"Kenapa kamu tidak bilang?" Seorang perempuan dengan wajah cantik, badan tinggi semampai mendekati Zio. Tanpa ragu langsung memeluk tubuh tinggi besar Zio. Han, sang aspri menyingkir, bagaimanapun perempuan itu statusnya lumayan dekat dengan Zio dan Nika. "Dia pergi, Nancy. Dia tinggalkan aku." Kata Zio. Pria itu tampak rapuh. Nancy sendiri hanya bisa menepuk pelan punggung Zio, tanpa banyak bicara. Di depan sana peti mati Nika sudah selesai dipersiapkan. Bahkan acara pemakaman hampir dimulai. "Mama sedang ke sini. Archie dan Zico juga," info Nancy. Mendengar tiga orang itu akan datang, Han lekas pergi ke depan untuk menyambut. "Kamu tidak boleh sedih di depan Archie. Dia sudah kehilangan mamanya, jangan biarkan dia kehilangan senyum kamu juga," Nancy menguatkan Zio. Zio mengusap cepat air matanya, lantas menarik napas dalam. Benar, Archie memerlukan dirinya. Dia tidak boleh terlihat sedih di mata bocah lima tahun itu. Tak berapa lama, suara Archie berceloteh terdengar
Rian meremas kuat rambutnya. Frustrasi melanda pria itu. Bagaimana dia tidak stres? Di rumah dia ditempeli Vika. Di rumah sakit dia sibuk dengan urusan pasien ditambah keberadaan Lea yang belum dia ketahui di mana rimbanya. Mantan suami Lea kehilangan jejak wanita itu sejak seminggu terakhir. "Di mana dia sekarang. Rumahnya kosong. Di rumah sakit juga tidak ada," gumam Rian.Otaknya terus berpikir, ke mana kira-kira Lea pergi. Perempuan itu sebatang kara, setahu Rian, Lea tidak punya saudara. Lantas ada di mana Lea sekarang.Dalam kerumitan pikiran yang tengah di rasa, Rian kedatangan tamu, seorang teman yang hari itu bercerita soal kebaikan Lea."Aku baru dengar dari Vika, kau bercerai dengan Lea?"Rian mengangguk dengan sang teman mendesah penuh sesal. "Kau akan menyesal sudah melepasnya," kata sahabat Rian.Rian tak pernah tahu kalau temannya itu tahu kalau Lea sedang berada dalam masa pemulihan paska operasi penggantian kornea mata. Satu prosedur di mana Lea berkesempatan bisa me
"Kamu kenapa, Zio?"Nancy yang baru keluar kamar Archie langsung mengejar Zio yang wajahnya tampak memar. Ada lebam di pipi pria tersebut. "Tidak apa-apa," balas Zio singkat."Tapi ini harus segera dikompres. Ingat besok kamu ada meeting dengan dewan direksi. Kamu tidak mungkin muncul dengan wajah babak belur begini."Sangat masuk akal. Zio mendesah ketika Nancy keluar kamar. Tak berapa lama kembali dengan kain dan es batu dalam wadah."Aku bisa sendiri. Pergilah.""Biar aku saja."Nancy mulai mengompres memar Zio dengan es batu dibalut kain. Pria itu hanya diam, macam patung. Tatapannya kosong. Dia seolah tidak melihat bagaimana Nancy berusaha menarik perhatiannya.Wanita itu sengaja memakai pakaian dengan belahan dada rendah. Hingga sebagian dada sekal Nancy tampak menyembul. Tanpa Zio sadari sentuhan Nancy mulai berubah seduktif, perempuan itu sedang mencoba membangkitkan gairah Zio.Bahkan tiba-tiba saja Nancy sudah mencium bibir seksi Zio. Melumatnya penuh hasrat, sampai pria i
"Kau benar-benar merepotkan."Zio memarahi sang adik yang kali ini kembali terlibat tawuran dengan sekolah sebelah. Zio sungguh pusing memikirkan bagaimana mengendalikan Zico."Akan kubekukan black card-mu jika kau masih membuat ulah," ancam Zio."Bekukan saja. Atau mau kau ambil sekalian, ini aku kembalikan," Zico menyerahkan kartu berwarna hitam dengan list warna emas di tepian kartu. Nama Zico tercetak timbul sebagai pemegang kartu dengan tinta warna silver.Zio menoleh pada sang adik, pria itu kehabisan akal untuk mengatasi kenakalan Zico. Pada akhirnya, Zio tidak berkata apa-apa lagi. Dia meninggalkan Zio yang langsung memberi hormat sambil melebarkan senyum.Zio kembali ke kantor, menyelesaikan pekerjaannya. Sampai hari menjelang sore tanpa dia sadari.Saat itulah Zio baru ingat kalau dia berencana membawa Lea ke rumah. Pria itu langsung menghubungi Han yang dia pikir sudah mengirim Lea ke rumah utama."Han, apa dia sudah pulang?"Han mengerutkan dahi di seberang. "Aku pikir dia
