Di luar begitu gelap. Tak ada bintang yang terlihat. Dengan mengendap Lani berjalan melewati belakang rumah , menyusuri belukar hinggah jatuh berkali-kali. Pedih dan perih tak lagi dia rasakan.
"Ya, Allah, beri aku kekuatan untuk keluar dari semua ini," untaian do'a terus dipanjatkan Lani. Kakinya sudah banyak mengeluarkan darah saat dia menyusuri semak-semak.
"Aww!" Lani meringis saat duri menancap di kakinya. Segera dia lepaskan duri itu dan dia kembali berlari dengan tertatih.
"Ini ke mana ujungnya, ya Allah?" Lani merasa tidak kuat lagi, terlebih dengan kerongkongannya yang terasa kering. Dia lalu menggapai air di aliran air yang kini terhampar di depannya. Meminumnya untuk mengeluarkan dahaga yang menyerangnya.
"Hey, wanita sialan, mau lari ke mana kamu?"
Lani sontak menoleh dengan teriakan dari kejauhan. Dua lelaki itu kini bahkan mengejarnya.
"Ya, Allah, tolong aku! Tolong aku! Izinkan aku keluar dari kejaran mereka." Dengan bingung Lani segera menceburkan diri ke aliran air yang karena musim hujan, begitu deras alirannya. Pedih dan perih dia tahan dengan terus merapalkan do'a, menghanyutkan dirinya di aliran air dengan memegang sebuah batang pisang yang dia tak tau ke mana ujung dari semua itu. Dengan sisa kekuatan yang tak lagi ada, hinggah dia tak ingat lagi.
"Bos, ini bagaimana, kita telah menghilangkannya, Bos," ucap Sam, penculik itu.
"Wah, kita ghak akan dapat sisa pembayarannya kalau gini," sesal Pram juga. " kamu juga sih yang memiliki ide ini, jadi kalau udah begini, gimana kita?"
"Kenapa Bos sekarang malah marah, bukankah bos yang mau menyekap dia dengan bermaksud menikmatinya terlebih duluh, padahal Mbak e sudah bilang suruh masukkan rumah bordir."
"Kamu jangan makin bikin aku bingung. Ayo kita cari!"
Pagi-pagi.
Seorang pemuda tengah berjongkok mengambil air di depannya. Rasa segar dia rasakan setelah diusapnya air yang mengalir deras itu ke mukanya. Alzam, pemuda tinggi putih dengan rambut pendek rapi itu hampir saja berbalik, namun dia melihat ada sesuatu yang tersangkut di akar pohon tembesi.
Alzam berusaha menghampirinya. Karena tak bisa dengan mudah, dia pun menjeburkan dirinya. Diangkatnya tubuh lemah tak berdaya itu dari sana. Kecantikan wajah dan rambutnya yang tergerai panjang , sejenak membuat Alzam terpana dan berdebar. Diangkatnya tubuh itu, lalu dibaringkannya. Nafas buatan pun dia berikan dengan ragu saat kembali dia menatap wajah di depannya.
"Bismillah! Astaghfirllah, ampuni aku ya Allah!"
Agak lama, wanita itu kemudian terbatuk, memuntahkan isi perutnya. Dia menatap Alzam. Mata indahnya yang mengerjab, makin membuat jantung Alzam berdetak. Namun tak lama, mata itu kembali terpejam, dan tubuhnya luruh, lemas.
Alzam segera membopongnya dengan berlari kecil, ke tempat tinggalnya lewat jalan pavin yang dia bangun untuk menghubngkan sungai dengan rumahnya. Di sisi jalan, jeruk nipis yang merupakan ikon desa itu, tumbuh terawat.
"Mbok, cepat, bantu aku!"
"Mas, ada apa ini? Siapa dia?" tanya Mbok Sarem, pembantu Alzam.
"Nanti saja ceritanya. Cepat carikan dia baju punya Mbok!"
Masih dengan menutup mata, wanita itu tersadar kembali dengan meringis kesakitan. Kakinya penuh dengan luka duri. Segera Alzam mengambil ponselnya, dan menelpon seseorang.
