"Bagaimana kabarmu?" Senja menolehkan kepalanya ke arah Leo. Pertemuan tidak sengaja mereka berdua, mengantarkan Senja dan Leo duduk bersama di salah satu taman dekat Restoran.Sejak tadi mereka berdua hanya duduk terdiam, perasaan canggung memberikan jarak untuk saling bersapa."Baik, cukup baik," bohong Senja.Senja yang sejak awal tidak tahu ingin berkata apa, bersyukur Leo lah yang duluan membuka pembicaraan."Kau masih marah denganku, Gadis...?"Jantung Senja tersentak. Gadis? Nama yang dulu sangat dia banggakan, saat dirinya bisa menjaga kegadisannya sampai akan menikah. Tapi nama itu sekarang, bagai racun yang siap Senja tenggak.Senja tersenyum miris, sahabat yang dulu selalu dia percaya, selalu menjadi tempat berkeluh kesah, dan selalu menjadi pelindungnya, dalam satu malam menjadi jelmaan iblis kematian."Tidak, aku tidak marah. Semua sudah berlalu bukan? Kita juga sudah menjalani hidup kita masing-masing," tutur Senja.Berusaha ikhlas itu sulit, buktinya hanya untuk mengel
"Pakai ini, hilangkan bekas lukamu segera,"Rey melemparkan sebuah salap penghilang luka tepat diwajah Senja, sehingga mengenai wajahnya dan terpental ke lantai. Tidak ada kelembutan yang ditunjukkan Rey untuk Senja."Biarkan aku sendiri yang ke kantor hari ini. aku tidak mau orang lain curiga melihat luka di wajahmu itu," seru Rey lagi.Rey selalu bermain epic, tidak mau seorang pun tahu keburukannya.Senja masih membiarkan Rey bicara, kedatangannya masuk ke dalam kamae mereka, bukan untuk ingin bekerja. Senja memang berniat tidak bekerja. Pagi tadi tubuh Bumi terasa hangat. Dia tidak mau meninggalkan Bumi dalam keadaan sakit."Apa yang kamu katakan pada Bumi?" tanya Senja.Rey yang sedang mengecek penampilannya dalam pantulan cermin, memandang ke arah Senja denhan menunjukkan senyum culasnya sekilas. Lalu kembali menghadap ke arah cermin."Dia mengadu kepadamu? Memang seharusnya dia tahu bukan?" Rey bertanya balik.Rey tahu kemana arah pembicaraan Senja. "Kenapa kau tega dengannya?
"Apa yang kau lakukan disini? Sudah aku bilang untuk menelpon dokter pribadi kita, lalu kenapa kau membawanya ke rumah sakit?"Rey terpaksa meninggalkan pekerjaannya, disaat Senja memberi kabar padanya jika Bumi sudah berada diruang rawat inap."Apa kau mau semua orang tahu keadaanmu? Lihatlah, penampilanmu seperti ini, pasti membuat banyak tanda tanya, dan kecurigaan," tekan Rey lagi.Jika saja bukan di rumah sakit, Rey sudah meninggikan suaranya. Tapi kali ini, terpaksa Rey meledakkan amarah di dalam rongga dadanya, hingga dalam hatinya kian terasa terbakar. "Aku mengabarkanmu bukan untuk marah-marah. Kau harus bertanggung jawab atas Bumi. Perbuatanmu sudah membuat dia trauma, dan juga tulang jari telunjuknya retak mas," terang Senja.Rey menggelengkan kepalanya, lalu tersenyum kecut. "Dia bukan anakku Senja. Bukan aku yang harus bertanggung jawab untuk hidupnya. Salahnya, semalam ikut campur masalah pertengkaran kita. Jadi jangan pernah menyalahkanku," kelit Rey."Kemaskan semua
