Dua hari berlalu, Akhirnya polisi menetapkan Danu sebagai pelaku pelenyapan Ridwan, dengan bukti bercak darah di pagar adalah milik Danu, serta Danu tidak memliki alibi, dan juga terlihat oleh kamera dasbor mobil salah satu penguna jalan, melihat mobil Danu, terpakir 100 meter dari villa milik Ridwan. Berdasarkan penyelidikan itu akhirnya Danu ditanggkap, tapi sayang, Danu tidak mengungkap keterlibatan Risma dan Abram. Panangkapan Danu, dipublikasikan di media sosial dan televisi.Alan yang melihat hal itu menjadi geram, ia tidak menyangka, jika patner kerjanya adalah orang yang melenyapkan Ridwan dan juga ternyata ayah kandung dari Abram.“Zahira seharusnya kamu mengatakan tentang Pak Danu padaku, dari pada kamu menyebarkannya di media sosial,”tuduh Alan pada Zahira, yang saat itu sama –sama melihat berita di televisi.“Sudah aku bilang, aku memang menyuruh Kak Via, untuk menguntit Pak Danu, tapi aku tidak menyebarkan vidio dan foto itu Mas,”jawab kesal Zahira, yang terus dituduh Ala
Zahira sudah mendapatkan perawatan di rumah sakit terdekat, disana ada beberapa korban lain yang dibawa ke rumah sakit juga, termasuk Abram.“Anda sudah sadar Pak Abram?”tanya perawat yang berdiri disamping brankar.“Di mana Zahira? Apa dia selamat?”tanya Abram, cemas, sambil berusaha bangkit dari tidurnya.“Tenang Pak Abram, tidak ada korban tewas dalam kebakaran hotel, Anda tak perlu cemas, hanya ada satu korban wanita yang keadaan sedikit mengkhawatirkan, untunglah bayi yang dikandungnya selamat,”jawab Perawat.“Zahira..”“Iya, korban yang perlu penanganan serius benama Zahira, saat ini ada di ruang khusus, karena ia juga dalam keadaan hamil,”jawab perawat.“Bisakan aku melihatnya?”“Bisa, tapi belum boleh masuk kamar, Anda bisa melihatnya lewat jendela kaca,”jawab perawatAbram, berjalan pelan, menuju kamar perawatan yang ditunjuk dokter, lalu berhenti di salah satu kamar dan menatap karah jendela kaca, terlihat Zahira saat ini memakai slang oksigen, dengan mata masih tertutup r
Zahira sudah membaik dan dokter memperbolehkan untuk pulang.Abram, menemui Zahira. Pria itu membawakan ponsel baru untuk Zahira.“Ponselmu rusak, akibat kebakaran, aku membelikan ponsel baru,”ucap Abram.“Kak Abram, tidak usah repot-repot, aku bisa membeli ponsel, sendiri.”“Kamu harus menerimanya, aku membeli ini bukan dari uang pribadiku tapi dari Wira Campany sebagai bentuk kepedulian, karena kamu dan karyawan lainnya terkena musibah.”Akhirnya Zahira tidak mau banyak berdebat , ia pun menerima ponsel baru dari Abram.“Zahira...aku akan mengantarmu pulang ke Jakarta,”ajak Abram“Tidak perlu, jika Kak Abram, masih saja berusaha mendekatiku, ini akan memperburuk hubunganku dengan Mas Alan, “sarkas Zahira.“Kamu masih saja, berharap akan rujuk dengannya, Alan bahkan sudah mempersiapkan gugatan cerai, dan kamu masih masih berkhayal, akan bersamanya,”tegas Abram.Dibalik pintu tangan Fatima gemetar mendengar pernyataan Abram, hingga splastik buah jatuh dan berhamburan di lantai.“Ala
Alan kembali ke Jakarta, sedangkan Zahira pergi ke rumah Fatima, untuk menyelesaikan jual beli tanah yang akan dijadikan kebun.“Apa kamu tidak mampir ke pondok pesanten Nyi Hanum, sudah sangat lama kamu nggak berkunjung,”suruh Fatima.“Iya, Hira, aku sudah dengar dari Bu Fatima, masalah rumah tanggamu, kamu jangan khawatir, jika kamu menjanda, Gus Rasid yang bersedia meminangmu,”celoteh Nina, dengan senyum.“Gus Rasid terlalu sempurna untukku, kenapa tidak teh Nina saja,”sahut Zahira membuat wanita di depannya langsung bersemu merah di pipinya.“Tapi Gus Rasyid, itu sukanya sama kamu Hira,”balas NinaZahira hanya mengulum senyum, waktu itu ia memang menaruh hati pada putra pemilik pesantren, tapi saat ini sudah berbeda, hatinya sudah tertawan pada Alan Wirasatya.Sementara itu,sesampainya di Jakarta, Alan langsung menuju rumah Risma, dengan langkah lebar mencari keberadaan Risma, kebetulan Risma sedang berada di taman samping rumah.“Alan..duduklah, ibu mau bicara denganmu,”Risma, t
