Share

BAB 2 TIDAK SANGGUP

Azalea Graziela, nama wanita itu, langkahnya begitu tenang saat memasuki sebuah kafe tak jauh dari tokonya. Tak ada raut malu saat dia harus menggunakan tongkat penyelidik untuk membantunya menemukan jalan.

Kecelakaan dua tahun lalu membuat Lea total kehilangan penglihatannya. Toko bunga yang dia bangun bersama sang ayah hancur karena sebuah mobil menabraknya.

Ayahnya meninggal saat itu juga, sementara dirinya mengalami kebutaan setelah kornea mata miliknya dihujani pecahan kaca, saat dia terlambat memejamkan mata. Karena peristiwa itulah Rian terpaksa menikahinya, untuk menebus kesalahannya.

Tak berapa Lea sudah duduk di depan seorang wanita yang parasnya masih menyisakan kecantikan meski pias mendominasi.

"Halo, Lea," sapa perempuan itu lebih dulu.

"Halo, Nyonya. Maaf menunggu lama," balas Lea sambil tersenyum.

"Tawaranku masih berlaku, apa kamu berubah pikiran?"

"Kenapa Nyonya mau saya melakukannya? Saya tidak kenal Nyonya, selain sebagai pelanggan toko bunga saya."

Kemarin Lea menolak tawaran nyonya di depannya. Tapi setelah semalam berpikir dan menimbang. Lea ingin bebas dari pernikahan yang terjadi karena penebusan rasa bersalah. Lea tidak perlu itu, tidak ada kebahagiaan yang tercipta dalam rumah tangganya.

Semua orang jahat padanya, tak terkecuali suaminya sendiri. Pria yang bahkan tega membawa wanita lain tepat ke hadapannya, lantas mengenalkannya sebagai calon istri.

Lea masih istri sah Rian, tapi pria itu agaknya sudah tidak tahan untuk memberikan status pasti untuk perempuan yang kerap menggantikan perannya sebagai istri di luar rumah.

Lea menghela napas, memangnya apa yang bisa diharapkan dari perempuan buta sepertinya. Memilihkan warna baju saja tidak bisa. Dia bahkan tidak tahu baju warna apa yang sedang dia kenakan saat ini.

"Saya ingin memastikan suami saya bersama orang yang tepat saat saya pergi nanti," balas sang perempuan tersebut sendu.

Annika menyentuh tangan Lea, menatap dalam paras istri Rian. Annika menarik sudut bibirnya. Dengan posisi ini, Annika seperti sedang bercermin.

"Memangnya nyonya mau pergi ke mana? Apa tidak akan pulang? Apa tempatnya jauh? Apakah saya boleh ikut?"

Semakin lama, emosi Lea makin meningkat. Hanya pada wanita di depannya Lea berani mengadu. Aura positif yang disebarkan sang perempuan membuat Lea yang sebatang kara merasa nyaman dan aman.

"Tujuanku jauh, sangat jauh. Dan kamu tidak bisa ikut denganku. Tugas besar menantimu. Jadi bersediakah kamu membantuku?"

Lea terdiam, terpaku dalam kebingungan, bahkan sampai dia kembali ke rumah malam harinya. Rumah? Masih bisakah dia menyebut tempat itu rumah? Dia bisa berada di sana tapi tak pernah merasa punya tempat untuk pulang.

Kehadirannya sama sekali tak diharapkan, semua orang acuh padanya. Menghinanya, merendahkannya, bahkan suaminya sendiri yang seharusnya jadi pelindung untuknya. Ada banyak rahasia yang dia tahu tapi tak seorangpun peduli.

Salah satunya ini, saat dia melintas di sudut ruangan yang sepi dia mendengar decap ciuman basah. Seseorang sedang beradu bibir, dan pelakunya pacar Rina, adik iparnya dengan seorang pembantu di rumah tersebut.

Parah memang, Rina dipermainkan tepat di hadapan wajahnya tapi tidak pernah sadar. Dia terus saja bucin pada lelaki tidak punya harga diri itu.

"Lea, ikut aku. Ayo bicara!" Rian berucap padanya tanpa keramahan sama sekali.