"Nakal kamu, nakal kamu ya.."Senja dengan sengaja mencubit manja Bumi. Bisanya anak itu melepas jarum infusnya sendiri. Jika sampai jarumnya tertinggal didalam kulitnya gimana?Bumi yang mendapat cubitan Senja terus tertawa, tidak ada rasa sakit yang dia rasakan, hanya ada rasa geli.!!"Nakal kamu, nakal kamu ya.."Senja dengan sengaja mencubit manja Bumi. Bisanya anak itu melepas jarum infusnya sendiri. Jika sampai jarumnya tertinggal didalam kulitnya gimana?Bumi yang mendapat cubitan Senja terus tertawa, tidak ada rasa sakit yang dia rasakan, hanya ada rasa geliBumi yang mendapat cubitan Senja terus tertawa, tidak ada rasa sakit yang dia rasakan, hanya ada rasa geli."Bumi kan cari mama. Takut sampai mama di jahatin papa lagi,"Senja membawa Bumi ke dalam peluknya. Sebegitu besar Bumi ingin melindunginya, padahal tubuhnya sangat kecil untuk melawan orang dewasa."Ma, Bumi gak mau pergi liburan. Bumi gak mau bersama papa. Bumi hanya mau bersama mama. Bumi janji, Bumi gakkan iri da
"Ma, kita pulang naik apa?" tanya BumiSore ini mereka sudah bisa kembali pulang ke rumah. Senja memberikan senyuman ke Bumi sambil menyubit gemas hidung anaknya. Sangat terlihat Bumi tidak sabaran untuk segera kembali."Kita naik taksi sayang..." sahut Senja.Dia tidak mau memperumit kepulangan Bumi dengan meminta Rey menjemputnya.Bumi mengangguk setuju, sambil memperhatikan Senja yang sedang membereskan barang yang akan di bawa kembali."Ma, mau Bumi bantu..." ucap Bumi, tapi omangannya terjeda saat dia menunjukkan jarinya yang sedang diperban. "Sepertinya tidak bisa ma, lihat tangan Bumi," tunjuk Bumi. Wajah berubah cemberut.Senja tertawa kecil, ada saja tingkah Bumi yang membuat dia bisa tertawa. "Kami cukup bantu mama dengan duduk tenang," jawab Senja.Tidak banyak yang harus dibereskan oleh Senja, pakaian yang dia bawa juga hanyalah pakaian yang dia beli di lokasi terdekat rumah sakit. Setelah semuanya selesai, Bumi melompat turun, sehingga membuat Senja jantungan."Bumi...!"
Suara bising bisik-bisik terdengar kembali mengganggu Senja. Bukankah dia sudah mati?Suara bisikkan itu terdengar samar. Apakah malaikat sedang berebut akan memasukkannya ke neraka? Tapi suara yang terdengar seperti bisikan itu tidak asing di telinganya. Suaranya sangat mirip dengan suaminya. Apakah ini berarti dia masih hidup? Senja berusaha membuka matanya, tapi sangat sulit untuk terbuka, seperti ada batu yang menimpanya.Senja tidak menyerah, dia sekuat tenaga berusaha membuka matanya, hingga Senja bisa melihat kondisi kamar kembali. Dia ternyata tidak mati, berarti apa yang dia rasakan tadi hanyalah mimpi. Mimpi yang terasa sangat nyata."Mas, kamu sudah pulang?" sapa Senja.Senja sangat ingin mendengar dengan siapa Rey sedang berbicara. Senja berpikir akan memergoki Rey yang sedang menelpon selingkuhannya. Tapi apa yang dia harapkan harus pupus.Rey yang mengetahui Senja sudah bangun, tidak melanjutkan pembicaraannya, dia segera mematikan telpon secara sepihak. Sontak gelagat
Senja merasakan banyak perubahan Rey, dia sangat peduli, baik, dan juga tidak pernah lagi menuntut Senja untuk melayani para kolega bisnisnya.Siapa wanita yang tidak terhanyut perhatian? Walau pernah terluka. Senja sampai mengabaikan jika Rey sudah terlalu banyak menyakitinya. Ditambah kehadiran Gia, sahabatnya. Membuat Senja menyampingkan apa yang menjadi tujuannya kemarin. Begitulah Senja, mudah marah, tapi juga mudah mengubah sikapnya. "Beneran mas, kita jadi liburan bersama?" tanya Senja memastikan. Padahal Senja sudah mengubur harapan itu, di tambah Bumi yang juga tidak pernah kembali meminta.Rey mengangguk setuju, tentu saja Senja tidak bisa menutup rasa bahagianya. Besok mereka akan berlibur bersama, walau terkesan dadakan."Kalau begitu, biar aku bilang ke Bumi," Senja beranjak dari tempat tidurnya. Walau sudah masuk waktu malam, Senja masih yakin, Bumi belum tertidur nyenyak.Senja tidak tahu, disaat dia keluar dari kamarnya, Rey memandang ke arahnya dengan tatapan dingin