Tak lama, Dandi, dokter sekaligus teman kerjanya, datang. Rumah dia memang tak jauh dari rumah Alzam yang memilih membangun rumah di tanah yang dia beli karena melihat keindahan tanah itu. Dandi pulalah yang mengatakan kalau tanah itu dijual, dan Alzam membelinya beberapa tahun yang lalu. Lalu dia membudidayakan tanaman jeruk nipis yang menjadi ikon desa yang mereka tempati di samping bangunan rumahnya yang berlantai dua.
"Buset, cantik betul dia, Zam. Ranting dari mana yang katamu nyangkut di akar pohon?"
Alzam menyikut sahabatnya itu. "Cepat periksa, ghak lihat apa dia mengeram kesakitan."
"Bukannya kita sudah terbiasa melihat orang kesakitan. Kenapa dengan dia kesakitan saja kamu jadi bingung kayak gini?" Dandi segera memeriksa. Tubuh di depannya yang kini mulai demam. Tangan dan kakinya penuh luka. Dia lalu menyuntiknya.
"Makasih, ya."
"Nanti kalau ada apa-apa, hubungi aku."
***
Alzam terus menunggui Lani. Hinggah malam dia melihat gadis itu membuka matanya.
"Kamu lapar? " tanya Alzam saat Lani terbangun. Dia lalu memberi air putih lewat sedotan
"Menjauh dariku. Siapa kamu?"
"Aku?" Alzam keget dengan reaksi wanita yang kini tengah dirawatnya.
"Matamu dan tatapanmu mengingatkanku pada seseorang. Menjauh dariku!" ucap Lani dengan berusaha bangun dan menggapai dinding untuk ke kamar mandi.
Belum sampai, Lani tersungkur karena sempoyongan. Alzam segera membopongnya walau Lani berontak.
"Kamu ingin ke kamar mandi, kan?" tanya Alzam diantara jengkel dan kasihan. Lalu mendudukkan Lani di closet dan berbalik meninggalkannya.
Alzam hampir meninggalkannya, namun karena tak tega, dia kembali. Dilihatnya Lani sudah terduduk lemas kembali di lantai kamar mandi dengan memegangi kepalanya. Kembali Alzam membopongnya dengan rasa bingung, terlebih setelah itu tubuh Lani menggigil kedinginan.
Bolak balik ke kamarnya Alzam berusaha mencari selimut dan baju hangat, namun Lani tetap kedinginanna. Dalam bingung, Alzam beristighfar dan membaringkan tubuhnya di samping Lani. Ampuni aku ya, Allah! Ampuni aku. Dia bukalah muhrim untukku tapi aku memeluknya.
"Kamu jangan GR. Aku hanya tak tega melihatmu kedinginan!" bentak Alzam saat Lani memberontak dengan mengatakan dia membencinya.
"Menikahlah denganku. Aku tak bisa terus mendekapmu atau membopongmu ke kamar mandi jika kita tidak muhrim," ajak Alzam suatu hari saat Lani belum ada perkembangan.
Lani membelalakkan matanya.
