"Kau yakin, Kaira? Dia di rumah sakit, kenapa bisa?" tanya Senja bingung. Pagi buta, Senja sudah mendapatkan kabar tidak mengenakkan hatinya."Siapa yang di rumah sakit?" tanya Langit.Senja memalingkan wajahnya ke asal suara. Langit berbalik di kantornya kembali. Padahal tadi baru saja mengantarkannya ke kantor."Gia. Katanya dia masuk rumah sakit," jawab Senja. Kakinya sudan merasa menjadi jelly saat ini. "Kemarin malam saya hanya mau mengerjainya untuk mengambil berkas di kantor. Tapi taksi yang membawa Gia mengalami kecelakaan," jelas Kaira. Dia juga tidak menduga hal itu bisa terjadi.Senja memang ingin sekali balas dendam pada Gia, tapi kecelakaan itu bukan lah rencananya. Dia tidak sekejam itu untuk melukai."Apa kita kesana? Dimana Rey?" tanya Langit."Dia sudah di rumah sakit," jelas Kaira lagi.Langit mendekati Senja. Dari jarak pandangnya, Langit meyakinkan jika Senja tidak sedang baik-baik saja."Ini bukan salahmu. Ini sudah takdirnya. Lebih baik kita kesana sekarang. Mel
Sudah dua hari semenjak dari rumah sakit,. Senja tidak pergi bekerja, dia terlalu banyak menghabiskan waktunya di dalan kamar, tanpa mau menceritakan keresahan hatinya. Padahal ada dua lelaki berbeda umur menanti dirinya di bawah."Om, mama kenapa sih, Om? tanta Bumi di sela duduk berdua dengan Langit di sore hari. Film kartun yang sedang di putar, ternyata tidak cukup menarik perhatiannya."Om juga gak tahu. Kamu coba tanya sama mama," usul Langit. Dia juga bingung dengan sikap Senja beberapa hari ini. Bumi menggelengkan kepalanya. Wajahnya bergurat kesedihan. "Apa mama ada melakukan hal jahat om?" tanya Bumi ragu. Lidahnya Bumi terasa keluh mengatakan kalimat tersebut.Langit tersentak dengan pertanyaan Bumi, tubuhnya yang tadi memandang lurus ke layar TV kini fokus ke arah Bumi. "Maksud kamu? Cerita sama om. Kenapa bisa bertanya seperti itu?" pinta Langit.Bumi sebenarnya tadi ragu, dimana dia akan mengadu. Tapi reaksi Langit membuat Bumi yakin, jika Langit bisa menjadi curahannya.
"Maafkan aku Kaina, membiarkanmu bekerja sendiri tiga hari ini," tutur Senja."Tidak masalah Senja. Semua masih bisa aku atur," jawab Kaina. Merasa semua laporan telah dia berikan pada Senja, Kaina permisi untuk kembali ke meja kerjanya Keheningan menemani Senja saat ini, matanya sedang fokus mengecek laporan-laporan masuk dalan emailnya. Sampai satu email dari Gia dibuka oleh Senja. Ini bukan email tentang pekerjaan dan ini email baru. Apakah Gia sudah masuk kerja?[Kau pembunuh Senja, Kau telah membunuh anakku. Anakku mati karenamu.]Tarikan napas panjang yang dibuang kasar Senja lakukan. Gia masih saja membahas dan menyalahkan Senja. Jika dia meladeni, pasti urusan akan semakin panjang. Senja memilih mengabaikan email yang masuk. Sampai Senja kehilangan fokusnya, dikarenakan email masuk yang beruntun dari nama yang sama, dan isi yang sama. Sepertinya dia tidak bisa mendiamkan apa yang dilakukan Gia padanya.Tapi sebelum dia beranjak dari duduknya. Kaina kembali masuk dengan terbur
Senja segera dilarikan ke rumah sakit. Darah yang keluar dari perutnya masih saja mengalir walau sudah di tahan dengan balutan kain."Selamatkan dia!" teriak Langit, saat brankar masuk ke ruang ICU. Langit berusaha menormalkan napasnya sebelum dia berbicara. "Jangan biarkan mereka kabur. Bawa mereka ke markas yang kedua. Jangan ada yang menyentuh mereka sebelum saya datang. Biar saya yang mengurus mereka nanti," perintah Langit pada salah satu pengawalnya.Mendapat titah dari Langit pengawal tersebut langsung bergerak sesuai perintah.Rasa bersalah menghantam Langit. Dia merasa terlalu longgar menjaga Senja. Hingga bisa meloloskan Gia untuk melukai wanita itu."Maaf, kami terjebak macat," seru Leo, dia datang bersama Kania. Sedangkan Langit tadi memaksa ikut mobil ambulans bersama satu pengawalnya."Ya, gak masalah. Terpenting mereka sudah diamankan. Saya akan menemui mereka setelah mengetahui keadaan Senja," ucap Langit.Hati Langit terus menggumamkan nama Senja, berharap Senja mend
