“Sayang? Kamu suapin aku, dong.”
Aku hanya menatap kosong, tak merespons Cassandra yang duduk tepat di hadapanku.
“Sayang? Kamu kenapa, sih? Hei ....” Cassandra menggapai pipi kiriku, berusaha membuat wajahku memandang ke arah dirinya. Namun, aku menepis tangannya pelan.
“Bagas! Apa-apaan, sih, kamu? Kamu kenapa? Akhir-akhir ini kamu nggak peduli banget sama aku!” Cassandra mulai bernada tinggi, membuat gendang telingaku hampir pecah.
“Saya tidak apa-apa.”
“Aku tahu.” Cassandra menyipitkan kedua matanya, mencoba menebak-nebak apa yang terjadi dengan diriku. “Kamu sudah kena pelet, ya, sama sekretaris kamu itu?”
“Cassandra! Apa-apaan kamu?! Jangan melibatkan orang lain! Saya cuma lagi capek tahu nggak! Dan kamu memaksa saya menemui kamu dalam keadaan seperti ini.” Suaraku tak kalah tinggi sehingga membuat Cassandra membelalakkan mata.
“Oh, jadi begitu. Oke, aku akan laporin kejadian ini sama ayahku.” Cassandra bangkit dari duduknya. “Awas kamu, Gas! Ini cuma peringatan, ya, buat kamu. Ayahku pasti akan memanggil kamu besok!” Perempuan tersebut berlalu pergi sebelum menghabiskan nasi goreng yang telah ia pesan beberapa waktu lalu.
Geram, kesal. Aku ingin melampiaskan perasaan ini pada apa pun di hadapanku. Namun, aku sadar sedang berada di tempat umum. Orang-orang akan menganggapku gila jika melampiaskan emosi di sini. Aku pun memutuskan pulang dengan segala kegundahan yang menelungkup rasa.
Esoknya, Pak Bambang benar-benar datang ke kantorku. Lima menit sejak kedatanganku di kantor, pria berkacamata dengan rambut cepak cukup beruban tersebut duduk di sofa ruanganku.
Beliau pura-pura mengangkat koran yang diletakkan di atas meja, lalu mulai membacanya. Membalik halaman per halaman. Sedangkan aku masih duduk di kursi kerjaku.
“Bagas. Saya dengar-dengar kemarin kamu bertengkar dengan Cassandra.”
Dasar wanita licik! Ia bersungguh-sungguh dengan perkataannya kemarin malam. Aku pun bangkit dan duduk tepat di hadapan pria tersebut.
“Maaf, Pak. Saya ... tidak bermaksud seperti itu.”
“Apa kamu masih ingat konsekuensi kalau kamu membuat Cassandra terluka, Bagas?”
“Iya, saya ingat.”
“Kamu tahu kenapa saya akhirnya memutuskan investasi di perusahaan kamu? Semuanya karena Cassandra. Pertama kali saya bertemu denganmu waktu itu dengan Cassandra, dialah yang memohon agar saya mempertimbangkan proposal kamu.”
“Iya, Pak. Saya mengerti,” ucapku gugup. Bagaimana tidak? Jika tua bangka ini marah, aku dan semua kekayaanku akan dipertaruhkan.
“Jadi, ini sebenarnya cuma peringatan buat kamu, Bagas. Saya sangat percaya kamu itu bisa menjaga hati Cassandra.” Pak Bambang meletakkan koran di atas meja. Ia bangkit dan matanya menembus pemandangan di balik jendela. “Dia memang anak yang manja dari kecil. Tapi, kamu harus percaya kalau sebenarnya dia sangat baik.”
Aku hanya manggut-manggut. Apa pun yang tua bangka itu katakan, aku tidak pernah membantah, tidak pernah juga mencoba untuk melawan pendapatnya. Biarkan saja, aku masih bisa menahan kesabaranku.
“Dan kamu harus siap kalau sampai kamu mengkhianati kepercayaan saya, Bagas, siap-siap perusahaan kamu akan bangkrut.”
Pria tersebut benar-benar serius dengan apa yang baru saja ia katakan.
“Iya, saya akan berusaha.”
Dilangkahkan kakinya ke arahku, menepuk bahuku sebelum akhirnya keluar dari ruangan ini.
