"Silahkan masuk Pak Kyai!" Alzam mempersilahkan tamunya."Saya izin masuk sebentar."
"Lani, maaf jika aku tak memberitahumu. Kita harus menikah siri sampai kamu merasa kuat dan pergi dari rumah ini seperti keinginanmu. Seperti yang aku katakan, aku tak ingin berbuat dosa dengan tak muhrim untukmu tapi selalu melakukan kontak fisik denganmu."
"Kamu melakukan hal ini tanpa persetujuanku?" Lani sampai membulat matanya.
"Aku hanya ingin menjaga kita agar tak menjadi dosa."
Lani menggeleng.
"Tolonglah, hanya nikah siri. Setelah semuanya ghak ada masalah, aku akan menjatuhkan talak untukmu. Dan kamu bisa pergi jika itu kemauanmu."
"Tidak, Mas!"
"Jangan keras-keras, Pak Kyai sudah di sini."
"Apa? Kamu ya, bisa-bisanya kamu,.."
Alzam menbekam mulut Lani. "Nurut saja. Apa kamu tidak percaya padaku?"
"Tapi jangan menuntut yang tidak-tidak kamu."
"Contohnya?"
"Kamu bukan lagi anak kecil yang harus dijelaskan secara rinci."
"Kalau kamu yang mulai duluan?" canda Alzam dengan menyimpan senyumnya melihat reaksi Lani.
Lani memalingkan mukanya sambil mendengus kesal.
Alzam terkekeh, lalu mengambil jilbab di dalam almari, yang kapan hari dibelinya sebagai baju Lani.
"Kamu pakai ini, ya? Kita mau nikah," bisiknya masih dengan mencandai Lani yang terlihat sewot.
"Aku tidak biasa pakai jilbab."
"O, jadi kamu ghak berhijab setiap harinya?" tanya Alzam. Di keluarganya yang agamis memang tak ada yang tidak memakai hijab. Bahkan mereka memakai hijab panjang dan syar'i.
"Aku memang tidak pernah berhijab."
"Baiklah. Tetapi, ini hanya sebentar, setelah itu dapat kamu lepaskan lagi, kan kita sudah muhrim."
"Apa kamu memang seagamis itu, atau kamu hanya pura-pura alim?"
"Kenapa bertanya seperti itu?"
"Hanya ingin tau."
"Aku hanya ingin merawatmu sampai sembuh tanpa harus melakukan dosa. Itu saja. Bagaimana aku tidak bingung jika kamu menggigil dan aku harus memelukmu. Belum kamu ke kamar mandi harus ada yang jaga. Sedangkan Mbok Sarem tak bisa terus mengawasimu."
"Ah, aku pusing. Terserah, deh. Yang penting jangan pernah mengambil keuntungan dariku."
"Percaya aku. Sekarang kamu sudah tau maksudku kan? Siap-siap ya, calon istriku!" goda Alzam dengan sengaja membuat Lani agar tak tegang.
"Cih!' cibik Lani.
Alzam hanya menyimpan senyumnya dengan berjalan kembali ke Pak Kyai.
"Seperti yang saya katakan tadi, Pak Kyai, kalau dipakai duduk saja dia ghak kuat, jadi kita ke kamarnya saja."
"Baiklah, saya mengerti. Jika tujuanmu memang demi kebaikan, Nak, kamu telah hebat dalam melangkah. Semoga setelah ini kamu akan menemukan kebahagiaan."
"Amiin. Terimaksih, Pak Kyai."
"Mas Alzam menikahi Lani?" bisik Mbok Sarem setelah menarik tangan Alzam "bagaimana bisa ini , Mas? Mas ghak takut Abi? Bagaimana jika beliau tau kamu kini menikah? Bagaimana dengan calon Mas Alzam?"
"Ini hnya sampai Lani sembuh, Bi."
"Pernikahan macam apa itu, Mas?"
"Sudahlah, ayo!"
"Assalamualaikum!' Pak Kyai memberi salam saat Alzam membuka pintu kamar Lani.
"Kita mulai, ya, Mbak."
Sebentar Lani melihat Alzam yang memandangnya dengan menggangguk.
