Azalea Graziela, nama wanita itu, langkahnya begitu tenang saat memasuki sebuah kafe tak jauh dari tokonya. Tak ada raut malu saat dia harus menggunakan tongkat penyelidik untuk membantunya menemukan jalan.
Kecelakaan dua tahun lalu membuat Lea total kehilangan penglihatannya. Toko bunga yang dia bangun bersama sang ayah hancur karena sebuah mobil menabraknya. Ayahnya meninggal saat itu juga, sementara dirinya mengalami kebutaan setelah kornea mata miliknya dihujani pecahan kaca, saat dia terlambat memejamkan mata. Karena peristiwa itulah Rian terpaksa menikahinya, untuk menebus kesalahannya. Tak berapa Lea sudah duduk di depan seorang wanita yang parasnya masih menyisakan kecantikan meski pias mendominasi. "Halo, Lea," sapa perempuan itu lebih dulu. "Halo, Nyonya. Maaf menunggu lama," balas Lea sambil tersenyum. "Tawaranku masih berlaku, apa kamu berubah pikiran?" "Kenapa Nyonya mau saya melakukannya? Saya tidak kenal Nyonya, selain sebagai pelanggan toko bunga saya." Kemarin Lea menolak tawaran nyonya di depannya. Tapi setelah semalam berpikir dan menimbang. Lea ingin bebas dari pernikahan yang terjadi karena penebusan rasa bersalah. Lea tidak perlu itu, tidak ada kebahagiaan yang tercipta dalam rumah tangganya. Semua orang jahat padanya, tak terkecuali suaminya sendiri. Pria yang bahkan tega membawa wanita lain tepat ke hadapannya, lantas mengenalkannya sebagai calon istri. Lea masih istri sah Rian, tapi pria itu agaknya sudah tidak tahan untuk memberikan status pasti untuk perempuan yang kerap menggantikan perannya sebagai istri di luar rumah. Lea menghela napas, memangnya apa yang bisa diharapkan dari perempuan buta sepertinya. Memilihkan warna baju saja tidak bisa. Dia bahkan tidak tahu baju warna apa yang sedang dia kenakan saat ini. "Saya ingin memastikan suami saya bersama orang yang tepat saat saya pergi nanti," balas sang perempuan tersebut sendu. Annika menyentuh tangan Lea, menatap dalam paras istri Rian. Annika menarik sudut bibirnya. Dengan posisi ini, Annika seperti sedang bercermin. "Memangnya nyonya mau pergi ke mana? Apa tidak akan pulang? Apa tempatnya jauh? Apakah saya boleh ikut?" Semakin lama, emosi Lea makin meningkat. Hanya pada wanita di depannya Lea berani mengadu. Aura positif yang disebarkan sang perempuan membuat Lea yang sebatang kara merasa nyaman dan aman. "Tujuanku jauh, sangat jauh. Dan kamu tidak bisa ikut denganku. Tugas besar menantimu. Jadi bersediakah kamu membantuku?" Lea terdiam, terpaku dalam kebingungan, bahkan sampai dia kembali ke rumah malam harinya. Rumah? Masih bisakah dia menyebut tempat itu rumah? Dia bisa berada di sana tapi tak pernah merasa punya tempat untuk pulang. Kehadirannya sama sekali tak diharapkan, semua orang acuh padanya. Menghinanya, merendahkannya, bahkan suaminya sendiri yang seharusnya jadi pelindung untuknya. Ada banyak rahasia yang dia tahu tapi tak seorangpun peduli. Salah satunya ini, saat dia melintas di sudut ruangan yang sepi dia mendengar decap ciuman basah. Seseorang sedang beradu bibir, dan pelakunya pacar Rina, adik iparnya dengan seorang pembantu di rumah tersebut. Parah memang, Rina dipermainkan tepat di hadapan wajahnya tapi tidak pernah sadar. Dia terus saja bucin pada