Aku mengembuskan napas lega, tetapi ada juga rasa kesal yang datang menghampiri.
“Berengsek!”
-II-
“Ada apa, Laras?” tanyaku pada Laras yang tengah berdiri mematung di depan meja kerjaku.
“Saya mau minta izin, Pak.”
“Minta izin untuk apa?”
“Saya mau pulang, Pak.”
“Kenapa? Waktu pulang tiga jam lagi. Kamu tidak boleh pulang sebelum jam kerja usai.”
“Tapi, Pak. Saya benar-benar ada urusan mendesak.”
“Urusan mendesak apa?”
“Maaf, Pak. Ini urusan pribadi—“
“Kamu meminta izin kepada saya untuk pulang lebih cepat, tetapi kamu tidak mau mengatakan alasannya? Kalau begitu, saya tidak mengizinkan kamu untuk pulang.”
Laras terdiam sejenak, mengambil napas dalam. “Anda benar-benar jahat, Pak. Anda benar-benar tidak punya perasaan!”
Tanpa pertimbangan lagi, Laras melangkah keluar dan membanting pintu ruanganku.
Aku melihat setitik cairan bening di sudut matanya sebelum menjejak keluar. Kenapa? Apakah aku salah? Aku bos di perusahaan ini, aku berhak untuk memberikan izin atau tidak.
Aku memutuskan ke ruangan Laras, ternyata benar ia tengah menangis sambil menyapukan tisu di wajahnya.
“Saya masuk!” ucapku yang kemudian membuka pintu ruang kerja Laras. Perempuan itu buru-buru menghapus air matanya, menyembunyikannya sejenak, lalu menghadap padaku. Berdiri.
Aku diam beberapa menit. Suasana benar-benar diselimuti canggung. Bergelimang di seluruh penjuru ruangan.
“Saya memberikan izin untuk kamu pulang. Tidak apa-apa kamu tidak mengatakan alasannya. Pulanglah.”
Belum bergerak, Laras masih diam di tempatnya. Menunduk.
“Apa yang kamu tunggu? Saya tidak akan menanyakan alasan kamu lagi. Lakukan sesukamu.”
Laras segera membereskan beberapa berkas yang berserakan di meja, kemudian mengambil tas hitamnya yang ia gantung di dinding.
“Terima kasih, Pak.” Laras menghentikan langkahnya sejenak di pintu. Setelah aku mengangguk setuju, ia melanjutkan langkahnya.
-II-
Aku tidak semudah itu menyerah, lantas mengikuti taksi yang membawa Laras. Membuntutinya dari belakang, menjaga jarak agar tidak terlalu jelas sedang mengikutinya.
Tak berselang lama, taksi yang ditumpangi perempuan tersebut berhenti di depan rumah sakit. Ya, rumah sakit yang beberapa minggu lalu tempatku melihat Laras. Aku semakin penasaran dengannya. Apa yang terjadi?
Tak menunggu lama setelah Laras masuk, aku pun keluar dari mobil dan mengikuti perempuan itu. Dengan langkah buru-buru, ia melewati ruangan demi ruangan yang ada. Sesekali ia percepat langkahnya, naik ke lantai atas dengan tangga.
Ruang ICU. Laras masuk ke ruangan bertuliskan ICU. Hal ini menambah rasa penasaran di benak. Kenapa ia sangat tertutup? Kenapa perempuan itu tidak pernah ingin mengatakan padaku alasannya memohon untuk aku terima bekerja? Kemudian, alasannya meminta izin untuk pulang? Semuanya ia tutup dengan rapat.
Aku bersembunyi di balik dinding pada tangga. Laras masih ada di ruangan itu. Apa yang dia lakukan?
“Pak? Ada yang bisa saya bantu?” Seorang suster tiba-tiba mengejutkanku. Aku mencoba bersikap biasa-biasa saja.
“Oh, tidak ada. Saya cuma ... nunggu seorang teman,” jawabku.
“Oh, baik. Kalau begitu, Anda boleh menunggu di ruang tunggu, Pak.”
“Oke, baik.”
Sang suster pun melangkah ke ruangan tempat Laras berada.
Kuembuskan napas panjang, lalu memilih untuk kembali ke mobil dan pulang.