Hingga di sinilah dia berada, di ruang kerja sang suami. Di mana Lea tahu ada sosok lain di sana, Vika. Perempuan itu duduk di kursi kerja Rian, berlagak seperti bos.

"Ayah sudah setuju dengan perceraian kita. Jadi mari akhiri semua. Tenang saja, kamu akan dapatkan toko bunga tapi di tempat lain sebagai kompensasi. Aku juga sudah siapkan tempat tinggal untukmu. Tanda tangani suratnya sekarang, aku akan mengurusnya. Besok aku harus pergi keluar kota, ada urusan pekerjaan."

Lea menghela napas, tidak ada lagi yang bisa dia harapkan, semua sudah selesai. Janji manis pria di depannya saat menikahinya dulu cuma sampah. Pada akhirnya dia dibuang juga. Menebus kesalahan? Omong kosong.

Dalam hati Lea berucap tak akan pernah memaafkan Rian, pria itulah yang telah membuatnya kehilangan cahaya hidup juga kebahagiaan. Rian, pria yang telah menghancurkannya.

Vika tersenyum puas melihat tanda tangan Lea tertoreh di atas kertas dengan tajuk surat permohonan perceraian. Semua selesai malam ini.

Lea kembali ke kamar. Ingin rasanya dia berdiri tegak sekeras batu karang di lautan, tapi apa daya dia cuma perempuan biasa. Pada akhirnya Lea menangis jua, netra hazel itu meluncurkan bukti kerapuhannya sebagai seorang manusia. Kelemahannya sebagai makhluk yang juga punya rasa.

Ketidakadilan memang selalu menemani hari Lea sejak dia juga kehilangan penglihatan serta orang terkasihnya akibat ulah Rian.

Lea terus menangis hingga hari berganti, dia tidak tidur semalaman. Baru akan memejamkan kata, pintu kamarnya dibuka dari luar, diikuti oleh suara gaduh yang membuat Lea langsung waspada.

"Hei, kau buta! Rian sudah menceraikanmu, jadi sebaiknya kau pergi dari sini!" usir mama Rian.

"Iya, Nyonya. Saya akan pergi!"

Bahkan Lea tak diizinkan memanggil ibu pada ibu mertuanya. Dia bisa tahu ada mama Rian di sana, Rina dan juga Vika yang meski tak bersuara tapi Lea mengetahui keberadaannya.

"Sekarang! Aku tidak mau lihat perempuan buta berkeliaran di rumahku. Buat sakit mata saja!"

Saat itu juga, Lea langsung ditarik keluar dari kamar. Diseret sepanjang lorong, langsung keluar rumah. Langkah Lea tertatih dengan kaki beberapa kali tersandung nyaris terjungkal. Andai Rina tak memegangi tangannya.

Mau tidak mau Lea menangis lagi karena semua ini.

"Nyonya saya belum tahu di mana akan tinggal, Mas Rian belum memberitahu saya. Juga di mana toko bunga saya yang baru."

Tawa tiga perempuan terdengar, membuat Lea kebingungan. Rintik gerimis mulai turun menerpa tubuh Lea yang masih mengenakan pakaian kemarin. Tidak ada satu benda yang dia bawa.

"Kau pikir Rian sungguh-sungguh akan memberikan itu padamu. Jangan mimpi! Dua tahun kau sudah jadi benalu di keluarga ini. Sekarang sudah saatnya kau pergi. Sana! Kami tidak mau melihatmu, perempuan buta tidak berguna, tidak tahu diri!"

Lea membeku di tempatnya berdiri, terlebih saat terdengar gerbang ditutup. Dia diusir ke jalanan tanpa uang sepeserpun, bahkan tongkat penyelidiknya juga tidak dia bawa.

Air matanya turun seketika, bersamaan dengan hujan yang makin deras mengguyur bumi. Dia tidak tahu pukul berapa ini, atau dia ada di mana. Namun satu yang pasti, hidupnya kembali hancur saat itu juga. Lea mendongak, berharap dapat memandang langit gelap di atas kepalanya.

Dalam keputuasaan, Lea pun berujar, "Bapak, bawa Lea bersama bapak. Lea tidak sanggup hidup begini."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status