lelaki tidak punya harga diri itu. "Lea, ikut aku. Ayo bicara!" Rian berucap padanya tanpa keramahan sama sekali. Hingga di sinilah dia berada, di ruang kerja sang suami. Di mana Lea tahu ada sosok lain di sana, Vika. Perempuan itu duduk di kursi kerja Rian, berlagak seperti bos. "Ayah sudah setuju dengan perceraian kita. Jadi mari akhiri semua. Tenang saja, kamu akan dapatkan toko bunga tapi di tempat lain sebagai kompensasi. Aku juga sudah siapkan tempat tinggal untukmu. Tanda tangani suratnya sekarang, aku akan mengurusnya. Besok aku harus pergi keluar kota, ada urusan pekerjaan." Lea menghela napas, tidak ada lagi yang bisa dia harapkan, semua sudah selesai. Janji manis pria di depannya saat menikahinya dulu cuma sampah. Pada akhirnya dia dibuang juga. Menebus kesalahan? Omong kosong. Dalam hati Lea berucap tak akan pernah memaafkan Rian, pria itulah yang telah membuatnya kehilangan cahaya hidup juga kebahagiaan. Rian, pria yang telah menghancurkannya. Vika tersenyum puas melihat tanda tangan Lea tertoreh di atas kertas dengan tajuk surat permohonan perceraian. Semua selesai malam ini. Lea kembali ke kamar. Ingin rasanya dia berdiri tegak sekeras batu karang di lautan, tapi apa daya dia cuma perempuan biasa. Pada akhirnya Lea menangis jua, netra hazel itu meluncurkan bukti kerapuhannya sebagai seorang manusia. Kelemahannya sebagai makhluk yang juga punya rasa. Ketidakadilan memang selalu menemani hari Lea sejak dia juga kehilangan penglihatan serta orang terkasihnya akibat ulah Rian. Lea terus menangis hingga hari berganti, dia tidak tidur semalaman. Baru akan memejamkan kata, pintu kamarnya dibuka dari luar, diikuti oleh suara gaduh yang membuat Lea langsung waspada. "Hei, kau buta! Rian sudah menceraikanmu, jadi sebaiknya kau pergi dari sini!" usir mama Rian. "Iya, Nyonya. Saya akan pergi!" Bahkan Lea tak diizinkan memanggil ibu pada ibu mertuanya. Dia bisa tahu ada mama Rian di sana, Rina dan juga Vika yang meski tak bersuara tapi Lea mengetahui keberadaannya. "Sekarang! Aku tidak mau lihat perempuan buta berkeliaran di rumahku. Buat sakit mata saja!" Saat itu juga, Lea langsung ditarik keluar dari kamar. Diseret sepanjang lorong, langsung keluar rumah. Langkah Lea tertatih dengan kaki beberapa kali tersandung nyaris terjungkal. Andai Rina tak memegangi tangannya. Mau tidak mau Lea menangis lagi karena semua ini. "Nyonya saya belum tahu di mana akan tinggal, Mas Rian belum memberitahu saya. Juga di mana toko bunga saya yang baru." Tawa tiga perempuan terdengar, membuat Lea kebingungan. Rintik gerimis mulai turun menerpa tubuh Lea yang masih mengenakan pakaian kemarin. Tidak ada satu benda yang dia bawa. "Kau pikir Rian sungguh-sungguh akan memberikan itu padamu. Jangan mimpi! Dua tahun kau sudah jadi benalu di keluarga ini. Sekarang sudah saatnya kau pergi. Sana! Kami tidak mau melihatmu, perempuan buta tidak berguna, tidak tahu diri!" Lea membeku di tempatnya berdiri, terlebih saat terdengar gerbang ditutup. Dia diusir ke jalanan tanpa uang sepeserpun, bahkan tongkat penyelidiknya juga tidak dia bawa. Air matanya turun seketika, bersamaan dengan hujan yang makin deras mengguyur bumi. Dia tidak tahu pukul berapa ini, atau dia ada di mana. Namun