Share

BAB 3 SALAH SANGKA

Tubuh Lea terasa panas, tapi juga dingin di waktu bersamaan. Perempuan itu mengigau, memanggil bapak sepanjang pagi. Hari telah berganti warna, tapi rasanya tetap gelap untuk dunia Lea.

"Suhu tubuhnya terus naik. Kita perlu membawanya ke rumah sakit."

Sayup terdengar suara menembus rungu Lea yang setengah sadar.

"Tidak mau ke rumah sakit," lirihnya menarik perhatian sosok yang sejak tadi bicara.

"Tidak bisa, kamu harus sembuh. Fisikmu harus kuat."

Kalimat lembut terdengar lagi, Lea mengenali pemilik suara tadi.

"Nyonya, Lea tidak mau sembuh, Lea mau ikut bapak sama ibu saja."

Perempuan itu beralih memandang seorang pria yang sejak tadi hanya diam tanpa bicara. Lelaki dengan aura dominasi dan paras tampan tapi dingin tergambar jelas di wajahnya.

"Jangan begitu Zio, kamu tidak kasihan padanya."

"Kasihan?" kutip pria bernama Zio.

"Kamu lebih dari kasihan padanya. Kalau tidak, mana mungkin kamu membawanya pulang saat bertemu di jalan," goda si perempuan.

Zio memalingkan wajah, tidak mau mengaku. Sungguh di luar prediksi, dia baru kembali dari luar kota di pagi buta dikejutkan dengan ucapan si supir yang menyebut ada orang gila berkeliaran di jalanan.

Siapa yang menyangka jika itu adalah Lea yang berjalan terseok-seok dengan pakaian basah kuyup, wajah pucat. Lea bahkan pingsan saat Zio baru membuka pintu ingin memeriksa.

"Kamu tahu, Sayang. Aku bahagia, akhirnya kamu bisa menoleh pada perempuan lain. Setidaknya aku tahu siapa dia, dan aku tahu dia baik. Jadi jika saatnya aku ...."

"Bisa tidak kau tidak menyebut kata itu. Aku benci!"

Rahang Zio mengeras tapi tatapannya berubah sendu saat menatap Nika. Perempuan cantik yang tersenyum lembut padanya. Zio sedang berusaha meredam emosinya.

"Semua orang akan berakhir ke sana. Termasuk aku, tapi aku senang. Aku bisa mempersiapkan semua untukmu sebelum aku pergi."

Zio melemah, dia tak pernah bisa membayangkan hari itu terjadi. Semua sudah jelas, tidak ada harapan lagi. Wanita yang dia cinta dengan segenap hati akan segera meninggalkannya. Kekayaannya tidak bisa membuat Nika tinggal.

"Tidak bisakah kamu tinggal sebentar lagi?" Pinta Zio dengan netra berkaca-kaca.

Dia kecupi jemari Nika penuh cinta. Perempuan ini hidupnya. Hati Zio sebenarnya diliputi kesedihan. Namun pria itu tidak bisa menunjukkannya di depan sang istri.

"Andai aku bisa. Aku sangat mau, Sayang. Tapi apa mau dikata, aku tidak diizinkan untuk melakukannya. Tapi percayalah, aku sangat bahagia selama berada di sisimu. Cintamu membuatku sempurna juga kuat, sampai aku menemukannya."

Nika menoleh ke arah Lea yang perlahan mulai tenang. Diikuti Zio juga melakukan hal yang sama.

"Tapi aku membencinya," ujar Zio terus terang.

Senyum Nika merekah. "Aku yakin kamu akan jatuh cinta padanya. Kamu akan tahu seberapa tulus hatinya. Satu yang pasti kamu akan mencintainya melebihi perasaanmu padaku."

Zio tidak menjawab, hanya gesture tubuhnya saja yang menunjukkan kalau lelaki itu tidak rela Nika meninggalkannya. Juga sikap Zio yang dominan kasar pada Lea.

"Itu hanya soal waktu, aku yang tinggal kenangan akan kalah dengan mereka yang masih hidup. Percayalah."

Nika tersenyum meski sudut hatinya terasa nyeri. Emosinya mendadak berubah, Nika terlalu sentimentil pagi ini, dan itu tidak baik untuk kondisinya. Perempuan itu melemas detik setelahnya dengan Zio berteriak panik saat itu juga.

***

"Sa-saya mau dibawa ke mana?" Lea bertanya dengan wajah takut terlihat jelas di parasnya. Dua hari dirawat keadaan Lea mulai membaik. Dia tidak tahu di mana dia berada. Semua terasa asing untuk dirinya yang tidak bisa melihat indahnya dunia dua tahun ini.

"Kau hanya perlu diam dan ikuti aku!"

Suara dingin membekukan itu membuat Lea tersentak. Dia memasang tajam dua telinganya. Suara pria itu pernah dia dengar tapi di mana. Belum habis dengan rasa herannya, Lea masih harus dipaksa untuk mendengar ke mana langkah sang pria mengarah.

"Kau lambat seperti siput!" maki suara tersebut.

Dan Lea terjatuh saat itu juga. Dengusan kesal terdengar dari arah Zio. Lea kehilangan nyali, dia tahu Zio tidak suka padanya.

Lea tersentak ketika satu tangan menarik lengannya. Menyeretnya pergi dari sana. Lea berontak, tapi lengan kecilnya tak mampu melepaskan cekalan kasar pria itu.

"Lepas! Saya bisa jalan sendiri!"

"Lalu nyemplung ke selokan?"

Lea terdiam seketika, dia tidak tahu ada selokan di sekitarnya. Dia tidak mencium aroma lembab air seperti saat dia dekat dengan benda cair itu.

"Oh kamu sudah datang? Jadi kita bisa langsung saja tanda tangani surat-suratnya."

Lea mengerutkan dahi dengan sang pria tampak menghela napas.

Satu minggu sejak Lea diusir dari rumah. Hari itu Rian pulang dari dinas luarnya. Tak seperti biasanya. Lelaki itu langsung menuju kamar Lea. Raut wajahnya penuh emosi tak terbaca.

"Lea, Lea, Lea kamu di mana?" Panggil Rian tak sabaran.

Pria itu bahkan nekat membuka pintu kamar mandi dan hasilnya zonk. Yang dia cari tidak ada. Di toko bunga juga tidak ada, padahal perempuan itu paling suka ada di sana.

"Kenapa kamu balik dinas ribut-ribut? Apa yang kau cari?"

"Lea, di mana dia?" cecar Rian pada ibunya yang berada di ambang pintu.

"Dia langsung pergi begitu kau ceraikan. Senang sekali sepertinya," balas mama Rian.

Pergi? Ke mana? Dia bahkan belum memberitahukan alamat tempat tinggalnya yang baru pada Lea. Atau mungkin Vika yang sudah memberi tahu Lea.

Rian segera menghubungi sang asisten, hingga jawaban tak terduga dia terima. Detik setelahnya Rian melayangkan tatapan marah pada ibunya.

"Di mana Lea? Ke mana Lea pergi? Rumah yang aku berikan untuknya kosong tak berpenghuni, toko bunganya juga tidak pernah buka."

Mama Rian terkejut setengah mati. Rian belum pernah bersikap seperti ini padanya, apalagi hanya karena Lea.

"Mama bilang dia pergi. Ada yang melihat kalau dia dijemput mobil mewah saat baru keluar rumah kita."

"Tidak mungkin!"

"Kamu jangan salah sangka, mantan istrimu itu meski buta tapi kelakuannya melebihi orang yang bisa melihat. Itulah kenapa kami tidak suka padanya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status