Rian menghela napas saat mendapati Vika sudah menyambutnya di rumah, saat dia pulang setelah dinasnya selesai.
"Sayang, mau kusiapkan air mandi?" tanya perempuan yang memakai dres rumahan lumayan menggoda. Baru Rian sadari kalau Vika memang sengaja melakukan semua, untuk menjauhkannya dari Lea. Vika akan ada di antara dia dan Lea, selalu mencuri waktu agar dirinya dan Lea tak punya kesempatan untuk sekedar mendekatkan diri. "Aku akan mandi sendiri di kamarku." Jawaban Rian membuat Vika terkejut. Rian tak pernah menolak tiap kali Vika menawarkan diri untuk melayani lelaki itu. Tingkah Vika sepertinya akan makin menjadi, mengingat Lea sudah berhasil dia singkirkan dan statusnya adalah tunangan Rian. Namun kali ini dia dibuat terkejut saat Rian terlihat acuh padanya. Apa yang terjadi? Batin Vika. Terlebih mama Rian kemarin bercerita kalau Rian langsung mencari Lea waktu baru pulang dari tugas keluar kota. "Sudah jadi mantan pun, masih sok-sok an cari perhatian. Lihat saja, tidak akan kubiarkan Rian memperhatikanmu. Sama seperti yang sudah-sudah," kata Vika dengan kaki melangkah naik ke kamar Rian. Saat dia baru masuk, dia mendapati Rian sedang bicara dengan seseorang melalui sambungan ponsel. "Aku ingin tahu di mana Lea tinggal sekarang," ujar Rian. Rian tidak tahu ada Vika yang mendengarkan. "Baik akan kutunggu, kirimkan saja alamatnya. Dan satu lagi, aku ingin kamu siapkan satu buket mawar besok," lanjut Rian memberi perintah. Dua tangan Vika mengepal mengetahui Rian justru kepo dengan mantan istrinya. Tidak! Dia tidak boleh kalah, sekarang statusnya lebih tinggi dari Lea yang cuma seorang janda. Hati Vika makin mendidih mendengar kalimat Rian selanjutnya. "Lihat saja Lea, aku akan menebus semua kesalahanku. Kita akan memulai semua dari awal lagi." Hari berganti dengan Lea sudah berganti pakaian, pagi ini dia akan bertemu Nika, ada beberapa hal yang harus keduanya bicarakan. Yang Lea tahu, dia mesti menikah dengan Zio, lelaki yang rupa saja dia tidak tahu. Ah tidak! Baik Rian maupun Zio keduanya tidak ada yang dia ketahui bagaimana paras wajah masing-masing. Kehilangan penglihatan membuat Lea tidak tahu apa-apa. Lea cuma mengandalkan insting untuk menilai karakter orang-orang di sekitarnya. Hanya dari suara, Lea bisa menyimpulkan kepribadian seseorang. Seperti Zio misalnya, pria itu jelas pemarah dengan tipikal emosi yang meledak kapan saja, walau sangat tenang di permukaan. Beda dengan mantan suami Lea yang ia nilai plin plan. Kemarin A sekarang B. Bicara soal Rian, Lea pun tidak pernah menyangka kalau orang yang bakal dia temui pertama kali pagi ini adalah sang mantan suami. Lea baru saja menutup pintu, menguncinya lalu mengarahkan tongkat penunjuk jalan ke depan, saat suara Rian terdengar menyapanya. "Pagi, Lea. Untukmu." Lea terdiam, mengetahui ada bunga mawar di sodorkan padanya. Dari aromanya, Lea sudah tahu kalau itu mawar merah. Bagi hidung Lea yang sensitif, tiap warna bunga akan memberinya kesan berbeda. Hingga wanita itu bisa tahu jenisnya. "Aku tidak mau terima apapun darimu. Pergilah," tolak Lea. Lea bergeming, dia tahu Rian tak bergerak sama sekali dari tempatnya. Mungkin terkejut mendapati Lea yang ternyata bisa sangat keras kepala. "Lea, ini sebagai wujud permintaan maafku. Aku tahu aku salah." "Kamu sudah mengulanginya sejak kemarin. Tapi keputusanku tidak berubah. Kamu yang ingin kita berpisah, aku hanya menuruti kemauanmu." "Lea aku mengambil keputusan salah, bisakah aku memperbaikinya." Lea memandang lurus ke depan, tepat di mana Rian berada. "Kenapa tidak dari dulu