satu yang pasti, hidupnya kembali hancur saat itu juga. Lea mendongak, berharap dapat memandang langit gelap di atas kepalanya. Dalam keputuasaan, Lea pun berujar, "Bapak, bawa Lea bersama bapak. Lea tidak sanggup hidup begini."Tubuh Lea terasa panas, tapi juga dingin di waktu bersamaan. Perempuan itu mengigau, memanggil bapak sepanjang pagi. Hari telah berganti warna, tapi rasanya tetap gelap untuk dunia Lea."Suhu tubuhnya terus naik. Kita perlu membawanya ke rumah sakit."Sayup terdengar suara menembus rungu Lea yang setengah sadar. "Tidak mau ke rumah sakit," lirihnya menarik perhatian sosok yang sejak tadi bicara."Tidak bisa, kamu harus sembuh. Fisikmu harus kuat." Kalimat lembut terdengar lagi, Lea mengenali pemilik suara tadi."Nyonya, Lea tidak mau sembuh, Lea mau ikut bapak sama ibu saja."Perempuan itu beralih memandang seorang pria yang sejak tadi hanya diam tanpa bicara. Lelaki dengan aura dominasi dan paras tampan tapi dingin tergambar jelas di wajahnya."Jangan begitu Zio, kamu tidak kasihan padanya.""Kasihan?" kutip pria bernama Zio."Kamu lebih dari kasihan padanya. Kalau tidak, mana mungkin kamu membawanya pulang saat bertemu di jalan," goda si perempuan.Zio memalingkan wajah, tidak mau
Perkataan ibu Rian terngiang sepanjang hari. Pria itu tak henti berpikir. Perjalanan dinas kemarin membuka lebar mata seorang Rian tentang Lea, istri buta yang tak pernah dia anggap."Istrimu sangat baik, dia mendonorkan darahnya untuk ayahmu saat semua orang tidak ada yang mau. Bahkan adikmu yang nota bene sangat sehat. Pokoknya kalau aku jadi kamu, aku tidak akan menyia-nyiakan perempuan baik seperti dia."Rian tahu kalau Lea berusaha memenuhi kewajibannya sebagai istri. Dia hanya baru tahu kalau yang tersaji untuknya saat sarapan adalah hasil racikan tangan Lea sendiri, terutama kopi, bahkan pakaian pun wanita itu sediakan. Meski buta tapi Lea mampu melakukan banyak hal layaknya orang normal. Kecuali untuk pemilihan warna. Tadi dia baru mengetahui kalau pakaian di lemarinya disusun berdasarkan warna. Meski terkesan asal, tapi Rian menyukai semua yang Lea lakukan untuknya."Jadi selama ini Lea yang sudah mengurus hidupku, aku pikir Vika yang melakukannya," gumam Rian.Ditambah peng
Lea sempat terkejut mendengar ucapan pria yang tak lain adalah Rian. Bukannya hari itu lelaki tersebut yang bersikukuh ingin berpisah dengannya. Kenapa sekarang Rian mengubah keputusannya?Apa ada rencana lain yang sedang Rian jalankan. Apa ayah mertuanya tidak jadi mewariskan rumah sakit miliknya jika Rian bercerai dengannya. Sebab alasan itulah yang dipakai papa Rian untuk memaksa sang putra menikahi Lea waktu itu selain untuk menebus kesalahannya. Rian tentu tak punya pilihan lain selain menurut, atau rumah sakit itu akan dikelola yayasan. Sudah pasti Rian tidak mau itu terjadi.Namun Lea sudah muak dengan semua yang dia dapatkan dua tahun ini. Cukup sudah, hatinya telah mati rasa. Suami yang tidak pernah menghargainya, teman yang hanya menusuknya dari belakang. Keluarga yang sama sekali acuh padanya.Tidak! Lea tidak mau kembali ke sama. Karena itu jawaban Lea berikutnya membuat Rian terkejut. Rian pikir Lea tipe yang mudah dibujuk, dibaik-baikin sedikit langsung luluh hatinya."
