"Apaan sih? Saya bisa pergi sendiri loh tuan Langit. Lagian, arah kantor kita berbeda," keluh Senja.Bisa-bisanya Langit memaksa Senja ikut bersama dengannya pergi ke kantor. Padahal tadi dia sudah memesan taksi online depan apartemennya yang sudah menunggu dia disana."Siapa bilang kantor kita berbeda? Ah, aku lupa mengatakan jika kantor kita sama mulai hari ini. Sekarang ruangan saya di kantor kamu," celetuk Langit ringannya.Sontak mulut Senja menganga lebar. Kejutan apa lagi ini? Sungguh kelakuan Langit di luar nalarnya. Bagaimana bisa seenaknya saja mengubah tempat bekerja. Langit sudah seperti sampuraga yang membuat candi dalam semalam."Tapi..." Senja ingin sekali protes, tapi Senja terpaksa menelan kembali ucapannya."Tidak ada tapi-tapi. Ingat kataku tadi malam kan? Jadi akan aku mulai dari hari ini. Pertama adalah selalu bersama," ceplos Langit tanpa peduli Kaina yang senyum-senyum sendiri di kursi belakang.Apa yang bisa dilakukan Senja selain menerima. Hanya desahan berat
"Perkenalkan, nama saya Desa Mahendra. Saya pemilik perusahaan ini sebenarnya. Rey hanyalah tangan kanan saya," sapa Desa pada Langit dan juga Senja.Senja sudah terpaku di tempatnya, baru kemarin Langit menjelaskan, sekarang orang yang di bicarakan sudah muncul di depannya. Apa keinginan om nya itu? Apakah sebenarnya lelaki paruh baya itu juga sudah tahu kalau dirinya adalah Cahaya? Senja tidak berkedip memandang wajah Desa. Wajah yang sangat tidak asing baginya "Wah om Desa, sudah lama tidak berjumpa. Masih ingat saya kan? Saya Langit. Anaknya Awan Dirgantara," balik sapa Langit.Desa tersenyum ramah pada Langit. Senyum yang membuat seorang wanita muda di depannya semakin terkesima."Hai, apakah kamu yang namanya Senja? Rey banyak bercerita tentang kamu. Dia sudah sangat nakal hingga rumah tangga kalian terpaksa kandas begitu saja," celetuk Desa. Rasanya Senja sangat ingin menyahut, tapi lidahnya sangat keluh untuk sekedar terangkat. "Dia pantas mendapatkannya. Biarkan saja dia de
Sejak pengukuhan Langit, jika dia dan juga Senja sudah menjadi sepasang kekasih. Langit tidak pernah melepas tangan Senja kemanapun mereka bersama. Tapi hari ini Senja merasakan kekosongan di bagian telapak tangannya karena Langit tidak ada bersamanya."Apaan sih? Lepasin gak?" marah Senja. Bisa-bisanya tidak ada Langit, Rey menarik tangannya agar bisa terpojok di sudut ruangan rapat."Murahan sekali kamu Senja. Rela menjadi budak wanita Langit. Hanya karena hartanya kan? Padahal sudah aku ingatkan. Jika hatinya tidak akan bisa dimiliki wanita lain selain kekasihnya dulu. Kau hanya akan menjadi pelampiasannya dan akhirnya kau akan sakit hati saat dia mencampakkanmu," ucap Rey, saat dia bisa mengambil waktu berdua dengan Senja."Sudah sejak dulu aku murahan kan? Bukannya kamu yang menjadikan aku murahan? Kamu juga yang menjadikan aku pelacurkan? Kenapa baru sekarang kau sok menjaga hatiku? Tidak masalah untukku jika harus menjadi budaknya. Dari pada aku kembali dengan lelaki munafik
"Sudah siap?" tanya Langit memastikan."Ya," jawab Senja, dibalik rasa gugupnya."Om, tangan mama kok dingin?" tanya polos Bumi. Dia kali ini diajak Langit untuk acara besar yang dibuatkan oleh Langit dalam perusahaan dimana mamanya berada. Tentu yang dilakukan Langit karena banyak alasan yang harus dia jawab nantinya disana."Ya, tangan mamamu sangat dingin. Sepertinya butuh kita genggam terus sampai di dalam sana. Bagaimana?" usul Langit."Om benar," jawab Bumi polos.Senja tidak merespon percakapan pemilik dua golongan darah yang sama itu. Pikirannya sekarang sedang melalang buana. Memikirkan apa yang akan terjadi disana nanti? Andai saja Langit sadar, bukannya tangannya saja yang dingin. Tapi Senja sedang menopang tubuhnya di meja kerja. Rasanya tulang belulang dia seakan lumpuh untuk bisa berdiri tegak."Mas..." lirih Senja. Sengaja dia pasang wajah memelas agar Langit mengerti apa yang dirasakannya saat ini.Mendengar panggilan Senja. Langit mengikis jarak antara mereka berdua.