"Jika nanti kamu sembuh, aku bisa menjatuhkan talak untukmu. Dan kamu bisa pergi seperti kemauanmu." Alzam masih menerangkan maksudnya. Dia mendengar dari cerita Mbok Sarem kapan hari kalau Lani rajin minum obat dan rajin makan walau mulutnya pahit, dengan mengatakan kalau dia ingin segera sembuh dan pergi.Lani menggeleng kuat."Kita hanya menikah sirih, disaksikan pak kyai.""Aku sudah pernah menyetujui pernikahan siri yang berujung dengan kesengsaraanku seperti ini, kenapa aku harus terjun kembali?"tanya Lani dengan menatap pria yang kini ada di hadapannya. "apalagi denganmu, orang yang mengingatkanku pada orang yang paling aku benci di dunia."" Ini hanya untuk membuat kita menjadi muhrim, sementara sampai kamu kuat kembali dan aku bisa melepasmu." Perkataan Alzam agak meninggi melihat sikap Lani."Tidak, aku tidak ingin lagi terlibat dalam masalah," tekat Lani dengan terus menggigil. Giginya kembali gemertak."Entah apa masalahmu kepadaku sampai kamu seolah membenciku. Nama saja
"Lupakan! Ayo, kita ke ruang rapat sekarang. Katanya mau ada operasi khusus."Dandi hanya diam sambil berjalan mengikuti Alzam. Dia sedikit heran dengan arah pembicaran Alzam. Terlebih saat Alzam begitu terlihat menghawatirkan Lani."Maaf, ini agak sakit." Dandi mengambil sampel darah.Lani hanya memandang jarum itu menghisap darahnya. Padahal Alzam malah memalingkan pandangannya seolah tak tega."Aku sudah kebal dengan rasa sakit sejak aku lari dari orang-orang biadab itu, dan tidak lagi merasakan duri yang menancap di kakiku.""Bagaimana kejadiannya hinggah kamu mengalami hal seperti itu?" "Aku hendak pulang ke desa, ada dua orang mencegatku, dan membekamku. Sepertinya mereka suruan seseorang melihat segala macam yang mereka ungkapkan dan laporkan.""Kamu tau orangnya, kenapa dia sampai berniat buruk padamu?"Lani menggeleng."Kamu punya musuh?""Apa mungkin dia tega melakukan itu," gumannya."Dia siapa?""Ini memang salahku, aku menyetujui menikah siri dengan suami orang hanya k
"Silahkan masuk Pak Kyai!" Alzam mempersilahkan tamunya."Saya izin masuk sebentar.""Lani, maaf jika aku tak memberitahumu. Kita harus menikah siri sampai kamu merasa kuat dan pergi dari rumah ini seperti keinginanmu. Seperti yang aku katakan, aku tak ingin berbuat dosa dengan tak muhrim untukmu tapi selalu melakukan kontak fisik denganmu.""Kamu melakukan hal ini tanpa persetujuanku?" Lani sampai membulat matanya."Aku hanya ingin menjaga kita agar tak menjadi dosa."Lani menggeleng."Tolonglah, hanya nikah siri. Setelah semuanya ghak ada masalah, aku akan menjatuhkan talak untukmu. Dan kamu bisa pergi jika itu kemauanmu.""Tidak, Mas!""Jangan keras-keras, Pak Kyai sudah di sini.""Apa? Kamu ya, bisa-bisanya kamu,.."Alzam menbekam mulut Lani. "Nurut saja. Apa kamu tidak percaya padaku?""Tapi jangan menuntut yang tidak-tidak kamu.""Contohnya?""Kamu bukan lagi anak kecil yang harus dijelaskan secara rinci.""Kalau kamu yang mulai duluan?" canda Alzam dengan menyimpan senyumnya mel
