Tubuh Lea terasa panas, tapi juga dingin di waktu bersamaan. Perempuan itu mengigau, memanggil bapak sepanjang pagi. Hari telah berganti warna, tapi rasanya tetap gelap untuk dunia Lea.
"Suhu tubuhnya terus naik. Kita perlu membawanya ke rumah sakit." Sayup terdengar suara menembus rungu Lea yang setengah sadar. "Tidak mau ke rumah sakit," lirihnya menarik perhatian sosok yang sejak tadi bicara. "Tidak bisa, kamu harus sembuh. Fisikmu harus kuat." Kalimat lembut terdengar lagi, Lea mengenali pemilik suara tadi. "Nyonya, Lea tidak mau sembuh, Lea mau ikut bapak sama ibu saja." Perempuan itu beralih memandang seorang pria yang sejak tadi hanya diam tanpa bicara. Lelaki dengan aura dominasi dan paras tampan tapi dingin tergambar jelas di wajahnya. "Jangan begitu Zio, kamu tidak kasihan padanya." "Kasihan?" kutip pria bernama Zio. "Kamu lebih dari kasihan padanya. Kalau tidak, mana mungkin kamu membawanya pulang saat bertemu di jalan," goda si perempuan. Zio memalingkan wajah, tidak mau mengaku. Sungguh di luar prediksi, dia baru kembali dari luar kota di pagi buta dikejutkan dengan ucapan si supir yang menyebut ada orang gila berkeliaran di jalanan. Siapa yang menyangka jika itu adalah Lea yang berjalan terseok-seok dengan pakaian basah kuyup, wajah pucat. Lea bahkan pingsan saat Zio baru membuka pintu ingin memeriksa. "Kamu tahu, Sayang. Aku bahagia, akhirnya kamu bisa menoleh pada perempuan lain. Setidaknya aku tahu siapa dia, dan aku tahu dia baik. Jadi jika saatnya aku ...." "Bisa tidak kau tidak menyebut kata itu. Aku benci!" Rahang Zio mengeras tapi tatapannya berubah sendu saat menatap Nika. Perempuan cantik yang tersenyum lembut padanya. Zio sedang berusaha meredam emosinya. "Semua orang akan berakhir ke sana. Termasuk aku, tapi aku senang. Aku bisa mempersiapkan semua untukmu sebelum aku pergi." Zio melemah, dia tak pernah bisa membayangkan hari itu terjadi. Semua sudah jelas, tidak ada harapan lagi. Wanita yang dia cinta dengan segenap hati akan segera meninggalkannya. Kekayaannya tidak bisa membuat Nika tinggal. "Tidak bisakah kamu tinggal sebentar lagi?" Pinta Zio dengan netra berkaca-kaca. Dia kecupi jemari Nika penuh cinta. Perempuan ini hidupnya. Hati Zio sebenarnya diliputi kesedihan. Namun pria itu tidak bisa menunjukkannya di depan sang istri. "Andai aku bisa. Aku sangat mau, Sayang. Tapi apa mau dikata, aku tidak diizinkan untuk melakukannya. Tapi percayalah, aku sangat bahagia selama berada di sisimu. Cintamu membuatku sempurna juga kuat, sampai aku menemukannya." Nika menoleh ke arah Lea yang perlahan mulai tenang. Diikuti Zio juga melakukan hal yang sama. "Tapi aku membencinya," ujar Zio terus terang. Senyum Nika merekah. "Aku yakin kamu akan jatuh cinta padanya. Kamu akan tahu seberapa tulus hatinya. Satu yang pasti kamu akan mencintainya melebihi perasaanmu padaku." Zio tidak menjawab, hanya gesture tubuhnya saja yang menunjukkan kalau lelaki itu tidak rela Nika meninggalkannya. Juga sikap Zio yang dominan kasar pada Lea. "Itu hanya soal waktu, aku yang tinggal kenangan akan kalah dengan mereka yang masih hidup. Percayalah." Nika tersenyum meski sudut hatinya terasa nyeri. Emosinya mendadak berubah, Nika terlalu sentimentil pagi ini, dan itu tidak baik untuk kondisinya. Perempuan itu melemas detik setelahnya dengan Zio berteriak panik saat itu juga. *** "Sa-saya mau dibawa ke mana?" Lea bertanya dengan wajah takut terlihat jelas di parasnya. Dua hari dirawat keadaan Lea mulai membaik. Dia tidak tahu di mana dia berada. Semua terasa asing untuk dirinya yang tidak bisa melihat indahnya dunia dua tahun ini. "Kau hanya perlu diam dan ikuti aku!" Suara dingin membekukan itu membuat Lea tersentak. Dia memasang tajam dua telinganya. Suara pria itu pernah dia dengar tapi di mana. Belum habis dengan rasa herannya, Lea masih harus dipaksa untuk mendengar ke mana langkah sang pria mengarah. "Kau lambat seperti siput!" maki suara tersebut. Dan Lea terjatuh saat itu juga. Dengusan kesal terdengar