Mendengar pernyataan pria berambut panjang, tatapan Deon semakin serius. Baginya, sekarang basa-basi tidak lagi diperlukan. Entah benar atau tidak bahwa para anggota Bruno tengah bertempur dengan anak buah si pemasok senjata ini.
“Kalau gitu, kita buktiin di sini siapa yang lebih hebat.”
Ketika Deon hendak menyiapkan kuda-kuda, pria berambut panjang berkata, “Tidak perlu.”
Selang beberapa saat pria tersebut memberikan sinyal pada salah satu anak buahnya. Deon semakin waspada. Namun, dia tidak cukup cekat dalam menghindari sebuah peluru yang kemudian dilesatkan oleh anak buah si pemasok senjata. Alhasil, timah panas menancap di bahu sebelah kanan Deon.
“Sialan!” jerit Deon sambil m
Ketika pria berambut panjang hendak pergi bersama para anak buahnya yang bertugas membawa Deon, sebuah suara menghentikannya.“Serahkan Deon sama gue!”Pria paruh baya berbalik badan. Yang terlihat ialah seorang perempuan yang sedang membawa dua pistol di tangan dan dua pedang yang terselip di punggung.“Oh, bukankah kamu ….” Pria tersebut tidak melanjutkan kalimatnya. Namun, dia pun tertawa kemudian.“Ya, ya. Saya pernah mendengar desas-desus kalau salah satu senjata pembunuh Tyrex ikut bergabung ke Bruno. Dan tentu saja, yang mereka maksud adalah kamu. Kamulah pengkhianatnya.”Perempuan yang tak lain ialah Melind
“B-bang … sat!”Tubuh Deon lemas seketika. Anggraini terbelalak kaget karena merasakan cairan kental memenuhi tangannya. Dia lihat, lalu air matanya pun keluar begitu banyak.“DEON!”Di titik ini, napas Deon mulai tak beraturan. Dia seperti orang yang kedinginan, tetapi udara yang masuk ke mulutnya sangat terbatas. Bahkan saat Anggraini menjadi lemas, Deon tidak mampu menopang beban tubuhnya hingga harus tergeletak di tanah.Dengan posisi berbaring, Deon menyaksikan wajah pria paruh baya yang masih mengacungkan pistol ke arahnya. Sang lawan menyeringai, lalu berkata, “Saya sudah mengatakannya padamu. Kamu akan mati di tempat ini.”
Deon dan Aldrikov menoleh ke sumber suara. Keduanya tercengang karena melihat bahwa Kikan-lah yang memiliki suara menggelegar barusan. Deon mengerutkan kening, lalu meningkatkan kewaspadaan. Baginya, tidak mungkin perempuan sadis ini tidak ikut campur dalam pertarungannya.“Apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu mau mengganggu pertarunganku dengan si tua bangka ini?!” tegas Deon dengan tatapan yang begitu tajam.Kikan lantas tertawa bergelak mendengar dugaan Deon.“Nggak juga. Aku datang nggak untuk mengganggu jalannya pertarunganmu dengan Aldrikov.”Sambil mengangkat sebelah alisnya, Deon bertanya, “Lalu? Apa yang kamu inginkan?”
Semua persiapan telah dilakukan oleh Deon dan Aldrikov. Kini, keduanya saling tatap satu sama lain.“Aku yang menang, Tua Bangka!”Keduanya melesat dengan sangat cepat. Deon menggerakkan tangannya secara vertikal, tetapi Aldrikov melompat begitu tinggi hingga melewati tubuh Deon. Hal ini membuat lelaki bertubuh atletis ini tersentak kaget. Dia kehilangan momentum. Alhasil, ketika berbalik badan, tangan Aldrikov telah siap melukai wajah dan perutnya.Walau begitu, Deon tak tinggal diam. Tak ingin kalah cepat, dia memutar kedua tangannya ke arah kanan dan berhasil menangkis serangan lawan. Sayangnya, entakan yang begitu kuat membuat Deon terempas beberapa meter.“Kamu terlalu percaya diri.”
Deon terakhir kali mengingat bahwa dirinya telah menyelesaikan pertarungan dengan Aldrikov, juga Kikan yang memberikan ucapan selamat padanya. Kini, saat lelaki ini terbangun, entah mengapa dia terlihat sangat kebingungan.“Di mana aku?” tanya Deon sambil beranjak duduk. Dia melirik ke sekitar ruangan yang tak cukup luas tempatnya berada saat ini.Selang beberapa saat, matanya berhenti pada perempuan yang terlihat membatu.“Anggraini? Apa aku ada di rumah sakit?” tanya Deon kesekian kalinya.“Deon! Syukurlah lo udah sadar!”Tanpa menjawab pertanyaan sang lelaki, Anggraini lantas memeluk tubuh Deon yang dipenuhi oleh perba
Atas kedatangan Deon yang secara tiba-tiba, Kikan cukup terkejut. Keningnya mengerut dan berangsur-angsur menjaga jarak. Sementara itu, lelaki dengan sweater yang telah mendapatkan pukulan keras dari Deon, kini menatap dengan tajam penuh intimidasi.“Sialan. Siapa lo?! Berani-beraninya lo memukul gue!” tegas lelaki dengan sweater.Deon mengangkat sebelah alisnya, lalu berkata, “Siapa aku nggak penting. Yang jelas, kamu udah bertindak kasar sama cewek. Kamu itu cowok, bukan banci, kan?!”Mendengar tanggapan Deon tersebut, sang lelaki dengan sweater lantas tertawa terbahak-bahak.“Sialan. Baru kali ini gue nemuin orang yang berani sama gue. Lo belum tahu siapa gue, hah?!”