Tian sebagai pengacara keluarga Wira yang sudah lama tersisih, menatap Desa dengan penuh arti. Bukan tanpa sebab dia melakukan itu. Semua diluar kendalinya. Dia sudah angkat tangan membantu Raina dan Desa untuk memuluskan impian mereka sejak dulu."Keluarkan buktinya sekarang om, atau..."Langit berbicara dengan nada pengancaman, membuat Tian tidak berkutik. Bangkai yang telah lama tersimpan akhirnya mulai terbongkar.Tidak bisa mengelak seperti biasanya. Tian mulai membuka bukti utuh jika Senja adalah Cahaya. Dimana berkas yang dia susun rapi untuk menutupi kejahatan Desa, ternyata bisa terbongkar juga. "Ini ada beberapa berkas dimana saat kejadian kecelakaan. Dan benar adanya Senja dan pengasuhnya bernama Ririn, tidak ditemukan di lokasi kecelakaan. Mereka berhasil selamat." jeda Tian. Dia kembali menatap pada Desa.Kepasrahan sudah jelas dari raut wajah Tian. Surat Ririn yang tertulis, sudah menjadi kepastian jika wanitanya itu hanya ingin keadilan buat Senja. Jika sudah seperti it
"Ahh!!" teriak histeris Raina.Kedatangan Desa ke rumah Rey membuatnya semakin emosi menggila."Kenapa kau datang kesini? Harusnya sejak awal kau tidak ada di dunia ini! Karena kau semua apa yang aku impikan hancur. Kau bukan hanya membawa sial keluargamu, tapi juga denganku dan Tania!" teriak marah Raina.Napas Raina sudah naik turun tidak terkontrol. Kabar dari Rey dan juga Desa seperti pukulan kematian untuk masa depannya."Dari awal aku bilang. Jangan percaya dengan pengacara itu! Lihatlah, dia sendiri yang membongkar semuanya. Jika saja kita bunuh anak itu sejak awal kita tahu dia masih hidup. Semua pasti tidak berbelit seperti ini!" berang Raina lagi.Rasa kecewanya Raina semakin memuncak. Itu karena Desa. Siapa sangka jika lelaki yang dia goda saat itu bukan lah Wira tapi Desa. Wajah keduanya yang sangat mirip membuat Raina tidak mengetahui jika Wira memiliki saudara kembar kala itu. Nasib sialnya yang terjebak bersama Desa. Kembaran miskin yang tidak memberikan keuntungan untu
"Kenapa tidak ada suara lagi?" tanya Senja lirih. Kakinya sudah ingin menjelly ke lantai karena rasa takutnya.Langit masih menajamkan pendengarannya. Memang benar, suara langkah kaki yang mendekat sudah hilang begitu saja."Kalian disini dulu. Biar aku saja yang keluar," sahut Langit. Dia tidak ingin ada yang terluka nantinya.Dengan hati-hati Langit membuka pintu berlahan. Sengaja dia melemparkan sendok untuk mengetahui respon yang terjadi di luar. Ternyata tidak ada terjadi apapun. Langit keluar dengan cepat bersamaan tangan yang tadi bersembunyi di balik jasnya, keluar bersama satu pistol dalam genggamannya. Matanya sangat awas melihat area sekitar. Bahkan dia sudah berjalan ke depan untuk mengecek keadaan lebih jauh. Ternyata tidak ada siapapun. Hanya kerumunan orang bersama beberapa polisi, sedang berada di dekat pintu masuk.Langit segera menyembunyikan pistolnya. Dia mendatangi kerumunan itu dengan langkah lebarnya. "Apa yang terjadi? Kenapa tadi saya mendengar ada suara temba
