Hal yang paling aku benci adalah timbulnya rasa penasaran di setiap urusan orang lain. Tidak hanya terjadi sekali saja, tetapi dulu ketika aku mengenal Intan, berawal dari rasa penasaranlah yang membuat perempuan itu menjadikan bahuku sebagai sandarannya. Sangat sulit bagiku untuk mengendalikan perasaan ini ketika hadir di benak.
Aku mungkin telah salah ingin ikut campur dengan urusan pribadi Laras, tetapi entah mengapa emosi kerap kali hadir ketika aku tidak berhasil mengetahui sesuatu yang ia tutup dengan rapat dariku. Sebagai manusia, aku tahu perilaku ini sangat kelewatan dan tak wajar. Bagi kebanyakan orang, aku bukan manusia. Aku tidak pantas menjadi seorang pemimpin, atasan, atau sesuatu yang mendeskripsikan kepemimpinan itu sendiri. Karena seperti yang semua orang tahu, aku terlalu memaksakan kehendak kepada mereka.
“Laras, saya mau melihat schedule saya beberapa minggu ke depan. Tolong kamu bawakan dokumennya ke ruangan saya.”
Setelah menelepon perempuan itu, ia masuk ke ruanganku sambil membawa secarik kertas.
“Silahkan, Pak.” Ia sodorkan kertas tersebut sehingga aku mengambilnya.
Selesai membaca beberapa jadwal yang mengharuskanku untuk melakukan pertemuan, memimpin rapat dan segalanya, aku mengembuskan napas gusar.
“Ada apa, Pak?” tanya Laras.
“Tidak apa-apa. Bawa ini, dan kembalilah ke ruanganmu.”
Laras mengambil kertas di tanganku, lalu ia melangkah pergi dari ruangan. Sementara itu, aku memperhatikan tubuhnya yang perlahan hilang, menutup pintu dan tak terlihat lagi.
Sejak mengurus perusahaan, aku menjadi seseorang yang gila kerja. Aku jarang sekali berlibur atau melakukan hal yang seharusnya bisa membuat pikiranku tidak gundah.
Hal biasa yang aku lakukan untuk melampiaskan kegundahan itu adalah kerja lembur. Tidak jarang juga aku tak memperbolehkan beberapa pekerja pulang meskipun jam kerjanya telah habis.
“Permisi, Pak. Ini adalah beberapa dokumen yang harus Anda tandatangani dalam perjanjian kerjasama dengan mitra.” Setumpuk kertas Laras letakkan di mejaku.
Aku mengambil dan membaca tumpukan paling atas.
“Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak.” Setelah menundukkan wajah, Laras mencoba melangkah pergi.
“Tunggu. Kamu mau ke mana?”
Perempuan tersebut kembali membalikkan badannya. “Pulang, Pak. Ini sudah jam pulang.”
“Saya mau kamu tetap di sini untuk beberapa jam. Kita lembur. Ada beberapa dokumen yang harus kamu kerjakan dan selesaikan hari ini juga.”
“Tapi, Pak. Saya sudah ada janji untuk—“
“Jangan membantah! Lakukan saja apa yang saya perintahkan!” tegasku kemudian sehingga Laras memejamkan kedua mata beberapa detik dan mengembuskan napas.
“Baik.”
“Kembali ke ruangan kamu. Akan saya kirimkan dokumennya ke komputer kamu.”
Tak merespons, Laras langsung melangkah pergi.
-II-
Cassandra masuk ke ruanganku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Hal yang selalu membuatku tidak menyukai dia. Sikapnya semena-mena, tidak tahu aturan, dan banyak lagi yang aku tidak suka dari dirinya.
“Sayang. Aku kangeeenn banget sama kamu,” ucapnya langsung ingin memeluk diriku yang tengah duduk di kursi.
Aku tentu saja menghindari hal tersebut.
“Loh, kenapa? Kok menghindar?”
