Azalea Graziela, nama wanita itu, langkahnya begitu tenang saat memasuki sebuah kafe tak jauh dari tokonya. Tak ada raut malu saat dia harus menggunakan tongkat penyelidik untuk membantunya menemukan jalan.
Kecelakaan dua tahun lalu membuat Lea total kehilangan penglihatannya. Toko bunga yang dia bangun bersama sang ayah hancur karena sebuah mobil menabraknya. Ayahnya meninggal saat itu juga, sementara dirinya mengalami kebutaan setelah kornea mata miliknya dihujani pecahan kaca, saat dia terlambat memejamkan mata. Karena peristiwa itulah Rian terpaksa menikahinya, untuk menebus kesalahannya. Tak berapa Lea sudah duduk di depan seorang wanita yang parasnya masih menyisakan kecantikan meski pias mendominasi. "Halo, Lea," sapa perempuan itu lebih dulu. "Halo, Nyonya. Maaf menunggu lama," balas Lea sambil tersenyum. "Tawaranku masih berlaku, apa kamu berubah pikiran?" "Kenapa Nyonya mau saya melakukannya? Saya tidak kenal Nyonya, selain sebagai pelanggan toko bunga saya." Kemarin Lea menolak tawaran nyonya di depannya. Tapi setelah semalam berpikir dan menimbang. Lea ingin bebas dari pernikahan yang terjadi karena penebusan rasa bersalah. Lea tidak perlu itu, tidak ada kebahagiaan yang tercipta dalam rumah tangganya. Semua orang jahat padanya, tak terkecuali suaminya sendiri. Pria yang bahkan tega membawa wanita lain tepat ke hadapannya, lantas mengenalkannya sebagai calon istri. Lea masih istri sah Rian, tapi pria itu agaknya sudah tidak tahan untuk memberikan status pasti untuk perempuan yang kerap menggantikan perannya sebagai istri di luar rumah. Lea menghela napas, memangnya apa yang bisa diharapkan dari perempuan buta sepertinya. Memilihkan warna baju saja tidak bisa. Dia bahkan tidak tahu baju warna apa yang sedang dia kenakan saat ini. "Saya ingin memastikan suami saya bersama orang yang tepat saat saya pergi nanti," balas sang perempuan tersebut sendu. Annika menyentuh tangan Lea, menatap dalam paras istri Rian. Annika menarik sudut bibirnya. Dengan posisi ini, Annika seperti sedang bercermin. "Memangnya nyonya mau pergi ke mana? Apa tidak akan pulang? Apa tempatnya jauh? Apakah saya boleh ikut?" Semakin lama, emosi Lea makin meningkat. Hanya pada wanita di depannya Lea berani mengadu. Aura positif yang disebarkan sang perempuan membuat Lea yang sebatang kara merasa nyaman dan aman. "Tujuanku jauh, sangat jauh. Dan kamu tidak bisa ikut denganku. Tugas besar menantimu. Jadi bersediakah kamu membantuku?" Lea terdiam, terpaku dalam kebingungan, bahkan sampai dia kembali ke rumah malam harinya. Rumah? Masih bisakah dia menyebut tempat itu rumah? Dia bisa berada di sana tapi tak pernah merasa punya tempat untuk pulang. Kehadirannya sama sekali tak diharapkan, semua orang acuh padanya. Menghinanya, merendahkannya, bahkan suaminya sendiri yang seharusnya jadi pelindung untuknya. Ada banyak rahasia yang dia tahu tapi tak seorangpun peduli. Salah satunya ini, saat dia melintas di sudut ruangan yang sepi dia mendengar decap ciuman basah. Seseorang sedang beradu bibir, dan pelakunya pacar Rina, adik iparnya dengan seorang pembantu di rumah tersebut. Parah memang, Rina dipermainkan tepat di hadapan wajahnya tapi tidak pernah sadar. Dia terus saja bucin pada lelaki tidak punya harga diri itu. "Lea, ikut aku. Ayo bicara!" Rian berucap padanya tanpa keramahan sama sekali. Hingga di sinilah dia berada, di ruang kerja sang suami. Di mana Lea tahu ada sosok lain di sana, Vika. Perempuan itu duduk di kursi kerja Rian, berlagak seperti bos. "Ayah sudah setuju dengan perceraian kita. Jadi mari akhiri semua. Tenang saja, kamu akan dapatkan toko bunga tapi di tempat lain sebagai kompensasi. Aku