-II-
Di rumah, entah mengapa pikiranku tidak bisa tenang. Selalu saja teringat dengan wajah sendu perempuan itu. Ia seperti memikirkan masalah yang serius. Itu seakan membebani pikirannya. Namun, kenapa dia tak mau mengatakan alasannya? Meski aku tahu mungkin aku tidak pantas mendengarkan alasannya. Aku hanya seorang bos yang tidak tahu tabiat. Suka memaksakan kehendak padanya, bahkan semua orang di perusahaanku.
-II-
“Pekerjaan kamu salah semuanya! Tidak becus!”
Aku membuang berkas-berkas yang sudah dikerjakan oleh Laras beberapa hari lalu. Berserakan di mejanya, juga tergeletak di lantai. Jelas, perempuan itu bertatap heran. Ia bangkit setelahnya.
“Ada apa, Pak? Kenapa—“
“Semua berkas ini salah, Laras! Lihat, tanggalnya! Lihat, namanya! Salah semua!”
Laras memungut satu berkas, kemudian membandingkannya dengan berkas yang seharusnya pada bidang tanggal tertulis tanggal hari ini.
“M-maaf, Pak. Saya tidak fokus akhir-akhir ini. Saya minta maaf. Akan saya perbaiki secepatnya.” Dengan segera Laras duduk dan berkutat dengan komputernya.
“Sepuluh menit! Saya tunggu sepuluh menit dan semuanya harus sudah selesai!”
“Tapi, Pak. Ini sangat banyak, Pak. Mana bisa saya kerjakan dalam sepuluh menit.”
“Risiko. Itu urusanmu, bukan saya. Lagi pula, kamu hanya memperbaiki, bukan membuat ulang! Mengerti? Harus jadi sepuluh menit dari sekarang!” tegasku dan duduk di hadapannya sambil menunggu.
Kusedekapkan tangan, lalu memperhatikan perempuan itu mengetik dengan cepat. Jari-jari tangannya berpacu dengan waktu.
“Lama sekali! Saya butuh berkas itu, Laras! Yang cepat, dong, kerjamu! Apa kamu mau saya pecat?”
“Tidak, Pak. Maaf, sebentar lagi selesai.”
Sepuluh menit sudah berakhir, sedangkan Laras belum juga selesai menyelesaikan berkas-berkas penting yang akan dibawa ke investor.
“Aduh, sial,” ucap Laras mengutuk. Dadanya kembang kempis.
“Kenapa?” tanyaku sambil memperhatikan gelagatnya.
“Printernya, Pak. Macet.”
“Gunakan printer di ruangan karyawan lain! Cepat! Saya butuh sekarang!”
Tak menunggu lama, Laras segera bangkit, ia melangkah buru-buru, tetapi karena hampir tak fokus—mungkin—kakinya tersandung pada kaki meja. Tubuhnya terjatuh ke samping, tetapi dengan cepat aku raih dirinya sambil memegang pinggangnya hingga di bagian perut.
Laras menatapku dengan lamat, kami bersitatap. Kurasakan napasnya menderu desau, berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Wangi napasnya merasuk ke lubang-lubang pernapasanku. Cukup lama bersitatap, aku pun tersadar bahwa ini seharusnya tidak pernah terjadi.
Berdiri dengan normal, Laras merapikan kemeja putihnya yang cukup berantakan karena insiden beberapa detik lalu. Ia salah tingkah, sedangkan aku mencoba bersikap biasa-biasa.
“M-maaf, Pak. Saya ... ke ruangan sebelah.”
Laras berlalu pergi, dan aku menunggunya.
Sialan! Ini tidak semestinya terjadi. Sebuah debaran kuat.
