"Kenapa kamu Senja?" tanya Kaina.Sudah lebih dari seminggu Senja banyak termenung, seakan hanya dia sendiri yang hidup di dunia."Aku kayaknya bakal pindah dari rumah Tuan Langit. Aku tidak enak terus bergantung padanya. Apalagi dia sudah mendiamkanku semenjak di restoran itu," curhat Senja akhirnya. Belakangan ini dia menimbangkan akan pindah. Tapi Dia sudah meminjamkan apartemenya untuk Kaina.Mendengar curahan Senja. Kaina terdiam sejenak. Dia juga sebenarnya kecewa dengan Senja yang terlalu mudah memaafkan hanya karena kasihan. Apalagi Senja memberikan Rey kembali pekerjaan sebagai manager promosi. Tapi apakah berhak dia menasehati atasannya? Kaina ragu melakukannya."Aku tidak bisa mengatakan apapun. Semua keputusan ada di dirimu. Tapi sebagai seorang wanita. Kadang kita harus menyisihkan perasaan dan mengutamakan logika, jika kita tahu dari awal tidak baik. Manusia memang bisa berubah, tapi tidak sepenuhnya kita harus percaya. Butuh ujian untuk meyakinkan jika dia benar sudah b
"Ma, kita mau kemana?" tanya Bumi bingung. Mereka sekarang berada di jalan berbeda dari arah pulang ke rumah Langit. Padahal Sore ini Bumi sudah berjanji akan tidur di rumah kakeknya."Kita akan tinggal di apartemen mulai hari ini," sahut Senja datar. Dia menatap ke depan tanpa mau menoleh ke arah Bumi. Itu dilakukannya untuk menutupi rasa gelisah hatinya.Bumi yang mendengar sesuatu kabar yang tiba-tiba, membuat jiwa kecilnya yang sudah nyaman tinggal di rumah Langit meronta. "Bumi gak mau ma. Bumi mau kita balik ke rumah om. Bumi senang tinggal disana," tolak Bumi.Melihat wajah Bumi yang marah padanya. Mengingatkan Senja akan Langit. Kenapa dia baru sadar jika paras keduanya sangatlah mirip. Kenapa dia tidak curiga dari awal. Bukan hanya wajah tapi sifat Bumi juga hasil jiplakan pada Langit. Sebodoh itu dia hingga tidak bisa menyamakan hal yang sangat dekat."Diam lah Bumi. Kau anak mama dan akan tinggal sama mama. Bukan dengan orang lain. Itu bukan rumah kita. Tidak sepantasnya ki
Brak!!Langit mengamuk di rumahnya. Bi Marni sampai kebingungan bagaimana cara agar Langit tenang. Begitu juga dengan Awan yang masih duduk diam memperhatikan anaknya. Padahal dia sudah berencana ingin berpura-pura sakit beberapa hari nanti, agar bisa kembali tidur di rumah anaknya, dan bermain dengan Bumi. Tapi ternyata semua rencananya harus dia simpan dahulu. Apa yang terjadi pun Awan tidak tahu, sampai Senja, dan juga Bumi pergi dari rumah. Sampai membuat Langit seperti orang stress."Salah sendiri. Jadi laki gengsian. Kaburkan jadinya," celetuk Awan mulai kesal. Bagaimana dia tidak kesal, bukannya mencari, dan mendatangi, lalu membawa pulang. Malah ngamuk-ngamuk gak jelas di rumah.Langit menatap ke arah Awan. Dia sudah lelah untuk ribut dengan dirinya sendiri. Dengan langkah gontai, Langit menjatuhkan bokongnya di sebelah Awan yang memperhatikan gerak-geriknya."Langit harus bagaimana, pi?" tanya Langit putus asa.Siapa yang bisa sangka jika apa yang dikatakan Leo benar. Senja pe
"Senja, Tuan Langit datang kemari," panik Kaina.Kaina tidak mengerti bagaimana bisa Senja mencueki Langit beberapa hari ini. Hingga Langit tidak bisa kembali di tahan untuk tidak ke ruangan Senja."Bi...""Bilang apa? Mau bilang lagi kamu sedang di luar? Sampai kapan mau menghindar dari saya?" potong Langit. Kesabaran Langit sudah melewati batasnya, hanya untuk sekedar menerima alasan Senja yang tidak masuk akal."Kaina, kamu bisa keluar. Makasih ya," ucap Senja lembut. Dia tidak bisa mengelak lagi hari ini.Kaina bergegas keluar. Dia tidak mau terlibat masalah antara dua bosnya itu. Dia sangat yakin, selangkah kakinya keluar ledakan akan terjadi."Kenapa tidak memberitahukanku akan keluar dari rumah? Kenapa terus menghindar Senja?" tanya Langit langsung tanpa basa basi.Senja berusaha menahan takutnya. Dia sebenarnya tidak berani untuk berhadapan langsung dengan Langit, apalagi banyak perjanjian tertulis yang sudah disepakati. "Itu bukan rumah kami. Sudah seharusnya kami tidak disana