kamu melakukannya? Kenapa harus menunggu sampai aku menderita. Bukan aku yang memaksa agar kamu menikahiku, ingat itu." Hening sejenak ketika hati Rian sadar betapa dalam luka yang sudah dia torehkan pada perempuan yang untuk pertama kali menunjukkan tangis di hadapannya. "Sudahi saja semua. Aku tidak mau berhubungan denganmu lagi. Jauhi aku," pinta Lea dengan tegas. Hati Rian teriris sembilu, sama seperti kalbu Lea yang sudah berulang kali terluka. Kali ini dia tidak mau terluka lagi. Ada kesempatan untuk pergi, maka dia tidak akan menyia-nyiakannya. "Tidak adakah maaf untukku?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Rian. Lisan yang selama ini lebih banyak dia gunakan untuk memaki Lea karena kesalahan yang sama sekali tidak pernah dia buat. Kesilapan yang sebagian besar direkayasa oleh Vika agar Rian membenci Lea. Lea memang beberapa kali melawan tapi ending-nya tetap dia yang kalah. "Lea, beri aku kesempatan untuk menebus semua kesalahanku. Maafkan aku, aku janji tidak akan mengulanginya lagi." Tidak ada jawaban, Lea sengaja bungkam karena dia tidak mau memberi peluang Rian untuk masuk kembali dalam hidupnya. Semua sudah cukup. Kala Rian sedang terpuruk sebab pintu maaf dari Lea bakal sulit dia gapai. Sebuah mobil berhenti tepat di depan Rian dan Lea. Pintunya terbuka dari dalam, menampilkan pria yang seketika membuat Rian emosi. "Ayo pergi, dia sudah menunggu." Kalimat serupa perintah membuat Lea berjalan pelan ke arah sumber suara. Namun Rian yang belum terima karena tidak diberi maaf mencekal tangan Lea. "Jadi ini alasannya kenapa kamu kekeuh tidak mau kembali padaku. Yang dikatakan mama benar. Kau selingkuh di belakangku." Lea menepis cekalan tangan Rian. Hatinya kembali menangis tatkala Rian melontarkan tuduhan yang membuatnya jadi terlihat murahan. "Terserah apa yang kamu pikirkan. Nilai saja aku semau kamu. Aku jelaskan pun, kamu tidak akan pernah mendengarku. Seperti biasanya." Deg! Seperti biasanya? Seburuk itukah perlakuannya pada Lea. "Lea, aku ...." "Ayo pergi!" Zio memberi perintah begitu Lea masuk ke dalam mobil. Rian menatap kosong ke arah mobil yang membawa pergi Lea. Benarkah Lea sudah berselingkuh darinya? Pernikahan macam apa yang sudah dia jalani selama dua tahun ini. Kenapa dia tidak tahu apa-apa soal Lea, mantan istrinya. Di dalam mobil tidak ada yang bersuara sama sekali. Baik Zio maupun Lea sama-sama bungkam. Sampai dering ponsel pria itu memecah kesunyian. Zio tidak bicara hanya mendengarkan seseorang dari seberang sana memberi laporan. Andai Lea bisa melihat, dia akan mendapati wajah dingin Zio berubah panik dengan tingkat kecemasan mendekati tahap tidak terkendali. "Semua akan diselesaikan hari ini. Operasimu juga pernikahan kita."Lea hanya bisa terdiam mendengar beberapa orang bicara di sekitarnya. Dia tidak tahu bagaimana ekspresi orang-orang itu, satu yang jelas mereka dilanda panik."Kondisinya sangat baik, bisa menjalani operasi kapan saja. Tapi untuk pernikahan, kita tidak bisa melakukannya sekarang. Nona Lea baru saja bercerai, kita masih harus menunggu.""Tapi keinginan Nyonya Annika sebelum koma adalah ...."Koma? Nyonya itu koma? Lea hanya bisa mencengkeram tongkat penyelidiknya erat saat telinganya dengan jelas mendengar seseorang menyebut Nika koma."Semua keputusan ada di tangan Anda, Tuan Alkanders," kata satu suara lain.Saat itu Lea tidak tahu kalau Zio sedang menatap tajam ke arahnya. Hatinya perih, sedih. Namun dia terlanjur berjanji pada Nika untuk memenuhi permintaan sang istri. Tidak peduli bagaimana, Nika ingin semua berjalan seperti keinginannya, andai hal paling buruk terjadi."Lakukan untukku dan masa depanmu, kamu tidak akan menyesal sudah mengambil keputusan ini." Kalimat yang diuca