Kikan tetap menarik lengan Deon sampai akhirnya keluar dari bar dan tiba di sebuah gang sempit. Dengan sangat keras, Kikan mengempaskan punggung Deon pada dinding. Perempuan ini menumpu kedua tangannya di antara kepala sang lelaki.“Ada apa ini?!” Deon bertanya dengan penuh penekanan.“Jangan ikut campur urusanku!” tegas Kikan dengan tatapan yang begitu tajam. Tak sedikit pun dia mengalihkan pandangan dari mata Deon.“Oh, gitu. Okay, aku sadar kalau itu bukan urusanku. Tapi, seorang laki-laki nggak akan tinggal diam saat melihat perempuan sedang tersiksa di depannya,” pungkas Deon, santai.“Tersiksa?! Apa aku terlihat tersiksa?! Dasar bodoh!”
"Bagas! Jadi, pekerjaan kamu selama ini tukang makanan?!""Intan?! Intan, kamu ngapain di sini?! Aku ... aku ... bukan … nggak …."Aku berusaha meraih lengan Intan—kekasih yang sudah lama menemani hari-hariku tanpa mengetahui profesi yang membuatku bisa cukup makan 3 kali dalam sehari. Wajahnya menunjukkan sebuah kekecewaan.Intan tak mau mendekat dan sangat menjaga jarak. Sangat jelas ia tidak menerimaku, dilihat dari kerutan di dahi serta tatapannya yang tampak terkejut. Dia mungkin tidak mau menerima kenyataan bahwa kekasih yang selama ini selalu ada untuknya hanya seorang tukang pengantar makanan yang memiliki hidup serba berkecukupan."Jangan deket-deket. Jangan mendekat! Gue nggak mau tangan kotor lo nyentuh gue! Dasar, malu-maluin!"Setelah menggeleng pelan sambil melihatku dengan penuh kejijikan, Intan melangkah pergi dari seonggok raga yang kini bergeming tak berdaya, memaksanya untuk tinggal.Aku sangat tahu kea
Kikan tetap menarik lengan Deon sampai akhirnya keluar dari bar dan tiba di sebuah gang sempit. Dengan sangat keras, Kikan mengempaskan punggung Deon pada dinding. Perempuan ini menumpu kedua tangannya di antara kepala sang lelaki.“Ada apa ini?!” Deon bertanya dengan penuh penekanan.“Jangan ikut campur urusanku!” tegas Kikan dengan tatapan yang begitu tajam. Tak sedikit pun dia mengalihkan pandangan dari mata Deon.“Oh, gitu. Okay, aku sadar kalau itu bukan urusanku. Tapi, seorang laki-laki nggak akan tinggal diam saat melihat perempuan sedang tersiksa di depannya,” pungkas Deon, santai.“Tersiksa?! Apa aku terlihat tersiksa?! Dasar bodoh!”
Atas kedatangan Deon yang secara tiba-tiba, Kikan cukup terkejut. Keningnya mengerut dan berangsur-angsur menjaga jarak. Sementara itu, lelaki dengan sweater yang telah mendapatkan pukulan keras dari Deon, kini menatap dengan tajam penuh intimidasi.“Sialan. Siapa lo?! Berani-beraninya lo memukul gue!” tegas lelaki dengan sweater.Deon mengangkat sebelah alisnya, lalu berkata, “Siapa aku nggak penting. Yang jelas, kamu udah bertindak kasar sama cewek. Kamu itu cowok, bukan banci, kan?!”Mendengar tanggapan Deon tersebut, sang lelaki dengan sweater lantas tertawa terbahak-bahak.“Sialan. Baru kali ini gue nemuin orang yang berani sama gue. Lo belum tahu siapa gue, hah?!”