Senja tertawa hambar, pikirannya sangat kusut, sampai suara suami Gia terdengar mirip Rey. "Ahh!!" teriak Senja.Dia sengaja mengacak-ngacak rambutnya hingga berantakan. Sepertinya dia harus beristirahat, bukankah besok mereka akan berlibur? Menunggu Rey pulang juga tidak tahu kapan kembalinya.Senja beranjak dari duduknya, dia beralih ke kasur dimana biasa tidur berdua bersama Rey. Kasur yang sudah lama dingin, tanpa ada kegiatan panas di atasnya."Apakah aku kurang menarik? Tapi, begitu banyak rekanmu yang terpesona denganku mas," lirih Senja.Merasa bebannya berat, sengaja Senja menghempaskan tubuhnya di atas kasur, berharap beban pikirannya menjadi ringan, ternyata usahanya nihil. Senja semakin merasa buntu, dan memilih mengikuti malam untuk menutup tirai matanya.sepanjang tidurnya, Senja tidak bisa tertidur nyenyak, berulang kali dia harus tersentak, lalu melihat Rey yang belum kembali, hingga menjelang subuh Rey baru hadir lagi di kamar mereka."Mas dari mana? Kenapa pergi gak
Senja menghirup udara segar di daerah perkampungan. Biasa yang terpandang matanya adalah bangunan yang tinggi menjulang. Kini sepanjang mata yang memandang hanya hamparan hijau dari kebun dan juga sawah. Sungguj sangat menyegarkan matanya."Ma, mana permainannya. Kata mama disini ada permainan? Lihat ini," keluh Bumi. Dia menyodorkan gawainya yang sinyalnya sering hilang dan timbul, hingga dia tidak bisa bermain game yang ada di gawainya. "Bumi mau balik ke rumah ma," sungut Bumi. Terbiasa di kota, membuatnya sangat asing dengan daerah yang dia datangi, belum lagi orang-orang disekitarnya terlihat aneh baginya. Bagaimana tidak aneh, mereka semua memandang ke arah Bumi dengan mata yang tidak berkedip."Ma, Laura cantikkan? Kata nenek, dulu gadis cantik disinu, rambutnya di kepang dua," ucap Laura. Sangat berbeda dengan abangnya. Dia sangat semangat berada di kampung. Apalagi banyak tumbuhan bunga cantik disekitar rumah yang sangat jarang terlihat di kota."Sabar. Baru juga semalam. Kem
"Ma, kita mau kemana?" tanya Bumi. Dia membantu mamanya meletakkan pakaiannya ke dalam koper."Kita akan berlibur. Kalian kan sedang liburan sekolah. Jadi kita akan ke kampung neneknya Laura. Sejak kamu lahir, belum pernah mama ajak ke daerah perkampungan," jelas Senja.Pagi ini, setelah suaminya berangkat kerja. Senja mengajak Bumi untuk berkemas. Dia tidak berniat meminta izin pada Langit. Karena sudah lama juga mereka berdua menjadi orang asing, seperti tidak saling mengenal. Bukan itu saja, bahkan suaminya memilih tidur di kamar yang lain, tidak seranjang bersamanya."Apa disana banyak permainan?" tanya Langit. Dia hanya tahu liburan selalu berhubungan dengan permainan."Ya, banyak. Disana banyak permainan yang tidak akan kamu temukan di kota," jelas Senja.Bola mata Bumi berbinar cerah. Dia jadi penasaran permainan seperti apa yang ada disana.Setelah memastikan barang yang akan dibawa sudah terkemas dengan baik. Senja mendatangi kamar Laura Dimana ada Ririn dan juga Laura di dal
