"Pi, papi bukan anak kecil lagi. Jadi berhentilah merengek," jengah Langit.Tidak ada dia menolak Awan untuk tidur di rumahnya. Tapi papinya itu sudah mengabaikan purusahaannya seminggu, dengan alasan menemani Bumi di rumah."Papi gak mau tahu. Pokoknya papi tinggal disini. Harusnya sebagai anak kamu pengertian. Lihatlah papimu sudah tua ini. Kesehatannya juga sudah menurun. Bukannya membantu papi. Kamu sibuk dengan perusahaanmu sendiri," keluh Awan.Pagi-pagi papinya sudah membuat Langit ingin membuat dia menghantukkan kepalanya."Pi, perusahaan papi itu sangat besar. Langit belum sanggup untuk mengambil alihnya. Masih banyak yang harus Langit pelajari," jelas Langit dengan mulut Awan yang ikut meniru gaya bicara Langit.Sudah berulang kali Langit memberikan alasan tidak siap. Entah sampai kapan alasan itu bertahan tanpa ada kepastian.Langit menarik napas kesabaran. Dia belum ada niatan menggantikan Awan. Tapi sepertinya semenjak Awan tahu tentang Bumi. Dia mulai keras kepala dengan
"Kau harus bertanggung jawab Rey. Bagaimana bisa kita jadi di bagian gudang? Kenapa tidak ada yang berani memberontak? Senjak kapan Senja bisa menjadi Ceo disini? Harusnya aku yang disana, bukan dia. Semua disini milikku," cerocos Gia.Sudah dua hari ini, Gia selalu mengajak Rey untuk beradu mulut. Dia tidak bisa menerima hasil yang diputuskan Langit secara mendadak itu. Apalagi sekarang, Senja menunjukkan kemenangannya."Sampai kapan kita harus bertengkar terus. Kau pikir aku mau disini? Ini juga diluar kuasaku," kesal Rey.Suasana gudang yang bising, sampai menembus dinding-dinding ruang kerjanya sekarang. Belum lagi bau pengap yang bercampur keringat, saat dia keluar dari ruangannya. Membuat suasana hati Rey dan juga Gia mudah terombang ambing emosi.Perdebatan kemarin, tidak membuahkan apapun untuk Rey. Langit sudah menentukan keputusannya. Tapi bukan jabatannya saja yang menjadi pikirannya. Bagaimaba bisa Langit memberikan Senja kekuasaan untuk menjadi Ceo. Apa yang sudah dilaku
"Ahh!!" teriak Gia sambil melempar asal high heels yang dia kenakan.Hari ini dia habis-habisan dikerjai oleh Kaora sekertaris baru Senja. Kakinya yang sudah kelihatan bengkak karena hamil, semakin bengkak. Bisa-bisanya kaira menyuruhnya membawa berkas bolak balik dari gudang ke mejanya. Sekertaris baru tapi sangat sombong dan angkuh. Membuat Gia tadi sangat ingin melemparkan seluruh berkas yang dia bawa ke wajah sok cantik itu."Kenapa sih kamu nak? tanya Raina. "Gak kamu, gak Laura. Hari ini pulang kerja berwajah cemberut. Dimana Rey?" lanjut Raina bertanya."Sudah mati," ketus Gia.Bukan saja Gia kesal dengan Kaira, tapi dia juga kesal dengan Rey yang lebih mementingkan tugas yang baru diantarkan Kaira. Padahal masih ada waktu besok, teganya Rey menyuruh Gia pulang sendiri."Kamu kok ngomong gitu. Kan dulu juga, kamu yang mau nikah sama dia kan? Sampai minta cara bagaimana menjeratnya? Padahal dulu jika kamu tidak mau dengannya. Mama sudah menjadikannya kambing hitam dan membunuh a
"Kau yakin, Kaira? Dia di rumah sakit, kenapa bisa?" tanya Senja bingung. Pagi buta, Senja sudah mendapatkan kabar tidak mengenakkan hatinya."Siapa yang di rumah sakit?" tanya Langit.Senja memalingkan wajahnya ke asal suara. Langit berbalik di kantornya kembali. Padahal tadi baru saja mengantarkannya ke kantor."Gia. Katanya dia masuk rumah sakit," jawab Senja. Kakinya sudan merasa menjadi jelly saat ini. "Kemarin malam saya hanya mau mengerjainya untuk mengambil berkas di kantor. Tapi taksi yang membawa Gia mengalami kecelakaan," jelas Kaira. Dia juga tidak menduga hal itu bisa terjadi.Senja memang ingin sekali balas dendam pada Gia, tapi kecelakaan itu bukan lah rencananya. Dia tidak sekejam itu untuk melukai."Apa kita kesana? Dimana Rey?" tanya Langit."Dia sudah di rumah sakit," jelas Kaira lagi.Langit mendekati Senja. Dari jarak pandangnya, Langit meyakinkan jika Senja tidak sedang baik-baik saja."Ini bukan salahmu. Ini sudah takdirnya. Lebih baik kita kesana sekarang. Mel
Sudah dua hari semenjak dari rumah sakit,. Senja tidak pergi bekerja, dia terlalu banyak menghabiskan waktunya di dalan kamar, tanpa mau menceritakan keresahan hatinya. Padahal ada dua lelaki berbeda umur menanti dirinya di bawah."Om, mama kenapa sih, Om? tanta Bumi di sela duduk berdua dengan Langit di sore hari. Film kartun yang sedang di putar, ternyata tidak cukup menarik perhatiannya."Om juga gak tahu. Kamu coba tanya sama mama," usul Langit. Dia juga bingung dengan sikap Senja beberapa hari ini. Bumi menggelengkan kepalanya. Wajahnya bergurat kesedihan. "Apa mama ada melakukan hal jahat om?" tanya Bumi ragu. Lidahnya Bumi terasa keluh mengatakan kalimat tersebut.Langit tersentak dengan pertanyaan Bumi, tubuhnya yang tadi memandang lurus ke layar TV kini fokus ke arah Bumi. "Maksud kamu? Cerita sama om. Kenapa bisa bertanya seperti itu?" pinta Langit.Bumi sebenarnya tadi ragu, dimana dia akan mengadu. Tapi reaksi Langit membuat Bumi yakin, jika Langit bisa menjadi curahannya.