-II-
“Saya butuh gaji saya bulan ini, Pak.”“Gaji? Tanggal gajianmu masih lama, Laras. Seminggu yang lalu kami sudah transfer melalui rekening bank kamu. Lantas, kenapa kamu meminta gaji lagi untuk bulan ini sebelum tanggal gajian?”Laras duduk terpaku di hadapanku. Ia pijat pelipisnya. Aslinya yang lancip hitam terlihat berkeringat.“Iya, saya tahu, Pak. Tapi ... saya butuh uang,” ucapnya pelan.“Uang untuk apa?”Aku menyipitkan mata, mencoba menyelidiki ekspresi wajah perempuan di hadapanku.“Bapak tidak perlu tahu. Saya hanya ingin mengambil gaji saya lebih cepat karena saya sangat butuh. Saya janji akan bekerja lebih baik lagi.”“Tidak bisa!” Aku menggeprak meja sehingga Laras mengerjapkan mata, ia alihkan pandangannya ke sembarang tempat. “Kinerja kamu bulan lalu saja menurun, Laras. Saya tidak percaya dengan janji kamu itu. Ketika seseorang berjanji akan se
Beberapa hari ini, aku benar-benar tidak mood melakukan sesuatu. Semua pekerjaan sudah aku serahkan pada Laras, juga Damar selaku HRD. Meskipun hadir di kantor, aku hanya memangku kepala dengan tangan, menatap hampa, tak melakukan apa-apa. Tidak hanya itu, tetapi ketika berpapasan dengan Laras, aku tak berniat menyapa dirinya atau menegur tentang segala hal seperti yang biasanya aku lakukan.Kesalahan fatal. Aku tidak tahu perasaan apa yang sering datang akhir-akhir ini. Namun, seakan ambisiku pada perusahaan ini lenyap seketika. Aku juga tak peduli lagi jika Cassandra melaporkan pada ayahnya soal tindakanku beberapa hari lalu. Semua menjadi tidak penting.“Pak?”Tiba-tiba saja Laras ada di hadapanku, duduk sambil memiringkan kepala dan meneliti ekspresi wajahku.“Kamu?! Kalau masuk seharusnya—““Saya sudah mengetuk pintu beberapa kali, Pak. Tapi, Bapak tidak menyahut juga. Maaf kalau saya lancang masuk
Siapa sebenarnya pria di rumah sakit yang selalu dibesuk oleh Laras? Hingga kini, aku belum bisa mengambil kesimpulan. Seorang pria yang sepantaran denganku. Dibalut dengan infus, dan ia koma. Apakah suami perempuan itu? Tapi, aku pernah membaca salah satu dokumen di lamaran kerjanya, statusnya sama sekali belum menikah. Lalu, siapa dia?Aku berusaha keras memikirkan perihal ini dari beberapa hari yang lalu. Jika aku bertanya pada Laras, sangat tidak mungkin. Dia pernah bilang bahwa aku tidak seharusnya ikut campur dalam urusan pribadinya. Lalu, hingga saat ini aku juga belum melaksanakan perintah dari tua bangka—Bambang. Sangat berat hatiku untuk memecat Laras. Jika alasannya bekerja di perusahaan ini adalah untuk membiaya perawatan pria di rumah sakit itu, dan aku memecatnya, maka sudahlah pantas diri ini disebut sebagai orang yang tidak berkeprimanusiaan.“Bagas! Kenapa perempuan jalang itu belum juga kamu pecat?!” Cassandra nyelonong masuk ke ruan
“Mau apa lagi Anda datang ke kantor saya?”Bambang bertingkah semaunya, ia rebahkan badannya di sofa, membentang berselonjor kakinya sampai di meja sambil membuka halaman koran hari ini. Sedangkan sedari tua bangka itu masuk, Laras menunduk tak mampu mengangkat wajahnya.“Saya hanya mau melihat kehancuran kamu, Bagas. Karena kamu telah berani menyakiti anak saya, inilah akibatnya. Kamu pikir saya main-main dengan perkataan saya?” Bambang tertawa meremehkan.“Sayangnya saya tidak peduli. Anda bukan satu-satunya orang kaya di dunia ini. Masih banyak yang lainnya. Sekarang juga, saya minta Anda PERGI DARI SINI! Tua bangka iblis!”Bambang beranjak sambil meremas koran hingga berbentuk bulat, lalu ia buang sembarangan.“Kamu dan perempuan jalangmu, Bagas, sudah hancur.” Tua bangka tersebut berlalu pergi.Cukup lama terdiam, Laras mengangkat wajahnya. “S-sabar, ya, Pak ....”&ldquo