"Ada apa Gia?" tanya Senja. Dia benar-benar bertemu Gia seorang diri. Mengabaikan Langit yang khawatir padanya.."Duduklah Senja. Akan lebih nyaman bicara setelah duduk. Kau juga terlihat lelah setelah dari kantor kan?" sahut Gia.Senja menggeser tempat duduknya, agar mudah bokongnya duduk disana. "Aku sudah duduk, cerita kan sekarang. Ada apa ingin bertemu denganku. Katamu, ada hal penting yang ingin kau bicara kan," ucap Senja tida sabaran.Seulas senyum terbentuk di bibir Gia. Bukannya mulai bercerita. Gia meminta Senja untuk minum dan makan dulu tapi di tolak Senja. Dia ragu untuk menyentuh hidangan yang sudah hadir duluan sebelum kedatangannya."Apa kau tidak percaya padaku? Pasti kau masih berpikir aku teman yang jahat bukan? Dan aku pasti akan melakukan sesuatu, seperti meracunimu," celetuk Gia.Apa yang dikatakan Gia persis dengan apa yang dipikirkannya. Rasa awas dan curiga tentu menjadi tameng Senja saat ini."Jangan tersinggung seperti itu. Nanti juga kalau lapar atau hau
Senja menghirup udara segar di daerah perkampungan. Biasa yang terpandang matanya adalah bangunan yang tinggi menjulang. Kini sepanjang mata yang memandang hanya hamparan hijau dari kebun dan juga sawah. Sungguj sangat menyegarkan matanya."Ma, mana permainannya. Kata mama disini ada permainan? Lihat ini," keluh Bumi. Dia menyodorkan gawainya yang sinyalnya sering hilang dan timbul, hingga dia tidak bisa bermain game yang ada di gawainya. "Bumi mau balik ke rumah ma," sungut Bumi. Terbiasa di kota, membuatnya sangat asing dengan daerah yang dia datangi, belum lagi orang-orang disekitarnya terlihat aneh baginya. Bagaimana tidak aneh, mereka semua memandang ke arah Bumi dengan mata yang tidak berkedip."Ma, Laura cantikkan? Kata nenek, dulu gadis cantik disinu, rambutnya di kepang dua," ucap Laura. Sangat berbeda dengan abangnya. Dia sangat semangat berada di kampung. Apalagi banyak tumbuhan bunga cantik disekitar rumah yang sangat jarang terlihat di kota."Sabar. Baru juga semalam. Kem
"Ma, kita mau kemana?" tanya Bumi. Dia membantu mamanya meletakkan pakaiannya ke dalam koper."Kita akan berlibur. Kalian kan sedang liburan sekolah. Jadi kita akan ke kampung neneknya Laura. Sejak kamu lahir, belum pernah mama ajak ke daerah perkampungan," jelas Senja.Pagi ini, setelah suaminya berangkat kerja. Senja mengajak Bumi untuk berkemas. Dia tidak berniat meminta izin pada Langit. Karena sudah lama juga mereka berdua menjadi orang asing, seperti tidak saling mengenal. Bukan itu saja, bahkan suaminya memilih tidur di kamar yang lain, tidak seranjang bersamanya."Apa disana banyak permainan?" tanya Langit. Dia hanya tahu liburan selalu berhubungan dengan permainan."Ya, banyak. Disana banyak permainan yang tidak akan kamu temukan di kota," jelas Senja.Bola mata Bumi berbinar cerah. Dia jadi penasaran permainan seperti apa yang ada disana.Setelah memastikan barang yang akan dibawa sudah terkemas dengan baik. Senja mendatangi kamar Laura Dimana ada Ririn dan juga Laura di dal
"Dari mana kamu Senja?" tanya Ririn. Dia baru saja terbangun dari tidurnya. Tapi tidak menemukan Senja berada di atas ranjangnya. Dia sempat panik, tapi seketika hilang disaat melihat Senja sudah mulai masuk ke dalam kamar kembali."Hanya menghirup angin malam sebentar bu. Bosan rasanya di aras ranjang. Kebanyakan tidur, membuat Senja tidak bisa tidur kembali. Maaf sudah membuat ibu khawatir," jelas Senja. Dia berusaha tersenyum selebar mungkin, untuk menutupi hatinya yang sedang porak poranda.Balasan