Lea memicingkan mata dengan telinga menajam. Kebiasaan saat dia mengindentifikasi orang baru yang dia temui, saat dulu dia masih tuna netra. Samar, tapi Lea bisa memperkirakan rupa perempuan yang berdiri di depannya. Suara perempuan dengan pakaian berupa dres rumahan tapi terhitung ketat. Inikah yang umum dikenakan wanita masa kini. Mengingat dua tahun belakangan ini, Lea buta sebuta-butanya soal dunia fashion. Walau sebelumnya dia juga tidak terlalu memperhatikan dunia glamor itu."Malah diam, aku tanya siapa kau?! Beraninya masuk ke kamar Zio?" tanya suara itu lagi. Jelas sarat rasa tidak suka."Saya Lea, maaf jika saya lancang. Tapi saya di sini atas keinginan tuan Zio.""Siapa kau berani menyebut nama Zio. Dia itu bukan pria sembarangan. Tidak semua orang mampu bertemu dengannya."Lea akui itu. Zio bukan pria biasa yang dapat disentuh, tapi dia bisa apa kalau dirinya sudah terlanjur nyemplung dalam kehidupan Zio."Malah diam, aku tanya kau siapa?""Dia istriku, Nancy."Jawaban te
Suasana makan malam lumayan mencekam. Semua orang menjadikan Lea obyek yang lebih menarik, dari pada hidangan yang tersaji di atas meja. Inez dan Nancy nyaris kehilangan selera makan. Dua perempuan itu hanya sibuk memindai Lea yang tak kalah canggung dipandang sedemikian rupa.Dia sungguh rela tidak makan asal semua orang merasa nyaman menyantap makan malam mereka. Dia sudah terbiasa telat makan, bahkan sering menghindari makan jika anggota keluarga Rian sedang berkumpul."Makanlah," kata Zio penuh intimidasi.Lea terpaksa menurut, meski makanan yang dia telan rasanya susah melewati tenggorokan."Kapan kakak menikah?" Hanya Zico yang paling santai menanggapi kehadiran Lea. Padahal kemarin dia turut hadir di acara pemakaman Nika."Bukan urusanmu!""Issh, Kakak tidak seru. Padahal aku mau ngucapin selamat datang doang. Selamat datang kak Lea. Selamat datang di keluarga yang orangnya aneh semua.""Kau tahu namanya?" Zio bertanya."Aku tanyalah. Dari pada sibuk cari musuh, mending cari se
Ada yang hilang kala Archie berlalu dari hadapan Lea saat Nancy membawanya. Entah kenapa, Lea langsung merasa sayang pada bocah yang parasnya belum Lea rekam dengan baik di otaknya. Pertemuan pertama Lea dan Archie terlalu singkat. Nancy jelas tidak mengizinkan Arch dekat dengannya."Ingat, kau bukan siapa-siapa di rumah ini," kata Nancy tanpa suara."Oh, Zio kamu tampan sekali dengan setelan itu."Nancy sengaja pamer untuk menunjukkan kalau apa yang dipakai Zio kala itu adalah pilihannya. Perempuan itu berhenti sebentar untuk merapikan dasi Zio. Lagi-lagi Nancy sangat menikmati ekspresi wajah Lea yang diacuhkan oleh Zio.Samar bisa Lea dengar, Nancy bicara soal pekerjaan dengan Zio, sekali sekala ditimpali ocehan Arch yang sudah berada dalam gendongan sang papa. Mustahil kalau Lea tidak merasa tersisih. Ketiga orang itu mencerminkan gambaran keluarga bahagia.Pagi itu, Lea turun untuk sarapan ketika semua orang sudah tidak ada. Atau mereka semua sengaja menghindarinya, menganggap Lea
Nancy mengulas senyum, melihat Zio turun sendiri saat makan malam. Wanita itu juga makin senang mengetahui bagaimana mood Zio sedang tidak baik-baik saja."Papa ...."Panggilan Archie membuat Zio mau tak mau mengulas senyum. Zico tidak ada, pantas saja meja makan terlihat tenang. Juga ... Alah sudahlah, Zio sempat menoleh ke atas, melihat ke arah kamarnya. Tempat di mana Lea menangis tertahan dengan tubuh tertutup jubah mandi. Zio benar-benar kejam, dia memaksa Lea melucuti dres sederhana berwarna biru dengan motif floral. Manis sekali saat Lea pakai, tapi tidak dengan Zio yang langsung menunjukkan kemarahannya."Kau tidak dengar perintahku. Kau dilarang menyentuh miliknya! Lepaskan!"Zio bahkan dengan kasar ikut menyentak gaun itu, hingga lengan dan bahu Lea sedikit merah terkena tarikan jemari Zio."Aku mana tahu yang mana miliknya," gumam Lea. Gadis itu meringkuk di sudut walk in closet tidak berani mengambil pakaian lagi, takut salah dan Zio mengamuk. Dia tak mau mendengar pria i