"Mau ke kamar mandi?" tanya Alzam.Lani sejenak memandang Alzam. Rasa aneh dan canggung menjadi terasa di hatinya. Demikian juga dengan yang dialami Alzam. Padahal sebelumnya itu justru tak mereka rasakan."Aku mau sholat saja duluh dengan tayamum. Aku takut tiap pegang air selalu kedinginan.""Baiklah, kalau begitu aku akan ke kamar mandi duluh. Aku mau wudhu, nanti sholatnya aku imami, ya."Lani mengangguk. Lalu tayamum.Alzam kemudian ke kamar mandi dan sebentar saja sudah kembali. Mereka pun segera berjamah. Ada yang sejuk dirasakan Lani saat mendengar ayat suci dilantunkan Alzam dengan fasihnya saat dia menjadi imam. Diam-diam Lani merasa jika benar dia dinikahi Alzam memang karena pria itu tak ingin melakukan dosa dengan terus bersamanya tanpa ada kata muhrim."Kenapa memandangiku?" "Enggak, ghak apa-apa," sahut Lani bingung."Jangan terus memandangi aku, nanti kamu jatuh cinta sama aku.""Aku takkan berani jatuh cinta padamu. Aku tau aku siapa. Hidupku telah hilang dibawa lela
"Sepertinya dia hanya trauma. Syukurlah dia tidak mengalami seperti dugaanku," ucap Dandi."Memangnya apa dugaanmu?""Aku kira orang-orang itu sudah sampai memperkosanya dan menularkan penyakit tertentu.""Syukurlah tidak, setidaknya aku bisa lega," ucap Alzam dengan tersenyum. "Hari ini puyengnya sepertinya mulai hilang. Hanya rasa dinginnya yang sepertinya belum pulih.""Tenaganya terkuras waktu melarikan diri itu. Terlebih dia harus melawan arus sungai yang lagi deras-derasnya.""Setidaknya dia bisa diajak bicara dan mulai mempercayai aku. Tidak seperti saat awal-awal duluh yang seperti membenciku.""Kamu tidak bertanya kenapa dia seolah membencimu dengan mengatakan mata dan tatapanmu itu mengingat dia pada seseorang yang teramat dia benci ?""Aku takut itu bisa mengusik masa lalunya yang sesungguhnya ingin dia buang.""Bener juga kamu, Kep."" Aku tak bisa membayangkan kehidupan apa yang telah dialaminya. Saat masih SMA telah mengalami pelecehan dan bahkan harus melahirkan anak da
"Dhuk, katanya tadi makan, ayo!" ajakan Mbok Sarem membuat Lani melupakan kecurigaannya.Lani dengan pelan berdiri. Namun kemudian dia terhuyung, dan hampir jatuh. Untungnya Alzam segera menangkapnya, dan mendekapnya. Sejenak mereka salin berpandangan. Melihat itu timbul kekhawatiran di diri Mbok Sarem. "Ayo, biar Mbok saja yang gandeng ke ruang makan," sela Mbok Sarem.Lani yang masih bersitatap dengan Alzam segera menunduk. Lalu menyambut tangan Sarem yang membimbingnya."Emang masak apa, Mbok?" tanya Alzam begitu mereka sudah sampai di meja makan."Mas Alzam mandi duluh, baru ikutan makan," cegah Mbok Sarem saat melihat Alzam sudah mengambil posisi duduk di dekat Lani. Mbok Sarem memang berusaha menjauhkan Lani dari Alzam."Kalau gitu tunggu, dong, Mbok. Aku mandi duluh. Kayaknya enak kita bisa makan bertiga. Kayak punya keluarga.""Sebentar lagi juga Mas bisa seperti itu," ucap Mbok Sarem dengan pelan, padahal Alzam sudah pergi ke kamarnya. Lani hanya tersenyum menanggapinya. Ta
Dengan canggung Lani membiarkan Alzam tidur di sampingnya. Tidak lama sudah terdengar dengkuran halusnya. Lani hanya tersenyum melihat betapa cepatnya dia tertidur. Dengan tidur meringkung Lani membelakangi Alzam. Tak lupa, selimut pun dipakainya. Kalau kemarin dia tak merasa canggung karena dia sakit, tak bisa berfikir logis. Tapi entah kenapa kini dia merasa tidak enak hati. Dia bahkan meletakkan bantal guling di tengah-tengah mereka.Namun saat Lani terbangun di akhir malam, dia sudah mendapati tangan Alzam di pinggangnya. Bantal yang tadi dia letakkan di sebelahnya, malah pindah di belakang Alzam. Dengan pelan walau agak kaget, tahu semua itu, Lani meletakkan tangan Alzam. Dia lalu duduk sebentar, hendak ke kamar mandi. Sejenak Lani merasa kepalanya sudah enteng. Namun saat dia melangkah, mau berjalan, dia kembali terhuyung.Alzam segera menangkapnya. Lalu membawa Lani ke kamar mandi. Dan menurunkan Lani di dekat closet."Apa kamu hanya pura-pura tidurnya, Mas?" "Aku sudah biasa