senyum diberikan Ririn. Walau wajah Senja tersenyum, dia bisa melihat mata Senja yang sendu. Seberapa banyak anaknya itu menutupi kesedihannya sendiri. Ingin Ririn medengar semua beban yang membuat sedih anak dari majikannya dulu itu."Besok sepertinya kita sudah bisa kembali bu. Senja sekalian mau ambil cuti. Rasanya ingin kembali merasakan suasana hijau, pasti tenang ya bu," celetuk Senja lagi. Dia sudah berjalan dan kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang.Merasa Senja mengajaknya
Lenguhan keluar dari bibir Senja. Pandangan Senja langsung bergerak liar untuk meraba area sekitarnya saat ini. Dia masih ingat, jika tadi dia masih berada di tamab rumah sakit, dia juga masih sadar, saat dirinya akan kehilangan kesadarannya."Kamu sudah sadar nak? Kenapa sampai bisa pingsan? Untung saja janinmu baik-baik saja," seru Ririn. Saat melihat Senja mulai membuka mata, dan seperti kencari sesuatu yang berada di dalam kamar inap yang mereka tempati.Tatapan Senja menyiratkan kekecewaannya. Tidak ada lagi rona warna bahagia terpantuk disana, hanya tinggal warna hitam dan putih saja. Di ruangan yang besar, ada satu tempat tidur untuknya. Tapi tidak ada suaminya disana. Dimana Langit? Apakah dia sesibuk itu dengan Aurora sekarang ini? Hingga tidak tahu keberadaan dan keadaan dia sekarang? Hati Senja merasa tusukan-tusukan duri tajam yang terus menusuk tanpa ampun."Kenapa? Cerita sama ibu, jangan pendam masalahmu sendiri. Apa kamu mencari suamimu? Apa perlu ibu memanggilnya, agar
Sudah beberapa hari berjalan, Senja dan Langit melakukan perang dingin. Langit dengan ego besarnya, selalu pergi bekerja terlebih dahulu, membiarkan Senja berangkat bersama supir mereka."Ma, papa kenapa?" tanya Bumi.Ternyata anak-anaknya juga sampai merasakan perbedaan yang terjadi diantara mereka."Papa sedang sangat sibuk. Jadi terburu-buru dan duluan pergi. Kalau mama kan sdang hamil," alasan Senja.Bumi menatap curiga pada mamanya. Tentu tatapan Langit langsung membuat mamanya salah tingkah, dan tidak berani membalas tatapan matanya."Laura, gimana sekolahnya. Teman barumu, masih mau terus dekat-dekat abang?" tanya Senja. Dia sengaja mengalihkan pembicaraan."Masih ma. Katanya dia mau ketemu dan berkenalan dengan calon mertuanya. Siapa sih ma, calon mertua itu? Sampai abang makin marah da mengusir kami," tanya Laura penasaran.Senja tersenyum tipis. Dia jadi penasaran dengan teman Laura. Kenapa bisa berpikir sedewasa itu. "Calon mertua itu, sebutan untuk mama, dan papa untuk pasa
"Kamu dari mana?" tanya Langit. Saat Senja kembali ke kantor. Langit sudah berada di ruangan mereka.Sebelum menjawab. Senja tersenyum pada suaminya. Menyiratkan jika dia baik-baik saja. "Mas pasti tahu, aku dari mana," jawab Senja.Helaan napas panjang keluar dari bibir Langit. Dia tahu, dia sempat menguntit istrinya tadi, dan dia juga terkejut dengan kondisi Aurora. Ada rasa bersalah dan ingin melindungi wanita yang dulu pernah mengisi hatinya."Jangan kesana lagi. Dia hanya masa lalu mas. Mas tidak mau kamu terluka," sahut Langit.Senyum Senja semakin melengkung. Kalimat Langit sudah memberitahukan jika suaminya tahu, jika di rumah sakit itu ada masa lalunya yang sedang terbaring lemah."Jangan marahi Maira. Dia hanya meminta tolong padaku. Aku sudah berjanji akan membantu biaya rumah sakit dan juga operasi temannya," jelas Senja. Lidahnya tidak bisa menyebut nama Aurora di depan suaminya."Terserahmu," jawab singkat Langit. Dia memilih melanjutkan pekerjaannya, daripada mengajak Se