dari arah Zio. Lea kehilangan nyali, dia tahu Zio tidak suka padanya. Lea tersentak ketika satu tangan menarik lengannya. Menyeretnya pergi dari sana. Lea berontak, tapi lengan kecilnya tak mampu melepaskan cekalan kasar pria itu. "Lepas! Saya bisa jalan sendiri!" "Lalu nyemplung ke selokan?" Lea terdiam seketika, dia tidak tahu ada selokan di sekitarnya. Dia tidak mencium aroma lembab air seperti saat dia dekat dengan benda cair itu. "Oh kamu sudah datang? Jadi kita bisa langsung saja tanda tangani surat-suratnya." Lea mengerutkan dahi dengan sang pria tampak menghela napas. Satu minggu sejak Lea diusir dari rumah. Hari itu Rian pulang dari dinas luarnya. Tak seperti biasanya. Lelaki itu langsung menuju kamar Lea. Raut wajahnya penuh emosi tak terbaca. "Lea, Lea, Lea kamu di mana?" Panggil Rian tak sabaran. Pria itu bahkan nekat membuka pintu kamar mandi dan hasilnya zonk. Yang dia cari tidak ada. Di toko bunga juga tidak ada, padahal perempuan itu paling suka ada di sana. "Kenapa kamu balik dinas ribut-ribut? Apa yang kau cari?" "Lea, di mana dia?" cecar Rian pada ibunya yang berada di ambang pintu. "Dia langsung pergi begitu kau ceraikan. Senang sekali sepertinya," balas mama Rian. Pergi? Ke mana? Dia bahkan belum memberitahukan alamat tempat tinggalnya yang baru pada Lea. Atau mungkin Vika yang sudah memberi tahu Lea. Rian segera menghubungi sang asisten, hingga jawaban tak terduga dia terima. Detik setelahnya Rian melayangkan tatapan marah pada ibunya. "Di mana Lea? Ke mana Lea pergi? Rumah yang aku berikan untuknya kosong tak berpenghuni, toko bunganya juga tidak pernah buka." Mama Rian terkejut setengah mati. Rian belum pernah bersikap seperti ini padanya, apalagi hanya karena Lea. "Mama bilang dia pergi. Ada yang melihat kalau dia dijemput mobil mewah saat baru keluar rumah kita." "Tidak mungkin!" "Kamu jangan salah sangka, mantan istrimu itu meski buta tapi kelakuannya melebihi orang yang bisa melihat. Itulah kenapa kami tidak suka padanya."Perkataan ibu Rian terngiang sepanjang hari. Pria itu tak henti berpikir. Perjalanan dinas kemarin membuka lebar mata seorang Rian tentang Lea, istri buta yang tak pernah dia anggap."Istrimu sangat baik, dia mendonorkan darahnya untuk ayahmu saat semua orang tidak ada yang mau. Bahkan adikmu yang nota bene sangat sehat. Pokoknya kalau aku jadi kamu, aku tidak akan menyia-nyiakan perempuan baik seperti dia."Rian tahu kalau Lea berusaha memenuhi kewajibannya sebagai istri. Dia hanya baru tahu kalau yang tersaji untuknya saat sarapan adalah hasil racikan tangan Lea sendiri, terutama kopi, bahkan pakaian pun wanita itu sediakan. Meski buta tapi Lea mampu melakukan banyak hal layaknya orang normal. Kecuali untuk pemilihan warna. Tadi dia baru mengetahui kalau pakaian di lemarinya disusun berdasarkan warna. Meski terkesan asal, tapi Rian menyukai semua yang Lea lakukan untuknya."Jadi selama ini Lea yang sudah mengurus hidupku, aku pikir Vika yang melakukannya," gumam Rian.Ditambah peng
Lea sempat terkejut mendengar ucapan pria yang tak lain adalah Rian. Bukannya hari itu lelaki tersebut yang bersikukuh ingin berpisah dengannya. Kenapa sekarang Rian mengubah keputusannya?Apa ada rencana lain yang sedang Rian jalankan. Apa ayah mertuanya tidak jadi mewariskan rumah sakit miliknya jika Rian bercerai dengannya. Sebab alasan itulah yang dipakai papa Rian untuk memaksa sang putra menikahi Lea waktu itu selain untuk menebus kesalahannya. Rian tentu tak punya pilihan lain selain menurut, atau rumah sakit itu akan dikelola yayasan. Sudah pasti Rian tidak mau itu terjadi.Namun Lea sudah muak dengan semua yang dia dapatkan dua tahun ini. Cukup sudah, hatinya telah mati rasa. Suami yang tidak pernah menghargainya, teman yang hanya menusuknya dari belakang. Keluarga yang sama sekali acuh padanya.Tidak! Lea tidak mau kembali ke sama. Karena itu jawaban Lea berikutnya membuat Rian terkejut. Rian pikir Lea tipe yang mudah dibujuk, dibaik-baikin sedikit langsung luluh hatinya."
