Zahira sudah membaik dan dokter memperbolehkan untuk pulang.Abram, menemui Zahira. Pria itu membawakan ponsel baru untuk Zahira.“Ponselmu rusak, akibat kebakaran, aku membelikan ponsel baru,”ucap Abram.“Kak Abram, tidak usah repot-repot, aku bisa membeli ponsel, sendiri.”“Kamu harus menerimanya, aku membeli ini bukan dari uang pribadiku tapi dari Wira Campany sebagai bentuk kepedulian, karena kamu dan karyawan lainnya terkena musibah.”Akhirnya Zahira tidak mau banyak berdebat , ia pun menerima ponsel baru dari Abram.“Zahira...aku akan mengantarmu pulang ke Jakarta,”ajak Abram“Tidak perlu, jika Kak Abram, masih saja berusaha mendekatiku, ini akan memperburuk hubunganku dengan Mas Alan, “sarkas Zahira.“Kamu masih saja, berharap akan rujuk dengannya, Alan bahkan sudah mempersiapkan gugatan cerai, dan kamu masih masih berkhayal, akan bersamanya,”tegas Abram.Dibalik pintu tangan Fatima gemetar mendengar pernyataan Abram, hingga splastik buah jatuh dan berhamburan di lantai.“Ala
Alan kembali ke Jakarta, sedangkan Zahira pergi ke rumah Fatima, untuk menyelesaikan jual beli tanah yang akan dijadikan kebun.“Apa kamu tidak mampir ke pondok pesanten Nyi Hanum, sudah sangat lama kamu nggak berkunjung,”suruh Fatima.“Iya, Hira, aku sudah dengar dari Bu Fatima, masalah rumah tanggamu, kamu jangan khawatir, jika kamu menjanda, Gus Rasid yang bersedia meminangmu,”celoteh Nina, dengan senyum.“Gus Rasid terlalu sempurna untukku, kenapa tidak teh Nina saja,”sahut Zahira membuat wanita di depannya langsung bersemu merah di pipinya.“Tapi Gus Rasyid, itu sukanya sama kamu Hira,”balas NinaZahira hanya mengulum senyum, waktu itu ia memang menaruh hati pada putra pemilik pesantren, tapi saat ini sudah berbeda, hatinya sudah tertawan pada Alan Wirasatya.Sementara itu,sesampainya di Jakarta, Alan langsung menuju rumah Risma, dengan langkah lebar mencari keberadaan Risma, kebetulan Risma sedang berada di taman samping rumah.“Alan..duduklah, ibu mau bicara denganmu,”Risma, t
Malam beranjak naik, jalanan macet di jam pulang kantor, Alan terjebak macet, matanya fokus ke depan, sambil sesekali melihat arloji di tanganya. Pikirannya melayang pada Zahira, beberapa bulan ini sungguh menyiksa batinnya, rasa cinta yang sudah mengusai hati dan pikirannya harus terhalang rasa marah dan egonya, masa lalu Zahira yang berkaitan dengan Abram, sungguh berat untuk diabaikan, ditambah Abram, yang masih mengharapkan Zahira.Sedangkan di tempat lain, Zahira sudah berada di rumah Alan, akhir –akhir ini ia malas ke dapur, karena rasa mual dan pening yang masih sering dirasakannya. kini kehamilannya menginjak bulan ketiga, perutnya sudah terlihat membuncit, dengan mengenakan daster berbahan katun, Zahira mengusap pelan perutnya dan tersenyum, walau sedih, karena sampai saat ini Alan belum mengakui janin dalam perutnya adalah anaknya, tapi ia mencoba untuk bahagia, demi anaknya, konon ibu yang bahagia, akan membuat perkembangan bayi menjadi baik dan sehat.Zahira tersenyum, s
“Apa kamu ingin aku mengantarmu ke bank untuk membuka brankas itu?”“Tidak sekarang , aku belum siap menerima apapun dari mendiang Papah Ridwan. Antarkan aku ke PT Wijaya, Mas...,aku ingin melihat perusahaan yang sekarang dipegang Amanda.Alan melajukan mobilnya menuju PT Wijaya, setelah sampai disebuah gedung berlantai dua, ia menghentikan laju mobilnya dan Zahirapun turun dari mobil, setelah itu, Alan kembali melaju kejalanan meninggalkan Zahira.Zahira berjalan memasuki gedung, ia berjalan mendekat ke arah resepsionis kantor.“Aku, ingin bertemu Amanda?”“Maaf, Bu Zahira, sekarang pemilik PT Wijaya bukan Bu Amanda lagi.”Zahira berubah serius.”Sejak kapan?”“Baru kemarin kami mengetahui, “jawab wanita resepsionisKaki Zahira terasa lemas, tanganya berpegangan pada meja resepsionis.Ia menatap kesekelilingg ruangan loby, ia memang tidak sering datang ke perusahan ayahnya, tapi ia ingat dimana moment sang Ayah begitu membanggakan perusahaan yang telah dirintis bersama, mendiang oran
