Perkataan ibu Rian terngiang sepanjang hari. Pria itu tak henti berpikir. Perjalanan dinas kemarin membuka lebar mata seorang Rian tentang Lea, istri buta yang tak pernah dia anggap.
"Istrimu sangat baik, dia mendonorkan darahnya untuk ayahmu saat semua orang tidak ada yang mau. Bahkan adikmu yang nota bene sangat sehat. Pokoknya kalau aku jadi kamu, aku tidak akan menyia-nyiakan perempuan baik seperti dia." Rian tahu kalau Lea berusaha memenuhi kewajibannya sebagai istri. Dia hanya baru tahu kalau yang tersaji untuknya saat sarapan adalah hasil racikan tangan Lea sendiri, terutama kopi, bahkan pakaian pun wanita itu sediakan. Meski buta tapi Lea mampu melakukan banyak hal layaknya orang normal. Kecuali untuk pemilihan warna. Tadi dia baru mengetahui kalau pakaian di lemarinya disusun berdasarkan warna. Meski terkesan asal, tapi Rian menyukai semua yang Lea lakukan untuknya. "Jadi selama ini Lea yang sudah mengurus hidupku, aku pikir Vika yang melakukannya," gumam Rian. Ditambah pengakuan seorang ART yang kerap membantu Lea saat menyiapkan keperluan Rian. Penyesalan lelaki itu mulai tumbuh. Benar kata ayahnya. "Meski Lea tidak bisa melihat, tapi dia seribu kali lebih baik dari wanita pilihanmu!" Rian menjambak rambutnya sendiri. Sekarang ke mana dia harus mencari Lea, ke mana perempuan itu pergi. Tanpa uang, tanpa identitas, tidak punya sanak saudara, Lea sebatang kara sejak musibah itu terjadi. Musibah yang terjadi karena kelalaiannya dan Vika. Lebih parahnya dia tidak tahu kalau Vika berteman dengan Lea hanya untuk membuat wanita itu terlihat makin buruk. "Di mana kamu Lea?" gumam Rian dengan kepala berdenyut nyeri. Saat itulah pintu ruangannya terbuka, Vika masuk dengan wajah sumringah. "Lihat, apa yang sudah aku bawa." Vika melambaikan lembaran berkas di depan Rian, akta cerai. Sementara di tempat lain ada Lea yang sejak tadi meremas jemarinya sendiri. Dia bingung juga takut. Nika rela melakukan segala cara agar dirinya mau menikah dengan suaminya. Rasanya tidak masuk akal, Lea pikir tidak ada perempuan di muka bumi yang sudi diduakan, bahkan dirinya yang buta pun tidak mau. Saat ragu kian menyerang, pintu kamarnya diketuk untuk kemudian dibuka. Nika, perempuan yang sejatinya berparas ayu itu masuk. Yang membuat Lea mengerutkan dahi adalah dia tidak mendengar langkah kaki mendekat. Tapi gesekan halus dari benda bulat yang bergerak semakin dekat padanya. "Bagaimana keadaanmu pagi ini, Lea?" Nika bertanya setelah berada di depan Lea yang berusaha mencari sumber suara Nika. Nika mengulas senyum, wajahnya pucat, pipinya tirus, tubuhnya lemas. Keadaannya berbanding terbalik dengan Lea. Wanita cantik dengan fitur wajah disukai banyak pria. Apalagi jika Lea merawat diri. Semua disempurnakan oleh sepasang netra hazel, warna mata yang terhitung langka, hanya lima persen dari populasi dunia yang memilikinya. Dan Lea adalah salah satunya. Ditatap makin dalam, maka kau akan tenggelam di kedalaman tak berdasar. Sayang sekali, mata secantik itu tidak sempurna. Meski tidak ada yang sempurna di dunia, tapi mendekati adalah kemungkinan paling masuk akal. Dan Nika bertekad menyempurnakannya, sebagai hal terakhir yang bisa dia lakukan. "Aku baik, Nyonya," balas Lea gugup. "Jangan takut aku tidak akan melukaimu. Bisakah kita bicara