“Saya butuh gaji saya bulan ini, Pak.”
“Gaji? Tanggal gajianmu masih lama, Laras. Seminggu yang lalu kami sudah transfer melalui rekening bank kamu. Lantas, kenapa kamu meminta gaji lagi untuk bulan ini sebelum tanggal gajian?”
Laras duduk terpaku di hadapanku. Ia pijat pelipisnya. Aslinya yang lancip hitam terlihat berkeringat.
“Iya, saya tahu, Pak. Tapi ... saya butuh uang,” ucapnya pelan.
“Uang untuk apa?”
Aku menyipitkan mata, mencoba menyelidiki ekspresi wajah perempuan di hadapanku.
“Bapak tidak perlu tahu. Saya hanya ingin mengambil gaji saya lebih cepat karena saya sangat butuh. Saya janji akan bekerja lebih baik lagi.”
“Tidak bisa!” Aku menggeprak meja sehingga Laras mengerjapkan mata, ia alihkan pandangannya ke sembarang tempat. “Kinerja kamu bulan lalu saja menurun, Laras. Saya tidak percaya dengan janji kamu itu. Ketika seseorang berjanji akan sesuatu saat dia butuh, esoknya saat dia sudah mendapatkan apa yang mereka mau, mereka pasti akan melupakannya. Saya yakin kamu adalah salah satu dari orang-orang yang seperti itu.”
“Tolong, Pak. Berhenti menilai-nilai diri saya. Hanya saya yang tahu diri saya sendiri. Bapak tidak berhak untuk itu. Jika bapak tidak berkenan memberikan gaji saya, ya, sudah. Saya tidak memaksa, Pak.” Laras berdiri kemudian. Tatapannya melotot tajam. Ia benar-benar marah dengan kalimat yang baru aku lontarkan. “Ingat, Pak. Anda hanya bos, pemilik perusahaan. Anda bukan Tuhan yang pantas menilai orang lain!”
Perempuan tersebut melangkah keluar dari ruanganku. Bukan kali pertamanya, tetapi Laras adalah karyawan yang paling berani melawanku di perusahaan ini. Tak ada karyawan seberani dirinya. Bahkan meminta gaji di awal atau kasbon pun tidak ada yang berani seperti Laras.
Aku heran, terbuat dari apa hati perempuan itu? Kenapa dia sangat berani melawan seorang pemilik perusahaan? Apakah dia tidak takut dipecat? Entahlah, pikiran-pikiran seperti itu satu per satu membuatku berpikir keras. Sikap dan sifatnya sangat berbeda dengan kebanyakan orang, lelaki maupun perempuan di luar sana.
Dalam beberapa bulan, sekitar tiga puluh orang mengundurkan diri karena tidak tahan dengan sikapku memperlakukan mereka. Namun, Laras sudah bertahan di perusahaan ini lebih dari tiga bulan. Ia paling tahu apa yang akan membuatku marah. Namun, tetap saja ia masih melakukan kesalahan-kesalahan yang memicu emosi di benakku.
Aku mengembusan napas panjang.
-II-
“Ini gaji yang kamu minta. Saya tidak tahu akan kamu gunakan untuk apa uang-uang itu, tapi berjanjilah untuk setia bekerja dengan saya.”
Aku meletakkan sekumpulan uang yang telah kubungkus dengan amplop cokelat di meja Laras. Kemudian, kulangkahkan kaki untuk segera keluar dari ruangannya.
Namun, sebelum mencapai pintu, perempuan itu memanggilku, “Pak!”
Aku lantas membalikkan badan dan melihat Laras berdiri.
“Terima kasih banyak, Pak.” Segurat senyum juga rasa haru ia gores di wajahnya. Tak tahu diriku mengapa begitu senang melihat kurva indah yang terbentuk di wajah perempuan itu. Aku tak tahu mengapa jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya, juga darahku rasanya jelas mengalir.
Aku hanya mengangguk untuk menanggapi rasa terima kasih sang perempuan, lalu melangkah kembali ke ruanganku.
Sesuatu yang tidak pernah aku inginkan untuk terjadi ialah memberikan simpati berlebihan kepada siapa pun. Berawal dari perasaan itulah seorang manusia akan hancur oleh sebuah idealisme, entah mengapa aku beranggapan seperti itu setelah disakiti seorang insan yang dulu pernah kucintai dengan sangat. Rasa cinta dan kalimat-kalimat kesetiaan selalu ia ucap hanya untuk menenangkanku semata. Namun, sayang sekali semua itu melebur dalam satu rasa, yaitu kebencian tak bertepi. Hingga saat ini, aku membencinya.
