"Dari mana kamu Senja?" tanya Ririn. Dia baru saja terbangun dari tidurnya. Tapi tidak menemukan Senja berada di atas ranjangnya. Dia sempat panik, tapi seketika hilang disaat melihat Senja sudah mulai masuk ke dalam kamar kembali."Hanya menghirup angin malam sebentar bu. Bosan rasanya di aras ranjang. Kebanyakan tidur, membuat Senja tidak bisa tidur kembali. Maaf sudah membuat ibu khawatir," jelas Senja. Dia berusaha tersenyum selebar mungkin, untuk menutupi hatinya yang sedang porak poranda.Balasan senyum diberikan Ririn. Walau wajah Senja tersenyum, dia bisa melihat mata Senja yang sendu. Seberapa banyak anaknya itu menutupi kesedihannya sendiri. Ingin Ririn medengar semua beban yang membuat sedih anak dari majikannya dulu itu."Besok sepertinya kita sudah bisa kembali bu. Senja sekalian mau ambil cuti. Rasanya ingin kembali merasakan suasana hijau, pasti tenang ya bu," celetuk Senja lagi. Dia sudah berjalan dan kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang.Merasa Senja mengajaknya
"Ma, kita mau kemana?" tanya Bumi. Dia membantu mamanya meletakkan pakaiannya ke dalam koper."Kita akan berlibur. Kalian kan sedang liburan sekolah. Jadi kita akan ke kampung neneknya Laura. Sejak kamu lahir, belum pernah mama ajak ke daerah perkampungan," jelas Senja.Pagi ini, setelah suaminya berangkat kerja. Senja mengajak Bumi untuk berkemas. Dia tidak berniat meminta izin pada Langit. Karena sudah lama juga mereka berdua menjadi orang asing, seperti tidak saling mengenal. Bukan itu saja, bahkan suaminya memilih tidur di kamar yang lain, tidak seranjang bersamanya."Apa disana banyak permainan?" tanya Langit. Dia hanya tahu liburan selalu berhubungan dengan permainan."Ya, banyak. Disana banyak permainan yang tidak akan kamu temukan di kota," jelas Senja.Bola mata Bumi berbinar cerah. Dia jadi penasaran permainan seperti apa yang ada disana.Setelah memastikan barang yang akan dibawa sudah terkemas dengan baik. Senja mendatangi kamar Laura Dimana ada Ririn dan juga Laura di dal
Senja menghirup udara segar di daerah perkampungan. Biasa yang terpandang matanya adalah bangunan yang tinggi menjulang. Kini sepanjang mata yang memandang hanya hamparan hijau dari kebun dan juga sawah. Sungguj sangat menyegarkan matanya."Ma, mana permainannya. Kata mama disini ada permainan? Lihat ini," keluh Bumi. Dia menyodorkan gawainya yang sinyalnya sering hilang dan timbul, hingga dia tidak bisa bermain game yang ada di gawainya. "Bumi mau balik ke rumah ma," sungut Bumi. Terbiasa di kota, membuatnya sangat asing dengan daerah yang dia datangi, belum lagi orang-orang disekitarnya terlihat aneh baginya. Bagaimana tidak aneh, mereka semua memandang ke arah Bumi dengan mata yang tidak berkedip."Ma, Laura cantikkan? Kata nenek, dulu gadis cantik disinu, rambutnya di kepang dua," ucap Laura. Sangat berbeda dengan abangnya. Dia sangat semangat berada di kampung. Apalagi banyak tumbuhan bunga cantik disekitar rumah yang sangat jarang terlihat di kota."Sabar. Baru juga semalam. Kem
"Bagaimana? Apakah bisnis kita masih bisa berlanjut? Tawaran saya sangat menarik bukan?" Tampak sebuah punggung kursi kebesaran, sedang bergoyang - goyang menghadap ke arah dinding kaca ruangan, disana duduk seorang pria yang sedang bersandar dengan sangat pongahnya, sambil sesekali cerutu yang terselip di sela jari, dia hisap dengan bibir hitamnya, hingga menyembulkan asap disekitar ruangan. Pria yang usianya masih belum memasuki umur 40 tahun itu tertawa sangat renyah, saat mendengar pertanyaan dari lawan bicara melalui sambungan gawainya. "Saya sangat yakin. Anda akan sangat puas dengan pelayanannya. Bagaimana? Bukankah anda sudah sangat tertarik, saat bertemu dengannya pertama kali?" tanya pria itu lagi. Senyumnya sangat merekah, saat usahanya merayu sebuah perjanjian kerja sama dengan sogokan menggiur jiwa kelelakian pada rekannya, berhasil tanpa banyak kendala. "Baiklah, nanti malam akan saya antarkan dia ke hotel yang anda sebutkan tadi. Tapi ingat, hanya satu jam." jawab P