Rian menghela napas saat mendapati Vika sudah menyambutnya di rumah, saat dia pulang setelah dinasnya selesai. "Sayang, mau kusiapkan air mandi?" tanya perempuan yang memakai dres rumahan lumayan menggoda. Baru Rian sadari kalau Vika memang sengaja melakukan semua, untuk menjauhkannya dari Lea. Vika akan ada di antara dia dan Lea, selalu mencuri waktu agar dirinya dan Lea tak punya kesempatan untuk sekedar mendekatkan diri."Aku akan mandi sendiri di kamarku." Jawaban Rian membuat Vika terkejut. Rian tak pernah menolak tiap kali Vika menawarkan diri untuk melayani lelaki itu. Tingkah Vika sepertinya akan makin menjadi, mengingat Lea sudah berhasil dia singkirkan dan statusnya adalah tunangan Rian.Namun kali ini dia dibuat terkejut saat Rian terlihat acuh padanya. Apa yang terjadi? Batin Vika. Terlebih mama Rian kemarin bercerita kalau Rian langsung mencari Lea waktu baru pulang dari tugas keluar kota."Sudah jadi mantan pun, masih sok-sok an cari perhatian. Lihat saja, tidak akan
Lea hanya bisa terdiam mendengar beberapa orang bicara di sekitarnya. Dia tidak tahu bagaimana ekspresi orang-orang itu, satu yang jelas mereka dilanda panik."Kondisinya sangat baik, bisa menjalani operasi kapan saja. Tapi untuk pernikahan, kita tidak bisa melakukannya sekarang. Nona Lea baru saja bercerai, kita masih harus menunggu.""Tapi keinginan Nyonya Annika sebelum koma adalah ...."Koma? Nyonya itu koma? Lea hanya bisa mencengkeram tongkat penyelidiknya erat saat telinganya dengan jelas mendengar seseorang menyebut Nika koma."Semua keputusan ada di tangan Anda, Tuan Alkanders," kata satu suara lain.Saat itu Lea tidak tahu kalau Zio sedang menatap tajam ke arahnya. Hatinya perih, sedih. Namun dia terlanjur berjanji pada Nika untuk memenuhi permintaan sang istri. Tidak peduli bagaimana, Nika ingin semua berjalan seperti keinginannya, andai hal paling buruk terjadi."Lakukan untukku dan masa depanmu, kamu tidak akan menyesal sudah mengambil keputusan ini." Kalimat yang diuca
Tidak ada yang bicara selama perjalanan pulang. Lea hanya diam, pun dengan Zio. Pria itu yang membuatnya gagal naik taksi. Walau insiden tak menyenangkan sempat terjadi, ketika Rian protes saat Zio akan mengantar Lea pulang.Dua pria itu sempat berdebat, Rian lebih banyak mengoceh dibanding Zio yang lebih tenang. Rian masih sibuk bicara waktu Lea dengan santai meninggalkan dua pria yang sontak terkejut. Tidak menyangka kalau Lea akan mengabaikan mereka.Dasar si tukang paksa. Tanpa banyak kata, Zio menarik tangan Lea lantas memasukkannya ke dalam mobil, untuk kemudian melaju pergi dari tempat itu. Meninggalkan Rian yang hanya bisa mengepalkan tangan, dia kalah lagi dari Zio."Akan ada yang menjagamu dari luar."Hanya itu yang Zio katakan sebelum Lea keluar dari mobil. Lea hanya mengangguk, sungguh perempuan yang tidak banyak protes, tapi Lea punya potensi untuk memberontak yang sangat kentara. Lea berjalan masuk ke dalam rumah, mengunci pintu. Langsung menuju ke kamarnya. Seorang ART
Hujan turun rintik-rintik ketika kaki Lea menginjak lantai rumah sakit. Dibimbing Erna, Lea menuju ruangan tempat Nika dirawat. Jantung perempuan itu berdentam tidak karuan. Semua bayangan buruk memenuhi kepalanya.Begitu sampai di ruangan Nika, Lea membeku mendengar keributan yang terjadi. Berbagai suara yang membuat Lea menyimpulkan betapa kacaunya keadaan saat itu. Tak ada yang bicara pada Lea, hanya ada Erna yang terus menggenggam tangan Lea saat keduanya duduk di sofa. "Mbak, apa yang terjadi?"Erna tak menjawab, sebab perempuan itu sedang melihat tuannya yang tampak hancur sementara dokter sejak tadi keluar masuk ke tempat Nika dirawat. "I-itu. Nyonya ...."Lea bisa mendengar getar kepanikan dari suara Erna. Lea menyimpulkan kalau keadaan sedang tidak baik-baik saja. Haruskah Lea ada di sana? Dia adalah orang luar, tidak sepatutnya berada di sana."Mbak, kenapa kita tidak pulang saja?" tanya Lea ketika hatinya berujar hal buruk bisa saja terjadi."Tuan mau Non ada di sini.""