"Lani, aku ini masih bujang. Aku saja belum pernah menyentuh perempuan. Mana aku ngerti beginian?" kelunya dengan bingung, membolak-balik benda itu.Lani yang awalnya cemas kini tersenyum lega. "Negatif.""Benarkah?" Alzam tampak lega, begitu senangnya sampai dia tak sadar langsung memeluk Lani erat-erat.Lani sedikit terkejut, kebingungan dengan tindakan Alzam yang mendadak."Syukurlah, apa yang aku takutkan tidak terjadi," seru Alzam melepaskan pelukannya dengan rasa canggung. "Maaf, saking gembiranya aku sampai memelukmu."Lani mengerling, lalu menyindir, "Bukannya kamu udah bisa peluk aku, Mas?"Alzam garuk-garuk tengkuk, salah tingkah. "Iya juga sih," gumamnya malu. Dia pun berjalan ke arah tempat tidur, siap untuk tidur.Lani yang melihatnya hanya bisa mendesah, "Ei, ngapain ke situ lagi?""Mau tidur lah. Masak buang air di tempat tidur?" jawab Alzam sambil tersenyum lebar."Aku udah baikan, Mas. Tadi aku minum susu yang kamu bawa, perutku udah nggak mual lagi. Jadi, kamu nggak
Langkah Alzam mantap menapaki jalan menuju kantor Pak Bara. Matahari siang terasa terik, namun ia tak peduli. Pikiran tentang panggilan mendadak dari komandannya, Letkol Bara, membuat dadanya terasa sesak. Panggilan ini terasa tak biasa—seolah ada sesuatu yang penting dan mendesak menantinya.Setibanya di lokasi yang ditempati komandannya, seorang prajurit yang berjaga memberi hormat. Alzam membalasnya dengan anggukan singkat, lalu masuk ke area markas. Suasana di sana penuh kesibukan khas militer: suara langkah kaki berbaris terdengar tegas, beberapa kendaraan taktis terparkir rapi, dan beberapa prajurit berdiskusi serius di sudut halaman.Di gedung utama markas, Alzam menyesuaikan topinya, melangkah masuk ke ruang utama.Di ruang briefing, beberapa prajurit duduk menghadap papan tulis besar, mendiskusikan peta operasi yang terpampang di sana. Suara seruan komandan peleton menggema, memerintahkan evaluasi strategi. Di sisi lain, beberapa staf administrasi sibuk dengan dokumen dan
Rumah itu masih lengang. Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul tiga dini hari. Salma terbangun dari tidur nyenyaknya dan berniat melaksanakan tahajud. Langkahnya pelan keluar dari kamar dan menyalakan lampu di musholla. Namun begitu mendengar langkah kaki di ruang tengah, ia beranjak ke sana dan mendapati seseorang yang baru datang."Agna?" suara Salma setengah berbisik, jelas tak menyangka melihat menantunya di sana baru datang dari luar, malam-malam seperti ini. Agna, dengan wajah lelah dan mata yang sedikit sembab, hanya menoleh pelan tanpa bicara."Kamu baru datang?" Salma mendekat, memastikan itu bukan bayangan semata. "Dai mana saja kamu, Agna, kenapa malam sekali baru pulang?"Agna mengusap wajahnya, mencoba menahan kantuk yang sudah menyerangnya. "Dari luar, Mi. Ini kan malam tahun baru. Biasanya kita kumpul-kumpul sampai pergantian malam."Salma memandangnya penuh tanda tanya. "Kenapa ghak ngajak Alzam?"Agna tertawa kecil, getir. "Ummi tau sendiri kan bagaimana Mas Al
