Share

BAB 4 BERUBAH PIKIRAN

Perkataan ibu Rian terngiang sepanjang hari. Pria itu tak henti berpikir. Perjalanan dinas kemarin membuka lebar mata seorang Rian tentang Lea, istri buta yang tak pernah dia anggap.

"Istrimu sangat baik, dia mendonorkan darahnya untuk ayahmu saat semua orang tidak ada yang mau. Bahkan adikmu yang nota bene sangat sehat. Pokoknya kalau aku jadi kamu, aku tidak akan menyia-nyiakan perempuan baik seperti dia."

Rian tahu kalau Lea berusaha memenuhi kewajibannya sebagai istri. Dia hanya baru tahu kalau yang tersaji untuknya saat sarapan adalah hasil racikan tangan Lea sendiri, terutama kopi, bahkan pakaian pun wanita itu sediakan.

Meski buta tapi Lea mampu melakukan banyak hal layaknya orang normal. Kecuali untuk pemilihan warna. Tadi dia baru mengetahui kalau pakaian di lemarinya disusun berdasarkan warna. Meski terkesan asal, tapi Rian menyukai semua yang Lea lakukan untuknya.

"Jadi selama ini Lea yang sudah mengurus hidupku, aku pikir Vika yang melakukannya," gumam Rian.

Ditambah pengakuan seorang ART yang kerap membantu Lea saat menyiapkan keperluan Rian.

Penyesalan lelaki itu mulai tumbuh. Benar kata ayahnya. "Meski Lea tidak bisa melihat, tapi dia seribu kali lebih baik dari wanita pilihanmu!"

Rian menjambak rambutnya sendiri. Sekarang ke mana dia harus mencari Lea, ke mana perempuan itu pergi. Tanpa uang, tanpa identitas, tidak punya sanak saudara, Lea sebatang kara sejak musibah itu terjadi. Musibah yang terjadi karena kelalaiannya dan Vika.

Lebih parahnya dia tidak tahu kalau Vika berteman dengan Lea hanya untuk membuat wanita itu terlihat makin buruk.

"Di mana kamu Lea?" gumam Rian dengan kepala berdenyut nyeri.

Saat itulah pintu ruangannya terbuka, Vika masuk dengan wajah sumringah. "Lihat, apa yang sudah aku bawa." Vika melambaikan lembaran berkas di depan Rian, akta cerai.

Sementara di tempat lain ada Lea yang sejak tadi meremas jemarinya sendiri. Dia bingung juga takut. Nika rela melakukan segala cara agar dirinya mau menikah dengan suaminya. Rasanya tidak masuk akal, Lea pikir tidak ada perempuan di muka bumi yang sudi diduakan, bahkan dirinya yang buta pun tidak mau.

Saat ragu kian menyerang, pintu kamarnya diketuk untuk kemudian dibuka. Nika, perempuan yang sejatinya berparas ayu itu masuk. Yang membuat Lea mengerutkan dahi adalah dia tidak mendengar langkah kaki mendekat. Tapi gesekan halus dari benda bulat yang bergerak semakin dekat padanya.

"Bagaimana keadaanmu pagi ini, Lea?" Nika bertanya setelah berada di depan Lea yang berusaha mencari sumber suara Nika.

Nika mengulas senyum, wajahnya pucat, pipinya tirus, tubuhnya lemas. Keadaannya berbanding terbalik dengan Lea. Wanita cantik dengan fitur wajah disukai banyak pria. Apalagi jika Lea merawat diri.

Semua disempurnakan oleh sepasang netra hazel, warna mata yang terhitung langka, hanya lima persen dari populasi dunia yang memilikinya. Dan Lea adalah salah satunya. Ditatap makin dalam, maka kau akan tenggelam di kedalaman tak berdasar.

Sayang sekali, mata secantik itu tidak sempurna. Meski tidak ada yang sempurna di dunia, tapi mendekati adalah kemungkinan paling masuk akal. Dan Nika bertekad menyempurnakannya, sebagai hal terakhir yang bisa dia lakukan.

"Aku baik, Nyonya," balas Lea gugup.

"Jangan takut aku tidak akan melukaimu. Bisakah kita bicara dari hati ke hati?"

Dua hari setelahnya, Rian yang baru selesai mengoperasi seorang pasien, dikejutkan dengan telepon dari asistennya. "Di mana dia?" tanya Rian dengan napas memburu.

"Gedung di sayap kiri."

Rian bergerak ke sana dengan cepat. Jantungnya berdebar tak terkendali. Gedung di sayap kiri diperuntukkan untuk pasien dengan penyakit kanker. Gedung itu menangani berbagai macam kasus penyakit yang sebagian besar mematikan. Apa yang Lea lakukan di sana? Apa perempuan itu sedang sakit.

Perlu waktu agak lama bagi Rian untuk mencapai sayap kiri. Mengingat wilayah kerjanya ada di bagian kanan rumah sakit. Ketika sampai di sana, lelaki itu langsung dihadapkan pada pemandangan yang membuat Rian mengerutkan dahi.

"Siapa dia?" gumam Rian memperhatikan Lea berjalan di belakang seorang pria yang sedang mendorong kursi roda.

"Berapa kali kubilang padamu, jangan membuatnya stres. Lihat yang terjadi sekarang!" Zio, pria pemarah dan sedingin kulkas itu melampiaskan kemarahannya pada Lea yang terus mengekor langkah dua orang di depannya. Perempuan itu sudah mendapat tongkat penyelidik yang baru.

"Jangan memarahinya terus Zio. Kau membuatnya takut."

Zio diam saja, tidak membalas ucapan Nika.

"Dalam hidupku, aku belum merasa begitu percaya pada orang lain seperti aku percaya padamu."

Kalimat dari Nika terus terngiang di telinga Lea. Sampai suara lain menembus rungunya.

"Tunggu di sini, jangan ke mana-mana!" titah Zio.

Nika mengusap pelan tangan sang suami. Sementara Zio beberapa kali melempar pandangan tidak suka pada Lea, meski yang dipandang sama sekali tidak tahu.

Lea mengangguk tanpa bersuara. Perempuan itu dihadapkan pada kesunyian setelah Zio dan Nika masuk ke ruangan. Walau tak lama kemudian, dia mendengar langkah kaki mendekat, disusul suara yang sedang dia coba untuk lupakan.

"Lea, apa yang kamu lakukan di sini. Siapa yang ingin kamu temui di tempat ini?"

"Tidak ada," balas Lea dingin. Dia langsung tahu kalau itu Rian.

Rian seketika diserang sesal. Perempuan di depannya sudah berubah. "Lea, aku ingin bicara. Aku tidak jadi menceraikanmu. Ayo pulang."

Lea memicingkan mata. Tidak mau bercerai, apa maksud ucapan Rian. Dia tidak salah dengar kan? Kemarin dia menggebu-gebu ingin berpisah darinya, sekarang apa yang terjadi. Kenapa Rian berubah pikiran?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status