"Siapa namamu dan nama Ayahmu, Dhuk?"
"Saya Daulani, Pak. Wagimin nama bapak saya."
"Baiklah."
"Bismillahirrahmanirrahim! Saudara Alzam Arrazi, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan wanita bernama Daulani binti Wagimin dengan mas kawin berupa alat sholat dan cincin, dibayar tunai."
Alzam yang duduk di samping Pak Kyai, sejenak memandang Lani. Pernikahan ini hanya sebuah tujuan, namun kenapa hatinya terus berdebar kencang?
"Saya terima nikah dan kawinnya Daulani binti Wagimin dengan mas kawin tersebut di atas, dibayar tunai." Suara Alzam bergetar.
Lani yang tak luput memperhatikannya. Tiba-tiba saja, setitik airmata menetes di sudut matanya. Kenapa aku menerima ini? Kenapa hatiku berdebar seperti ini? Apa ujung dari pernikahan siri yang kujalani ini?
"Alhamdulillah! Bagaimana saksi?"
Sah! Sah, Pak Kyai!" ucap ketiga murid Kyai Abduh dan Mbok Sarem.
Mbok Sarem sampai berembun matanya melihat kesungguhan ucapan Alzam yang juga nampak buram matanya.
"Sekarang berikan mas kawin itu."
Alzam mengambil mukena yang tadi dia beli saat ke kediaman Pak Kyai juga cincin yang berada di atasnya.
Diraihnya tangan Lani dengan bergetar. Lalu disematkannya cincin yang ternyata memang muat di jari kanan Lani. Tanpa sadar, Alzam mendaratkan ciumannya di kening Lani hinggah sontak membuat mata Lani terbelalak.
"Alhamdulillah, sudah selesai. Apapun tujuan awal kalian menikah, seperti yang diungkapkan Alzam, sekarang kalian adalah suami istri. Mudah-mudahan ada hikmah dari semua ini."
"Terimakasih, Pak!" ucap Lani dengan lirih.
Alzam kemudian mengantar Pak Kyai sampai di pintu.
"Jaga dia baik-baik, Nak. Dia telah mengalami beban yang berat dalam hidupnya," pesan Pak Kyai. Alzam memang sudah menceritakan semuanya ke Pak Kyai yang sudah lama menjadi guru spritual Alzam itu.
"Terimakasih, Pak!" ucap Alzam dengan menyalami Pak Kyai Abduh.
Kyai yang disegani di lingkungan mereka itu tersenyum menyejukkan. Alzam pun masuk setelah mobil yang membawa Kyai Abduh pergi.
"Lani sudah makan dan minum obat, Mbok?" tanyanya pada Mbok Sarem.
"Sudah, Mas, setelah sholat Maghrib tadi."
"Baiklah, Mbok. Terimakasih sudah menjaganya."
"Mas,.."
Alzam sampai berbalik kembali dengan panggilan Mbok Sarem. "Ada apa, Mbok?"
"Mbok, takut. Nanti keluarga Mas Alzam tau bagaimana?"
"Sudahlah, Mbok. Jangan berfikir banyak hal. Yang penting kita fokus pada kesembuhan Lani."
Mbok Sarem masih diam di tempat sambil melintir ujung bajunya. Akan ada badai besar jika abinya tau. Lindungi mereka, Ya Allah! Kasihan Lani nantinya. Dia sudah banyak menderita selama ini.