Senja menangis terseduh-seduh, beberapa bagian tubuhnya terasa melebam, belum lagi rasa ngilu dan anyir darah dari pinggir bibirnya, membuat Senja harus berulang kali meringis di sela isak tangis.Dirinya sekarang sudah seperti seonggok barang habis dipakai, dibiarkan tergeletak tanpa ada yang memungutnya. "Ya Tuhan. Kenapa aku harus mengalami seperti ini? Kenapa?! Sakit, sakit sekali rasanya. Sakit!" teriaknya meraung. Senja mencoba bangkit dari kasur. Kedua kakinya terasa bergetar, hampir saja dia tergelicik. Belum lagi bagian intim yang terasa berdenyut nyeri. Semua akibat kekasaran pria bejat tersebut. "Dasar, psikopat!" gerutu Senja. Hati Senja mencolos, melihat dress yang dia kenakan tadi tidak berbentuk. Sungguh, perlakuan persis binatang yang tidak memiliki perasaan. Senja kini mulai kebingungan, dia tidak membawa pakaian ganti. Berlahan, kakinya dipaksa melangkah untuk mengambil tas selempang miliknya. Disana dia bisa menemukan sebuah gawai. Tujuan utama adalah menghubung
Rasa lelah mengemban berat di pundak Senja. Berjalan gontai dengan tubuh yang sampai membungkuk, disaat berjalan masuk ke dalam rumah.Sunyi.... Itulah kondisi pertama yang Senja rasakan, hanya ada asisten rumah tangga yang membukakan pintu rumahnya saja. "Ternyata dia belum pulang," lirih Senja. Sesaat sampai teras rumah, tidak tampak mobil suaminya terparkir disana. Langkah gontai Senja menghantarkan Senja ke salah satu pintu kamar, tepat disebelah kamarnya. Dengan hati - hati Senja membuka pintu, takut membangunkan siempunya kamar yang pasti sudah bermain di dunia mimpi."Bumi..." cicit Senja. Kakinya melangkah melayang, menuju anaknya. Perlahan, Senja mencium Bumi yang tidak terganggu sedikit pun dengan apa yang dilakukan Senja padanya. "Maafkan, Mama. Mama masih menjadi seorang Ibu yang buruk untukmu," gumam Senja. Hati Senja menyesak, apa yang harus dia jelaskan ke anaknya. Jika dia terus menerus seperti ini? Masih mau kah Bumi memanggilnya mama? Atau akan malu, dan menga
Senja melangkah mundur, dia tidak menyangka kata – kata itu bisa keluar dari Rey, suaminya. Kepala Senja berulang kali menggeleng, masih menepis jika apa yang keluar dari mulut hitam Rey adalah benar. Tapi mata yang sudah terkena percikan membara itu, kini menatap Senja dengan sulutan emosi. "Kenapa?! Dari awal kita menikah, bukankah kamu sudah tidak perawan lagi? Itu sudah menjadi bukti betapa rendah dan murahnya dirimu bukan?" desis Rey yang telah bangkit, dan bergerak maju mengikuti langkah Senja yang terus melangkah mundur. Linangan air mata mulai membanjir di pipi Senja. Sekarang dirinya yakin, jika Rey sedang membuka bangkai yang telah lama Senja kubur rapat. Senja yang sejak tadi melangkah mundur, kini menahan langkahnya. Tidak ada lagi langkah mundur bisa dia lakukan, setelah tubuhnya membentur nakas di ujung kamar.Napas Senja mulai menderu, bersamaan dengan bulir deras yang jatuh dari pelupuk matanya tanpa henti. Badai perasaan sedang berkecamuk dan memporak porandakan jiw
"Lepas!!" tampik Senja "Kamu lupa, apa yang kamu katakan saat di rumah Senja, atau kamu pura - pura lupa?" tanya Rey pelan. Senja memandang tajam ke arah Rey. Mata yang dulu berpedar cinta, kita sudah terpecik kebencian. "Berprilakulah, seperti biasanya. Jika tidak mau terjadi suatu hal yang akan membuat kau, menyesalinya seumur hidupmu," tambah Rey lagi. Senja terdiam. Dia hampir saja melupakan janjinya. Sejak malam itu, bersentuhan dengan Rey saja membuat Senja enggan. "Ayo kita masuk," kembali Rey menggandeng tangan Senja. "Tersenyumlah yang manis. Jangan pasang wajah murungmu itu," tegur Rey. Senja menerima paksa genggaman Rey, walau jiwanya selalu saja berteriak menolak, dan ingin menjauh saja. Rasanya seluruh tubuh beserta urat sarafnya, sudah membuat alarm tersendiri. Senyum palsu tercetak sempurna di wajahnya. Senyum yang selalu membuat banyak orang iri, melihat keharmonisan rumah tangga dirinya dan juga Rey. "Bagus, menurutlah seperti itu. Jadilah tetap Senja yang dul