Hatiku terpaut pada satu namaTerukir indah sampai aku lupa dia penabur sembiluBukan dia yang salah Tapi aku yang terlalu lancang berharap Salahkah?***Aku menutup buku diary berwarna pastel dan memasukkannya kembali ke dalam rak di samping tolet jati. Di dalam buku itu aku menumpahkan semua rasa dan apa yang terjadi padaku selama ini. Termasuk malam tragedi itu. Setidaknya, dengan mencurahkan isi hati di atas kertas, aku jauh lebih baik. Walaupun tidak sepenuhnya tenang.Aku merebahkan tubuh letih di atas ranjang dingin dan empuk ini. Melebur segala lelah karena aktivitas seharian. Sejak malam itu, semua kembali normal. Aku kembali bekerja seperti biasa dan Bang Habib masih bersikap sama. Terkadang perhatian dan terkadang bersikap acuh tak acuh..Cindy melakukan upaya damai, tetapi menurut Papa, tidak ada salahnya memberi dia pelajaran agar dia kapok. Meskipun kasus ini tidak sampai ke pengadilan, perempuan itu harus menunggu paling tidak satu bulan sampai lepas dari hotel prode
Hadirmu tidak kuharapBukan aku tak cinta Tetapi, sesuatu tak kasat mata Menunggumu dengan luka nestapa Aku mencintaimu lebih dari apa punHanya saja, bisakah menunggu sejenak Sampai dia bisa membalas semua rasa Yang berakar kuat di dasar hati***Bang Habib memandangku lekat, aku pikir dia marah atau melontarkan kalimat menyakitkan lagi. Namun aku keliru. Ternyata dia tertawa sampai mata elang itu menyipit. Sedikit membungkuk dia menahan tawa. Entah apa yang lucu. Sementara aku tidak mampu berekspresi. Otak terus berpikir tentang kejanggalan yang terjadi belakangan ini."Istri saya memang pecinta makanan pedas, Pak. Lagian dia nggak mungkin hamil," ujar Bang Habib seraya tertawa kecil. Pakde pedagang bakso ikut tertawa sambil menyerahkan nampan yang berisi dua mangkok bakso pada Bang Habib."Lagian kalian masih muda. Saya doakan istri Mas secepatnya mengandung." Laki-laki berkulit sawo matang itu menengadahkan tangan sebelum mengusap telapak tangan ke wajah. Doa yang entah menga
Jika hadirmu di saat yang tepatMungkin aku akan bahagia Tidak seperti saat iniAku merasa gamang yang teramat sangatNamun di satu sisi, aku sangat mencintaimu***Jantungku berdegup kencang. Seluruh persendian nyaris sulit digerakkan. Sudah lebih dari sepuluh menit aku bergeming dalam gelisah. Benda pipih di dalam gelas kecil berbahan kaca sudah memperlihatkan hasil. Namun, aku takut untuk meraih dan melihat langsung. Meskipun bayang samar di balik kaca salat tertangkap jelas di penglihatan.Aku Rara Audy Sanjaya, si pecinta anak kecil yang terkenal memiliki sifat keibuan. Hari ini menolak takdir yang menyapa kehidupan. Ada mahluk tidak berdosa tumbuh di dalam rahim ini, tetapi aku menolak segenap hati. Bukan. Bakan aku tak cinta, tapi aku takut kehadirannya ditolak oleh laki-laki bergelar suamiku itu. Ayah kandung janin ini.Apa yang harus aku lakukan dengan janin ini? Sementara aku tahu bagaimana kerasnya Bang Habib. Hingga hari ini, dia menolak percaya dengan segala penjelasan
Menebar rasa, melerai asaJika terluka pasti kecewa juaNamun hari terlalu lancang berharapDalam sekejap tak berhenti mengharap ***Cukup lama aku berada di pemakaman umum ini, hingga akhirnya memutuskan pulang saat menyadari waktu beranjak sore. Sebentar lagi adzan ashar akan berkumandang. Dari penunjuk waktu di pergelangan tangan, aku melihat jarum pendek sudah mendekati pukul tiga sore.Aku mengusap nisan Mbak Naya. Nisan yang menjadi saksi bisu saat bibir ini berceloteh mencurahkan semua rasa. Walaupun tidak ada tanggapan, aku sudah cukup senang dan tenang. "Rara pulang dulu, Mbak. Kapan-kapan Ra ke sini lagi. Terima kasih sudah mau mendengar semua keluhan Ra. Assalammualaikum." Satu kecupan di nisan yang terukir nama Mbak Naya aku dapatkan. Kemudian, aku bangkit berdiri dari atas rerumputan yang tidak terlalu padat. Sebagian tunik terkena pasir dan tanah, tapi tidak aku pedulikan.Jika tadi saat datang aku dalam keadaan kacau, maka tidak saat langkah kuda besi keluar dari ge