"Mau ke kamar mandi?" tanya Alzam.Lani sejenak memandang Alzam. Rasa aneh dan canggung menjadi terasa di hatinya. Demikian juga dengan yang dialami Alzam. Padahal sebelumnya itu justru tak mereka rasakan."Aku mau sholat saja duluh dengan tayamum. Aku takut tiap pegang air selalu kedinginan.""Baiklah, kalau begitu aku akan ke kamar mandi duluh. Aku mau wudhu, nanti sholatnya aku imami, ya."Lani mengangguk. Lalu tayamum.Alzam kemudian ke kamar mandi dan sebentar saja sudah kembali. Mereka pun segera berjamah. Ada yang sejuk dirasakan Lani saat mendengar ayat suci dilantunkan Alzam dengan fasihnya saat dia menjadi imam. Diam-diam Lani merasa jika benar dia dinikahi Alzam memang karena pria itu tak ingin melakukan dosa dengan terus bersamanya tanpa ada kata muhrim."Kenapa memandangiku?" "Enggak, ghak apa-apa," sahut Lani bingung."Jangan terus memandangi aku, nanti kamu jatuh cinta sama aku.""Aku takkan berani jatuh cinta padamu. Aku tau aku siapa. Hidupku telah hilang dibawa lela
"Sepertinya dia hanya trauma. Syukurlah dia tidak mengalami seperti dugaanku," ucap Dandi."Memangnya apa dugaanmu?""Aku kira orang-orang itu sudah sampai memperkosanya dan menularkan penyakit tertentu.""Syukurlah tidak, setidaknya aku bisa lega," ucap Alzam dengan tersenyum. "Hari ini puyengnya sepertinya mulai hilang. Hanya rasa dinginnya yang sepertinya belum pulih.""Tenaganya terkuras waktu melarikan diri itu. Terlebih dia harus melawan arus sungai yang lagi deras-derasnya.""Setidaknya dia bisa diajak bicara dan mulai mempercayai aku. Tidak seperti saat awal-awal duluh yang seperti membenciku.""Kamu tidak bertanya kenapa dia seolah membencimu dengan mengatakan mata dan tatapanmu itu mengingat dia pada seseorang yang teramat dia benci ?""Aku takut itu bisa mengusik masa lalunya yang sesungguhnya ingin dia buang.""Bener juga kamu, Kep."" Aku tak bisa membayangkan kehidupan apa yang telah dialaminya. Saat masih SMA telah mengalami pelecehan dan bahkan harus melahirkan anak da
"Dhuk, katanya tadi makan, ayo!" ajakan Mbok Sarem membuat Lani melupakan kecurigaannya.Lani dengan pelan berdiri. Namun kemudian dia terhuyung, dan hampir jatuh. Untungnya Alzam segera menangkapnya, dan mendekapnya. Sejenak mereka salin berpandangan. Melihat itu timbul kekhawatiran di diri Mbok Sarem. "Ayo, biar Mbok saja yang gandeng ke ruang makan," sela Mbok Sarem.Lani yang masih bersitatap dengan Alzam segera menunduk. Lalu menyambut tangan Sarem yang membimbingnya."Emang masak apa, Mbok?" tanya Alzam begitu mereka sudah sampai di meja makan."Mas Alzam mandi duluh, baru ikutan makan," cegah Mbok Sarem saat melihat Alzam sudah mengambil posisi duduk di dekat Lani. Mbok Sarem memang berusaha menjauhkan Lani dari Alzam."Kalau gitu tunggu, dong, Mbok. Aku mandi duluh. Kayaknya enak kita bisa makan bertiga. Kayak punya keluarga.""Sebentar lagi juga Mas bisa seperti itu," ucap Mbok Sarem dengan pelan, padahal Alzam sudah pergi ke kamarnya. Lani hanya tersenyum menanggapinya. Ta
