Senja menangis terseduh-seduh, beberapa bagian tubuhnya terasa melebam, belum lagi rasa ngilu dan anyir darah dari pinggir bibirnya, membuat Senja harus berulang kali meringis di sela isak tangis.
Dirinya sekarang sudah seperti seonggok barang habis dipakai, dibiarkan tergeletak tanpa ada yang memungutnya."Ya Tuhan. Kenapa aku harus mengalami seperti ini? Kenapa?! Sakit, sakit sekali rasanya. Sakit!" teriaknya meraung.Senja mencoba bangkit dari kasur. Kedua kakinya terasa bergetar, hampir saja dia tergelicik. Belum lagi bagian intim yang terasa berdenyut nyeri. Semua akibat kekasaran pria bejat tersebut. "Dasar, psikopat!" gerutu Senja.Hati Senja mencolos, melihat dress yang dia kenakan tadi tidak berbentuk. Sungguh, perlakuan persis binatang yang tidak memiliki perasaan.Senja kini mulai kebingungan, dia tidak membawa pakaian ganti. Berlahan, kakinya dipaksa melangkah untuk mengambil tas selempang miliknya. Disana dia bisa menemukan sebuah gawai. Tujuan utama adalah menghubungi suaminya, Rey."Kemana sih dia? Kenapa telepon ku gak diangkat?" kesal Senja.Kekesalan Senja semakin menjadi, dikala dia membaca satu pesan masuk dari suaminya.[Pulanglah duluan, mas lagi ada keperluan mendadak diluar, mungkin malam ini mas pulang larut malam. Ada rekan bisnis mengajak bertemu. Makasih sayang. Atas kerja kerasmu Malam ini.]Selalu seperti ini, sesuka hatinya meninggalkan Senja tanpa ada kabar dahulu. "Bagaimana ini?" gelisah Senja. Berulang kali Senja mengucapkan sumpah serampah, bahkan mengutuk Rey, saking geramnya.Rasanya sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Dia tidak mungkin menginap di hotel mewah itu. Sekilas melihat kembali gawai dengan layar yang masih menyala. Tampak disana, foto anak semata wayangnya. "Bumi... " lirih Senja.Mata Senja menatap nanar foto anaknya. Anak yang membuat dirinya masih bertahan hidup sampai sekarang ini. Anak yang membuat dia masih berharga walau sudah jadi seonggok barang bekas tak bernilai.Senja tidak kehabisan akal. Dia berusaha berpikir cepat walau bagian tubuh berdenyut nyeri. "Hallo, selamat malam. Tolong belikan satu setelan pakaian ukuran M. Apa saja ke kamar nomor 506."Tidak ada pilihan lain. Senja menggunakan jasa hotel untuk membantunya kali ini. Tidak berapa lama, pesanan yang dia pinta pun datang. Menggunankan wardrobe milik hotel. Senja mengambil pesanan, sekaligus membayarnya.Tidak ada lagi Senja mementingkan penampilannya. Dia hanya ingin segera kembali pulang ke rumah."Sampai kapan aku seperti ini terus," keluhnya lagi.Senja mengambil napas dalam sebelum keluar dari kamar yang sudah meremuk tubuhnya.Senja berusaha melangkah senormal mungkin, tapi tetap saja tidak bisa seperti biasanya. "Sakit sekali," erangnya lirih, menahan rasa sakit sekujur tubuh."Aduh, maaf..." seru Senja.Senja yang berjalan dengan wajah tertekuk kebawah, sampai tidak sengaja menabrak seseorang pria yang berjalan didepannya."Dasar, wanita murahan," lantang pria tersebut.Senja sampai mematung dan tidak berani mendongakkan wajahnya. Jantungnya berdetak tidak beraturan. Dua kata yang menikam Senja sampai ingin mati."Ternyata tidak berubah, tetap sama saja. Dulu dan sekarang..." sindir pria muda itu lagi, sambil berlalu dari Senja, setelah mengibas jas mahalnya. Seakan merasakan jijik setelah bersentuhan dengan Senja."Siapa pria itu? Kenapa dia seperti itu padaku? Apa salahku padanya?" batin Senja.Dia masih berdiri terpaku disana. Apakah semua orang sudah tahu tentang dirinya? "Ya Tuhan, cobaan apalagi ini..."Kembali Senja manarik napas dalam. Dia sudah tidak tahan berada di sana. Rasa malu sudah menyilmuti dirinya sangat sesak.Sepanjang jalan didalam taksi, Senja hanya bisa melamun. Gulitanya malam, sepekat hatinya saat ini. Kata - kata pria tadi, masih tertancap jelas diingatannya, bahkan terus saja berputar ulang seperti kaset rusak."Aku