dari hati ke hati?" Dua hari setelahnya, Rian yang baru selesai mengoperasi seorang pasien, dikejutkan dengan telepon dari asistennya. "Di mana dia?" tanya Rian dengan napas memburu. "Gedung di sayap kiri." Rian bergerak ke sana dengan cepat. Jantungnya berdebar tak terkendali. Gedung di sayap kiri diperuntukkan untuk pasien dengan penyakit kanker. Gedung itu menangani berbagai macam kasus penyakit yang sebagian besar mematikan. Apa yang Lea lakukan di sana? Apa perempuan itu sedang sakit. Perlu waktu agak lama bagi Rian untuk mencapai sayap kiri. Mengingat wilayah kerjanya ada di bagian kanan rumah sakit. Ketika sampai di sana, lelaki itu langsung dihadapkan pada pemandangan yang membuat Rian mengerutkan dahi. "Siapa dia?" gumam Rian memperhatikan Lea berjalan di belakang seorang pria yang sedang mendorong kursi roda. "Berapa kali kubilang padamu, jangan membuatnya stres. Lihat yang terjadi sekarang!" Zio, pria pemarah dan sedingin kulkas itu melampiaskan kemarahannya pada Lea yang terus mengekor langkah dua orang di depannya. Perempuan itu sudah mendapat tongkat penyelidik yang baru. "Jangan memarahinya terus Zio. Kau membuatnya takut." Zio diam saja, tidak membalas ucapan Nika. "Dalam hidupku, aku belum merasa begitu percaya pada orang lain seperti aku percaya padamu." Kalimat dari Nika terus terngiang di telinga Lea. Sampai suara lain menembus rungunya. "Tunggu di sini, jangan ke mana-mana!" titah Zio. Nika mengusap pelan tangan sang suami. Sementara Zio beberapa kali melempar pandangan tidak suka pada Lea, meski yang dipandang sama sekali tidak tahu. Lea mengangguk tanpa bersuara. Perempuan itu dihadapkan pada kesunyian setelah Zio dan Nika masuk ke ruangan. Walau tak lama kemudian, dia mendengar langkah kaki mendekat, disusul suara yang sedang dia coba untuk lupakan. "Lea, apa yang kamu lakukan di sini. Siapa yang ingin kamu temui di tempat ini?" "Tidak ada," balas Lea dingin. Dia langsung tahu kalau itu Rian. Rian seketika diserang sesal. Perempuan di depannya sudah berubah. "Lea, aku ingin bicara. Aku tidak jadi menceraikanmu. Ayo pulang." Lea memicingkan mata. Tidak mau bercerai, apa maksud ucapan Rian. Dia tidak salah dengar kan? Kemarin dia menggebu-gebu ingin berpisah darinya, sekarang apa yang terjadi. Kenapa Rian berubah pikiran?Lea sempat terkejut mendengar ucapan pria yang tak lain adalah Rian. Bukannya hari itu lelaki tersebut yang bersikukuh ingin berpisah dengannya. Kenapa sekarang Rian mengubah keputusannya?Apa ada rencana lain yang sedang Rian jalankan. Apa ayah mertuanya tidak jadi mewariskan rumah sakit miliknya jika Rian bercerai dengannya. Sebab alasan itulah yang dipakai papa Rian untuk memaksa sang putra menikahi Lea waktu itu selain untuk menebus kesalahannya. Rian tentu tak punya pilihan lain selain menurut, atau rumah sakit itu akan dikelola yayasan. Sudah pasti Rian tidak mau itu terjadi.Namun Lea sudah muak dengan semua yang dia dapatkan dua tahun ini. Cukup sudah, hatinya telah mati rasa. Suami yang tidak pernah menghargainya, teman yang hanya menusuknya dari belakang. Keluarga yang sama sekali acuh padanya.Tidak! Lea tidak mau kembali ke sama. Karena itu jawaban Lea berikutnya membuat Rian terkejut. Rian pikir Lea tipe yang mudah dibujuk, dibaik-baikin sedikit langsung luluh hatinya."
