat kamu dan MIra sudah akur.""Maksud Tante?" tanya Mira."Biasanya kamu kata Rey selalu galak sama dia."Mira menatap Rey tajam."Mama, kok diomongin ke Mira, sih," kelu Rey.Semua terkekeh.Mira sendiri kini baru tau, kalau semua tentang dirinya sudah ada di cerita keluarga itu. Perasaan hangat menyelimuti dirinya dengan membalas lirikan Rey di kaca mobilnya."Terus, Mama sama Papa nih, bawa apa ke rumah Mira? Mama ngg
Subuh itu, Maya masih mengantuk saat berwudu di sisi kamar mandi. Suara langkah kaki di belakangnya membuatnya menoleh. Matanya langsung membelalak melihat Rey sudah berdiri di sana, bersandar di dinding dengan wajah santai. Dia mengenakan kaos oblong dan celana pendek seperti kebiasaannya jika di rumah."Kamu ngapain di sini, Rey?" tanyanya ketus, masih berkumur.Rey memasukkan tangannya ke saku celana. "Liat Mira."Maya menghela napas panjang, menatap langit-langit, lalu menatap Rey lagi. "Udah sholat?"Rey melirik jam dinding di ruang tengah yang terlihat dari tempat mereka berdiri. "Belum."PLAK!Tamparan ringan mendarat di pantat Rey."Sholat dulu, dasar teledor!" Maya mendelik, lalu menyentil kening anaknya dengan kesal.Rey mengusap bagian yang ditabok, meringis kecil. "Ma, aku sih mau sholat, tapi kan Mira di sini, aku mau liat dia dulu."Maya makin sebal. "Mau liat Mira apa mau cari alasan?!""Mama juga, aku ngajak Mira tidur di rumahku aja nggak boleh."Maya mendecak. "Mama
Rey menekan layar ponselnya, menunggu nada sambung. Baru mengucap salam.Alzam mengangkat. "Waalaiumussalam! Ada apa, Rey, kok mlam-malam telpon?"Rey melirik Mira yang duduk di sofa, memeluk bantal dengan wajah lelah. "Mira di sini."Hening sejenak."Lho? Kok bisa di rumahmu?""Nanti saja Mira sendiri yang cerita. Yang penting kasih tahu Budemu, biar nggak panik," suara Rey terdengar tenang.Alzam menarik napas. "Oke. Aku kasih tahu Bude Marni sekarang."Sambungan terputus.Mira melirik. "Aku harus pulang sekarang?"Rey mengangkat bahu. "Besok saja. Sekarang istirahat dulu."Mira mengangguk, tampak lega.Tapi Rey belum selesai. "Ayo beli baju dulu."Mira mengernyit. "Kenapa?"Rey melirik bajunya. "Yang kamu pakai aneh."Mira melihat ke dirinya sendiri, baru sadar betapa sempitnya baju Rere yang menempel pas di tubuhnya."Aku pakai baju Rere waktu SMP, ya wajar aneh," Mira mendengus. "Waktu tadi dikasih mama kamu yang awal, kebesaran, makanya dicarikan baju Rere yang lama, e, pas, tapi
Marni mondar-mandir. Langkah kakinya semakin cepat, hampir tanpa jeda. Nafasnya mulai memburu, bukan karena lelah, tapi cemas yang makin menumpuk."Kenapa belum pulang juga?"Suaranya lirih, lebih seperti bicara dengan diri sendiri. Tatapan matanya sesekali melirik jam dinding. Sudah hampir masuk waktu Isya. Mira belum juga muncul.Tukiran yang duduk di kursi kayu tua hanya bisa menghela napas panjang. "Mungkin masih perjalanan, Bu.""Kalau iya, kenapa pakai tidak bisa dihubungi segala!" bentak Marni tanpa sadar.Tukiran terdiam. Tidak ingin memperkeruh suasana.Marni kembali mengangkat ponsel, menekan nomor Mira. Ditempelkan ke telinga.Suara operator terdengar lagi.Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.Umpatan keluar dari mulutnya."Kenapa ponselnya mati terus?"Tukiran mengelus dada. "Jangan suudzon dulu, mungkin habis baterai."Marni memutar bola mata. "Habis baterai sejak Maghrib? Masuk akal nggak?"Tukiran memilih diam.Marni tak bisa lagi menung
Di meja makan rumah Rey, cangkir kopi masih mengepulkan asap tipis, tapi tidak ada yang menyentuhnya. Rey menatap kosong ke arah cangkir itu, pikirannya terjebak dalam pusaran masalah yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.Di sudut ruangan, Mira duduk dengan punggung tegang. Tatapannya terpaku pada Rey, menunggu jawaban.Ketegangan di antara mereka begitu terlihat.Atmajaya mengamati putranya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Di sampingnya, istrinya masih bersikap canggung."Ayo ke rumah, Ma," bisik Atmajaya."Kenapa harus buru-buru?" tanya istrinya, akhirnya membuka suara.Atmajaya hanya menoleh sekilas ke arah Rey dan MIra sebelum menepuk tangan istrinya dengan lembut. "Mereka perlu waktu untuk bicara.""Tapi, Pa, aku masih pingin ngobrol sama MIra. Siapa tau masih ada jalan keluar. Lihatlah, kulitnya begitu bening, biar cucu kita elak nggak suram terus kulitnya," balas Maya berbisik pula."Ih, apaan sih kamu. Nanti aku jelaskan di rumah," bisiknya pelan.Maya terdiam, tapi
Sandra menyodorkan semangkuk sup hangat ke hadapan putrinya yang tampak pucat. Sendok kecil itu hanya dipegang tanpa niat menyuapkan ke mulutnya. Matanya kosong menatap meja."Kamu harus makan, Nak. Badanmu makin lemah," lanjut Sandra dengan suara lebih lembut.Agna menghela napas. Bau kaldu ayam yang biasanya menggugah selera malah membuat perutnya bergejolak. Dia menutup mulut, menekan rasa mual. Sandra yang melihat itu langsung menyodorkan segelas air putih.Arya Baskara duduk berseberangan, menatap anak perempuannya dengan tatapan tajam. Ada perih dalam hatinya melihat Agna dalam kondisi seperti ini, tapi amarah masih lebih dominan."Jangan diam saja! Kamu sadar nggak apa yang kamu lakukan? Selingkuh, hamil, lalu berharap laki-laki tak berdosa itu menikahi kamu?" Suaranya bergetar menahan emosi.Agna menunduk. Setiap kata dari ayahnya seperti tombak menusuk ulu hati."Papi, Rey sudah janji akan menikahiku," katanya pelan.Baskara tertawa sinis. "Kamu pikir Rey mau kalau anak ini b