-II-
Malam ini, aku masih berkutat dengan laptop di meja kerjaku. Aku terpaksa harus mengajak Laras kerja lembur lagi untuk kesekian kalinya. Akhir-akhir ini, banyak sekali klien, pun investor yang tertarik dengan perusahaanku. Di saat yang bersamaan juga, banyak perusahaan kompetitor yang mencoba untuk melumpuhkan usahaku dengan cara kotor. Tentu saja, hal-hal seperti pengelolaan perusahaan, baik dari dalam maupun dari luar adalah bagian dari tugasku.
Di tengah kesibukan ini, seseorang memasuki ruanganku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Aku melepas napas gusar karena tahu siapa sosok yang tidak tahu tata krama tersebut. Siapa lagi kalau bukan Cassandra. Meski begitu, aku tidak bermaksud untuk menghentikan jari-jari ini.
Cassandra tak bersuara meski kini berdiri di sampingku. Inilah salah satu hal yang kubenci dari perempuan murahan tersebut. Ia melihatku tengah sibuk melakukan pekerjaanku, tetapi ia dengan senyap justru menyejajarkan tingginya dengan posisi dudukku, lalu membelai mesra wajahku. Berkali-kali aku menghindar, tetapi perempuan tidak tahu diri ini selalu berusaha membuatku terjebak dengan pesonanya. Sialan!
Aku mengernyitkan gigi. Tak bisa melakukan apa-apa jika Cassandra bersikeras. Jika aku melawan, tentu saja ia akan melapor pada ayahnya. Jika diam, aku kehilangan wibawaku sebagai seorang manusia yang terhormat. Oh, ayolah. Tidak adakah hal lain yang bisa dilakukan perempuan ini selain menempel dadanya di bahuku serta meniup-niup wajahku?
“Cassandra, saya peringatkan kamu—“
“Apa kamu mau aku laporkan lagi, Bagas?”
Aku mendecih dan pekerjaan tidak bisa kulanjutkan. Lihatlah tingkah lakunya. Dia seperti binatang yang penuh nafsu. Ia belai aku, ia buka kancing jas dan kemejaku. Apa yang bisa aku lakukan?
Aku hanya berharap seseorang datang ke ruangan ini untuk menggagalkan rencana kotor perempuan ini. Laras! Ayolah, hanya dia harapanku. Berkas yang kuberikan padanya pasti sudah ia selesaikan. Dan sekarang ia pasti sedang melangkah ke ruangan ini.
Ia berhasil membuka kancing kemejaku. Kemudian, melakukan tahap berikutnya, yaitu mengelus-elus dada bidangku hingga perut sixpack-ku. Ayolah, aku tidak tahan lagi. Laras, kumohon kamu datang dan menggagalkan aksi perempuan picik ini.
Aku berusaha melawan, menyingkirkan tangan Cassandra dari tubuhku. Namun, jelas dia kembali melakukan hal seperti sebelumnya.
“Apa kamu nggak rindu dengan momen-momen saat kita bercumbu, Sayang?” bisiknya tajam di telinga kananku.
“Cassandra, tolong, saya sedang bekerja.”
“Bagas, ini sudah malam, waktunya istirahat dan melakukan hal ini. Benar, kan? Seperti waktu itu? Kamu benar-benar hot, Bagas.”
Tak tahan, aku bangkit dari kursi, kulepaskan tangan Cassandra dari tubuhku.
“Berhenti, Cassandra!” tegasku sedikit menahan volume suara untuk tidak meninggi.
“Oh, jadi kamu memilih untuk—“
“Persetan. Kalau kamu tega melihat saya hancur, silahkan. Saya tidak akan melarang kamu. Satu hal yang perlu kamu tahu, Cassandra. Saya bukan lelaki jalang seperti kamu!” Akhirnya, nada suaraku meninggi, emosi meluap-luap.
Beberapa saat setelahnya, sosok Laras muncul di ruangan ini. Ia tampak terengah-engah. Kenop pintu masih ia pegang dengan erat. Hanya setengah badannya yang masuk di ruangan ini.
Aku dan Cassandra sontak melihat ke arah pintu. Cukup terkejut juga ekspresi Laras melihat ada Ayifa di ruanganku.
“Ma-maaf, Pak. Saya akan—“
“Berhenti kamu!” teriak Cassandra, berhasil menghentikan langkah Laras. Cassandra melangkah untuk menghampiri perempuan tersebut.