Deon terakhir kali mengingat bahwa dirinya telah menyelesaikan pertarungan dengan Aldrikov, juga Kikan yang memberikan ucapan selamat padanya. Kini, saat lelaki ini terbangun, entah mengapa dia terlihat sangat kebingungan.“Di mana aku?” tanya Deon sambil beranjak duduk. Dia melirik ke sekitar ruangan yang tak cukup luas tempatnya berada saat ini.Selang beberapa saat, matanya berhenti pada perempuan yang terlihat membatu.“Anggraini? Apa aku ada di rumah sakit?” tanya Deon kesekian kalinya.“Deon! Syukurlah lo udah sadar!”Tanpa menjawab pertanyaan sang lelaki, Anggraini lantas memeluk tubuh Deon yang dipenuhi oleh perba
Semua persiapan telah dilakukan oleh Deon dan Aldrikov. Kini, keduanya saling tatap satu sama lain.“Aku yang menang, Tua Bangka!”Keduanya melesat dengan sangat cepat. Deon menggerakkan tangannya secara vertikal, tetapi Aldrikov melompat begitu tinggi hingga melewati tubuh Deon. Hal ini membuat lelaki bertubuh atletis ini tersentak kaget. Dia kehilangan momentum. Alhasil, ketika berbalik badan, tangan Aldrikov telah siap melukai wajah dan perutnya.Walau begitu, Deon tak tinggal diam. Tak ingin kalah cepat, dia memutar kedua tangannya ke arah kanan dan berhasil menangkis serangan lawan. Sayangnya, entakan yang begitu kuat membuat Deon terempas beberapa meter.“Kamu terlalu percaya diri.”
Deon dan Aldrikov menoleh ke sumber suara. Keduanya tercengang karena melihat bahwa Kikan-lah yang memiliki suara menggelegar barusan. Deon mengerutkan kening, lalu meningkatkan kewaspadaan. Baginya, tidak mungkin perempuan sadis ini tidak ikut campur dalam pertarungannya.“Apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu mau mengganggu pertarunganku dengan si tua bangka ini?!” tegas Deon dengan tatapan yang begitu tajam.Kikan lantas tertawa bergelak mendengar dugaan Deon.“Nggak juga. Aku datang nggak untuk mengganggu jalannya pertarunganmu dengan Aldrikov.”Sambil mengangkat sebelah alisnya, Deon bertanya, “Lalu? Apa yang kamu inginkan?”
“B-bang … sat!”Tubuh Deon lemas seketika. Anggraini terbelalak kaget karena merasakan cairan kental memenuhi tangannya. Dia lihat, lalu air matanya pun keluar begitu banyak.“DEON!”Di titik ini, napas Deon mulai tak beraturan. Dia seperti orang yang kedinginan, tetapi udara yang masuk ke mulutnya sangat terbatas. Bahkan saat Anggraini menjadi lemas, Deon tidak mampu menopang beban tubuhnya hingga harus tergeletak di tanah.Dengan posisi berbaring, Deon menyaksikan wajah pria paruh baya yang masih mengacungkan pistol ke arahnya. Sang lawan menyeringai, lalu berkata, “Saya sudah mengatakannya padamu. Kamu akan mati di tempat ini.”
Ketika pria berambut panjang hendak pergi bersama para anak buahnya yang bertugas membawa Deon, sebuah suara menghentikannya.“Serahkan Deon sama gue!”Pria paruh baya berbalik badan. Yang terlihat ialah seorang perempuan yang sedang membawa dua pistol di tangan dan dua pedang yang terselip di punggung.“Oh, bukankah kamu ….” Pria tersebut tidak melanjutkan kalimatnya. Namun, dia pun tertawa kemudian.“Ya, ya. Saya pernah mendengar desas-desus kalau salah satu senjata pembunuh Tyrex ikut bergabung ke Bruno. Dan tentu saja, yang mereka maksud adalah kamu. Kamulah pengkhianatnya.”Perempuan yang tak lain ialah Melind
Mendengar pernyataan pria berambut panjang, tatapan Deon semakin serius. Baginya, sekarang basa-basi tidak lagi diperlukan. Entah benar atau tidak bahwa para anggota Bruno tengah bertempur dengan anak buah si pemasok senjata ini.“Kalau gitu, kita buktiin di sini siapa yang lebih hebat.”Ketika Deon hendak menyiapkan kuda-kuda, pria berambut panjang berkata, “Tidak perlu.”Selang beberapa saat pria tersebut memberikan sinyal pada salah satu anak buahnya. Deon semakin waspada. Namun, dia tidak cukup cekat dalam menghindari sebuah peluru yang kemudian dilesatkan oleh anak buah si pemasok senjata. Alhasil, timah panas menancap di bahu sebelah kanan Deon.“Sialan!” jerit Deon sambil m
Tidak mudah bagi Deon untuk melakukan pergerakan saat ini. Bahwa keadaan tubuhnya dipenuhi luka dan juga para anak buah pria berambut panjang terlihat siap dengan berbagai senjata yang mereka bawa. Untuk itu, Deon hanya menatap ke arah sang lawan. Sesekali bergantian menatap Anggraini yang sedang dalam keadaan tertodong senjata.“Akhirnya, kami menemukanmu. Sebelum jadi mayat di sini, ada baiknya kita bicara beberapa patah kata,” ucap pria berambut panjang sambil berjalan mondar-mandir.Deon berusaha bangkit meski tubuhnya masih terasa pegal dan sakit. Tidak dipungkiri ada beberapa tulang yang patah akibat dirinya yang menggelinding di bukit terjal ini.“Oh, aku kira kalian nggak bisa berbasa-basi. Ternyata, sama aja.”