Zahira mengakhiri pembicaraanya dengan sang ibu, sejenak ia bersandar di dinding, air matanya luruh dan diusapnya , sebelum melangkah masuk, Zahira menghembuskan napas pelan, dan mencoba tenang.Ceklek! Pintu dibukanya pelan, Wijaya menoleh ke arah pintu tatapannya nanar dan sedih, karena saat ini ia justru merepotkan Zahira, anak yang ditelantarkanya sejak bercerai dengan Fatima.Zahira kembali duduk di kursi samping brankar, dan menatap sang Ayah.“Yah, kita kembali ke kampung, menikahlah lagi dengan ibu Fatima,”pinta Zahira pelan“Zahira...kenapa kamu berpikir seperti itu.”“Ini keinginan Bu Fatima, waktu itu ayah menjatuhkan talak satu pada ibu, jadi kalian bisa rujuk dan menikah lagi, dengan begitu ibu bisa merawat ayah.”“Aku tidak mau dikasihani Fatima, aku telah berbuat tidak adil padanya, dulu waktu kakinya cacat akibat kecelakaan, aku menceraikannya, dan meninggalkan kalian, dan kini aku akan kembali dengan keadaan seperti ini,”Wijaya menangis air matanya deras mengalir, ra
Alan melajukan mobilnya menuju kota Jakarta, ia merasa kesal pada Zahira, kenapa tidak mau menuntaskan keraguannya dengan menjalani test DNA.Zahira pun bersikeras pada pendiriannya, ia hanya ingin Alan percaya padanya.Keduanya saling diam dan tenggelam pada pemikiran masing- masing. Hingga sampailah Alan di rumahnya, begitu Zahira turun dari mobil ia penasaran, karena pintu depan rumahnya terbuka“Mas, apa kamu memperkerjakan Mba Tami lagi, asisten paruh waktu?”“Tidak, barangkali Via yang datang, aku menyuruhnya mengerjakan proposal, kebetulan filenya ada di rumah, jadi aku memberikan kunci serep padanya,”jawab Alan“Lebih baik kamu, jangan memberi sembarang orang kunci rumah ini Mas,”Zahira terlihat tidak suka.“Kenapa, Via sudah lama bekerja denganku, bahkan sebelum aku menikahimu, aku sudah mengenalnya dan menjadi sekertarisku,”bantah Alan.“Ah..aku tidak mau berdebat, aku akan beristirahat.”Zahira berjalan memasuki rumah dan melihat Via yang sedang memasak di dapur.“Selamat
Setelah kepergian Risma, petugas memberitahukan pada Zahira, jika Risma, mencoba membuka brankas.“Seperti yang Nyonya Zahira minta, kami membiarkan nyonya Risma mencoba membukanya.“Terima kasih, dengan begitu aku tahu, siapa yang mencuri kunci lemari brankas.Zahira menarik napas lega, pagi tadi ia menyadari, jika kunci dan secarik kertas nomer sandi brankas hilang, maka segera ia menghungi pihak bank, untunglah Zahira sudah menganti nomer sandi brankas beberapa hari yang lalu. Dan ia sudah menduga, jika Risma, yang mencurinya.“Kapan mamah Risma, datang ke rumah ini, atau dia menyuruh Via?kunci dan nomor pasword hilang kemarin, dan hanya Via yang memasuki rumah ini. Aku harus berhati-hati dengan Via, ia ternyata bermuka dua,”gumam Zahira.Zahira yang saat ada di kampus, duduk termenung, di tengah jam kuliahnya, beberapa hari ini, ia tidak terlalu fokus dalan mengikiuti jam mata kuliah, apalagi kondisnya yang hamil muda. Ditambah lagi persoalan pernikahnya yang tak kunjung usai,
“Kita kemarin baru berkenalan di acara perikahan Bu Fatima dan Pak Wijaya, dan kini bertemu kembali,”lanjut Alan“Dunia memang sempit, dari laporan security, Anda adalah pengembang yang akan membangun, pabrik farmasi, disekitar perkebunanku,”ucap Rasid“Iya, aku datang untuk membicarakan itu,”jawab AlanRasid duduk di kursi tepat di depan Alan duduk, matanya menatap dengan tenang dan bibirnya tersenyum hangat“Aku sebenarnya sudah menolak perizinnya itu, waktu itu aku bertemu Pak Danu, karena proposal yang ia ajukan, tidak mencantumkan analisis dampak lingkungan , aku tidak mau mengambil risiko, “jelas Rasid.Alan menatap Via, seakan menunggu jawaban Via atas perkataan Rasid.“Maaf Pak Rasid, itu adalah kelalaian kami, Pak Danu dan team operasional, belum, mempelajari anasalis dampak lingkungan yang akan diakibatkan dengan adanya pembangunan pabrik farmasi,tunggulah beberapa waktu, kami akan mengerjakan analisis dampak lingkungan lagi,”jelas Via dengan tegas dan serius.“Baiklah, aku