Semenjak kejadian penusukan itu, tidak terlihat batang hidung Rey dan juga Gia disekitaran Senja. Mereka berdua seakan lenyap tanpa suara. Proses pengadilan perceraian Senja dan juga Rey pun berjalan lancar tanpa ada tuntutan balik dari mantan suaminya itu.Bukan itu saja, Bumi juga mengadu padanya jika Laura tidak lagi satu sekolah dengannya. Apakah mereka benar-benar sudah menyerah? Apakah itu mungkin bisa terjadi?Senja membuang napas panjangnya. Kenapa dia sampai berpikir tentang Rey dan juga Gia lagi. Harusnya dia senang dan menikmati hari dimana kebebasan sudah berada di genggamannya.Terkadang pekerjaan yang senggang, membuat pikiran bisa melalang buana tanpa batas, hingga membawa keburukan untuk pikiran itu sendiri."Sebaiknya aku ajak Kaina makan di luar," Seru Senja. Dia butuh udara segar untuk menyapu pikirannya tentang kedua orang yang terlalu lama menjadi kotoran hidupnya."Kaina, makan yuk," ajak Senja saat dia telah sampai di meja kerja Kaina.Padahal Kaina sudah membuk
"Kenapa kamu Senja?" tanya Kaina.Sudah lebih dari seminggu Senja banyak termenung, seakan hanya dia sendiri yang hidup di dunia."Aku kayaknya bakal pindah dari rumah Tuan Langit. Aku tidak enak terus bergantung padanya. Apalagi dia sudah mendiamkanku semenjak di restoran itu," curhat Senja akhirnya. Belakangan ini dia menimbangkan akan pindah. Tapi Dia sudah meminjamkan apartemenya untuk Kaina.Mendengar curahan Senja. Kaina terdiam sejenak. Dia juga sebenarnya kecewa dengan Senja yang terlalu mudah memaafkan hanya karena kasihan. Apalagi Senja memberikan Rey kembali pekerjaan sebagai manager promosi. Tapi apakah berhak dia menasehati atasannya? Kaina ragu melakukannya."Aku tidak bisa mengatakan apapun. Semua keputusan ada di dirimu. Tapi sebagai seorang wanita. Kadang kita harus menyisihkan perasaan dan mengutamakan logika, jika kita tahu dari awal tidak baik. Manusia memang bisa berubah, tapi tidak sepenuhnya kita harus percaya. Butuh ujian untuk meyakinkan jika dia benar sudah b
"Ma, kita mau kemana?" tanya Bumi bingung. Mereka sekarang berada di jalan berbeda dari arah pulang ke rumah Langit. Padahal Sore ini Bumi sudah berjanji akan tidur di rumah kakeknya."Kita akan tinggal di apartemen mulai hari ini," sahut Senja datar. Dia menatap ke depan tanpa mau menoleh ke arah Bumi. Itu dilakukannya untuk menutupi rasa gelisah hatinya.Bumi yang mendengar sesuatu kabar yang tiba-tiba, membuat jiwa kecilnya yang sudah nyaman tinggal di rumah Langit meronta. "Bumi gak mau ma. Bumi mau kita balik ke rumah om. Bumi senang tinggal disana," tolak Bumi.Melihat wajah Bumi yang marah padanya. Mengingatkan Senja akan Langit. Kenapa dia baru sadar jika paras keduanya sangatlah mirip. Kenapa dia tidak curiga dari awal. Bukan hanya wajah tapi sifat Bumi juga hasil jiplakan pada Langit. Sebodoh itu dia hingga tidak bisa menyamakan hal yang sangat dekat."Diam lah Bumi. Kau anak mama dan akan tinggal sama mama. Bukan dengan orang lain. Itu bukan rumah kita. Tidak sepantasnya ki
Brak!!Langit mengamuk di rumahnya. Bi Marni sampai kebingungan bagaimana cara agar Langit tenang. Begitu juga dengan Awan yang masih duduk diam memperhatikan anaknya. Padahal dia sudah berencana ingin berpura-pura sakit beberapa hari nanti, agar bisa kembali tidur di rumah anaknya, dan bermain dengan Bumi. Tapi ternyata semua rencananya harus dia simpan dahulu. Apa yang terjadi pun Awan tidak tahu, sampai Senja, dan juga Bumi pergi dari rumah. Sampai membuat Langit seperti orang stress."Salah sendiri. Jadi laki gengsian. Kaburkan jadinya," celetuk Awan mulai kesal. Bagaimana dia tidak kesal, bukannya mencari, dan mendatangi, lalu membawa pulang. Malah ngamuk-ngamuk gak jelas di rumah.Langit menatap ke arah Awan. Dia sudah lelah untuk ribut dengan dirinya sendiri. Dengan langkah gontai, Langit menjatuhkan bokongnya di sebelah Awan yang memperhatikan gerak-geriknya."Langit harus bagaimana, pi?" tanya Langit putus asa.Siapa yang bisa sangka jika apa yang dikatakan Leo benar. Senja pe