Deon terakhir kali mengingat bahwa dirinya telah menyelesaikan pertarungan dengan Aldrikov, juga Kikan yang memberikan ucapan selamat padanya. Kini, saat lelaki ini terbangun, entah mengapa dia terlihat sangat kebingungan.
“Di mana aku?” tanya Deon sambil beranjak duduk. Dia melirik ke sekitar ruangan yang tak cukup luas tempatnya berada saat ini.
Selang beberapa saat, matanya berhenti pada perempuan yang terlihat membatu.
“Anggraini? Apa aku ada di rumah sakit?” tanya Deon kesekian kalinya.
“Deon! Syukurlah lo udah sadar!”
Tanpa menjawab pertanyaan sang lelaki, Anggraini lantas memeluk tubuh Deon yang dipenuhi oleh perba
Atas kedatangan Deon yang secara tiba-tiba, Kikan cukup terkejut. Keningnya mengerut dan berangsur-angsur menjaga jarak. Sementara itu, lelaki dengan sweater yang telah mendapatkan pukulan keras dari Deon, kini menatap dengan tajam penuh intimidasi.“Sialan. Siapa lo?! Berani-beraninya lo memukul gue!” tegas lelaki dengan sweater.Deon mengangkat sebelah alisnya, lalu berkata, “Siapa aku nggak penting. Yang jelas, kamu udah bertindak kasar sama cewek. Kamu itu cowok, bukan banci, kan?!”Mendengar tanggapan Deon tersebut, sang lelaki dengan sweater lantas tertawa terbahak-bahak.“Sialan. Baru kali ini gue nemuin orang yang berani sama gue. Lo belum tahu siapa gue, hah?!”
Kikan tetap menarik lengan Deon sampai akhirnya keluar dari bar dan tiba di sebuah gang sempit. Dengan sangat keras, Kikan mengempaskan punggung Deon pada dinding. Perempuan ini menumpu kedua tangannya di antara kepala sang lelaki.“Ada apa ini?!” Deon bertanya dengan penuh penekanan.“Jangan ikut campur urusanku!” tegas Kikan dengan tatapan yang begitu tajam. Tak sedikit pun dia mengalihkan pandangan dari mata Deon.“Oh, gitu. Okay, aku sadar kalau itu bukan urusanku. Tapi, seorang laki-laki nggak akan tinggal diam saat melihat perempuan sedang tersiksa di depannya,” pungkas Deon, santai.“Tersiksa?! Apa aku terlihat tersiksa?! Dasar bodoh!”
"Bagas! Jadi, pekerjaan kamu selama ini tukang makanan?!""Intan?! Intan, kamu ngapain di sini?! Aku ... aku ... bukan … nggak …."Aku berusaha meraih lengan Intan—kekasih yang sudah lama menemani hari-hariku tanpa mengetahui profesi yang membuatku bisa cukup makan 3 kali dalam sehari. Wajahnya menunjukkan sebuah kekecewaan.Intan tak mau mendekat dan sangat menjaga jarak. Sangat jelas ia tidak menerimaku, dilihat dari kerutan di dahi serta tatapannya yang tampak terkejut. Dia mungkin tidak mau menerima kenyataan bahwa kekasih yang selama ini selalu ada untuknya hanya seorang tukang pengantar makanan yang memiliki hidup serba berkecukupan."Jangan deket-deket. Jangan mendekat! Gue nggak mau tangan kotor lo nyentuh gue! Dasar, malu-maluin!"Setelah menggeleng pelan sambil melihatku dengan penuh kejijikan, Intan melangkah pergi dari seonggok raga yang kini bergeming tak berdaya, memaksanya untuk tinggal.Aku sangat tahu kea
"Ada perempuan yang mau bertemu dengan Bapak. Katanya, dia mau melamar pekerjaan sebagai sekretaris baru. Saya sudah bilang kalau perusahaan ini tidak butuh karyawan baru, tapi orangnya tetap mau bertemu Bapak.""Tidak becus kamu, Lina. Seharusnya kamu bisa meyakinkan dia kalau kita memang tidak butuh karyawan baru! Apa-apaan ini?!""Tapi, Pak. Orangnya—""Ya, sudah. Saya akan temui dia. Di mana perempuan itu sekarang?""Di ... depan ruangan Bapak."Aku menatap Lina, seorang receptionist di perusahaan yang aku kelola. Sambil menatap tajam, aku mendengkus kesal. Bagaimana bisa dia bekerja sangat tidak becus? Seharusnya dia dan satpam yang sudah digaji bisa bekerjasama dengan baik. Jika ada orang seperti perempuan yang dimaksud, dia dan sekuriti berkewajiban untuk mengusirnya.Aku pun melangkah ke ruang kerja yang berada di lantai tiga gedung raksasa ini. Perusahaanku memang terdiri dari tiga lantai. Di atas lantai 3 terdapat be