Pagi ini Senja datang ke kantor dengan menunjukkan kemesraan yang tidak biasanya. Dia menggelayut manja di lengan Langit. Seakan ingin menunjukkan ke semuanya, jika Langit hanyalah miliknya. Tidak ada seorang pun yang bisa berbagi dengannya.Tidak urung tingkah yang di lakukan Senja juga menjadi perhatian Maira. Kedongkolan semakin menghantam dadanya dengan palu godam. Padahal dia sudah mengatakan semuanya. Tapi dia merasa, Senja menjadi wanita yang tidak tahu diri."Kamu masuk duluan ya. Ada yang mas diskusikan sebentar dengan Maira," ucap Langit.Senja memgangguk setuju. Dia tidak perlu cemburu, karena dia tahu jika Maira tidak ada maksud lain, selain menginginkan Langit kembali pada Aurora.Suasana antara Langit dan Maira, sejenak hening. Hingga Senja sepenuhnya masuk ke dalam ruangan, baru lah Langit membuka suaranya. "Apa yang kamu lakukan kemarin dengan istri saya? Jangan pikir saya tidak tahu apapun. Saya ingatkan padamu, untuk pertama dan terakhir kali. Jangan pernah membawa
Senja sangat ingin menutup wajah amarahnya. Tapi tetap saja, emosinya yang tergambar, tidak bisa menutup rasa amarahnya.Dia meminta supir yang bersamanya untuk mengantarkannya menepi ke sebuah taman. Dia harus bisa mendinginkan kepalanya sebelum kembali ke rumah.Matanya masih melihat ke gawai yang menampilkan nama suaminya. "Maafkan aku mas," seru Senja. Dia mematikan gawainya sejenak. Tidak ingin panggilan dari Langit mengganggu kesendiriannya."Kenapa takdir pernikahanku selalu saja harus ada wanita lain disana?" monolog Senja sendiri.Dia masih mengingat jelas semua apa yang dikatakan Maira tadi.[Dia sakit. Dia lebih membutuhkan tuan, daripada anda bu Senja. Sejak awal tuan juga milik Aurora. Bukan milik anda. Harusnya anda mundur, disaat tahu seseorang yang dicintai tuan kembali. Apa anda tega memisahkan keduanya? Disaat salah satu sedang tidak berdaya dengan sakitnya?]Senja menangis terisak. Dia bisa saja membenarkan aoa yang dikatakan Maira. Tapi dia juga bisa menyalahkan Mai
Senja sempat bergidik ngeri melihat aura yang keluar dari Maira. Sejak pulang bersama suaminya beberapa waktu yang lalu, tatapannya menyiratkan kebencian dan ketidaksukaan pada Senja. Senja sendiri tidak mengerti dengan sikap acuh Maira. Apa ini juga ada hubungannya dengan sikap Langit yang lalu juga? Apa yang terjadi pada keduanya?Terbesit pikiran buruk di otak Senja. Tapi segera dia tepis. Tidak mungkin suaminya berani berkhianat dan bermain belakang dengan sekertarisnya itu.Sebagai wanita yang sudah menikah dua kali. Senja tidak mau kejadian yang lalu terulang kembali. Dia harus melakukan sesuatu sebelum terlambat."Maira, nanti bisa temani saya keluar sebentar? Saya mau berbelanja, tapi tidak ada yang menemani," ucap Senja saat dia kembali melewati meja sekertarisnya itu.Wajah Maira di pandangan Senja berubah datar. Tapi Senja yakin dia tidak akan berani menolak keinginan Senja."Baik bu. Saya akan temani ibu nanti," sahut Maira. Dia merasa Senja hanyalah wanita tidak tahu malu