"Kenapa kamu tidak bilang?" Seorang perempuan dengan wajah cantik, badan tinggi semampai mendekati Zio. Tanpa ragu langsung memeluk tubuh tinggi besar Zio. Han, sang aspri menyingkir, bagaimanapun perempuan itu statusnya lumayan dekat dengan Zio dan Nika. "Dia pergi, Nancy. Dia tinggalkan aku." Kata Zio. Pria itu tampak rapuh. Nancy sendiri hanya bisa menepuk pelan punggung Zio, tanpa banyak bicara. Di depan sana peti mati Nika sudah selesai dipersiapkan. Bahkan acara pemakaman hampir dimulai. "Mama sedang ke sini. Archie dan Zico juga," info Nancy. Mendengar tiga orang itu akan datang, Han lekas pergi ke depan untuk menyambut. "Kamu tidak boleh sedih di depan Archie. Dia sudah kehilangan mamanya, jangan biarkan dia kehilangan senyum kamu juga," Nancy menguatkan Zio. Zio mengusap cepat air matanya, lantas menarik napas dalam. Benar, Archie memerlukan dirinya. Dia tidak boleh terlihat sedih di mata bocah lima tahun itu. Tak berapa lama, suara Archie berceloteh terdengar
Erna memegang pipinya yang terasa panas. Dipandangnya Nika yang wajahnya memerah penuh emosi. Erna tahu benar kalau Nika marah besar padanya.Dia sepenuhnya sadar akibat dari perbuatannya akan membuat Nika murka. Tapi Erna tidak mau Nika kembali melakukan kesalahan."Aku melakukannya karena aku peduli padamu, Nika. Aku tidak mau kamu menyakiti orang lain lagi. Cukup Nika! Cukup! Kita pulang saja ya?"Dari luapan emosi, kalimat Erna berubah jadi bujukan. Seperti yang dia katakan di hadapan Zio dan yang lainnya. Seburuk apapun perilaku Nika, dia tetap tak bisa mengabaikan perempuan itu.Erna tetap peduli, walau Nika kerap kali tidak memandang kebaikannya. Sebaik itu hati Erna. Gadis itu hanya ingin membalas kebaikan hati Nika yang pernah menyelamatkan keluarganya dulu.Ayahnya perlu biaya operasi waktu kecelakaan, Nika membantunya. Lalu adiknya ingin kuliah, Nika juga ringan tangan menolongnya.Sudah dikatakan jika berhubungan dengan balas budi, bakal runyam urusannya."Tidak akan! Aku
Derap langkah terdengar rusuh ketika Lea menoleh. Netranya berkaca-kaca melihat Zio berlari ke arahnya, lantas memeluknya. Ada hangat, lega, juga aman saat Zio merengkuh tubuh Lea dalam pelukannya."Maafkan aku." Kalimat itu yang Zio ucapkan begitu dia menemukan suaranya.Lea menggeleng dalam dekapan sang suami. Dia sendiri sudah menitikkan air mata sejak Zio memeluknya. "Apa kamu baik-baik saja?" Zio memeriksa keadaan Lea begitu dia menjauhkan diri dari Lea."Aku baik-baik saja. Jangan cemas. Kamu harus berterima kasih pada mereka. Mereka sudah menjagaku semalaman."Dua petugas mengangguk saat Zio sungguh mengucapkan terima kasih dengan tulus. "Kamu juga harus berterima kasih pada dia."Lea menggeser duduknya. Hingga sosok yang duduk di pojokan sambil menundukkan wajah terlihat."Erna?!" Terkejut Zio dibuatnya.Bagaimana bisa Erna tiba-tiba muncul setelah menghilang sekian lama."Maafkan saya, Tuan. Maaf, Bu." Kata Erna dengan mata memerah."Mbak Erna gak salah. Terima kasih sudah