"Maafkan aku Kaina, membiarkanmu bekerja sendiri tiga hari ini," tutur Senja."Tidak masalah Senja. Semua masih bisa aku atur," jawab Kaina. Merasa semua laporan telah dia berikan pada Senja, Kaina permisi untuk kembali ke meja kerjanya Keheningan menemani Senja saat ini, matanya sedang fokus mengecek laporan-laporan masuk dalan emailnya. Sampai satu email dari Gia dibuka oleh Senja. Ini bukan email tentang pekerjaan dan ini email baru. Apakah Gia sudah masuk kerja?[Kau pembunuh Senja, Kau telah membunuh anakku. Anakku mati karenamu.]Tarikan napas panjang yang dibuang kasar Senja lakukan. Gia masih saja membahas dan menyalahkan Senja. Jika dia meladeni, pasti urusan akan semakin panjang. Senja memilih mengabaikan email yang masuk. Sampai Senja kehilangan fokusnya, dikarenakan email masuk yang beruntun dari nama yang sama, dan isi yang sama. Sepertinya dia tidak bisa mendiamkan apa yang dilakukan Gia padanya.Tapi sebelum dia beranjak dari duduknya. Kaina kembali masuk dengan terbur
Senja segera dilarikan ke rumah sakit. Darah yang keluar dari perutnya masih saja mengalir walau sudah di tahan dengan balutan kain."Selamatkan dia!" teriak Langit, saat brankar masuk ke ruang ICU. Langit berusaha menormalkan napasnya sebelum dia berbicara. "Jangan biarkan mereka kabur. Bawa mereka ke markas yang kedua. Jangan ada yang menyentuh mereka sebelum saya datang. Biar saya yang mengurus mereka nanti," perintah Langit pada salah satu pengawalnya.Mendapat titah dari Langit pengawal tersebut langsung bergerak sesuai perintah.Rasa bersalah menghantam Langit. Dia merasa terlalu longgar menjaga Senja. Hingga bisa meloloskan Gia untuk melukai wanita itu."Maaf, kami terjebak macat," seru Leo, dia datang bersama Kania. Sedangkan Langit tadi memaksa ikut mobil ambulans bersama satu pengawalnya."Ya, gak masalah. Terpenting mereka sudah diamankan. Saya akan menemui mereka setelah mengetahui keadaan Senja," ucap Langit.Hati Langit terus menggumamkan nama Senja, berharap Senja mend
Semenjak kejadian penusukan itu, tidak terlihat batang hidung Rey dan juga Gia disekitaran Senja. Mereka berdua seakan lenyap tanpa suara. Proses pengadilan perceraian Senja dan juga Rey pun berjalan lancar tanpa ada tuntutan balik dari mantan suaminya itu.Bukan itu saja, Bumi juga mengadu padanya jika Laura tidak lagi satu sekolah dengannya. Apakah mereka benar-benar sudah menyerah? Apakah itu mungkin bisa terjadi?Senja membuang napas panjangnya. Kenapa dia sampai berpikir tentang Rey dan juga Gia lagi. Harusnya dia senang dan menikmati hari dimana kebebasan sudah berada di genggamannya.Terkadang pekerjaan yang senggang, membuat pikiran bisa melalang buana tanpa batas, hingga membawa keburukan untuk pikiran itu sendiri."Sebaiknya aku ajak Kaina makan di luar," Seru Senja. Dia butuh udara segar untuk menyapu pikirannya tentang kedua orang yang terlalu lama menjadi kotoran hidupnya."Kaina, makan yuk," ajak Senja saat dia telah sampai di meja kerja Kaina.Padahal Kaina sudah membuk