Share

Bab 03. Perasaan Ini.

"Lupakan! Ayo, kita ke ruang rapat sekarang. Katanya mau ada operasi khusus."

Dandi hanya diam sambil berjalan mengikuti Alzam. Dia sedikit heran dengan arah pembicaran Alzam. Terlebih saat Alzam begitu terlihat menghawatirkan Lani.

"Maaf, ini agak sakit."  Dandi  mengambil sampel darah.

Lani hanya memandang jarum itu menghisap darahnya. Padahal Alzam malah memalingkan pandangannya seolah tak tega.

"Aku sudah kebal dengan rasa sakit sejak aku lari dari orang-orang biadab itu, dan tidak lagi merasakan duri yang menancap di kakiku."

"Bagaimana kejadiannya hinggah kamu mengalami hal seperti itu?" 

"Aku hendak pulang ke desa, ada dua orang mencegatku, dan membekamku. Sepertinya mereka suruan seseorang melihat segala macam yang mereka ungkapkan dan laporkan."

"Kamu tau orangnya, kenapa dia sampai berniat buruk padamu?"

Lani menggeleng.

"Kamu punya musuh?"

"Apa mungkin dia tega melakukan itu," gumannya.

"Dia siapa?"

"Ini memang salahku, aku menyetujui menikah siri dengan suami orang hanya karena aku membutuhkan uang untuk biaya operasi anakku. Sebenarnya aku mau melunasi hutangku dengan kerja di tempatnya, tapi dia hanya memberikanku pilihan menikah dengannya."

"Kamu punya anak?" tanya Dandi heran, lalu menatap Alzam yang sikapnya terlihat lain.

"Aku punya anak tanpa suami," ucap Lani dengan senyum getir. "hidup aku hancur saat aku masih SMA dinodai seseorang. Dia seorang exportir yang kebetulan tinggal di desa kami dan aku juga ibuku mengurus segala keperluannya saat tinggal di rumah pakdeku yang menjadi kepala desa." Sekilas Lani menatap Alzam. "beasiswa kuliah yang akan aku dapat aku tinggalkan setelah tau aku hamil."

"Tapi kenapa orang itu menyekapmu?" Dandi berusaha mengalihkan masa lalu Lani dengan bertanya ke hal lain setelah dia melihat raut wajah Alzam yang aneh.

"Saat istrinya tau kami akan menikah, dia marah besar. Dia berusaha membatalkan pernikahan kami. Tetapi lelaki itu masih terus berusaha mendekatiku walau aku mengatakan aku tak ingin bertemu dengannya dan aku pasti melunasi hutangku kapan-kapan. Sampai malam itu, wanita itu yang mengetahui suaminya masih berusaha datang kepadaku, mengancamku. Dengan mengatakan akan menjadikanku wanita yang paling hina. Entah apa maksudnya. Apa seperti yang dilaporkan orang-orang itu yang sepertinya mau membawaku ke rumah bordir."

Lani sebentar tersenyum getir. "Aku tak mengira, aku mengalami hal seperti ini dalam hidup."

"Kamu yakin wanita itu pelakunya?" 

Lani menggeleng. "Aku tidak yakin orang seperti dia pelakunya. Apa benar dia setega itu. Namun aku cuma bisa mendengar saat orang itu melapor dengan menyebut Mbak."

"Aku rasa dia pelakunya,"guman Alzam .

"Aku rasa juga begitu. Baiklah, aku akan bawa sampel darah ini ke laboratorium. Untuk sementara saya akan beri obat untuk kepala kamu. Sepertinya kamu terkena puyeng."

"Terimaksih," ucap Lani. "maaf merepotkan."

"Aku tidak merasa kamu repotkan. Ghak usah segan." Dandi tersenyum dan pamit.

"Ghak main duluh di sini, Mas?" tanya Mbok Sarem.

"Lain kali saja, Mbok," ucapnya tersenyum dengan memindai Alzam yang sudah duduk di kursi dekat Lani dan menatap wanita itu.

"Kamu sudah sholat Ashar?" tanya Alzam kemudian.

Lani menggeleng lemah.. Lalu berusaha turun dari tempat tidur. Baru juga duduk di tepi tempat tidur, dia memegangi kepalanya yang seolah berputar.

"Biar aku bantu ke kamar mandi."

"Ghak usah, aku bisa sendiri," ucap lani dengan berpegangan ke tembok. Namun tak lama dia terhuyung.

Alzam segera menangkapnya, lalu menggendong Lani ke closet dengan didudukkan di sana. "Kencinglah, aku keluar duluh."

Lani terdiam dan malu. Setelah selesai dia mengambil air wudhu. Rasa dingin kembali menyeruak kulitnya. Dengan menuntun tembok, dia keluar dan kembali hampir tersungkur kalau saja Alzam tidak segera menangkapnya.

Melihat Lani yang kembali menggigil, Alzam segera merangkulnya dengan membawanya ke tempat tidur. Kembali mulutnya berucap istighfar atas apa yang dia lakukan. Baru setelah Lani tenang, dia beranjak pergi.

"Mbok, tunggui Lani, saya keluar sebentar," ucapnya setelah sudah berganti dari baju dinasnya.

Mbok Sarem yang menelisik penampilannya terheran. Mau ke mana pakai sarung? tanyanya dalam hati. 

Sementara di rumah Damar.

"Dari mana kamu sampai malam begini baru pulang, Mas?" sapa Vero yang mendapati Damar baru pulang hinggah larut malam.

"Dari luar, apa kamu ghak lihat?"

"Luar itu ada namanya, Mas."

"Apa aku sekarang harus apa-apa lapor kamu?" tanya Damar dengan membelalakkan matanya.

"Apa kamu cari wanita lain lagi, Mas?"

"Kamu benar-benar ya, ghak mikir. Apa aku bisa mencari wanita lain, sementara wanita yang kucintai kamu singkirkan dan sampai sekarang tak ada kabarnya?" ucap Damar yang telah mengetahui dalang hilangnya Lani adalah Vero istrinya.

"O, kamu masih sekarang terang-terangan mengatakan cinta itu, Mas?"

"Iya, puas kamu! Aku mencintainya. Dan takkan berhenti mencarinya."

"Tega kamu, ya, Mas, kepadaku? Aku telah berusaha berubah demi kamu, kamu malah memikirkan wanita lain dalam hidup kamu."

"Kalau saja kamu tidak melakukan tindakan itu, mungkin aku telah kembali kepadamu. Tapi kesalahan yang kamu perbuat itu tak dapat aku maafkan bergitu saja. Jika sampai Lani benar-benar meninggal karena kamu, pernikahan kita,..."

"Apa? Apa maksudmu, Mas?" Vero menarik tangan suaminya yang hendak keluar.

" Aku tak terima dengan apa yang telah kaulakukan ke Lani. Sebagai konsekwensinya, harus kamu yang menanggungnya."

"Pikiranmu telah penuh dengan Lani!"

"Semua itu karena kamu yang tak pernah mau mengerti kebutuhanku sebagai lelaki."

Vero terdiam, lalu menatap Damar nyalang. "Baik. Kita cerai!"

Sementara Alzam yang telah datang ke rumahnya.

"Lho, Mas, ada apa ini kok sama Pak Kyai Abduh?" tanya Mbok Sarem dengan memindai Kyai Abduh dengan tiga orang santri yang dikenal selalu mengikutinya ke manapun beliau pergi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status