memang wanita murahan. Aku sudah tidak ubahnya seperti wanita yang menjajakan dirinya," desah Senja lirih.Tanpa sadar, genangan air mata, jatuh menjadi bulir - bulir yang membasah pipinya.Sakit, disaat seorang suami yang dia harapkan menjadi pelindungnya. Malah menyodorkannya dengan senang hati ke pria lain.Senja sampai berpikir, apakah Rey masih mencintainya? Atau dia hanya menjadi alat untuk bisnisnya?Tapi cinta Senja sudah terlalu buta. Dia masih menaruh harap Rey berubah."Tenang saja. Ini tidak akan lama. Sampai perusahaan kita besar, dan kita tidak perlu lagi mengemis agar mereka mau bekerja sama dengan kita. Ini juga untuk kita dan juga Bumi,"Senja masih mengingat apa yang dikatakan Rey dahulu. Bukankah sekarang sudah besar. Senja merasa semua harta yang mereka kumpulkan sudah cukup. Dia tidak mau terus terjebak dengan keadaan seperti ini. Sepertinya Senja harus berbicara ulang dengan Rey.Senja tidak mau semakin banyak orang tahu apa yang dilakukannya, dan kembali mendapatkan kata sarkas seperti tadi.Masih di hotel tadi, pria yang sempat bertabrakan dengan Senja. Sekarang duduk di teras balkon hotel kamarnya. Pikirannya menerawang jauh seperti kepulan asap rokok yang membuyar pergi entah kemana."Tuan Muda. Kami sudah mencarinya ke tempat yang anda katakan. Tapi kami tidak menemukannya."Seorang asisten pribadi mendatanginya, hanya untuk memberikan informasi lima tahun yang lalu."Ehm..." Suara deheman bariton dari pria paruh baya memotong pembicaraan keduanya."Seorang Langit Dirgantara. Seorang lelaki yang terkenal playboy nya sejak masa sekolah. Kini hanya seperti anak ayam kehilangan induknya," cerca pria paruh baya itu.Langit berdiri dari duduknya. Tidak ada wajah marah ataupun kebencian, walau di katakan apapun."Ada apa papi kemari? Apakah perusahaan papi sudah diambang kebangkrutan, sampai mendatangiku?" sindir Langit langsung.Awan Dirgantara tertawa renyah. Kesibukannya dari dulu, membuat waktu bersama Langit sangatlah terbatas."Tidak, aku hanya sudah lelah bekerja. Aku hanya ingin melihat keadaan anakku saja. Sudah siapkah dia mengemban semua perusahaanku. Tapi ternyata, untuk membawa perasaannya saja dia sudah kesulitan. Bagaimana dengan perusahaanku." gurau Awan.Langit mendengus sebal, tidak bisa mengelak. Kenyataannya memanglah benar."Sudahlah Langit. Lupakan dia. Dia yang memilih pergi di acara pernikahan kalian kan? Lalu untuk apa kamu mencarinya lagi?" tegur Awan.Langit menyugar rambutnya. Sudah berulang kali papinya mengingatkan. Tapi tidak semudah itu untuk Langit. "Langit hanya mau tahu, alasan dia menjauh dari Langit pi," jelas Langit kesekian kalinya"Alasan yang sama. Papi tahu, sebenarnya kamu belum bisa melupakan dia kan? Terserah kamu sajalah. Biarkan papi sampai reot di perusahaan. Apa papi sampai nanti menyusul mami kamu juga, papi juga belum bisa menggendong cucu papi?"Awan memasang wajah memelas dan sedihnya."Papi. Sudah lah. Jangan mendrama seperti itu. Papi pasti masih sehat dan kuat, saat cucu papi lahir nanti," jawab Langit."Baiklah. Papi harap. Kamu cepat selesaikan masalah kamu. Agar bisa segera menjadi CEO di perusahaan papi. Papi sudah lelah bekerja. Papi mau pensiun," ungkap Awan.Awan sempat memeluk Langit sejenak, menepuk punggung kekar itu, sebelum berbalik keluar dari kamar Langit."Leo, kembali cari dia. Cari sampai dapat. Dimana dia berada sekarang," titah Langit."Siap Tuan."Leo pun permisi keluar dari kamar Langit, memberikan ruang untuk Langit sendiri dikamarnya."Aurora, dimana kamu sekarang? Haruskah seperti ini? Ada apa denganmu sebenarnya?"Rasa lelah mengemban berat di pundak Senja. Berjalan gontai dengan tubuh yang sampai membungkuk, disaat berjalan masuk ke dalam rumah.Sunyi.... Itulah kondisi pertama yang Senja rasakan, hanya ada asisten rumah tangga yang membukakan pintu rumahnya saja. "Ternyata dia belum