Bicaralah dengan rasa Agar kau tahu apa yang dia rabaRasa bukan hanya soal cinta Tetapi semua alam semesta ***Jari-jari menari lincah di atas keyboard. Sejak tiga puluh menit yang lalu, aku berkutat pada berkas-berkas klien yang harus aku rekap menjadi satu dan dikumpulkan dalam satu file. Profesor Lauren meminta agar aku membantu pekerjaan admin karena saat ini admin kantor sedang sakit. Aku tidak dapat menolak karena di tempat ini kami saling membantu satu dan lainnya.Walaupun mata mengantuk karena semalaman tidak dapat tidur pulas, tetapi inilah pekerjaanku dan aku harus bertanggung jawab secara profesional. Satu cangkir kopi hitam yang masih mengeluarkan uap panas menemani aktivitas pagi. Di seberang meja, Aldy tampak sibuk mencatat janji temu dengan klien untuk satu pekan ini.Sesekali aku tersenyum jika mengingat kekonyolan beberapa malam terakhir. Saat malam, aku akan menyelinap mencari pakaian kotor Bang Habib, lalu membawanya ke kamar untuk menemani tidurku. Aku mendeka
Life ends when you stop dreaming Hope ends when you stop believing Love ends when you stop caring Friendship ends when you stop sharing So, share this with whom ever you consider a friend***Berliku jalan yang aku tempuh saat ini. Di persimpangan jalan bercabang aku berhenti beberapa jenak. Otak terus berpikir, ke mana kiranya jalan yang harus aku tempuh. Tempat ini sangat asing. Belum pernah sekali pun aku ke sini dan ini untuk pertama kali. Aku memutuskan menempuh arah kiri jalan, melewati ilalang-ilalang tinggi. Aku harus berhati-hati karena tidak ada pencahayaan sama sekali. Hanya sinar bulan sabit yang bersinar temaram, tanpa dihiasi bintang. Cukup lama aku berjalan sampai akhirnya kaki merasa letih dan keram."Di mana ini? Mengapa tidak ada satu orang pun yang terlihat?" Aku bergumam seraya duduk di atas tanah yang ditumbuhi rumput liar. Tubuhku pasti tidak terlihat karena tingginya ilalang nan menjulang tinggi.Rasa haus mendera, diiringi suara keroncongan akibat lapar. L
Waktu yang bergulir terasa cepatSepertinya poros waktu tidak mengizinkanku untuk berleha-leha barang sekejapSedikit lagi, batas akhir akan merapat Lantas, ke manakah aku setelah janji terlanjur diucap***Sesuai janji Bang Habib, hari ini kami akan mengunjungi Mbak Naya di pemakaman umum Babat Jerawat yang terletak di Jalan Raja Sememi. Pagi sekali, Muthia dan Liyana tampak antusias karena sudah lama tidak ziarah. Terakhir kali, dua bulan lalu saat aku tidak disibukkan dengan pekerjaan.Cuaca awal Februari sedikit mendung hari ini, tetapi tidak ada satu tetes hujan pun yang turun sejak tadi. Mungkin Allah ingin berbaik hati agar anak-anak tidak kepanasan saat menjambangi makam ibu kandungnya. Kasihan juga jika mereka bermandikan keringat. Mengingat kamu akan lama menghabiskan waktu di sana. Biasanya memang seperti itu. Aku masih mematut diri di depan tolet jati,di dalam kamar. Mengaplikasikan blush on agar tidak terlalu pucat, serta lipstik berwarna nude di bibir yang tampak keri
Pemain peran terbaik versiku adalah kamuSebentar acuh tak acuh, sedetik kemudian kau memuja Padahal aku tidak lagi berharap padamu Karena kau terlalu ambigu dan mudah lupa ***Aku masih termangu di belakang punggung Bang Habib. Sudah dua puluh menit berlalu, tapi dia masih tergugu sambil mengusap batu nisan Mbak Naya. Sementara itu, anak-anak menangis menumpahkan kerinduan pada ibunya yang sudah berkalang tanah. Aku paham kesedihan mereka, tetapi bisakah memandang keberadaanku di sini? Aku bagai orang asing di antara keluarga mereka.Aku mengeglengkan kepala. Tidak sepantasnya aku berpikir seperti ini. Bukan anak-anak yang aku salahkan, tetapi hati terlanjur kecewa dengan sikap Bang Habib, ayah kandung Muthia dan Liyana.Akhirnya aku jongkok di atara kedua malaikat kecil ini, lalu membawa mereka ke dalam pelukan. Kami berbagi tangis. Di antara kerinduan pada perempuan bermata bulat dan rasa sakit yang teramat pekat aku rasakan. Mbak Naya tidak salah, akulah yang terlalu banyak ber