“Jadi, kamu sudah berurusan dengan orang yang salah!” Tak ragu-ragu, Cassandra mencengkeram rahang Laras.
“Masa depanmu akan hancur karena sudah mengganggu kesenanganku, Pelacur!”
Tampak setitik air mata di netra Laras. Aku jelas tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Peduli setan dengan perusahaan ini dan kekayaanku. Tubuhku bergerak dengan sendiri. Melangkah ke arah Cassandra dan Laras berada di pintu, lalu mengulurkan tanganku untuk melepaskan cengkeraman Cassandra.
“Kamu yang berurusan dengan orang yang salah! Lepasin Laras! SEKARANG JUGA!”
Ya, ketika emosiku telah menguasai, apa pun yang aku lihat telah gelap adanya. Tak peduli lagi diri ini dengan harta benda ataupun masa depan. Tak peduli lagi dengan perempuan picik di hadapanku ini. Tak peduli ia melapor atau tidak pada ayahnya.
Cassandra membelalakkan mata, terkejut mendengar teriakan yang begitu keras dan kasar. Tangannya yang mencengkeram Laras, lantas lemas. Dadanya kembang kempis, menatapku dengan kosong. Kini, dialah yang menangis sebelum Laras menjatuhkan air matanya.
“Aku benci kamu, Bagas! Aku benci kamu! Aku benci kamu! Berengsek kamu!” Cassandra memukul dan menampar wajahku, tetapi aku tak peduli. Tajamnya mata ini tak lagi bisa tumpul. Membludaknya emosi ini tak lagi bisa ditenangkan. Panasnya suasana, tak mampu didinginkan.
Cassandra pun berlalu pergi dengan perasaan hancur, dendam, air mata, dan sesuatu yang mendeskripsikan kehancuran di relungnya.
Sementara itu, Laras masih berada di depanku. Ia tak berani menatap diriku yang sedang dikuasai amarah. Meski begitu, betapa baiknya ia ingin menggapaiku dan menyapa diriku ini. “Pak ....”
“Laras, pulanglah. Saya akan tetap di sini untuk beberapa jam. Pekerjaan saya belum selesai.”
Sengaja mengatakan hal itu padanya agar aku sendiri dengan gelapnya hati ini.
“Tapi, Pa—“
“PULANG!”
Tak punya pilihan lain, Laras menjejakkan langkah pelan. Ia tutup pintu ruanganku. Ya, aku tahu ia pasti terkejut dengan perlakukan Cassandra padanya.
Aku melangkah pelan ke meja kerja. Tak mampu menahan rasa yang bergelimang di angan. Lututku rasanya begitu lemas. Aku roboh, tetapi kutahan dan berpegangan pada meja. Akhirnya, bulir-bulir kesedihan ini jatuh membasahi relung yang berdarah tak berkesudahan.
“BERENGSEK!”
Suaraku menggema di ruangan. Meski begitu, tak ada yang akan mendengarku. Tak ada yang akan melihat bahwa seorang bos yang terkenal galak dan tegas ini akhirnya lumpuh oleh sendu yang memaksa air mata tetap mengalir deras.
-II-
Pukul 10.00 malam, air mataku telah kering. Bekas-bekasnya pun tak ada di pipi maupun di sekitar wajahku. Aku bangkit setelah beberapa lama bersimpuh di lantai. Kurapikan kemeja dan jasku yang beberapa waktu lalu dilucuti oleh Cassandra, lalu keluar dari ruangan.
Ketika melewati ruangan Laras, aneh, kenapa lampu ruangannya masih menyala? Aku memeriksanya, dan benar dugaanku bahwa perempuan itu masih berkutat di depan komputer.
Aku melihat rautnya yang sendu dari balik kaca. Jadi, dia belum pulang? Aku menelan saliva beberapa kali.
Itu artinya, ia mendengar teriakan dan tangisku.
Kenapa ada perempuan seperti kamu, Laras?