“Laras! Cepat, kemari!”Laras berjalan masuk ke ruanganku yang pintunya tak ditutup. Aku duduk berhadapan dengan Damar, seorang HRD yang seharusnya mengurus perihal lamaran pekerjaan.“Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Laras, begitu sopan.“Kenalkan, dia Damar, HRD di sini. Seharusnya, kemarin dia yang mengurus lamaran pekerjaan kamu di sini. Dokumen prestasi memang tidak penting bagi saya, tapi bagaimanapun juga, dokumen kamu akan tetap diarsipkan untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Kamu pasti mengerti maksud say, kan? Silahkan berikan dokumen kamu pada Damar.”“Baik. Tunggu sebentar, saya akan ambil di meja saya.”Sementara itu, Damar menatap serius Laras yang tengah berjalan keluar dari ruangan.“Hei, Damar. Ada laporan apa hari ini? Beberapa hari ini saya tidak dengar laporan dari kamu.”Seketika itu, Damar terhenyak dan menolehkan panda
“Mau ke mana kamu?!”Laras yang berjalan untuk keluar dari gedung, lantas berhenti dan berbalik.“Saya ... mau makan siang, Pak.”“Ikut saya!” tandasku tegas.“Tapi, Pak. Saya mau makan—““Nanti. Kamu harus ikut saya sekarang juga. Tidak ada bantahan!”Laras mengangguk pelan, kemudian mengikuti langkahku menuju tempat parkir di luar gedung.“Kita mau ke—““Berhenti. Jangan bicara lagi. Jangan banyak tanya.” Aku membuka pintu mobil hitam elegan—CR-V. “Masuk!”Tak banyak tanya lagi, Laras segera masuk ke mobil.Sebelum jam makan siang tadi, seorang pria bernama Abdi Jaya memintaku untuk menemuinya di sebuah restoran hotel bintang lima. Abdi Jaya merupakan seorang investor bergelimang harta, sudah berpengalaman dalam investasi di bidang properti. Pria berusia 40 tahun yang pandai melihat peluang dalam ber
Hal yang paling aku benci adalah timbulnya rasa penasaran di setiap urusan orang lain. Tidak hanya terjadi sekali saja, tetapi dulu ketika aku mengenal Intan, berawal dari rasa penasaranlah yang membuat perempuan itu menjadikan bahuku sebagai sandarannya. Sangat sulit bagiku untuk mengendalikan perasaan ini ketika hadir di benak.Aku mungkin telah salah ingin ikut campur dengan urusan pribadi Laras, tetapi entah mengapa emosi kerap kali hadir ketika aku tidak berhasil mengetahui sesuatu yang ia tutup dengan rapat dariku. Sebagai manusia, aku tahu perilaku ini sangat kelewatan dan tak wajar. Bagi kebanyakan orang, aku bukan manusia. Aku tidak pantas menjadi seorang pemimpin, atasan, atau sesuatu yang mendeskripsikan kepemimpinan itu sendiri. Karena seperti yang semua orang tahu, aku terlalu memaksakan kehendak kepada mereka.“Laras, saya mau melihat schedule saya beberapa minggu ke depan. Tolong kamu bawakan dokumennya ke ruangan saya.”Setel
“Sayang? Kamu suapin aku, dong.”Aku hanya menatap kosong, tak merespons Cassandra yang duduk tepat di hadapanku.“Sayang? Kamu kenapa, sih? Hei ....” Cassandra menggapai pipi kiriku, berusaha membuat wajahku memandang ke arah dirinya. Namun, aku menepis tangannya pelan.“Bagas! Apa-apaan, sih, kamu? Kamu kenapa? Akhir-akhir ini kamu nggak peduli banget sama aku!” Cassandra mulai bernada tinggi, membuat gendang telingaku hampir pecah.“Saya tidak apa-apa.”“Aku tahu.” Cassandra menyipitkan kedua matanya, mencoba menebak-nebak apa yang terjadi dengan diriku. “Kamu sudah kena pelet, ya, sama sekretaris kamu itu?”“Cassandra! Apa-apaan kamu?! Jangan melibatkan orang lain! Saya cuma lagi capek tahu nggak! Dan kamu memaksa saya menemui kamu dalam keadaan seperti ini.” Suaraku tak kalah tinggi sehingga membuat Cassandra membelalakkan mata.“Oh, jadi be