“Kalau masuk, kamu ketuk pintu dulu. Dan ini bukan kafe atau club. Ini ruang kerja saya. Kantor. Kamu tidak bisa sembarangan meluk saya atau mencium saya.”
“Oh my God! Ayolah, Sayang. Kamu nggak tahu seberapa rindunya aku sama kamu. Kamu selalu sibuk kerja. Kalau diajakin ketemu, alasannya inilah, itulah. Aku juga butuh kamu,” cecar perempuan berlipstik merah menyala di hadapanku.
Aku tak merespons. Karena percuma saja merespons Cassandra, ia selalu saja cerewet. Bahkan, aku tidak pernah menganggap dia sebagai kekasihku. Aku tidak pernah menyatakan perasaan padanya. Namun, entah bagaimana ia kini selalu mengaku-ngaku menjadi kekasihku.
Cassandra tak menyerah, ia terus menggodaku, bahkan berposisi menindih tubuhku di atas kursi. Ia tarik dasi yang terikat di leher.
“Aku sangat ingin mencium kamu, Sayang,” bisiknya tajam. Seketika semerbak wangi napasnya tercium jelas di hidung. Tak bisa, sangat mustahil ia bisa menggoda lelaki sepertiku. Mau bagaimanapun penampilan atau tingkahnya di depan, aku tidak akan terpengaruh olehnya.
Tak berselang lama, muncullah Laras. Masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Seketika aku memperbaiki posisi, lalu menjauhkan Cassandra dari tubuhku.
Melihat hal yang tidak wajar di hadapannya, Laras tampak ragu untuk melanjutkan langkah.
“Tidak apa-apa, masuklah. Lain kali, kamu harus mengertuk pintu.”
“Maaf, saya lupa, Pak.”
“Ya, sudah. Ada apa?”
“Ini ... berkas-berkas yang Anda minta, Pak.” Disodorkannya sekumpulan berkas.
Aku memeriksa beberapa berkas yang telah dikerjakan oleh Laras.
“Oke, bagus. Sudah betul semua.”
“Dia siapa, Sayang?” Cassandra bertanya sambil mendekati Laras yang tertunduk gugup.
“Sekretaris baru.”
“Kamu, kok, nggak bilang aku, sih, kalau ada pegawai baru? Pengganti si Rani? Cantik juga.”
“S-saya Laras, sekretaris baru, Bu.”
“IBU?! Kamu memanggil saya ibu? Hei, saya masih muda. Kamu panggil saya nona.”
“M-maaf, Nona.”
“Bagus.”
“Cassandra! Jangan seenaknya kamu dengan pegawai saya.”
“Loh, memangnya kenapa, Sayang? Bukannya pemberi modal paling besar di perusahaan kamu ini adalah ayahku? Aku punya hak, dong, Sayang.”
Inilah salah satu hal yang aku benci dari Cassandra. Senjata ampuh baginya untuk membungkam mulutku dan tidak merespons lagi.
“Laras, kembalilah ke ruangan kamu.”
“Baik, Pak.”
Seperginya Laras dari ruangan, Cassandra menatapku dengan lamat. Ia menyipitkan matanya penuh selidik.
“Kamu pintar, ya, ternyata memilih karyawan, Sayang. Cantik,” ucapnya pelan.
Ia dekatkan bibirnya di telingaku kemudian, lalu berbisik, “Kalau sampai kamu tergoda dengan sekretaris baru kamu itu, kamu akan tahu akibatnya, Sayang ....”
Aku menelan saliva, menandakan bahwa Cassandra berhasil membuatku begitu kesal. Ingin aku membentak perempuan tersebut, sayangnya itu akan menghancurkan bisnis yang enam tahun sudah kuperjuangkan.
“Oh, ya. Aku tunggu kamu di rumah, ya. Jemput aku.”