Di sebuah hotel, suara tawa terdengar dari kamar di lantai lima. Agna duduk di tepi tempat tidur, kakinya terayun pelan. Di hadapannya, Arhand berdiri sambil membawa segelas kopi yang masih mengepul."Arhand, kamu lucu banget kalau lagi cerita gitu." Agna tertawa kecil, menutupi mulutnya dengan tangan. "Aku nggak pernah nyangka orang kayak kamu bisa selucu ini." Arhand memang menceritakan satu pengalamannya saat tahun baru bersama keluarga besar mereka saat mereka masih berkumpul bersama.Arhand tersenyum tipis, tetapi matanya berbinar. Tatapannya penuh kekaguman setiap kali memandang Agna. Ada sesuatu dalam sorot matanya—seperti seseorang yang benar-benar jatuh cinta, tetapi terlalu takut untuk mengatakannya. Ia menatap wajah Agna, memperhatikan setiap detail, seolah tak ingin melewatkan satu pun momen bersamanya."Agna," katanya pelan, suaranya rendah tetapi penuh perasaan. "Aku nggak tahu apa yang aku rasakan ini. Tapi setiap kali aku di dekat kamu, aku merasa seperti... semuanya
Langkah Alzam berat menapaki halaman rumah. Dadanya berdebar karena amarah pada Damar yang entah mengapa berada di sini, terlebih saat melihat senyumnya yang mengarah ke dalam rumah. Dia yang tak pernah masuk rumah Lani dari depan, bahkan tak ingat lagi. Bayangan Lani yang diajak Damar tersenyum, membuatnya segera beranjak ke sanaNamun, sebelum sempat mendekat, suara riang terdengar dari teras.Mira terlihat, mengenakan celana jeans dan baju sederhana. Rambutnya yang menggapai punggung digerainya. Wajahnya tampak malu-malu, tetapi senyumnya merekah saat melihat Damar di luar."Oh, Alzam," sapanya lembut. "Maaf ya, kami dari kemarin sudah janjian di sini. Soalnya, Mas Damar bawaannya pingin banget ketemu. Kalau di mess saya kan nggak mungkin bawa cowok. masuk. Jadi, saya minta izin ke Lani buat di sini. Aku harap kamu nggak keberatan."Alzam menelan ludah. Raut wajahnya kaku, tetapi ia berusaha menampilkan senyum. "Oh, gitu. Ya nggak apa-apa. Masuk saja kalau mau ngobrol. Ini rumah
Dandi menghidupkan mesin mobil. Suasana di dalam mobil sepi. Tak ada suara selain desis AC dan deru mesin. Namun, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar keheningan—sebuah percakapan yang tak terucapkan, tergambar dari genggaman tangan Alzam di jemari Lani.Alzam menatap sekilas, matanya penuh penyesalan. "Aku... aku minta maaf, Lani. Aku nggak cukup kuat buat melindungimu tadi," gumamnya dengan suara parau.Lani tidak menjawab, hanya mengeratkan genggamannya. Jemarinya gemetar, tapi ia tetap memaksakan sebuah senyuman kecil.Hanum yang duduk di samping Dandi. Ia melirik keduanya, lalu menarik napas panjang, mencoba mencairkan suasana. "Kita semua lelah. Sampai di rumah kamu nanti, istirahatlah. Aku yakin Ummi dan Abi sudah menyiapkan sesuatu untuk kita. Bukankah kamu sudah mengabari mereka kalau kita mampir, Mbak?"Lani mengangguk pelan. Matanya masih menatap jalan, tetapi pikirannya melayang."benar kamu sudah ngabari Abi sama Ummi, Lani?" tanya Alzam."Iya, sudah sejak kemarin."
