Hari ini terlihat sangat cerah. Senja sudah mematut dirinya didepan cermin."Sudah siap?" tanya Rey. Matanya membidik jarum jam di dinding yang terus saja berputar.Senja menganggukkan kepala, setelah memastikan tidak ada yang kurang dalam dirinya. Hari ini dia sudah kembali untuk bekerja.Senja dan Rey melangkah bersama, melewati ruang makan. Disana, Senja melihat Bumi sudah duduk manis menunggu kedatangan mereka.Senja yang sudah sembuh sepenuhnya, berlari kecil untuk merapatkan tubuhnya, dan memberikan kecupan di pipi Bumi. "Pagi sayang," sapa Senja."Pagi Ma, Pagi Pa," sapa Bumi balik.Senja hendak sarapan bersama Bumi. Bergegas akan menderet kursi duduknya, tapi suara Rey menegur pendengarannya. "Kita tidak sempat untuk sarapan bersama hari ini, Senja. Ada rapat di kantor pagi ini. Kita harus segera sampai disana lebih awal."Sontak Senja mengurungkan niatnya. ada rasa bersalah menghantam Senja. Tangannya yang tadi sempat erat menggenggam kursi, kini mulai mengendur, bersamaan de
Sepanjang rapat dilakukan, Senja duduk dengan tidak nyaman. Bagaimana dia mau nyaman? Sepasang bola mata, seperti memiliki pisau untuk merobek tiap jengkal penutup bagian tubuhnya. Pria hidung belang itu, terang-terangan memandang Senja dengan rakusnya.Senja sangat ingin menghilangkan diri saat itu juga, tapi kakinya terasa sudah dipasung, tidak membiarkan Senja kabur untuk kedua kalinya.Jarum jam yang bergerak lambat untuk Senja, kini telah mencapai waktu akhirnya."Mana surat-suratnya. Berikan segera padaku. Aku sudah tidak tahan ingin membawa sekertaris cantikmu itu," seru Pria tambun dengan tidak sabarannya.Sempat-sempatnya pria yang memiliki kulit berwarna hitam itu, mengerlingkan matanya dan memberikan kecupan jauh untuk Senja.Rey tertawa renyah. "Sabarlah, kau masih ingat perjanjian dan aturan yang kita buat bukan?" peringat Rey.Pria yang memiliki bibir tebal itu, mendengus kesal. "Sebab itu cepatlah. Kepalaku sudah pusing. Menahan sesuatu dibawah sana yang sudah menegang.
Pagi mulai datang menyapa setiap orang yang akan memulai kembali rutinitas setiap paginya. Berbeda sengan Senja, dia masih betah berada diatas kasurnya. Tidak ada niat untuknya berpisah dengan kasurnya hari ini. Bukan karena Senja malas, bukan juga karena Senja sudah tidak bekerja.Senja merasa suhu tubuhnya meningkat, matanya sangat berat untuk terbuka, dan tenggorokannya terasa kering. Apakah dia sakit? Sepertinya pergumulan Senja tadi malam bersama pria buntal itu, membuat Senja kehilangan daya tahan tubuhnya."Dingin.." gumam Senja lirih. Walau suhu tubuh panas, tapi Senja merasakan kedinginan. Bahkan, seluruh tubuhnya menggigil, sehingga Senja menaikkan selimut untuk menutupi seluruh tubuh untuk menyapu rasa dingin itu.Rey yang telah selesai mandi, tampak kesal dengan Senja yang belum juga bangun dari tidurnya. Secara kasar Rey membuang selimut yang menutupi tubuh Senja, sampai terlihat Senja yang sedang meringkuk kedinginan."Bangunlah Senja. Kau pikir, waktu akan berhenti me
Senja tidak sadar, jika Langit lah yang menampung tubuhnya saat terhuyung jatuh."Panggil kan dokter, cepat!" teriak Langit khawatir.Langit sejak tadi sudah mawas diri. instingnya terlalu kuat. Langit sudah curiga sejak kedatangan Senja yang berjalan lunglai.Rey yang panik, segera menghubungi dokter pribadinya untuk datang ke kantornya. Hanya dokter tersebut yang diberi akses Rey untuk memeriksa Senja. Rey yang tidak mau Langit mengira dirinya tidak peduli dengan Senja, berinisiatif meminta Senja agar dia yang menggendongnya. Tapi permintaan Rey di tolak mentah-mentah oleh Langit."Tunjukkan saja dimana ruangan tempat aku bisa membawanya," tegas Langit.Rey tidak bisa memaksa kan kehendaknya. Dia sangat tahu siapa Langit, terpaksa Rey mengajak Langit untuk membawa Senja ke ruangannya saja.Sepanjang jalan sampai mereka sudah berada didalam ruangan. Rey tidak melepas pandangannya pada Langit. Bagaimana Langit memperlakukan Senja, dan meletakkan Senja secara hati-hati di sofa panjang