Dengan canggung Lani membiarkan Alzam tidur di sampingnya. Tidak lama sudah terdengar dengkuran halusnya. Lani hanya tersenyum melihat betapa cepatnya dia tertidur. Dengan tidur meringkung Lani membelakangi Alzam. Tak lupa, selimut pun dipakainya. Kalau kemarin dia tak merasa canggung karena dia sakit, tak bisa berfikir logis. Tapi entah kenapa kini dia merasa tidak enak hati. Dia bahkan meletakkan bantal guling di tengah-tengah mereka.Namun saat Lani terbangun di akhir malam, dia sudah mendapati tangan Alzam di pinggangnya. Bantal yang tadi dia letakkan di sebelahnya, malah pindah di belakang Alzam. Dengan pelan walau agak kaget, tahu semua itu, Lani meletakkan tangan Alzam. Dia lalu duduk sebentar, hendak ke kamar mandi. Sejenak Lani merasa kepalanya sudah enteng. Namun saat dia melangkah, mau berjalan, dia kembali terhuyung.Alzam segera menangkapnya. Lalu membawa Lani ke kamar mandi. Dan menurunkan Lani di dekat closet."Apa kamu hanya pura-pura tidurnya, Mas?" "Aku sudah biasa
"Lani, aku ini masih bujang. Aku saja belum pernah menyentuh perempuan. Mana aku ngerti beginian?" kelunya dengan bingung, membolak-balik benda itu.Lani yang awalnya cemas kini tersenyum lega. "Negatif.""Benarkah?" Alzam tampak lega, begitu senangnya sampai dia tak sadar langsung memeluk Lani erat-erat.Lani sedikit terkejut, kebingungan dengan tindakan Alzam yang mendadak."Syukurlah, apa yang aku takutkan tidak terjadi," seru Alzam melepaskan pelukannya dengan rasa canggung. "Maaf, saking gembiranya aku sampai memelukmu."Lani mengerling, lalu menyindir, "Bukannya kamu udah bisa peluk aku, Mas?"Alzam garuk-garuk tengkuk, salah tingkah. "Iya juga sih," gumamnya malu. Dia pun berjalan ke arah tempat tidur, siap untuk tidur.Lani yang melihatnya hanya bisa mendesah, "Ei, ngapain ke situ lagi?""Mau tidur lah. Masak buang air di tempat tidur?" jawab Alzam sambil tersenyum lebar."Aku udah baikan, Mas. Tadi aku minum susu yang kamu bawa, perutku udah nggak mual lagi. Jadi, kamu nggak
"Saya seolah mayat berjalan sejak pria itu merenggut apa yang saya banggakan. Hidup saya tak pernah punya tujuan, apalagi memikirkan perasaan untuk orang lain. Hati saya telah mati, terlebih dengan kejadian yang baru saja saya alami. Siapa yang akan mencintai wanita menjijikkan yang telah dijamah begitu pria tanpa pernikahan seperti saya, Mbok?" Setetes air mata telah menetes di pipi Lani. Dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan kepedihannya."Menangislah, Dhuk, kalau kamu ingin menangis," ucap Mbok Sarem saat melihat Lani seolah menahan tangisnya.Lani pun terisak, "Hidup saya telah hancur. Saya tak punya tujuan lain selain membesarkan Senja dengan baik." Lani sudah tergugu, saat Mbok Sarem sudah memeluknya."Kamu yang sabar ya, Dhuk," hibur Sarem, "suatu saat nanti kamu pasti menemukan orang yang benar-benar mencintai kamu dengan tulu," ucapnya sambil mengusap air mata Lani dengan tangan tuanya. Hinggah pandangannya berhenti dengan menatap lelaki tinggi atletis datang dengan paka
"Bu,.." Lani menahan tangan ibunya yang dengan tak sabar hendak keluar dan bertanya pada Alzam, apa dia ada hubungannya dengan Madan, pria yang telah menodai Lani delapan tahun yang lalu."Itulah yang dari awal membuat saya benci padanya, Bu, padahal dia telah menolong saya dan dengan baik merawat saya.""Kamu kenapa, Dhuk, sampai dia menolongmu?"Lani tergagap dengan ucapannya yang keceplosan. Dia lalu terdiam sesaat, mengambil nafas, lalu duduk sebentar di dipan tempat tidur Senja."Saya dikejar penjahat saat pulang kemari duluh itu, Bu.""Tapi kamu tidak apa-apa, Dhuk?" Towirah menelisik anaknya itu. Perempuan berrambut campur putih hitam dengan disanggul ke atas karena lebatnya rambutnya itu menelisik Lani dengan memindai wajah dan tubuhnya."Tidak apa-apa, Bu," bohong Lani. Bagaimana bisa ibunya itu menelisik dirinya. Karena yang luka bukan yang tampak di luar sekarang. Lecet-lecet di kakinya juga sudah sembuh dengan salep yang diberikan Dandi. Hanya hati dan jiwanya yang kini ma