Tidak ada yang bicara selama perjalanan pulang. Lea hanya diam, pun dengan Zio. Pria itu yang membuatnya gagal naik taksi. Walau insiden tak menyenangkan sempat terjadi, ketika Rian protes saat Zio akan mengantar Lea pulang.Dua pria itu sempat berdebat, Rian lebih banyak mengoceh dibanding Zio yang lebih tenang. Rian masih sibuk bicara waktu Lea dengan santai meninggalkan dua pria yang sontak terkejut. Tidak menyangka kalau Lea akan mengabaikan mereka.Dasar si tukang paksa. Tanpa banyak kata, Zio menarik tangan Lea lantas memasukkannya ke dalam mobil, untuk kemudian melaju pergi dari tempat itu. Meninggalkan Rian yang hanya bisa mengepalkan tangan, dia kalah lagi dari Zio."Akan ada yang menjagamu dari luar."Hanya itu yang Zio katakan sebelum Lea keluar dari mobil. Lea hanya mengangguk, sungguh perempuan yang tidak banyak protes, tapi Lea punya potensi untuk memberontak yang sangat kentara. Lea berjalan masuk ke dalam rumah, mengunci pintu. Langsung menuju ke kamarnya. Seorang ART
Hujan turun rintik-rintik ketika kaki Lea menginjak lantai rumah sakit. Dibimbing Erna, Lea menuju ruangan tempat Nika dirawat. Jantung perempuan itu berdentam tidak karuan. Semua bayangan buruk memenuhi kepalanya.Begitu sampai di ruangan Nika, Lea membeku mendengar keributan yang terjadi. Berbagai suara yang membuat Lea menyimpulkan betapa kacaunya keadaan saat itu. Tak ada yang bicara pada Lea, hanya ada Erna yang terus menggenggam tangan Lea saat keduanya duduk di sofa. "Mbak, apa yang terjadi?"Erna tak menjawab, sebab perempuan itu sedang melihat tuannya yang tampak hancur sementara dokter sejak tadi keluar masuk ke tempat Nika dirawat. "I-itu. Nyonya ...."Lea bisa mendengar getar kepanikan dari suara Erna. Lea menyimpulkan kalau keadaan sedang tidak baik-baik saja. Haruskah Lea ada di sana? Dia adalah orang luar, tidak sepatutnya berada di sana."Mbak, kenapa kita tidak pulang saja?" tanya Lea ketika hatinya berujar hal buruk bisa saja terjadi."Tuan mau Non ada di sini.""
"Kenapa kamu tidak bilang?" Seorang perempuan dengan wajah cantik, badan tinggi semampai mendekati Zio. Tanpa ragu langsung memeluk tubuh tinggi besar Zio. Han, sang aspri menyingkir, bagaimanapun perempuan itu statusnya lumayan dekat dengan Zio dan Nika. "Dia pergi, Nancy. Dia tinggalkan aku." Kata Zio. Pria itu tampak rapuh. Nancy sendiri hanya bisa menepuk pelan punggung Zio, tanpa banyak bicara. Di depan sana peti mati Nika sudah selesai dipersiapkan. Bahkan acara pemakaman hampir dimulai. "Mama sedang ke sini. Archie dan Zico juga," info Nancy. Mendengar tiga orang itu akan datang, Han lekas pergi ke depan untuk menyambut. "Kamu tidak boleh sedih di depan Archie. Dia sudah kehilangan mamanya, jangan biarkan dia kehilangan senyum kamu juga," Nancy menguatkan Zio. Zio mengusap cepat air matanya, lantas menarik napas dalam. Benar, Archie memerlukan dirinya. Dia tidak boleh terlihat sedih di mata bocah lima tahun itu. Tak berapa lama, suara Archie berceloteh terdengar