Dita melotot penuh ketakutan sekaligus syok. Zio, pria itu duduk di hadapannya dengan wajah dingin yang membuat Dita gemetaran sebadan-badan.Perempuan itu menyadari kalau ucapan Nika sama sekali tidak bisa dia percaya. Nika mengatakan kalau Zio tidak akan tahu jika dialah yang melaporkan Lea ke polisi.Ternyata Dita kini sudah dibuat takut tak terkira hanya dengan tatapan suami Lea."Lepaskan aku! Kenapa aku dibawa ke sini? Apa salahku?!" Dita meski ketakutan nyatanya masih berani melawan."Salahmu? Salahmu karena sudah mengusik istriku! Kau akan menerima balasannya, berani sekali kau membantu dia.""Saya hanya membantunya mendapatkan apa yang seharusnya jadi miliknya," aku Dita terang-terangan."Mengaku rupanya. Kau sama sekali tidak tahu apa yang terjadi, jadi sebaiknya kau diam saja!" Hardik Zio.Nyali Dita menciut seketika. Dia seharusnya tahu kalau Zio bukan lawan yang bisa dia hadapi. Bahkan kalau Dita punya kuasa, dia tidak akan menang melawan Zio."Lea mencuri tempatnya, apa
Malam terasa panjang untuk Lea dan Zio. Keduanya sama-sama tak bisa memejamkan mata sepanjang malam. Lea hanya bersandar di dinding yang terasa dingin untuknya.Pun dengan Zio yang terjaga selama posisi matahari digantikan bulan. Setelah enam bulan terpisah, baru kali keduanya tidak melalui malam bersama-sama.Rasanya tentu beda, baik Zio dan Lea merasa ada yang hilang dari sisi masing-masing.Zio baru saja ditinggal Zico, yang langsung menuju kantor polisi begitu tahu masalah yang membelit kakak iparnya. Pemuda baru gede itu dengan menggebu-gebu ingin memberi pelajaran pada Munaroh, tapi Zio mencegahnya."Jika kau ingin membantu, pulang sana temani Arch tidur. Sari bilang tadi dia tantrum tidak melihat mamanya. Kamu tahu sendiri kalau dia tantrum kayak apa.""Kenapa gak suruh bapaknya aja.""Kalau Arch mau mah, aku sudah suruh Miguel bawa dia. Biar sekalian mereka makin dekat."Tanpa diduga, Zico tak banyak protes langsung pamit pulang. Zio sempat dibuat tidak percaya, meski detik s
Tawa terdengar menggelegar di kamar Nika. Perempuan itu terlihat sangat puas. Dia baru kembali dari kantor Dreamcatcher, senang sekali melihat Lea digelandang ke kantor polisi.Sayangnya, niatnya yang ingin sedikit bermain-main dengan Lea gagal total saat Zio terus berada di samping sang wanita. Satu kejadian yang membuat kebahagiaan Nika menguap seketika.Selama dia dan Zio menikah, pria itu memang setia padanya. Tapi act of service-nya tak semanis pada Lea. Dengan Lea, Zio all out menunjukkan perasaannya."Dasar perempuan tidak tahu diri. Lihat saja setelah ini, kau akan menangis darah!"Nika menggeram penuh emosi, dia lantas menghubungi seseorang. "Uangmu sudah kukirim. Sekarang pergilah. Atau Zio akan menemukanmu."Orang di seberang mengulas senyum melihat nominal saldo rekeningnya. Dengan jumlah ini, dia bisa shopping sepuasnya di kota sebelah. Satu kegiatan yang sudah lama tidak dia lakukan.Nika dan orang itu tak akan menyangka kalau Zio tidak semudah itu dikalahkan. Pria itu
Ha? Apa itu tadi? Pencurian identitas, pemalsuan kematian? Apa yang sebenarnya terjadi."Saya tidak pernah melakukan itu!" Sanggah Lea cepat."Tapi laporan kami menyebutkan Anda melakukan hal tadi. Ditambah bukti yang kuat, jadi kami terpaksa menjemput Anda. Silakan ikut kami. Mohon kerja samanya." Si petugas meski wajahnya horor tapi nada bicaranya masih sopan. Terlebih Lea tidak menunjukkan tanda-tanda ingin melarikan diri."Tunggu dulu, Pak. Dia tidak mungkin melakukan itu. Lagi pula identitas siapa yang dia curi. Dia pakai namanya sendiri. Saya kenal dia sejak SMA, dan itu memang namanya. Tidak pernah ganti!" Arch terus melindungi Lea, setidaknya sampai Zio datang. Kalaupun harus ke kantor polisi, Lea harus ditemani."Semua bisa dijelaskan di kantor. Anda bisa menyewa pengacara jika Anda mau," satu lagi petugas bicara."He! Dia sudah punya Arthur Lawrence. Silakan lawan dia. Lagian bikin laporan kok aneh betul tuduhannya. Nyuri identitas sama memalsukan kematian. Kematian siapa