Rian menghela napas saat mendapati Vika sudah menyambutnya di rumah, saat dia pulang setelah dinasnya selesai. "Sayang, mau kusiapkan air mandi?" tanya perempuan yang memakai dres rumahan lumayan menggoda. Baru Rian sadari kalau Vika memang sengaja melakukan semua, untuk menjauhkannya dari Lea. Vika akan ada di antara dia dan Lea, selalu mencuri waktu agar dirinya dan Lea tak punya kesempatan untuk sekedar mendekatkan diri."Aku akan mandi sendiri di kamarku." Jawaban Rian membuat Vika terkejut. Rian tak pernah menolak tiap kali Vika menawarkan diri untuk melayani lelaki itu. Tingkah Vika sepertinya akan makin menjadi, mengingat Lea sudah berhasil dia singkirkan dan statusnya adalah tunangan Rian.Namun kali ini dia dibuat terkejut saat Rian terlihat acuh padanya. Apa yang terjadi? Batin Vika. Terlebih mama Rian kemarin bercerita kalau Rian langsung mencari Lea waktu baru pulang dari tugas keluar kota."Sudah jadi mantan pun, masih sok-sok an cari perhatian. Lihat saja, tidak akan
Lea hanya bisa terdiam mendengar beberapa orang bicara di sekitarnya. Dia tidak tahu bagaimana ekspresi orang-orang itu, satu yang jelas mereka dilanda panik."Kondisinya sangat baik, bisa menjalani operasi kapan saja. Tapi untuk pernikahan, kita tidak bisa melakukannya sekarang. Nona Lea baru saja bercerai, kita masih harus menunggu.""Tapi keinginan Nyonya Annika sebelum koma adalah ...."Koma? Nyonya itu koma? Lea hanya bisa mencengkeram tongkat penyelidiknya erat saat telinganya dengan jelas mendengar seseorang menyebut Nika koma."Semua keputusan ada di tangan Anda, Tuan Alkanders," kata satu suara lain.Saat itu Lea tidak tahu kalau Zio sedang menatap tajam ke arahnya. Hatinya perih, sedih. Namun dia terlanjur berjanji pada Nika untuk memenuhi permintaan sang istri. Tidak peduli bagaimana, Nika ingin semua berjalan seperti keinginannya, andai hal paling buruk terjadi."Lakukan untukku dan masa depanmu, kamu tidak akan menyesal sudah mengambil keputusan ini." Kalimat yang diuca
Tidak ada yang bicara selama perjalanan pulang. Lea hanya diam, pun dengan Zio. Pria itu yang membuatnya gagal naik taksi. Walau insiden tak menyenangkan sempat terjadi, ketika Rian protes saat Zio akan mengantar Lea pulang.Dua pria itu sempat berdebat, Rian lebih banyak mengoceh dibanding Zio yang lebih tenang. Rian masih sibuk bicara waktu Lea dengan santai meninggalkan dua pria yang sontak terkejut. Tidak menyangka kalau Lea akan mengabaikan mereka.Dasar si tukang paksa. Tanpa banyak kata, Zio menarik tangan Lea lantas memasukkannya ke dalam mobil, untuk kemudian melaju pergi dari tempat itu. Meninggalkan Rian yang hanya bisa mengepalkan tangan, dia kalah lagi dari Zio."Akan ada yang menjagamu dari luar."Hanya itu yang Zio katakan sebelum Lea keluar dari mobil. Lea hanya mengangguk, sungguh perempuan yang tidak banyak protes, tapi Lea punya potensi untuk memberontak yang sangat kentara. Lea berjalan masuk ke dalam rumah, mengunci pintu. Langsung menuju ke kamarnya. Seorang ART