pulang," lirih Senja. Sesaat sampai teras rumah, tidak tampak mobil suaminya terparkir disana. Langkah gontai Senja menghantarkan Senja ke salah satu pintu kamar, tepat disebelah kamarnya. Dengan hati - hati Senja membuka pintu, takut membangunkan siempunya kamar yang pasti sudah bermain di dunia mimpi."Bumi..." cicit Senja. Kakinya melangkah melayang, menuju anaknya. Perlahan, Senja mencium Bumi yang tidak terganggu sedikit pun dengan apa yang dilakukan Senja padanya. "Maafkan, Mama. Mama masih menjadi seorang Ibu yang buruk untukmu," gumam Senja. Hati Senja menyesak, apa yang harus dia jelaskan ke anaknya. Jika dia terus menerus seperti ini? Masih mau kah Bumi memanggilnya mama? Atau akan malu, dan menga
Senja melangkah mundur, dia tidak menyangka kata – kata itu bisa keluar dari Rey, suaminya. Kepala Senja berulang kali menggeleng, masih menepis jika apa yang keluar dari mulut hitam Rey adalah benar. Tapi mata yang sudah terkena percikan membara itu, kini menatap Senja dengan sulutan emosi. "Kenapa?! Dari awal kita menikah, bukankah kamu sudah tidak perawan lagi? Itu sudah menjadi bukti betapa rendah dan murahnya dirimu bukan?" desis Rey yang telah bangkit, dan bergerak maju mengikuti langkah Senja yang terus melangkah mundur. Linangan air mata mulai membanjir di pipi Senja. Sekarang dirinya yakin, jika Rey sedang membuka bangkai yang telah lama Senja kubur rapat. Senja yang sejak tadi melangkah mundur, kini menahan langkahnya. Tidak ada lagi langkah mundur bisa dia lakukan, setelah tubuhnya membentur nakas di ujung kamar.Napas Senja mulai menderu, bersamaan dengan bulir deras yang jatuh dari pelupuk matanya tanpa henti. Badai perasaan sedang berkecamuk dan memporak porandakan jiw
"Lepas!!" tampik Senja "Kamu lupa, apa yang kamu katakan saat di rumah Senja, atau kamu pura - pura lupa?" tanya Rey pelan. Senja memandang tajam ke arah Rey. Mata yang dulu berpedar cinta, kita sudah terpecik kebencian. "Berprilakulah, seperti biasanya. Jika tidak mau terjadi suatu hal yang akan membuat kau, menyesalinya seumur hidupmu," tambah Rey lagi. Senja terdiam. Dia hampir saja melupakan janjinya. Sejak malam itu, bersentuhan dengan Rey saja membuat Senja enggan. "Ayo kita masuk," kembali Rey menggandeng tangan Senja. "Tersenyumlah yang manis. Jangan pasang wajah murungmu itu," tegur Rey. Senja menerima paksa genggaman Rey, walau jiwanya selalu saja berteriak menolak, dan ingin menjauh saja. Rasanya seluruh tubuh beserta urat sarafnya, sudah membuat alarm tersendiri. Senyum palsu tercetak sempurna di wajahnya. Senyum yang selalu membuat banyak orang iri, melihat keharmonisan rumah tangga dirinya dan juga Rey. "Bagus, menurutlah seperti itu. Jadilah tetap Senja yang dul
Senja bergelut dengan perasaan cemas, disaat ban mobil kembali bergulir menuju hotel. Raut wajahnya berbalut kekhawatiran, sangat kontras dengan Rey yang bersenandung bahagia."Kau bahagiakan Senja? Mas sangat bahagia sekali. Ini bukan nominal kecil. Kita bisa membuka cabang perusahaan dan juga menambah investasi saham, jika mereka menyukai pelayananmu nanti," celoteh Rey tanpa menoleh ke Senja. Bahkan sesekali Rey terpekik kegirangan, membayangkan limpahan mata uang dollar. Senja memilih untuk menulikan pendengarannya. Pikirannya sedang sibuk melalang buana. Bayangan kotoran manusia menjijikkan masuk ke dalam mulut, sampai terdorong paksa masuk sampai ke tenggorokan, membuat Senja saat itu merasa seisi perutnya bergejolak. Dia sampai menahan mulutnya dengan telapak tangan, agar tidak muntah saat itu juga. Tapi rasa mual itu terus saja ingin menyembur keluar, hingga memerih di kerongkongan. Berulang kali mual itu kembali datang. Mata Senja sampai berair menahan luapan gejolak itu. Ba