-II-
Beberapa hari ini, aku benar-benar tidak mood melakukan sesuatu. Semua pekerjaan sudah aku serahkan pada Laras, juga Damar selaku HRD. Meskipun hadir di kantor, aku hanya memangku kepala dengan tangan, menatap hampa, tak melakukan apa-apa. Tidak hanya itu, tetapi ketika berpapasan dengan Laras, aku tak berniat menyapa dirinya atau menegur tentang segala hal seperti yang biasanya aku lakukan.Kesalahan fatal. Aku tidak tahu perasaan apa yang sering datang akhir-akhir ini. Namun, seakan ambisiku pada perusahaan ini lenyap seketika. Aku juga tak peduli lagi jika Cassandra melaporkan pada ayahnya soal tindakanku beberapa hari lalu. Semua menjadi tidak penting.“Pak?”Tiba-tiba saja Laras ada di hadapanku, duduk sambil memiringkan kepala dan meneliti ekspresi wajahku.“Kamu?! Kalau masuk seharusnya—““Saya sudah mengetuk pintu beberapa kali, Pak. Tapi, Bapak tidak menyahut juga. Maaf kalau saya lancang masuk
Siapa sebenarnya pria di rumah sakit yang selalu dibesuk oleh Laras? Hingga kini, aku belum bisa mengambil kesimpulan. Seorang pria yang sepantaran denganku. Dibalut dengan infus, dan ia koma. Apakah suami perempuan itu? Tapi, aku pernah membaca salah satu dokumen di lamaran kerjanya, statusnya sama sekali belum menikah. Lalu, siapa dia?Aku berusaha keras memikirkan perihal ini dari beberapa hari yang lalu. Jika aku bertanya pada Laras, sangat tidak mungkin. Dia pernah bilang bahwa aku tidak seharusnya ikut campur dalam urusan pribadinya. Lalu, hingga saat ini aku juga belum melaksanakan perintah dari tua bangka—Bambang. Sangat berat hatiku untuk memecat Laras. Jika alasannya bekerja di perusahaan ini adalah untuk membiaya perawatan pria di rumah sakit itu, dan aku memecatnya, maka sudahlah pantas diri ini disebut sebagai orang yang tidak berkeprimanusiaan.“Bagas! Kenapa perempuan jalang itu belum juga kamu pecat?!” Cassandra nyelonong masuk ke ruan
“Mau apa lagi Anda datang ke kantor saya?”Bambang bertingkah semaunya, ia rebahkan badannya di sofa, membentang berselonjor kakinya sampai di meja sambil membuka halaman koran hari ini. Sedangkan sedari tua bangka itu masuk, Laras menunduk tak mampu mengangkat wajahnya.“Saya hanya mau melihat kehancuran kamu, Bagas. Karena kamu telah berani menyakiti anak saya, inilah akibatnya. Kamu pikir saya main-main dengan perkataan saya?” Bambang tertawa meremehkan.“Sayangnya saya tidak peduli. Anda bukan satu-satunya orang kaya di dunia ini. Masih banyak yang lainnya. Sekarang juga, saya minta Anda PERGI DARI SINI! Tua bangka iblis!”Bambang beranjak sambil meremas koran hingga berbentuk bulat, lalu ia buang sembarangan.“Kamu dan perempuan jalangmu, Bagas, sudah hancur.” Tua bangka tersebut berlalu pergi.Cukup lama terdiam, Laras mengangkat wajahnya. “S-sabar, ya, Pak ....”&ldquo
“Maaf, maksud Bapak apa, ya? Saya tidak mengerti.”“Ssst. Laras, mulai sekarang jangan terlalu formal dengan saya. Kamu boleh pakai bahasa sehari-hari saat berada di luar kantor,” ucapku yang kemudian tersenyum tipis ke arah Laras.Perempuan tersebut tidak menanggapi. Ia menundukkan wajahnya sejenak.“Bapak belum menjawab—““Ssst! Saya sudah bilang kalau kamu jangan terlalu formal dengan saya!”Laras menghela napas dalam. “Baik. Kamu ... belum jawab pertanyaanku, B-Bagas.”Terkesan begitu canggung saat Laras mulai berkomunikasi dengan bahasa tidak formal denganku. Meski memintanya begitu, aku masih belum bisa menghilangkan kepribadianku yang saat ini. Aku sudah biasa menggunakan bahasa formal, baik di luar kantor, maupun di dalam kantor. Akan tetapi, aku meminta Laras berlaku tidak formal hanya karena ingin dia merasa lebih dekat denganku. Ingin meleburkan hubungan antara atas