Sejenak Lani menatap Alzam yang terpaku dengan menyebut sebuah nama yang sama sekali dia tak mengenalnya. Elma. Siapa Elma? tanya Lani dalam hatinya."Mbak, kapan pulang? Senja kangen!" Senja sudah memeluk Lani. Gadis berumur tujuh tahun itu sudah tinggi, walau badannya agak kurus. Dia lalu memandang Alzam yang masih terpaku menatapnya. Disunggingkanya senyumnya walau Alzam membalasnya dengan kaku."Kamu jam segini kok sudah pulang? " tanya Lani akhirnya. "bolos ya?" "Enak aja bolos. Mana aku pernah bolos, Mbak? Ini, ada rapat guru, mau ujian.""Mau ujian, ya?" sejenak Lani bingung karena dia belum membawa uang untuk ujian Senja. "apa kamu sudah ditagih bayar spp?" Gadis itu tersenyum, "Ghak usah dipikir, Mbak. Nanti kalau belum bisa bayar, tinggal minta keringanan saja. Kata Ibu, Mbak habis kena musibah.""Maafkan Mbak Lani, ya." Dipeluknya Senja dengan rasa tak karuan.Sementara Alzam yang masih memperhatikan kedua orang di depannya itu, bergulat dengan pikirannya sendiri. Kenapa
Pagi itu, suasana di rumah Mira begitu meriah. Janur kuning melengkung megah di depan gang, menandai ada hajatan besar. Pregolan terop berdiri kokoh, dihiasi dua pohon pisang raja yang menjulang di sisi kanan dan kiri, pertanda kesakralan acara. Di atasnya, terop model modern dengan gelembung-gelembung kecil dan lampu hias , berpadu dengan rumbai-rumbai bunga, menciptakan nuansa perayaan yang mewah.Empat penerima tamu berdiri di pintu masuk, anggun dalam kebaya beludru merah maroon. Senyum mereka ramah menyambut para tamu yang datang dengan wajah penuh antusiasme. “Sugeng rawuh,” sapa salah satu dari mereka, membungkukkan badan sedikit sebagai tanda penghormatan.Di dalam, gending Jawa mengalun lembut, dipimpin MC Pak Warno yang duduk bersila di atas tikar pandan. Suaranya mendayu-dayu, menyanyikan tembang-tembang penuh makna. “Lir-ilir, lir-ilir...”Bu Gita, pemilik WO, setelah berbincang dengan Pak Warno, berkeliling mengontrol segala sesuatunya agar terlaksana dengan baik.Di hala
Agak siang setelah perginya para tetangga setelah membenahi terop, rumah Mira dipenuhi kesibukan lain sebagai rangkaianaprosesi Jawa berlangsung. Tukiran memasang bleketepe di pregolan rumah di dampingi Marni. Mereka sudah mengenakan pakaian adat Jawa lengkap. Marni memakai kebaya dan sanggul Jawa, sementara Tukiran memakai beskap tangkepan warna krem. Anyaman daun kelapa itu dipercaya sebagai simbol penyucian dan keberkahan bagi calon pengantin. Tukiran, dengan tangan cekatan, memastikan setiap helai daun tersusun rapi.Sementara itu, di dapur, para ibu-ibu sibuk menyiapkan berbagai keperluan untuk acara siraman. Suara gemericik air, dentingan alat masak, dan canda tawa bersahutan, menciptakan suasana hangat.Di serambi rumah, Mira duduk dengan raut wajah yang sedikit tegang. Hari ini adalah hari siramannya, salah satu prosesi penting dalam adat pernikahan Jawa. Ia mengenakan kain batik dengan selendang hijau yang disampirkan di bahu, juga rangkaian melati untuk menutup dada atasn