Senja termenung di meja kerjanya. Dua hari ini, memang Rey tidak mengusik dirinya dengan menyodorkan ke pria hidung belang. Tapi Senja terus saja dipaksa untuk memenuhi permintaannya. Setiap hari Rey terus meneror Senja, kapan dia akan melaksanakan keinginan Rey itu.Senja dilema dengan apa yang harus dia lakukan. Permintaan Rey, sudah pasti tidak bisa ditolak. Tapi semua tidak semudah itu, Senja ragu bisa berhasil melaksanakan tugasnya."Apa yang harus aku lakukan?" resah Senja. "Langit..." cicitnya lagi.Senja sama sekali tidak mengenal pria itu. Baru kemarin Senja melihatnya, itu juga samar tergambar di ingatannya. "Kenapa Rey sampai seambisi ini?" keluh Senja.Melihat kemarahan Rey. Senja sudah pastikan, jika seorang Langit bisa membuat Rey tidak berkutik. Apalagi dengan dirinya."Bagaimana Senja?" Baru saja Senja memikirkan suaminya, Rey sudah ada didepannya secara tiba-tiba."Aku tidak berani. Dia sepertinya berbeda, tidak sama dengan rekan bisnismu yang lain," ungkap Senja.Re
"Bagaimana kabarmu?" Senja menolehkan kepalanya ke arah Leo. Pertemuan tidak sengaja mereka berdua, mengantarkan Senja dan Leo duduk bersama di salah satu taman dekat Restoran.Sejak tadi mereka berdua hanya duduk terdiam, perasaan canggung memberikan jarak untuk saling bersapa."Baik, cukup baik," bohong Senja.Senja yang sejak awal tidak tahu ingin berkata apa, bersyukur Leo lah yang duluan membuka pembicaraan."Kau masih marah denganku, Gadis...?"Jantung Senja tersentak. Gadis? Nama yang dulu sangat dia banggakan, saat dirinya bisa menjaga kegadisannya sampai akan menikah. Tapi nama itu sekarang, bagai racun yang siap Senja tenggak.Senja tersenyum miris, sahabat yang dulu selalu dia percaya, selalu menjadi tempat berkeluh kesah, dan selalu menjadi pelindungnya, dalam satu malam menjadi jelmaan iblis kematian."Tidak, aku tidak marah. Semua sudah berlalu bukan? Kita juga sudah menjalani hidup kita masing-masing," tutur Senja.Berusaha ikhlas itu sulit, buktinya hanya untuk mengel
"Pakai ini, hilangkan bekas lukamu segera,"Rey melemparkan sebuah salap penghilang luka tepat diwajah Senja, sehingga mengenai wajahnya dan terpental ke lantai. Tidak ada kelembutan yang ditunjukkan Rey untuk Senja."Biarkan aku sendiri yang ke kantor hari ini. aku tidak mau orang lain curiga melihat luka di wajahmu itu," seru Rey lagi.Rey selalu bermain epic, tidak mau seorang pun tahu keburukannya.Senja masih membiarkan Rey bicara, kedatangannya masuk ke dalam kamae mereka, bukan untuk ingin bekerja. Senja memang berniat tidak bekerja. Pagi tadi tubuh Bumi terasa hangat. Dia tidak mau meninggalkan Bumi dalam keadaan sakit."Apa yang kamu katakan pada Bumi?" tanya Senja.Rey yang sedang mengecek penampilannya dalam pantulan cermin, memandang ke arah Senja denhan menunjukkan senyum culasnya sekilas. Lalu kembali menghadap ke arah cermin."Dia mengadu kepadamu? Memang seharusnya dia tahu bukan?" Rey bertanya balik.Rey tahu kemana arah pembicaraan Senja. "Kenapa kau tega dengannya?
"Apa yang kau lakukan disini? Sudah aku bilang untuk menelpon dokter pribadi kita, lalu kenapa kau membawanya ke rumah sakit?"Rey terpaksa meninggalkan pekerjaannya, disaat Senja memberi kabar padanya jika Bumi sudah berada diruang rawat inap."Apa kau mau semua orang tahu keadaanmu? Lihatlah, penampilanmu seperti ini, pasti membuat banyak tanda tanya, dan kecurigaan," tekan Rey lagi.Jika saja bukan di rumah sakit, Rey sudah meninggikan suaranya. Tapi kali ini, terpaksa Rey meledakkan amarah di dalam rongga dadanya, hingga dalam hatinya kian terasa terbakar. "Aku mengabarkanmu bukan untuk marah-marah. Kau harus bertanggung jawab atas Bumi. Perbuatanmu sudah membuat dia trauma, dan juga tulang jari telunjuknya retak mas," terang Senja.Rey menggelengkan kepalanya, lalu tersenyum kecut. "Dia bukan anakku Senja. Bukan aku yang harus bertanggung jawab untuk hidupnya. Salahnya, semalam ikut campur masalah pertengkaran kita. Jadi jangan pernah menyalahkanku," kelit Rey."Kemaskan semua