"Dari mana kamu Senja?" tanya Ririn. Dia baru saja terbangun dari tidurnya. Tapi tidak menemukan Senja berada di atas ranjangnya. Dia sempat panik, tapi seketika hilang disaat melihat Senja sudah mulai masuk ke dalam kamar kembali."Hanya menghirup angin malam sebentar bu. Bosan rasanya di aras ranjang. Kebanyakan tidur, membuat Senja tidak bisa tidur kembali. Maaf sudah membuat ibu khawatir," jelas Senja. Dia berusaha tersenyum selebar mungkin, untuk menutupi hatinya yang sedang porak poranda.Balasan senyum diberikan Ririn. Walau wajah Senja tersenyum, dia bisa melihat mata Senja yang sendu. Seberapa banyak anaknya itu menutupi kesedihannya sendiri. Ingin Ririn medengar semua beban yang membuat sedih anak dari majikannya dulu itu."Besok sepertinya kita sudah bisa kembali bu. Senja sekalian mau ambil cuti. Rasanya ingin kembali merasakan suasana hijau, pasti tenang ya bu," celetuk Senja lagi. Dia sudah berjalan dan kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang.Merasa Senja mengajaknya
Lenguhan keluar dari bibir Senja. Pandangan Senja langsung bergerak liar untuk meraba area sekitarnya saat ini. Dia masih ingat, jika tadi dia masih berada di tamab rumah sakit, dia juga masih sadar, saat dirinya akan kehilangan kesadarannya."Kamu sudah sadar nak? Kenapa sampai bisa pingsan? Untung saja janinmu baik-baik saja," seru Ririn. Saat melihat Senja mulai membuka mata, dan seperti kencari sesuatu yang berada di dalam kamar inap yang mereka tempati.Tatapan Senja menyiratkan kekecewaannya. Tidak ada lagi rona warna bahagia terpantuk disana, hanya tinggal warna hitam dan putih saja. Di ruangan yang besar, ada satu tempat tidur untuknya. Tapi tidak ada suaminya disana. Dimana Langit? Apakah dia sesibuk itu dengan Aurora sekarang ini? Hingga tidak tahu keberadaan dan keadaan dia sekarang? Hati Senja merasa tusukan-tusukan duri tajam yang terus menusuk tanpa ampun."Kenapa? Cerita sama ibu, jangan pendam masalahmu sendiri. Apa kamu mencari suamimu? Apa perlu ibu memanggilnya, agar
Sudah beberapa hari berjalan, Senja dan Langit melakukan perang dingin. Langit dengan ego besarnya, selalu pergi bekerja terlebih dahulu, membiarkan Senja berangkat bersama supir mereka."Ma, papa kenapa?" tanya Bumi.Ternyata anak-anaknya juga sampai merasakan perbedaan yang terjadi diantara mereka."Papa sedang sangat sibuk. Jadi terburu-buru dan duluan pergi. Kalau mama kan sdang hamil," alasan Senja.Bumi menatap curiga pada mamanya. Tentu tatapan Langit langsung membuat mamanya salah tingkah, dan tidak berani membalas tatapan matanya."Laura, gimana sekolahnya. Teman barumu, masih mau terus dekat-dekat abang?" tanya Senja. Dia sengaja mengalihkan pembicaraan."Masih ma. Katanya dia mau ketemu dan berkenalan dengan calon mertuanya. Siapa sih ma, calon mertua itu? Sampai abang makin marah da mengusir kami," tanya Laura penasaran.Senja tersenyum tipis. Dia jadi penasaran dengan teman Laura. Kenapa bisa berpikir sedewasa itu. "Calon mertua itu, sebutan untuk mama, dan papa untuk pasa
"Kamu dari mana?" tanya Langit. Saat Senja kembali ke kantor. Langit sudah berada di ruangan mereka.Sebelum menjawab. Senja tersenyum pada suaminya. Menyiratkan jika dia baik-baik saja. "Mas pasti tahu, aku dari mana," jawab Senja.Helaan napas panjang keluar dari bibir Langit. Dia tahu, dia sempat menguntit istrinya tadi, dan dia juga terkejut dengan kondisi Aurora. Ada rasa bersalah dan ingin melindungi wanita yang dulu pernah mengisi hatinya."Jangan kesana lagi. Dia hanya masa lalu mas. Mas tidak mau kamu terluka," sahut Langit.Senyum Senja semakin melengkung. Kalimat Langit sudah memberitahukan jika suaminya tahu, jika di rumah sakit itu ada masa lalunya yang sedang terbaring lemah."Jangan marahi Maira. Dia hanya meminta tolong padaku. Aku sudah berjanji akan membantu biaya rumah sakit dan juga operasi temannya," jelas Senja. Lidahnya tidak bisa menyebut nama Aurora di depan suaminya."Terserahmu," jawab singkat Langit. Dia memilih melanjutkan pekerjaannya, daripada mengajak Se