Sesuai keinginan Miguel dan Zio, dua hari setelahnya dua bodyguard sudah berjaga di depan sekolah Arch. Keduanya rekomendasi Miguel yang punya kenalan agensi penyedia jasa penjaga keamanan.Selama tiga hari bekerja, mereka berhasil menggagalkan usaha Nika untuk menemui Arch. Dua bodyguard Arch dibekali semua info mengenai orang terdekat Arch.Jadi mereka bisa menganalisa siapa saja yang boleh dan tidak boleh menemui Arch. Jelas saja Nika dibuat mengamuk, melihat dua pria berjas hitam menghadang langkahnya. Ini kali kedua, Nika dijegal saat berniat bertemu Arch.Perempuan itu bahkan sampai berteriak, membuat heboh di area tersebut. Tentu saja hal itu menganggu. Kawasan sekolah Arch adalah lingkungan sekolah elite yang sangat menjaga kondisi pembelajaran.Hingga sesi belajar mengajar bisa berjalan lancar dan kondusif. Tapi teriakan Nika yang lantang sudah pasti memicu ketidaknyamanan. Maka jangan salahkan dua bodyguard Arch lekas mencengkeram tangan Nika lantas mengusirnya dari tempat i
"Aku tidak akan berhenti, sampai aku dapat apa yang aku mau!" Zio berhenti melangkah saat Nika berteriak demikian. "Memangnya apa yang kau inginkan? Aku? Arch? Arch sudah jelas tidak mau melihatmu, dan aku ... juga demikian. Kamu menyakitiku dan Arch, Nika."Tangan Nika terkepal erat melihat Zio menjauh darinya. "Kamu tidak kenal aku Zi. Aku akan singkirkan semua yang jadi penghalangku. Tidak peduli meski mereka orang terdekatmu. Seperti dia, Lea juga harus pergi."Hati Nika makin panas melihat Zio dengan lembut menggandeng Lea masuk kembali ke gedung sekolah Arch. Diiringi Miguel. Ketiganya tampak bicara serius.Sungguh, Nika benci diabaikan. Dia sudah mengalaminya sejak kecil. Karena itu begitu dewasa, dia melakukan segala cara agar bisa jadi pusat perhatian. Tapi ternyata jalan yang Nika pilih salah. Alih-alih menarik atensi banyak orang dengan prestasi atau kebaikan hati. Nika pilih menjadikan dirinya murahan. Agar tiap lelaki tertarik padanya.Entah bagaimana Inez dulu terpikat
Nika tersenyum puas melihat Zio menghampiri Miguel dan Lea dengan wajah kesal. Dia pikir akan menonton pertunjukkan yang menarik. Perempuan itu sengaja mengambil foto Miguel saat berdiri di depan Lea. Miguel sedang menunduk, tengah membujuk Arch. Tapi dari sisi Nika mengambil gambar, foto tersebut justru tampak seperti Miguel sedang mencium Lea.Perempuan tersebut mengirimnya pada Zio. Dan begitulah, Zio langsung melesat pergi ke sekolah Arch. Padahal alasan Zio ke sana adalah juga karena laporan Lea, jika Nika ada di tempat itu juga.Plus, pengasuh Ivan juga memberi tahu kalau Lea ada di sana. Padahal Nika yang lebih dulu datang. Pengasuh Ivan tidak tahu kalau Lea dan Nika memiliki wajah yang persis sama.Nika pikir Zio akan termakan umpan yang dia lemparkan. Nika nyaris bersuka cita melihat Zio dan Lea akan bertengkar akibat salah paham yang dia ciptakan. Nyatanya tidak. Nika dibuat terkejut kala Zio dan Miguel justru berbincang akrab dengan Arch tetap berada dalam gendongan Lea.