juga sudah siapkan tempat tinggal untukmu. Tanda tangani suratnya sekarang, aku akan mengurusnya. Besok aku harus pergi keluar kota, ada urusan pekerjaan." Lea menghela napas, tidak ada lagi yang bisa dia harapkan, semua sudah selesai. Janji manis pria di depannya saat menikahinya dulu cuma sampah. Pada akhirnya dia dibuang juga. Menebus kesalahan? Omong kosong. Dalam hati Lea berucap tak akan pernah memaafkan Rian, pria itulah yang telah membuatnya kehilangan cahaya hidup juga kebahagiaan. Rian, pria yang telah menghancurkannya. Vika tersenyum puas melihat tanda tangan Lea tertoreh di atas kertas dengan tajuk surat permohonan perceraian. Semua selesai malam ini. Lea kembali ke kamar. Ingin rasanya dia berdiri tegak sekeras batu karang di lautan, tapi apa daya dia cuma perempuan biasa. Pada akhirnya Lea menangis jua, netra hazel itu meluncurkan bukti kerapuhannya sebagai seorang manusia. Kelemahannya sebagai makhluk yang juga punya rasa. Ketidakadilan memang selalu menemani hari Lea sejak dia juga kehilangan penglihatan serta orang terkasihnya akibat ulah Rian. Lea terus menangis hingga hari berganti, dia tidak tidur semalaman. Baru akan memejamkan kata, pintu kamarnya dibuka dari luar, diikuti oleh suara gaduh yang membuat Lea langsung waspada. "Hei, kau buta! Rian sudah menceraikanmu, jadi sebaiknya kau pergi dari sini!" usir mama Rian. "Iya, Nyonya. Saya akan pergi!" Bahkan Lea tak diizinkan memanggil ibu pada ibu mertuanya. Dia bisa tahu ada mama Rian di sana, Rina dan juga Vika yang meski tak bersuara tapi Lea mengetahui keberadaannya. "Sekarang! Aku tidak mau lihat perempuan buta berkeliaran di rumahku. Buat sakit mata saja!" Saat itu juga, Lea langsung ditarik keluar dari kamar. Diseret sepanjang lorong, langsung keluar rumah. Langkah Lea tertatih dengan kaki beberapa kali tersandung nyaris terjungkal. Andai Rina tak memegangi tangannya. Mau tidak mau Lea menangis lagi karena semua ini. "Nyonya saya belum tahu di mana akan tinggal, Mas Rian belum memberitahu saya. Juga di mana toko bunga saya yang baru." Tawa tiga perempuan terdengar, membuat Lea kebingungan. Rintik gerimis mulai turun menerpa tubuh Lea yang masih mengenakan pakaian kemarin. Tidak ada satu benda yang dia bawa. "Kau pikir Rian sungguh-sungguh akan memberikan itu padamu. Jangan mimpi! Dua tahun kau sudah jadi benalu di keluarga ini. Sekarang sudah saatnya kau pergi. Sana! Kami tidak mau melihatmu, perempuan buta tidak berguna, tidak tahu diri!" Lea membeku di tempatnya berdiri, terlebih saat terdengar gerbang ditutup. Dia diusir ke jalanan tanpa uang sepeserpun, bahkan tongkat penyelidiknya juga tidak dia bawa. Air matanya turun seketika, bersamaan dengan hujan yang makin deras mengguyur bumi. Dia tidak tahu pukul berapa ini, atau dia ada di mana. Namun satu yang pasti, hidupnya kembali hancur saat itu juga. Lea mendongak, berharap dapat memandang langit gelap di atas kepalanya. Dalam keputuasaan, Lea pun berujar, "Bapak, bawa Lea bersama bapak. Lea tidak sanggup hidup begini."Tubuh Lea terasa panas, tapi juga dingin di waktu bersamaan. Perempuan itu mengigau, memanggil bapak sepanjang pagi. Hari telah berganti warna, tapi rasanya tetap gelap untuk dunia Lea."Suhu tubuhnya terus naik. Kita perlu membawanya ke rumah sakit."Sayup terdengar suara menembus rungu Lea yang setengah sadar. "Tidak mau ke rumah sakit," lirihnya menarik perhatian sosok yang sejak tadi bicara."Tidak bisa, kamu harus sembuh. Fisikmu harus kuat." Kalimat lembut terdengar lagi, Lea mengenali pemilik suara tadi."Nyonya, Lea tidak mau sembuh, Lea mau ikut bapak sama ibu saja."Perempuan itu beralih memandang seorang pria yang sejak tadi hanya diam tanpa bicara. Lelaki dengan aura dominasi dan paras tampan tapi dingin tergambar jelas di wajahnya."Jangan begitu Zio, kamu tidak kasihan padanya.""Kasihan?" kutip pria bernama Zio."Kamu lebih dari kasihan padanya. Kalau tidak, mana mungkin kamu membawanya pulang saat bertemu di jalan," goda si perempuan.Zio memalingkan wajah, tidak mau