“Maaf, maksud Bapak apa, ya? Saya tidak mengerti.”“Ssst. Laras, mulai sekarang jangan terlalu formal dengan saya. Kamu boleh pakai bahasa sehari-hari saat berada di luar kantor,” ucapku yang kemudian tersenyum tipis ke arah Laras.Perempuan tersebut tidak menanggapi. Ia menundukkan wajahnya sejenak.“Bapak belum menjawab—““Ssst! Saya sudah bilang kalau kamu jangan terlalu formal dengan saya!”Laras menghela napas dalam. “Baik. Kamu ... belum jawab pertanyaanku, B-Bagas.”Terkesan begitu canggung saat Laras mulai berkomunikasi dengan bahasa tidak formal denganku. Meski memintanya begitu, aku masih belum bisa menghilangkan kepribadianku yang saat ini. Aku sudah biasa menggunakan bahasa formal, baik di luar kantor, maupun di dalam kantor. Akan tetapi, aku meminta Laras berlaku tidak formal hanya karena ingin dia merasa lebih dekat denganku. Ingin meleburkan hubungan antara atas
Intan di meja sebelah bersama dengan kedua orang tuanya dan entah siapa lelaki yang juga hadir di sana bersama dua orang—pria paruh baya serta wanita paruh baya. Mereka tampak berbincang-bincang, tetapi lantas Intan malah menatap ke arahku dengan lamat. Yang dia pahat di wajahnya hanya ekspresi sendu. Seolah wajah itu sedang mengajakku berbicara, memintaku untuk melakukan sesuatu. Entahlah.“Laras, ayo kita pergi dari sini!” Aku bangkit tanpa merespons pertanyaan Laras. Kugapai tangan perempuan di hadapan dan mengajaknya menjauh dari restoran tempatku berada.Namun, ketika menoleh ke belakang untuk memeriksa Intan, perempuan tersebut tidak lagi di bangku tadi. Ke mana dia? Aku lantas menghentikan langkah dan sadar bahwa tangan Laras masih melekat di genggamanku.“Oh, maaf. Saya tidak sengaja,” ucapku sambil membuang pandangan ke sembarang arah.“Nggak apa-apa. Kita ... jadi pulang?” tanyanya kemudian.&ldqu
Aku tak mampu menahan tubuh yang terasa semakin lemas, sendi-sendi lututku rasanya keropos. Tiada daya dan upaya, akhirnya tubuhku roboh. Namun, perempuan tersebut menangkapku dengan lugas. Kurasakan kepalaku berbaring di bahunya. Ah, dia wangi sekali. Siapa dia? Aku bahkan belum melihat wajahnya. Tepatnya aku tidak mampu. Entah mengapa, aku merasakan sepasang tangannya mendekapku dengan erat.“Kamu kenapa, Bagas?”Oh, ternyata Laras. Benar sekali. Aku mengenal suaranya, tetapi tak mampu mataku melihat ekspresi di wajahnya. Tak mampu mengangkat kepalaku. Aku tenggelam dalam semerbak wangi tubuhnya. Sayup-sayup kulihat kulitnya yang begitu putih dan lembut di kedua mata.“Aku bantu kamu.”Ia balikkan tubuhku, kemudian membantuku menuju sofa di ruang tengah. Ia merebahkan tubuhku begitu pelan. Mataku mengembun, semakin pudar penglihatanku. Air mata sepertinya akan meghunjam di kedalaman jiwaku, lagi.“Kamu kenapa, Bagas?
Tak ada apa pun di ruangan ini. Tak ada siapa pun. Ke mana perginya lelaki itu? Laras bersimpuh kala sendi-sendi lutut ia rasakan keropos, tak berdaya. Ah, harapanku dengan harapannya tentu saja berbeda. Tak akan asa ini bersatu. Itulah mengapa aku mengatakan ketika secercah asa tercipta, asa yang lain memporak-poranda. Doaku dengan doanya pasti berbeda. Kala ia menginginkan sang kekasih untuk bertahan hidup, lalu apakah aku menginginkan dia untuk sirna dari dunia ini? Tidak, aku hanya berharap ia mencintaiku, dan itu secara tidak langsung juga mengharapkan kekasihnya menghilang dari dunia selamanya.“Maaf, Mas, Mbak. Sekitar pukul 7.00 pagi, kami sudah menelepon ke nomor Mbak Laras. Tapi sepertinya tidak ada tanggapan. Kami dengan sangat menyesal memberitahukan bahwa Saudara Arman telah meninggal dunia.”Laras bergeming seolah menjadi batu karang di tepi lautan. Benar-benar ekspresinya tidak mempercayai apa yang baru saja dikatakan oleh dokter berkacamata