Intan di meja sebelah bersama dengan kedua orang tuanya dan entah siapa lelaki yang juga hadir di sana bersama dua orang—pria paruh baya serta wanita paruh baya. Mereka tampak berbincang-bincang, tetapi lantas Intan malah menatap ke arahku dengan lamat. Yang dia pahat di wajahnya hanya ekspresi sendu. Seolah wajah itu sedang mengajakku berbicara, memintaku untuk melakukan sesuatu. Entahlah.“Laras, ayo kita pergi dari sini!” Aku bangkit tanpa merespons pertanyaan Laras. Kugapai tangan perempuan di hadapan dan mengajaknya menjauh dari restoran tempatku berada.Namun, ketika menoleh ke belakang untuk memeriksa Intan, perempuan tersebut tidak lagi di bangku tadi. Ke mana dia? Aku lantas menghentikan langkah dan sadar bahwa tangan Laras masih melekat di genggamanku.“Oh, maaf. Saya tidak sengaja,” ucapku sambil membuang pandangan ke sembarang arah.“Nggak apa-apa. Kita ... jadi pulang?” tanyanya kemudian.&ldqu
Aku tak mampu menahan tubuh yang terasa semakin lemas, sendi-sendi lututku rasanya keropos. Tiada daya dan upaya, akhirnya tubuhku roboh. Namun, perempuan tersebut menangkapku dengan lugas. Kurasakan kepalaku berbaring di bahunya. Ah, dia wangi sekali. Siapa dia? Aku bahkan belum melihat wajahnya. Tepatnya aku tidak mampu. Entah mengapa, aku merasakan sepasang tangannya mendekapku dengan erat.“Kamu kenapa, Bagas?”Oh, ternyata Laras. Benar sekali. Aku mengenal suaranya, tetapi tak mampu mataku melihat ekspresi di wajahnya. Tak mampu mengangkat kepalaku. Aku tenggelam dalam semerbak wangi tubuhnya. Sayup-sayup kulihat kulitnya yang begitu putih dan lembut di kedua mata.“Aku bantu kamu.”Ia balikkan tubuhku, kemudian membantuku menuju sofa di ruang tengah. Ia merebahkan tubuhku begitu pelan. Mataku mengembun, semakin pudar penglihatanku. Air mata sepertinya akan meghunjam di kedalaman jiwaku, lagi.“Kamu kenapa, Bagas?
Tak ada apa pun di ruangan ini. Tak ada siapa pun. Ke mana perginya lelaki itu? Laras bersimpuh kala sendi-sendi lutut ia rasakan keropos, tak berdaya. Ah, harapanku dengan harapannya tentu saja berbeda. Tak akan asa ini bersatu. Itulah mengapa aku mengatakan ketika secercah asa tercipta, asa yang lain memporak-poranda. Doaku dengan doanya pasti berbeda. Kala ia menginginkan sang kekasih untuk bertahan hidup, lalu apakah aku menginginkan dia untuk sirna dari dunia ini? Tidak, aku hanya berharap ia mencintaiku, dan itu secara tidak langsung juga mengharapkan kekasihnya menghilang dari dunia selamanya.“Maaf, Mas, Mbak. Sekitar pukul 7.00 pagi, kami sudah menelepon ke nomor Mbak Laras. Tapi sepertinya tidak ada tanggapan. Kami dengan sangat menyesal memberitahukan bahwa Saudara Arman telah meninggal dunia.”Laras bergeming seolah menjadi batu karang di tepi lautan. Benar-benar ekspresinya tidak mempercayai apa yang baru saja dikatakan oleh dokter berkacamata
Bukan maksud hati ini membuat Laras sakit hingga memilih untuk pergi. Memang, semua sangat tidak wajar dari awal. Seharusnya aku tidak mengatakan hal yang membangkitkan kemarahan di benaknya. Momen tak tepat, terlanjur menghancurkan semuanya. Dan kini yang tersisa hanyalah harapan yang nyaris tanggal.Tiap-tiap malam aku berpikir keras untuk menemukan keberadaan perempuan tersebut. Aku tahu kampung halamannya di mana. Namun, akan sangat aneh juga jika aku mengajarnya. Seolah aku memaksanya untuk menerima ajakanku untuk menikah dengannya. Bulan-bulan aku lalui tanpa hadirnya. Sepi dan sunyi. Suasana tak lagi hidup. Warna tak lagi mewarni sebagaimana mestinya ketika dia hadir di tatapanku.Aku juga tidak bisa membiarkan perusahaan dalam keadaan di ambang batas. Aku mulai lagi menyibukkan diri seperti sedia kala. Tanpa cinta, tanpa hadirnya aku menjalani semuanya sendiri.Perusahaan kembali kubangun. Menjalin hubungan dengan mitra-mitra yang kuanggap berpotensi mem