Perkataan ibu Rian terngiang sepanjang hari. Pria itu tak henti berpikir. Perjalanan dinas kemarin membuka lebar mata seorang Rian tentang Lea, istri buta yang tak pernah dia anggap."Istrimu sangat baik, dia mendonorkan darahnya untuk ayahmu saat semua orang tidak ada yang mau. Bahkan adikmu yang nota bene sangat sehat. Pokoknya kalau aku jadi kamu, aku tidak akan menyia-nyiakan perempuan baik seperti dia."Rian tahu kalau Lea berusaha memenuhi kewajibannya sebagai istri. Dia hanya baru tahu kalau yang tersaji untuknya saat sarapan adalah hasil racikan tangan Lea sendiri, terutama kopi, bahkan pakaian pun wanita itu sediakan. Meski buta tapi Lea mampu melakukan banyak hal layaknya orang normal. Kecuali untuk pemilihan warna. Tadi dia baru mengetahui kalau pakaian di lemarinya disusun berdasarkan warna. Meski terkesan asal, tapi Rian menyukai semua yang Lea lakukan untuknya."Jadi selama ini Lea yang sudah mengurus hidupku, aku pikir Vika yang melakukannya," gumam Rian.Ditambah peng
Lea sempat terkejut mendengar ucapan pria yang tak lain adalah Rian. Bukannya hari itu lelaki tersebut yang bersikukuh ingin berpisah dengannya. Kenapa sekarang Rian mengubah keputusannya?Apa ada rencana lain yang sedang Rian jalankan. Apa ayah mertuanya tidak jadi mewariskan rumah sakit miliknya jika Rian bercerai dengannya. Sebab alasan itulah yang dipakai papa Rian untuk memaksa sang putra menikahi Lea waktu itu selain untuk menebus kesalahannya. Rian tentu tak punya pilihan lain selain menurut, atau rumah sakit itu akan dikelola yayasan. Sudah pasti Rian tidak mau itu terjadi.Namun Lea sudah muak dengan semua yang dia dapatkan dua tahun ini. Cukup sudah, hatinya telah mati rasa. Suami yang tidak pernah menghargainya, teman yang hanya menusuknya dari belakang. Keluarga yang sama sekali acuh padanya.Tidak! Lea tidak mau kembali ke sama. Karena itu jawaban Lea berikutnya membuat Rian terkejut. Rian pikir Lea tipe yang mudah dibujuk, dibaik-baikin sedikit langsung luluh hatinya."
Rian menghela napas saat mendapati Vika sudah menyambutnya di rumah, saat dia pulang setelah dinasnya selesai. "Sayang, mau kusiapkan air mandi?" tanya perempuan yang memakai dres rumahan lumayan menggoda. Baru Rian sadari kalau Vika memang sengaja melakukan semua, untuk menjauhkannya dari Lea. Vika akan ada di antara dia dan Lea, selalu mencuri waktu agar dirinya dan Lea tak punya kesempatan untuk sekedar mendekatkan diri."Aku akan mandi sendiri di kamarku." Jawaban Rian membuat Vika terkejut. Rian tak pernah menolak tiap kali Vika menawarkan diri untuk melayani lelaki itu. Tingkah Vika sepertinya akan makin menjadi, mengingat Lea sudah berhasil dia singkirkan dan statusnya adalah tunangan Rian.Namun kali ini dia dibuat terkejut saat Rian terlihat acuh padanya. Apa yang terjadi? Batin Vika. Terlebih mama Rian kemarin bercerita kalau Rian langsung mencari Lea waktu baru pulang dari tugas keluar kota."Sudah jadi mantan pun, masih sok-sok an cari perhatian. Lihat saja, tidak akan