Rian menghela napas saat mendapati Vika sudah menyambutnya di rumah, saat dia pulang setelah dinasnya selesai. "Sayang, mau kusiapkan air mandi?" tanya perempuan yang memakai dres rumahan lumayan menggoda. Baru Rian sadari kalau Vika memang sengaja melakukan semua, untuk menjauhkannya dari Lea. Vika akan ada di antara dia dan Lea, selalu mencuri waktu agar dirinya dan Lea tak punya kesempatan untuk sekedar mendekatkan diri."Aku akan mandi sendiri di kamarku." Jawaban Rian membuat Vika terkejut. Rian tak pernah menolak tiap kali Vika menawarkan diri untuk melayani lelaki itu. Tingkah Vika sepertinya akan makin menjadi, mengingat Lea sudah berhasil dia singkirkan dan statusnya adalah tunangan Rian.Namun kali ini dia dibuat terkejut saat Rian terlihat acuh padanya. Apa yang terjadi? Batin Vika. Terlebih mama Rian kemarin bercerita kalau Rian langsung mencari Lea waktu baru pulang dari tugas keluar kota."Sudah jadi mantan pun, masih sok-sok an cari perhatian. Lihat saja, tidak akan
Lea hanya bisa terdiam mendengar beberapa orang bicara di sekitarnya. Dia tidak tahu bagaimana ekspresi orang-orang itu, satu yang jelas mereka dilanda panik."Kondisinya sangat baik, bisa menjalani operasi kapan saja. Tapi untuk pernikahan, kita tidak bisa melakukannya sekarang. Nona Lea baru saja bercerai, kita masih harus menunggu.""Tapi keinginan Nyonya Annika sebelum koma adalah ...."Koma? Nyonya itu koma? Lea hanya bisa mencengkeram tongkat penyelidiknya erat saat telinganya dengan jelas mendengar seseorang menyebut Nika koma."Semua keputusan ada di tangan Anda, Tuan Alkanders," kata satu suara lain.Saat itu Lea tidak tahu kalau Zio sedang menatap tajam ke arahnya. Hatinya perih, sedih. Namun dia terlanjur berjanji pada Nika untuk memenuhi permintaan sang istri. Tidak peduli bagaimana, Nika ingin semua berjalan seperti keinginannya, andai hal paling buruk terjadi."Lakukan untukku dan masa depanmu, kamu tidak akan menyesal sudah mengambil keputusan ini." Kalimat yang diuca
Suara langkah kaki mendekat, membuat semua orang berhenti bicara."Oh, maaf jika saya mengganggu acara kalian." Suara itu terdengar lembut tapi tegas. Setelahnya perempuan tersebut menjauh dari ruangan tadi. Tahu kalau kehadirannya sama sekali tidak diharapkan. Di belakangnya derap langkah lain mengikuti."Kamu tahu kan acara hari ini apa? Kamu sengaja ingin mengacaukannya?"Lea, nama perempuan tadi berbalik arah saat tangannya di cekal. Dia tampak memandang pria yang berdiri di depannya, padahal sejatinya dia tidak bisa melihat."Aku pulang apa itu salah, Mas Rian?" "Sudah bilang kalau aku akan menikah dengan Vika.""Kalau begitu ceraikan aku, Mas! Agar aku bisa pergi dari sini!""Aku akan melakukannya jika ayah mengizinkannya!""Sayang, kamu ngapain?" Suara lain terdengar. Lea dengan segera menepis cekalan tangan suaminya. Perempuan itu menjauh pergi, langkahnya tenang meski dia tidak bisa melihat. Wanita barusan, Lea membencinya. Dia musuh dalam selimut yang baru dia sadari belak
Azalea Graziela, nama wanita itu, langkahnya begitu tenang saat memasuki sebuah kafe tak jauh dari tokonya. Tak ada raut malu saat dia harus menggunakan tongkat penyelidik untuk membantunya menemukan jalan.Kecelakaan dua tahun lalu membuat Lea total kehilangan penglihatannya. Toko bunga yang dia bangun bersama sang ayah hancur karena sebuah mobil menabraknya. Ayahnya meninggal saat itu juga, sementara dirinya mengalami kebutaan setelah kornea mata miliknya dihujani pecahan kaca, saat dia terlambat memejamkan mata. Karena peristiwa itulah Rian terpaksa menikahinya, untuk menebus kesalahannya. Tak berapa Lea sudah duduk di depan seorang wanita yang parasnya masih menyisakan kecantikan meski pias mendominasi."Halo, Lea," sapa perempuan itu lebih dulu."Halo, Nyonya. Maaf menunggu lama," balas Lea sambil tersenyum. "Tawaranku masih berlaku, apa kamu berubah pikiran?""Kenapa Nyonya mau saya melakukannya? Saya tidak kenal Nyonya, selain sebagai pelanggan toko bunga saya."Kemarin Lea
Tubuh Lea terasa panas, tapi juga dingin di waktu bersamaan. Perempuan itu mengigau, memanggil bapak sepanjang pagi. Hari telah berganti warna, tapi rasanya tetap gelap untuk dunia Lea."Suhu tubuhnya terus naik. Kita perlu membawanya ke rumah sakit."Sayup terdengar suara menembus rungu Lea yang setengah sadar. "Tidak mau ke rumah sakit," lirihnya menarik perhatian sosok yang sejak tadi bicara."Tidak bisa, kamu harus sembuh. Fisikmu harus kuat." Kalimat lembut terdengar lagi, Lea mengenali pemilik suara tadi."Nyonya, Lea tidak mau sembuh, Lea mau ikut bapak sama ibu saja."Perempuan itu beralih memandang seorang pria yang sejak tadi hanya diam tanpa bicara. Lelaki dengan aura dominasi dan paras tampan tapi dingin tergambar jelas di wajahnya."Jangan begitu Zio, kamu tidak kasihan padanya.""Kasihan?" kutip pria bernama Zio."Kamu lebih dari kasihan padanya. Kalau tidak, mana mungkin kamu membawanya pulang saat bertemu di jalan," goda si perempuan.Zio memalingkan wajah, tidak mau