"Itu artinya dia hamil, tapi kamu tinggal menikahi orang lain! Tega sekali kamu, Zam!" Gigi Reynaldi sampai gemertak."Kejadian tidak seperti itu, Rey!""Lalu seperti apa?" "Ini memang satu kesalahanku pada Lani. Aku tak mempercayainya karena kasus tertentu."Rey bangkit dari kursinya, gerakannya kaku dan tegas, seolah mengguncang ruangan. Sorot matanya menyala, seperti bara yang siap membakar. Tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya, napasnya berat."Apa kamu tahu berapa dalam luka yang kamu buat?" Suaranya menggetarkan udara di sekitarnya, memaksa setiap telinga yang mendengar untuk mendengarkan. "Kalau tahu bakal begini, aku lebih baik membiarkanmu ditembak waktu itu. Aku bahkan terluka, hampir kehilangan ibu jariku karena kamu!"Tatapannya beralih cepat, menancap ke wajah Alzam seperti anak panah. "Dan sekarang kamu berdiri di sini, seolah semua ini cuma masalah kecil. Kamu telah menikah dengan Lani, Zam. Lalu, menikahi Agna. Kamu tahu artinya, kan? Instansi nggak akan terima o
Rey menatap Lani dengan sorot mata yang sulit ditebak, antara kekecewaan, amarah, dan rasa tidak percaya yang terpatri jelas di wajahnya. Suasana kantin yang tadinya ramai menjadi sunyi seperti menyisakan mereka berlima saja di sana."Kamu...," suara Rey bergetar, ia menunjuk dokumen yang digenggam Lani, "benar kamu yang tadi dari dokter kandungan, bukan Agna yang sekarang masih di sana?"Lani tidak menjawab. Ia hanya menatap Alzam, seolah meminta dukungan. Alzam mengangguk pelan, lalu menundukkan kepala tanpa berkata sepatah kata pun. Hatinya remuk redam. Antara ingin merengkuh Lani dan mengatakan bahwa dia adalah istrinya ataukah karier yang akan hancur karena tak menjamin, Rey akan tinggal diam dengan tak mengatakan apapun tentang mereka ke markas."Lani!" Rey hampir berteriak. "Jawab aku! Apa ini benar?""Rey, apa tidak cukup anggukanku?""Aku tidak butuh jawabanmu, Zam. Aku hanya mau bicara dengan Lani.""Jawaban apa lagi yang mau kamu dengar?"Akhirnya, dengan napas berat, Lani m
Pertanyaan Rey tidak ada yang menjawab, selain pandangan mereka yang salin berbicara. Bagaimanapun juga, sampai ke rumah sakit sejauh ini, adalah untuk menutupi pernikahan Alzam dengan Lani agar tak tercium markas. Mereka tidak tau, sangsi apa yang akan didapat Alzam yang seharusnya naik pangkat setelah menjalani missi berbahaya itu jiak tau kalau Alzam memiliki wanita lain selain Agna yang diketahui leh markas sebagai istri sahnya Alzam.Dunia dalam sekejab selah berhenti berputar. Hnaya tatapan Rey yang tak berhenti memandang Lani. Dan tanga Alzam yagn mengepal karena cemburu. Namun, suara Dandi memecah keheningan. "Eh, gimana kalau kita makan dulu? Hanum belum makan, kan?" katanya, melirik Hanum yang tampak canggung.Hanum mengangguk kecil. "Iya, tadi aku cuma minum teh. Perut mulai keroncongan nih."Dandi menepuk bahu Alzam. "Yuk, ke kantin. Rey, kamu ikut juga. Kita nostalgia, cerita-cerita masa dulu sambil makan."Alzam tersentak dari pikirannya. "Iya, oke. Lani, ayo."Lani ter
Alzam masih tertegun, langkahnya terhenti di depan lelaki tinggi tegap berkulit sawo matang itu. "Kamu? Kenapa kamu di sini?" tanyanya, suara bergetar menahan perasaan tak menentu.Pria itu tersenyum santai, menepuk bahu Alzam. "Kejutan, ya? Aku di sini untuk periksa lanjutan. ""Lho, kenapa tidak di Rumah Sakit Angkatan Darat saja?" tanya Alzam."Sepupuku yang dokter di sini memintaku pindah ke rumah sakit ini saja. Karena aku ghak mau bolak-balik ke rumah sakit Angkatan Darat, ya aku nurut dia. lagian aku da nyaman sama dia dasripada ditangani dokter lain."Alzam tersenyum kecil, canggung. "Oh... aku baru tahu. Maaf jika semua ini harus terjadi padamu. Gara-gara kamu menyelamatkan aku, kamu yang kayak gini.""Sudah, jangan dibahas lagi," ujarnya terkekeh. "O, ya,.. jadi apa titisanmu itu? Jagan apa bidadari?""Jagoan.""Wah, cocok banget bisa nerusin impian kamu di dunia militer. Aku salut sama kamu, anak pertama lelaki, pasti seneng bisa kita ajak ngopi.""Ah, kamu bisa saja, kayak