Pagi ini Senja datang ke kantor dengan menunjukkan kemesraan yang tidak biasanya. Dia menggelayut manja di lengan Langit. Seakan ingin menunjukkan ke semuanya, jika Langit hanyalah miliknya. Tidak ada seorang pun yang bisa berbagi dengannya.Tidak urung tingkah yang di lakukan Senja juga menjadi perhatian Maira. Kedongkolan semakin menghantam dadanya dengan palu godam. Padahal dia sudah mengatakan semuanya. Tapi dia merasa, Senja menjadi wanita yang tidak tahu diri."Kamu masuk duluan ya. Ada yang mas diskusikan sebentar dengan Maira," ucap Langit.Senja memgangguk setuju. Dia tidak perlu cemburu, karena dia tahu jika Maira tidak ada maksud lain, selain menginginkan Langit kembali pada Aurora.Suasana antara Langit dan Maira, sejenak hening. Hingga Senja sepenuhnya masuk ke dalam ruangan, baru lah Langit membuka suaranya. "Apa yang kamu lakukan kemarin dengan istri saya? Jangan pikir saya tidak tahu apapun. Saya ingatkan padamu, untuk pertama dan terakhir kali. Jangan pernah membawa
Senja sangat ingin menutup wajah amarahnya. Tapi tetap saja, emosinya yang tergambar, tidak bisa menutup rasa amarahnya.Dia meminta supir yang bersamanya untuk mengantarkannya menepi ke sebuah taman. Dia harus bisa mendinginkan kepalanya sebelum kembali ke rumah.Matanya masih melihat ke gawai yang menampilkan nama suaminya. "Maafkan aku mas," seru Senja. Dia mematikan gawainya sejenak. Tidak ingin panggilan dari Langit mengganggu kesendiriannya."Kenapa takdir pernikahanku selalu saja harus ada wanita lain disana?" monolog Senja sendiri.Dia masih mengingat jelas semua apa yang dikatakan Maira tadi.[Dia sakit. Dia lebih membutuhkan tuan, daripada anda bu Senja. Sejak awal tuan juga milik Aurora. Bukan milik anda. Harusnya anda mundur, disaat tahu seseorang yang dicintai tuan kembali. Apa anda tega memisahkan keduanya? Disaat salah satu sedang tidak berdaya dengan sakitnya?]Senja menangis terisak. Dia bisa saja membenarkan aoa yang dikatakan Maira. Tapi dia juga bisa menyalahkan Mai
Senja sempat bergidik ngeri melihat aura yang keluar dari Maira. Sejak pulang bersama suaminya beberapa waktu yang lalu, tatapannya menyiratkan kebencian dan ketidaksukaan pada Senja. Senja sendiri tidak mengerti dengan sikap acuh Maira. Apa ini juga ada hubungannya dengan sikap Langit yang lalu juga? Apa yang terjadi pada keduanya?Terbesit pikiran buruk di otak Senja. Tapi segera dia tepis. Tidak mungkin suaminya berani berkhianat dan bermain belakang dengan sekertarisnya itu.Sebagai wanita yang sudah menikah dua kali. Senja tidak mau kejadian yang lalu terulang kembali. Dia harus melakukan sesuatu sebelum terlambat."Maira, nanti bisa temani saya keluar sebentar? Saya mau berbelanja, tapi tidak ada yang menemani," ucap Senja saat dia kembali melewati meja sekertarisnya itu.Wajah Maira di pandangan Senja berubah datar. Tapi Senja yakin dia tidak akan berani menolak keinginan Senja."Baik bu. Saya akan temani ibu nanti," sahut Maira. Dia merasa Senja hanyalah wanita tidak tahu malu