Rasa lelah semakin menggila disaat Senja batu saja sampai ke apartemennya tapi di suguhkan pemandangan tidak biasa."Mama. om Langit sedang sakit. Kasihan, dia sendiri di rumahnya. Jadi Bumi suruh tinggal sama kita," ucap Bumi, menyapa gemas gendang telinga Senja. Bagaimaba bisa Bumi mengambil keputusan semendadak ini. Pasti Langit sudah menipu anaknya agar bisa berada disini."Oh ya, emang Om kamu itu sedang sakit apa? Kan ada bi Marni yang ada disana. Dia juga kata raya, bisa memamggil seorang suster untuk menjaganya," hasut Senja.Senja berpura-pura tidak tahu saat Bumi dan juga Langit sedang memainkan perkodean mereka berdua. Sepertinya anaknya sedang bekerja sama dengan tuannya itu.Kembali Bumi menyahut. "Itukan seorang suster ma. Dia mana bisa merawar seperti mama. Mamakan paling jago rawat orang sakit. Buktinya Bumi selalu cepat sembuh jika disamping mama. Lagian ya ma. Gantian dong. Kemarin kita yang tidur di rumah om. Jadi biar om tinggal disinu gantian," cerocos Bumi.Langi
"Apaan sih? Saya bisa pergi sendiri loh tuan Langit. Lagian, arah kantor kita berbeda," keluh Senja.Bisa-bisanya Langit memaksa Senja ikut bersama dengannya pergi ke kantor. Padahal tadi dia sudah memesan taksi online depan apartemennya yang sudah menunggu dia disana."Siapa bilang kantor kita berbeda? Ah, aku lupa mengatakan jika kantor kita sama mulai hari ini. Sekarang ruangan saya di kantor kamu," celetuk Langit ringannya.Sontak mulut Senja menganga lebar. Kejutan apa lagi ini? Sungguh kelakuan Langit di luar nalarnya. Bagaimana bisa seenaknya saja mengubah tempat bekerja. Langit sudah seperti sampuraga yang membuat candi dalam semalam."Tapi..." Senja ingin sekali protes, tapi Senja terpaksa menelan kembali ucapannya."Tidak ada tapi-tapi. Ingat kataku tadi malam kan? Jadi akan aku mulai dari hari ini. Pertama adalah selalu bersama," ceplos Langit tanpa peduli Kaina yang senyum-senyum sendiri di kursi belakang.Apa yang bisa dilakukan Senja selain menerima. Hanya desahan berat
"Perkenalkan, nama saya Desa Mahendra. Saya pemilik perusahaan ini sebenarnya. Rey hanyalah tangan kanan saya," sapa Desa pada Langit dan juga Senja.Senja sudah terpaku di tempatnya, baru kemarin Langit menjelaskan, sekarang orang yang di bicarakan sudah muncul di depannya. Apa keinginan om nya itu? Apakah sebenarnya lelaki paruh baya itu juga sudah tahu kalau dirinya adalah Cahaya? Senja tidak berkedip memandang wajah Desa. Wajah yang sangat tidak asing baginya "Wah om Desa, sudah lama tidak berjumpa. Masih ingat saya kan? Saya Langit. Anaknya Awan Dirgantara," balik sapa Langit.Desa tersenyum ramah pada Langit. Senyum yang membuat seorang wanita muda di depannya semakin terkesima."Hai, apakah kamu yang namanya Senja? Rey banyak bercerita tentang kamu. Dia sudah sangat nakal hingga rumah tangga kalian terpaksa kandas begitu saja," celetuk Desa. Rasanya Senja sangat ingin menyahut, tapi lidahnya sangat keluh untuk sekedar terangkat. "Dia pantas mendapatkannya. Biarkan saja dia de
Sejak pengukuhan Langit, jika dia dan juga Senja sudah menjadi sepasang kekasih. Langit tidak pernah melepas tangan Senja kemanapun mereka bersama. Tapi hari ini Senja merasakan kekosongan di bagian telapak tangannya karena Langit tidak ada bersamanya."Apaan sih? Lepasin gak?" marah Senja. Bisa-bisanya tidak ada Langit, Rey menarik tangannya agar bisa terpojok di sudut ruangan rapat."Murahan sekali kamu Senja. Rela menjadi budak wanita Langit. Hanya karena hartanya kan? Padahal sudah aku ingatkan. Jika hatinya tidak akan bisa dimiliki wanita lain selain kekasihnya dulu. Kau hanya akan menjadi pelampiasannya dan akhirnya kau akan sakit hati saat dia mencampakkanmu," ucap Rey, saat dia bisa mengambil waktu berdua dengan Senja."Sudah sejak dulu aku murahan kan? Bukannya kamu yang menjadikan aku murahan? Kamu juga yang menjadikan aku pelacurkan? Kenapa baru sekarang kau sok menjaga hatiku? Tidak masalah untukku jika harus menjadi budaknya. Dari pada aku kembali dengan lelaki munafik