Rian meremas kuat rambutnya. Frustrasi melanda pria itu. Bagaimana dia tidak stres? Di rumah dia ditempeli Vika. Di rumah sakit dia sibuk dengan urusan pasien ditambah keberadaan Lea yang belum dia ketahui di mana rimbanya. Mantan suami Lea kehilangan jejak wanita itu sejak seminggu terakhir. "Di mana dia sekarang. Rumahnya kosong. Di rumah sakit juga tidak ada," gumam Rian.Otaknya terus berpikir, ke mana kira-kira Lea pergi. Perempuan itu sebatang kara, setahu Rian, Lea tidak punya saudara. Lantas ada di mana Lea sekarang.Dalam kerumitan pikiran yang tengah di rasa, Rian kedatangan tamu, seorang teman yang hari itu bercerita soal kebaikan Lea."Aku baru dengar dari Vika, kau bercerai dengan Lea?"Rian mengangguk dengan sang teman mendesah penuh sesal. "Kau akan menyesal sudah melepasnya," kata sahabat Rian.Rian tak pernah tahu kalau temannya itu tahu kalau Lea sedang berada dalam masa pemulihan paska operasi penggantian kornea mata. Satu prosedur di mana Lea berkesempatan bisa me
"Kamu kenapa, Zio?"Nancy yang baru keluar kamar Archie langsung mengejar Zio yang wajahnya tampak memar. Ada lebam di pipi pria tersebut. "Tidak apa-apa," balas Zio singkat."Tapi ini harus segera dikompres. Ingat besok kamu ada meeting dengan dewan direksi. Kamu tidak mungkin muncul dengan wajah babak belur begini."Sangat masuk akal. Zio mendesah ketika Nancy keluar kamar. Tak berapa lama kembali dengan kain dan es batu dalam wadah."Aku bisa sendiri. Pergilah.""Biar aku saja."Nancy mulai mengompres memar Zio dengan es batu dibalut kain. Pria itu hanya diam, macam patung. Tatapannya kosong. Dia seolah tidak melihat bagaimana Nancy berusaha menarik perhatiannya.Wanita itu sengaja memakai pakaian dengan belahan dada rendah. Hingga sebagian dada sekal Nancy tampak menyembul. Tanpa Zio sadari sentuhan Nancy mulai berubah seduktif, perempuan itu sedang mencoba membangkitkan gairah Zio.Bahkan tiba-tiba saja Nancy sudah mencium bibir seksi Zio. Melumatnya penuh hasrat, sampai pria i
"Kau benar-benar merepotkan."Zio memarahi sang adik yang kali ini kembali terlibat tawuran dengan sekolah sebelah. Zio sungguh pusing memikirkan bagaimana mengendalikan Zico."Akan kubekukan black card-mu jika kau masih membuat ulah," ancam Zio."Bekukan saja. Atau mau kau ambil sekalian, ini aku kembalikan," Zico menyerahkan kartu berwarna hitam dengan list warna emas di tepian kartu. Nama Zico tercetak timbul sebagai pemegang kartu dengan tinta warna silver.Zio menoleh pada sang adik, pria itu kehabisan akal untuk mengatasi kenakalan Zico. Pada akhirnya, Zio tidak berkata apa-apa lagi. Dia meninggalkan Zio yang langsung memberi hormat sambil melebarkan senyum.Zio kembali ke kantor, menyelesaikan pekerjaannya. Sampai hari menjelang sore tanpa dia sadari.Saat itulah Zio baru ingat kalau dia berencana membawa Lea ke rumah. Pria itu langsung menghubungi Han yang dia pikir sudah mengirim Lea ke rumah utama."Han, apa dia sudah pulang?"Han mengerutkan dahi di seberang. "Aku pikir dia
Lea memicingkan mata dengan telinga menajam. Kebiasaan saat dia mengindentifikasi orang baru yang dia temui, saat dulu dia masih tuna netra. Samar, tapi Lea bisa memperkirakan rupa perempuan yang berdiri di depannya. Suara perempuan dengan pakaian berupa dres rumahan tapi terhitung ketat. Inikah yang umum dikenakan wanita masa kini. Mengingat dua tahun belakangan ini, Lea buta sebuta-butanya soal dunia fashion. Walau sebelumnya dia juga tidak terlalu memperhatikan dunia glamor itu."Malah diam, aku tanya siapa kau?! Beraninya masuk ke kamar Zio?" tanya suara itu lagi. Jelas sarat rasa tidak suka."Saya Lea, maaf jika saya lancang. Tapi saya di sini atas keinginan tuan Zio.""Siapa kau berani menyebut nama Zio. Dia itu bukan pria sembarangan. Tidak semua orang mampu bertemu dengannya."Lea akui itu. Zio bukan pria biasa yang dapat disentuh, tapi dia bisa apa kalau dirinya sudah terlanjur nyemplung dalam kehidupan Zio."Malah diam, aku tanya kau siapa?""Dia istriku, Nancy."Jawaban te