Malam beranjak naik, jalanan macet di jam pulang kantor, Alan terjebak macet, matanya fokus ke depan, sambil sesekali melihat arloji di tanganya. Pikirannya melayang pada Zahira, beberapa bulan ini sungguh menyiksa batinnya, rasa cinta yang sudah mengusai hati dan pikirannya harus terhalang rasa marah dan egonya, masa lalu Zahira yang berkaitan dengan Abram, sungguh berat untuk diabaikan, ditambah Abram, yang masih mengharapkan Zahira.Sedangkan di tempat lain, Zahira sudah berada di rumah Alan, akhir –akhir ini ia malas ke dapur, karena rasa mual dan pening yang masih sering dirasakannya. kini kehamilannya menginjak bulan ketiga, perutnya sudah terlihat membuncit, dengan mengenakan daster berbahan katun, Zahira mengusap pelan perutnya dan tersenyum, walau sedih, karena sampai saat ini Alan belum mengakui janin dalam perutnya adalah anaknya, tapi ia mencoba untuk bahagia, demi anaknya, konon ibu yang bahagia, akan membuat perkembangan bayi menjadi baik dan sehat.Zahira tersenyum, s
“Apa kamu ingin aku mengantarmu ke bank untuk membuka brankas itu?”“Tidak sekarang , aku belum siap menerima apapun dari mendiang Papah Ridwan. Antarkan aku ke PT Wijaya, Mas...,aku ingin melihat perusahaan yang sekarang dipegang Amanda.Alan melajukan mobilnya menuju PT Wijaya, setelah sampai disebuah gedung berlantai dua, ia menghentikan laju mobilnya dan Zahirapun turun dari mobil, setelah itu, Alan kembali melaju kejalanan meninggalkan Zahira.Zahira berjalan memasuki gedung, ia berjalan mendekat ke arah resepsionis kantor.“Aku, ingin bertemu Amanda?”“Maaf, Bu Zahira, sekarang pemilik PT Wijaya bukan Bu Amanda lagi.”Zahira berubah serius.”Sejak kapan?”“Baru kemarin kami mengetahui, “jawab wanita resepsionisKaki Zahira terasa lemas, tanganya berpegangan pada meja resepsionis.Ia menatap kesekelilingg ruangan loby, ia memang tidak sering datang ke perusahan ayahnya, tapi ia ingat dimana moment sang Ayah begitu membanggakan perusahaan yang telah dirintis bersama, mendiang oran
Zahira mengakhiri pembicaraanya dengan sang ibu, sejenak ia bersandar di dinding, air matanya luruh dan diusapnya , sebelum melangkah masuk, Zahira menghembuskan napas pelan, dan mencoba tenang.Ceklek! Pintu dibukanya pelan, Wijaya menoleh ke arah pintu tatapannya nanar dan sedih, karena saat ini ia justru merepotkan Zahira, anak yang ditelantarkanya sejak bercerai dengan Fatima.Zahira kembali duduk di kursi samping brankar, dan menatap sang Ayah.“Yah, kita kembali ke kampung, menikahlah lagi dengan ibu Fatima,”pinta Zahira pelan“Zahira...kenapa kamu berpikir seperti itu.”“Ini keinginan Bu Fatima, waktu itu ayah menjatuhkan talak satu pada ibu, jadi kalian bisa rujuk dan menikah lagi, dengan begitu ibu bisa merawat ayah.”“Aku tidak mau dikasihani Fatima, aku telah berbuat tidak adil padanya, dulu waktu kakinya cacat akibat kecelakaan, aku menceraikannya, dan meninggalkan kalian, dan kini aku akan kembali dengan keadaan seperti ini,”Wijaya menangis air matanya deras mengalir, ra
Alan melajukan mobilnya menuju kota Jakarta, ia merasa kesal pada Zahira, kenapa tidak mau menuntaskan keraguannya dengan menjalani test DNA.Zahira pun bersikeras pada pendiriannya, ia hanya ingin Alan percaya padanya.Keduanya saling diam dan tenggelam pada pemikiran masing- masing. Hingga sampailah Alan di rumahnya, begitu Zahira turun dari mobil ia penasaran, karena pintu depan rumahnya terbuka“Mas, apa kamu memperkerjakan Mba Tami lagi, asisten paruh waktu?”“Tidak, barangkali Via yang datang, aku menyuruhnya mengerjakan proposal, kebetulan filenya ada di rumah, jadi aku memberikan kunci serep padanya,”jawab Alan“Lebih baik kamu, jangan memberi sembarang orang kunci rumah ini Mas,”Zahira terlihat tidak suka.“Kenapa, Via sudah lama bekerja denganku, bahkan sebelum aku menikahimu, aku sudah mengenalnya dan menjadi sekertarisku,”bantah Alan.“Ah..aku tidak mau berdebat, aku akan beristirahat.”Zahira berjalan memasuki rumah dan melihat Via yang sedang memasak di dapur.“Selamat