Sehari sebelum pernikahan Mira, rumahnya sudah penuh dengan kesibukan sejak subuh. Para tetangga lelaki tampak sibuk memasang terop lanjutan di halaman depan, sementara pihak WO sudah datang lebih awal dan menyelesaikan terop tujuh plongnya, lalu memastikan dekorasi pernikahan untuk besok berjalan lancar.Terop warna abu-abu silver dengan hiasan rumbai sudah terpasang dengan baik. Sementara dekorasi gebyok Jawa klasik diminta keluarga Mira untuk menyesuaikan tema yang mereka usung.Bu Gita, sang Wo sudah mengingatkan kenapa harus pakai dekorasi itu, kenapa tidak yang minimalis seperti yang kini lagi trendnya. Namun di tempat Rey yang sudah memakai dekorasi model itu, membuat Marni mengusulkan ide itu, mengikuti rias manten Jawa Paes Ageng yang telah lama diinginkan Mira dalam pernikahannya. Dan memakai dekorasi Jawa itu, hanya dia ingin bunganya harus hidup semua. Di dapur, suasana tak kalah riuh. Ibu-ibu dan remaja putri berkumpul, ada yang mengiris bumbu, mengaduk santan, dan mem
Pagi, fajar mulai menyingsing, dan di Sendang Agung suasana begitu berbeda. Orang-orang telah bersiap untuk melaksanakan Salat Idul Fitri. Seperti tahun-tahun sebelumnya, penyelengggara sholat iedul fitri ada di dua tempat-masjid dan lapangan. Meski begitu, tidak ada perpecahan di antara mereka. Semua saling menghormati pilihan masing-masing.Di rumah Wagimin dan Towirah, kegembiraan terpancar dari wajah Alzam dan Lani. Lani sibuk memakaikan baju baru untuk bayi mereka yang masih merah, sementara Alzam menyiapkan sarung dan pecinya untuk peri sholat Ied. Tak lupa, Senja yang kini berusia sebelas tahun berdiri di depan cermin, memastikan kerudungnya rapi. Hari ini adalah hari yang bersejarah dalam hidupnya, 31 Maret."Kamu sendiri di rumah, hati-hati ya," pesan Alzam sebeum berangkat pada Lani yang memang belum bisa sholat karena masih dalam nifas.Setelah salat, mereka kembali ke rumah untuk sungkem. Towirah duduk di kursi, menatap penuh kasih pada anak-anak dan cucunya. Alzam lebih d
Arhand baru saja akan menaiki pesawat saat ponselnya bergetar. Dengan sedikit kesal, dia mengangkatnya."Sayang, aku pingin ikut takbir keliling," suara Agna terdengar riang di seberang sana. Tapi pinginnya sama kamu."Arhand menghela napas, melirik jam tangan. Jika dia menunda penerbangan, dia bisa terlambat untuk sampai di Makassar. Tapi, bagaimana mungkin dia menolak permintaan calon istri yang sedang hamil?"Agna, aku sudah di bandara," katanya pelan."Tapi aku ingin kamu di sini," suara Agna merajuk.Arhand menutup mata, mencoba menahan dilema yang menyerangnya. Di satu sisi, ada keluarga yang menunggunya di Makassar. Di sisi lain, Agna adalah prioritasnya. Terdengar suara lain di belakang Agna. Itu pasti Sandra, ibu Agna." Arhand, kalau bisa temani Agna dulu. Dia sedang hamil, emosinya mudah naik turun," kata Manda lembut. "Tolong ya."Arhand mengembuskan napas. Pikirannya berkecamuk, tapi akhirnya dia berkata, "Baiklah, aku ke sana."Malam takbiran di kompleks perumahan mewa
Asraf memegang erat uang tabungannya yang sudah ia kumpulkan sejak lama. Mata bocah itu berbinar, namun raut wajahnya juga menunjukkan kegugupan. Ia menoleh ke arah ayahnya, Guntur, yang tengah menyiapkan motor di halaman rumah.“Yah, tolong antar Asraf, ya?” pintanya penuh harap.Guntur mengernyitkan dahi. “Mau ke mana sore-sore begini? Besok Lebaran, jalanan pasti macet.”Asraf tersenyum kecil, lalu menggenggam erat celengannya yang pecah tadi pagi. “Ke toko, Yah. Mau beli sesuatu.”Meskipun heran, Guntur akhirnya mengangguk. Tak lama, motor pun melaju ke arah pasar yang semakin ramai dengan lalu lalang orang mencari kebutuhan Lebaran. Jalanan penuh sesak, suara klakson dan teriakan pedagang bercampur menjadi satu. Asraf duduk diam di belakang ayahnya, matanya fokus ke depan, seakan sedang memikirkan sesuatu yang besar."Ke sana, Yah." Dia menunjukkan jarinya ke sebuah toko."Jangan langsung gini, Asraf. Dari tadi gitu kenapa? Nggak gampang cari cela buat ke toko itu.""Maaf deh, Ya