Byur!!!Siraman air membasahi seluruh tubuh Senja, membawa Senja kembali ke alam sadarnya."Bukankah aku sudah mati?" batin Senja.Napas Senja terengah. Senja seperti merasakan dirinya berada dalam kematian untuk kedua kalinya. Lamunan tadi, seperti sosok nyata yang kembali hadir. Apalagi disaat siraman air memasuki rongga hidungnya, hingga membuat Senja kesakitan untuk bernapas, menambah yakin rasa sakit diujung kematian, sebelum raganya kembali menyadarkan Senja ke alam nyata."Siapa suruh kamu tetap disini, hah?! Ayo masuk!" Rey menarik kasar pergelangan tangan Senja. Satu tarikan paksa, membuat Senja sampai tersungkur jatuh ke lantai beralas aspal kasar, tanpa bisa menyeimbangkan badannya. Rey menatap datar sebentar. Tanpa ada rasa iba, kembali Rey menarik paksa tangan Senja.Senja yang belum siap untuk berdiri, sampai merasakan tubuhnya terseret, menjejakkan goresan luka di kaki Senja, akibat kerikil tajam yang ingin ikut serta menyiksanya.Menahan rasa perih, Senja berusaha be
"Leo..!" Leo terjungkal kaget dari kursi kebesarannya. Suara Langit yang seperti bola bekel memantul ke banyak arah, membuat Leo harus makin memperluas kesabarannya. Padahal keduanya dalam satu ruangan yang sama. Tapi kenapa seakan jarak mereka berdua berjauhan."Ya Tuan, ada apa?" tanya Leo. Tangan kirinya mengelus bokong tipis yang sempat berciuman dengan lantai."Kenapa kamu?" tanya Langit tanpa rasa bersalah."Tidak apa Tuan. Tadi saya hanya sedang mengenang, bagaimana nikmatnya bokong saya berciuman dengan lantai yang dingin," sindir Leo."Oh..." jawab singkat Langit.Sontak Leo hanya bisa melongo saja. Tidak ada kata maaf keluar dari Tuannya itu. "Oh pasal satu, pasal dua, kapankah kalian di revisi?" batin Leo mengeluh.Langit berdeham. "Bagaimana, ada kabar tentang Aurora? Dunia begitu kecil Leo. Bagaimana bisa kau tidak menemukannya. Dan ini, bagaimana bisa kau terlewat memeriksanya saat audit kemarin. Lalu ini lagi, kamu mau jabatanmu saya turunkan jadi office boy?" kesal La
Hari ini terlihat sangat cerah. Senja sudah mematut dirinya didepan cermin."Sudah siap?" tanya Rey. Matanya membidik jarum jam di dinding yang terus saja berputar.Senja menganggukkan kepala, setelah memastikan tidak ada yang kurang dalam dirinya. Hari ini dia sudah kembali untuk bekerja.Senja dan Rey melangkah bersama, melewati ruang makan. Disana, Senja melihat Bumi sudah duduk manis menunggu kedatangan mereka.Senja yang sudah sembuh sepenuhnya, berlari kecil untuk merapatkan tubuhnya, dan memberikan kecupan di pipi Bumi. "Pagi sayang," sapa Senja."Pagi Ma, Pagi Pa," sapa Bumi balik.Senja hendak sarapan bersama Bumi. Bergegas akan menderet kursi duduknya, tapi suara Rey menegur pendengarannya. "Kita tidak sempat untuk sarapan bersama hari ini, Senja. Ada rapat di kantor pagi ini. Kita harus segera sampai disana lebih awal."Sontak Senja mengurungkan niatnya. ada rasa bersalah menghantam Senja. Tangannya yang tadi sempat erat menggenggam kursi, kini mulai mengendur, bersamaan de
Sepanjang rapat dilakukan, Senja duduk dengan tidak nyaman. Bagaimana dia mau nyaman? Sepasang bola mata, seperti memiliki pisau untuk merobek tiap jengkal penutup bagian tubuhnya. Pria hidung belang itu, terang-terangan memandang Senja dengan rakusnya.Senja sangat ingin menghilangkan diri saat itu juga, tapi kakinya terasa sudah dipasung, tidak membiarkan Senja kabur untuk kedua kalinya.Jarum jam yang bergerak lambat untuk Senja, kini telah mencapai waktu akhirnya."Mana surat-suratnya. Berikan segera padaku. Aku sudah tidak tahan ingin membawa sekertaris cantikmu itu," seru Pria tambun dengan tidak sabarannya.Sempat-sempatnya pria yang memiliki kulit berwarna hitam itu, mengerlingkan matanya dan memberikan kecupan jauh untuk Senja.Rey tertawa renyah. "Sabarlah, kau masih ingat perjanjian dan aturan yang kita buat bukan?" peringat Rey.Pria yang memiliki bibir tebal itu, mendengus kesal. "Sebab itu cepatlah. Kepalaku sudah pusing. Menahan sesuatu dibawah sana yang sudah menegang.