Lea hanya bisa terdiam mendengar beberapa orang bicara di sekitarnya. Dia tidak tahu bagaimana ekspresi orang-orang itu, satu yang jelas mereka dilanda panik."Kondisinya sangat baik, bisa menjalani operasi kapan saja. Tapi untuk pernikahan, kita tidak bisa melakukannya sekarang. Nona Lea baru saja bercerai, kita masih harus menunggu.""Tapi keinginan Nyonya Annika sebelum koma adalah ...."Koma? Nyonya itu koma? Lea hanya bisa mencengkeram tongkat penyelidiknya erat saat telinganya dengan jelas mendengar seseorang menyebut Nika koma."Semua keputusan ada di tangan Anda, Tuan Alkanders," kata satu suara lain.Saat itu Lea tidak tahu kalau Zio sedang menatap tajam ke arahnya. Hatinya perih, sedih. Namun dia terlanjur berjanji pada Nika untuk memenuhi permintaan sang istri. Tidak peduli bagaimana, Nika ingin semua berjalan seperti keinginannya, andai hal paling buruk terjadi."Lakukan untukku dan masa depanmu, kamu tidak akan menyesal sudah mengambil keputusan ini." Kalimat yang diuca
Tidak ada yang bicara selama perjalanan pulang. Lea hanya diam, pun dengan Zio. Pria itu yang membuatnya gagal naik taksi. Walau insiden tak menyenangkan sempat terjadi, ketika Rian protes saat Zio akan mengantar Lea pulang.Dua pria itu sempat berdebat, Rian lebih banyak mengoceh dibanding Zio yang lebih tenang. Rian masih sibuk bicara waktu Lea dengan santai meninggalkan dua pria yang sontak terkejut. Tidak menyangka kalau Lea akan mengabaikan mereka.Dasar si tukang paksa. Tanpa banyak kata, Zio menarik tangan Lea lantas memasukkannya ke dalam mobil, untuk kemudian melaju pergi dari tempat itu. Meninggalkan Rian yang hanya bisa mengepalkan tangan, dia kalah lagi dari Zio."Akan ada yang menjagamu dari luar."Hanya itu yang Zio katakan sebelum Lea keluar dari mobil. Lea hanya mengangguk, sungguh perempuan yang tidak banyak protes, tapi Lea punya potensi untuk memberontak yang sangat kentara. Lea berjalan masuk ke dalam rumah, mengunci pintu. Langsung menuju ke kamarnya. Seorang ART
Hujan turun rintik-rintik ketika kaki Lea menginjak lantai rumah sakit. Dibimbing Erna, Lea menuju ruangan tempat Nika dirawat. Jantung perempuan itu berdentam tidak karuan. Semua bayangan buruk memenuhi kepalanya.Begitu sampai di ruangan Nika, Lea membeku mendengar keributan yang terjadi. Berbagai suara yang membuat Lea menyimpulkan betapa kacaunya keadaan saat itu. Tak ada yang bicara pada Lea, hanya ada Erna yang terus menggenggam tangan Lea saat keduanya duduk di sofa. "Mbak, apa yang terjadi?"Erna tak menjawab, sebab perempuan itu sedang melihat tuannya yang tampak hancur sementara dokter sejak tadi keluar masuk ke tempat Nika dirawat. "I-itu. Nyonya ...."Lea bisa mendengar getar kepanikan dari suara Erna. Lea menyimpulkan kalau keadaan sedang tidak baik-baik saja. Haruskah Lea ada di sana? Dia adalah orang luar, tidak sepatutnya berada di sana."Mbak, kenapa kita tidak pulang saja?" tanya Lea ketika hatinya berujar hal buruk bisa saja terjadi."Tuan mau Non ada di sini.""
"Kenapa kamu tidak bilang?" Seorang perempuan dengan wajah cantik, badan tinggi semampai mendekati Zio. Tanpa ragu langsung memeluk tubuh tinggi besar Zio. Han, sang aspri menyingkir, bagaimanapun perempuan itu statusnya lumayan dekat dengan Zio dan Nika. "Dia pergi, Nancy. Dia tinggalkan aku." Kata Zio. Pria itu tampak rapuh. Nancy sendiri hanya bisa menepuk pelan punggung Zio, tanpa banyak bicara. Di depan sana peti mati Nika sudah selesai dipersiapkan. Bahkan acara pemakaman hampir dimulai. "Mama sedang ke sini. Archie dan Zico juga," info Nancy. Mendengar tiga orang itu akan datang, Han lekas pergi ke depan untuk menyambut. "Kamu tidak boleh sedih di depan Archie. Dia sudah kehilangan mamanya, jangan biarkan dia kehilangan senyum kamu juga," Nancy menguatkan Zio. Zio mengusap cepat air matanya, lantas menarik napas dalam. Benar, Archie memerlukan dirinya. Dia tidak boleh terlihat sedih di mata bocah lima tahun itu. Tak berapa lama, suara Archie berceloteh terdengar