Hujan turun rintik-rintik ketika kaki Lea menginjak lantai rumah sakit. Dibimbing Erna, Lea menuju ruangan tempat Nika dirawat. Jantung perempuan itu berdentam tidak karuan. Semua bayangan buruk memenuhi kepalanya.Begitu sampai di ruangan Nika, Lea membeku mendengar keributan yang terjadi. Berbagai suara yang membuat Lea menyimpulkan betapa kacaunya keadaan saat itu. Tak ada yang bicara pada Lea, hanya ada Erna yang terus menggenggam tangan Lea saat keduanya duduk di sofa. "Mbak, apa yang terjadi?"Erna tak menjawab, sebab perempuan itu sedang melihat tuannya yang tampak hancur sementara dokter sejak tadi keluar masuk ke tempat Nika dirawat. "I-itu. Nyonya ...."Lea bisa mendengar getar kepanikan dari suara Erna. Lea menyimpulkan kalau keadaan sedang tidak baik-baik saja. Haruskah Lea ada di sana? Dia adalah orang luar, tidak sepatutnya berada di sana."Mbak, kenapa kita tidak pulang saja?" tanya Lea ketika hatinya berujar hal buruk bisa saja terjadi."Tuan mau Non ada di sini.""
"Kenapa kamu tidak bilang?" Seorang perempuan dengan wajah cantik, badan tinggi semampai mendekati Zio. Tanpa ragu langsung memeluk tubuh tinggi besar Zio. Han, sang aspri menyingkir, bagaimanapun perempuan itu statusnya lumayan dekat dengan Zio dan Nika. "Dia pergi, Nancy. Dia tinggalkan aku." Kata Zio. Pria itu tampak rapuh. Nancy sendiri hanya bisa menepuk pelan punggung Zio, tanpa banyak bicara. Di depan sana peti mati Nika sudah selesai dipersiapkan. Bahkan acara pemakaman hampir dimulai. "Mama sedang ke sini. Archie dan Zico juga," info Nancy. Mendengar tiga orang itu akan datang, Han lekas pergi ke depan untuk menyambut. "Kamu tidak boleh sedih di depan Archie. Dia sudah kehilangan mamanya, jangan biarkan dia kehilangan senyum kamu juga," Nancy menguatkan Zio. Zio mengusap cepat air matanya, lantas menarik napas dalam. Benar, Archie memerlukan dirinya. Dia tidak boleh terlihat sedih di mata bocah lima tahun itu. Tak berapa lama, suara Archie berceloteh terdengar
Rian meremas kuat rambutnya. Frustrasi melanda pria itu. Bagaimana dia tidak stres? Di rumah dia ditempeli Vika. Di rumah sakit dia sibuk dengan urusan pasien ditambah keberadaan Lea yang belum dia ketahui di mana rimbanya. Mantan suami Lea kehilangan jejak wanita itu sejak seminggu terakhir. "Di mana dia sekarang. Rumahnya kosong. Di rumah sakit juga tidak ada," gumam Rian.Otaknya terus berpikir, ke mana kira-kira Lea pergi. Perempuan itu sebatang kara, setahu Rian, Lea tidak punya saudara. Lantas ada di mana Lea sekarang.Dalam kerumitan pikiran yang tengah di rasa, Rian kedatangan tamu, seorang teman yang hari itu bercerita soal kebaikan Lea."Aku baru dengar dari Vika, kau bercerai dengan Lea?"Rian mengangguk dengan sang teman mendesah penuh sesal. "Kau akan menyesal sudah melepasnya," kata sahabat Rian.Rian tak pernah tahu kalau temannya itu tahu kalau Lea sedang berada dalam masa pemulihan paska operasi penggantian kornea mata. Satu prosedur di mana Lea berkesempatan bisa me