Share

Bab 02. Penawaran.

"Jika nanti kamu sembuh, aku bisa menjatuhkan talak untukmu. Dan kamu bisa pergi seperti kemauanmu." Alzam masih menerangkan maksudnya. Dia mendengar dari cerita Mbok Sarem kapan hari kalau Lani rajin minum obat dan rajin makan walau mulutnya pahit, dengan mengatakan kalau dia ingin segera sembuh dan pergi.

Lani menggeleng kuat.

"Kita hanya menikah sirih, disaksikan pak kyai."

"Aku sudah pernah menyetujui pernikahan siri yang berujung dengan kesengsaraanku seperti ini, kenapa aku harus terjun kembali?"tanya Lani dengan menatap pria yang kini ada di hadapannya. "apalagi denganmu, orang yang mengingatkanku pada orang yang paling aku benci di dunia."

" Ini hanya untuk membuat kita menjadi muhrim, sementara sampai kamu kuat kembali dan aku bisa melepasmu." Perkataan Alzam agak meninggi melihat sikap Lani.

"Tidak, aku tidak ingin lagi terlibat dalam masalah," tekat Lani dengan terus menggigil. Giginya kembali gemertak.

"Entah apa masalahmu kepadaku sampai kamu seolah membenciku. Nama saja kalau tidak Mbok Sarem, kamu tak ingin mengatakannya. Siapa lelaki yang mengingatkanmu itu sampai aku kamu samakan dengannya?"

Lani hanya menajamkan matanya ke Alzam. Gemertak giginya makin keras.

Dalam bingung karena merasa bukan muhrim, Alzam menarik tangan Lani dan menggosokkan minyak kayu putih ke telapak tangan Lani dengan harapan akan menghangatkannya. Namun itu tak membantunya. Digosokkan ke kakinya, Lani bahkan menjerit karena perih sebab kakinya yang lecet- lecet penuh luka.

"Aduh, perih, perih. Kamu mau bunuh aku?"

Alzam bergegas ke kamar mandi, mengambil washlap dan mengelap kaki Lani. Namun setelah terkena air, dia malah menggigil keras.

Tak sabar lagi Alzam sudah naik ke tempat tidur dan memeluk Lani, membenamkan Lani di dekapannya dengan terus istighfar. Sampai wanita itu terlelap.

Setelah hampir semalaman Alzam merawat Lani, dia terbangun kembali setelah adzan Subuh telah berkumandang.

"Lani, kamu mau sholat Subuh?" tanyanya dengan menepuk pipi Lani.

Lani yang bangun, segera mengibaskan Alzam dari sisinya sampai Alzam hampir terjatuh.

"Kamu ghak ada rasa terimakasihnya ya, sudah aku tolong masih juga jahat padaku."

Lani terdiam. Entah kenapa benci itu ada tiap melihat matanya. Saat dia melakukannya memang dia tak sadar, hinggah dia merasa telah jahat pada pria yang menolongnya dengan baik itu.

Alzam meninggalkan Lani, beranjak ke kamarnya. Bersiap untuk pergi kerja. Namun perasaan tak enak hati membuatnya kembali ke kamar Lani.

"Lani!" pekik Alzam lalu mengangkat Lani yang tergeletak ke tempat tidur.

Lani hanya bisa menatapnya dengan diam. Rasa berputar di kepalanya yang dia derita tak jua hilang membuat keseimbangan tubuhnya sering goyah.

"Kamu sudah sholat?"

Lani menggeleng.

"Sudah wudhu?"

Dia mengangguk.

"Sholatlah, aku akan menunggumu."

"Tapi ini sudah kesiangan. Dari tadi aku tergeletak tak bisa bangun. Kepalaku berputar tiap aku bangun," ucap Lani dengan merasa bersalah telah jahat pada Alam yang begitu tulus merawatnya.

Sejenak Alzam menyesali keputusannya pergi meninggalkan Lani tadi.

"Sholatlah, aku akan panggilkan Mbok Sarem sementara aku pergi kerja," ucapnya sambil menyelimuti Lani.

Lani menatapnya dengan sesal kembali. Dia telah membuktikan kebaikannya, kenapa aku terus membencinya hanya karena dia mirip seseorang yang tak mungkin juga ada hubungannya.

"Kenapa memandangku seperti itu?"

"Enggak," Lani membuang pandangannya, berusaha mengelak.

Alzam hanya tersenyum sekilas lalu meninggalkan Lani yang memulai sholatnya dengan tidur.

"Mbok, jangan lupa sering dampingi dia, kuatir kalau dia jatuh. Baru saja dia jatuh setelah dari kamar mandi."

"Oala, kasihan sekali dia. Pikir Mbok tadi segera masak biar dia segera makan dan minum obat, ghak taunya ditinggal malah jatuh."

***

"Kamu kok tidak menelponku, apa tidak ada masalah dengan wanita itu?" tanya Dandi begitu Alzam sampai di ruangannya dan duduk di depannya.

" Dia sering menggigil. Entah kenapa. Dia juga kehilangan keseimbangan jika badannya dibangunkan. Kepalanya katanya berputar."

"Aku nanti ke sana, kita lakukan tes darah. Dia sepertinya kena puyeng bahasa jawanya. Kepala berputar itu."

"Terimakasih, Dandi."

"Kenapa kamu harus berterimakasih? Aku juga hanya bermaksud menolongnya, sama juga sepertimu."

Alzam terdiam. Dandi sampai menelisik sikap sahabatnya itu.

"Kamu ada masalah?"

"Enggak," elak Alzam. Pikirannya memang tak bisa lepas dari Lani. Sampai dia sendiri heran dengan hatinya.

"Jangan kamu bilang, kamu memikirkan gadis itu, Alzam."

"Aku sudah memikirkan dia sejak pertama melihatnya."

"Kamu mau main api?"

"Entahlah, aku tak bisa mengelaknya. Kamu tau sendiri aku bukanlah orang yang mudah jatuh cinta. Namun saat melihatnya pertama kali, aku merasakan ada yang lain."

"Lupakan, Alzam. Kamu tidak tau siapa dia. Lagipula sudah ada orang yang lebih pantas untukmu."

Alzam hanya diam, membuang pandangannya jauh ke jendela, menatap barisan anak buahnya yang masih berlari mengitari lapangan. Hari ini bahkan karena Lani aku tak lari pagi, gumannya.

Alzam sendiri heran dengan perasaannya. Bisa-bisanya dia berdebar saat mata itu pertama mengerjab. Sekarang pun dia tak sabar untuk pulang dan bertemu dengan Lani kembali.

"Kamu dengan jabatanmu, tak bisa dengan begitu saja memilih gadis sembarangan, Alzam. Kamu harus pikirkan gadis yang bisa kamu ajak hidup bersama. Gadis yang menjadi panutan untuk ibu-ibu yang lain di persit. Bukan sekedar paras yang cantik, tapi otak nol. Apalagi tidak tau asal usulnya."

"Kenapa orang berfikir jodoh saja ribet? Kalau aku, sebenarnya yang kuingin hanyalah wanita yang bisa membuat aku mencintainya, dan merindukannya setiap saat. Dan itu belum aku dapatkan di diri siapapun, sampai,.." Alzam tak meneruskan kata-katanya, dia sadar diri, pemikiran itu takkan sejalan dengan pemikiran Dandi.

"Sampai apa, Alzam?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status