Rey duduk di kursi kayu depan rumahnya. Di hadapannya, halaman yang biasa terasa luas kini terasa sempit. Ia menggenggam ponselnya erat, berharap ada balasan dari Mira. Tadi malam, tidurnya tidak nyenyak. Pikirannya dipenuhi bayangan Mira yang sibuk mempersiapkan pernikahan mereka.Ia ingin melihat wajah Mira, meskipun hanya sebentar.Jari-jarinya mengetik cepat. ["Mira, aku kangen. Tolong angkat telponnya sebentar saja. Cuma sebentar."]Tapi tak ada balasan. Rey menatap layar ponselnya dengan napas berat. ["Mira, cuma lima menit saja. Aku cuma mau lihat wajahmu."]Layar ponselnya tiba-tiba bergetar. Panggilan video dari Mira. Dengan cepat, Rey menekan tombol hijau.Namun, bukan wajah Mira yang muncul, melainkan pemandangan dapur rumahnya yang sibuk. Beberapa ibu-ibu terlihat sibuk mengaduk adonan, membentuk kue, dan menata loyang ke dalam oven.Dapur terlihat penuh sesak. Meja panjang dipenuhi adonan yang masih setengah jadi, loyang bertumpuk di sudut ruangan, dan beberapa toples ku
Senja berdiri di ambang pintu ruang keluarga. Cahaya lampu ruangan memantulkan siluet tubuhnya yang tinggi langsing. Sementara di dalam kamar, Lani dan Alzam saling bertukar pandang. Tatapan mereka penuh pertanyaan, seolah mencoba menebak apa yang ada di kepala anak itu.“Aku sudah bicara dengan Yangti dan Yangkung,” kata Senja tiba-tiba, suaranya tenang tetapi ada sedikit ketegangan di sana.Lani mengangkat alisnya. “Bicara soal apa?”“Mereka setuju untuk merayakan besar-besaran.”Alzam bersandar ke sofa, matanya meneliti wajah putrinya. “Maksudmu, merayakan di rumah mereka?”Senja menggeleng. “Bukan. Mereka ingin mengadakan acara dengan anak-anak yatim piatu.”Lani terdiam sejenak, mencerna ucapan itu. Raut wajahnya tidak menunjukkan ketidaksetujuan, justru sebaliknya.“Itu ide yang bagus,” katanya akhirnya. “Berbagi kebahagiaan dengan mereka yang kurang beruntung itu hal yang mulia.”Namun, alih-alih tersenyum senang, Senja malah mengalihkan pandangannya.“Kamu nggak suka?” tanya L
Alzam membungkuk pelan, mendekat ke tempat tidur bayi di samping ranjang mereka. Excel tertidur pulas, nafasnya naik turun dengan tenang, tubuh kecilnya terselimut hangat. Alzam tersenyum lega. "Wah… anak ayah ganteng banget, ya." Suaranya berbisik, nyaris seperti doa, lalu mencium pipinya yang mulai tembem berkali-kali.Bayi itu menggeliak.Lani, yang masih duduk bersandar di bantal, segera menegur dengan suara pelan, "Mas, jangan keras-keras. Jangan diciumi begitu juga. Nanti bangun lagi, nangis lagi, kita nggak bisa tidur."Alzam menoleh, mengangkat sebelah alisnya. "Cemburu, ya?" godanya, sebelum kemudian mendekat dan merengkuh istrinya. "Kamu juga ganteng kok… eh, cantik maksudnya." Dia mengecup pipi Lani dengan gemas.Lani tertawa kecil, tapi segera meletakkan telunjuk di bibirnya. "Ssstt… serius, Mas. Aku masih trauma. Kalau dia bangun dan nangis terus lagi seperti kemarin malam, aku bisa pingsan. Aku takut dia kenapa-napa."Alzam melirik Excel yang masih diam dalam tidurnya. "