Cassandra melangkah pergi tanpa peduli aku menyanggupi atau tidak. Tentu saja, mau tidak mau aku harus menuruti apa yang ia katakan. Jika tidak, ia akan mengadu pada ayahnya dan membuat usahaku bangkrut.
Cassandra—perempuan dengan hooded eyes yang selalu mengandalkan kekayaannya, kejam dan tidak punya hati. Keinginannya harus terpenuhi. Seorang Bagas tidak bisa berkutik jika berurusan dengannya.
Aku menggeprak meja dengan keras, melampiaskan kekesalan yang dibuat oleh Cassandra.
-II-
Keluar dari ruang kerja, kulihat Laras di luar pintu ruangannya tengah meregangkan otot-ototnya yang mungkin terasa pegal karena lembur. Sudah pukul 8.00 malam, wajar saja dia merasa pegal-pegal, jam pulangnya mundur beberapa jam dari semestinya.
Aku menatap perempuan tersebut lamat sambil mengunci pintu. Ia belum menyadari. Namun, beberapa saat setelah melihatku sedang menatap ke arahnya penuh tanya, ia berusaha bersikap biasa saja. Ia sunggingkan senyum tipis, lalu akhirnya melangkah untuk keluar dari gedung.
Di luar, aku melihat Laras berdiri di pinggir jalan sembari kepalanya menoleh ke kiri dan kanan.
“Laras, ikut saya,” ucapku yang berdiri beberapa meter di belakangnya.
“Ada apa lagi, Pak? Saya tidak berkewajiban lagi mengikuti perintah Anda.”
“Ikut saya!”
Laras bersikeras, tetap tidak mau melangkahkan kakinya. Aku pun tak menunggu lama, dengan segera kuraih tangan perempuan tersebut dan membuatnya mengikuti jejakku.
“Pak! Anda tidak bisa semena-mena dengan saya!”
Sampai di tempat parkir mobil, aku berkata, “Saya akan antar kamu pulang.”
Laras menggeleng pelan. “Tidak usah, Pak. Saya bisa pakai taksi.”
“Tidak. Saya bisa antar kamu pulang. Maaf, saya sudah membuat kamu lembur. Tapi, saya mau berterima kasih karena kamu sudah menyelesaikan dokumen-dokumen penting itu.”
“Tidak perlu, Pak. Saya sudah ikhlas.”
Laras tetap tidak mau, ia membalikkan tubuhnya, tetapi dengan lugas, aku kembali meraih lengannya sambil membuka pintu mobil.
“Pak! Lepasin! Ini namanya pemaksaan, Pak! Anda tidak bisa seperti itu, dong!”
Tidak peduli, aku tetap membuat tubuh ramping Laras memasuki mobil.
Selama perjalanan, Laras menggertakkan giginya sekuat tenaga. Ia tampak sangat kesal. Tak terelakkan, tetapi aku benar-benar hanya ingin berterima kasih kepadanya.
“Maaf, cara saya mungkin kasar. Tapi, saya sangat tidak suka orang menolak niat baik saya.”
“Denger, ya, Pak! Jika bukan karena sangat butuh pekerjaan, saya tidak akan pernah sudi menjadi bawahan Anda!” Nada Laras penuh dengan penekanan. Akhirnya, ia bisa juga meluapkan emosi dan kekesalannya.
“Oh, oke. No problem bagi saya. Yang pasti, kamu sudah ditakdirkan jadi bawahan saya!”
Suasana menjadi hening seketika, Laras tak bersuara lagi. Ia menyedekapkan tangan, lalu berekspresi penuh emosi.
“Ngomong-ngomong, apa kamu tidak mau memberitahukan jalan ke rumahmu?”
“Lurus saja. Persimpangan empat di depan belok ke kiri. Saya mau turun di sana dan saya tidak mau Anda ikut campur lagi!”
Aku hanya menanggapi dengan anggukan. Sampai di persimpangan empat dan berbelok ke kiri, sesuai yang diminta perempuan tersebut, aku menghentikan mobil. Laras keluar dan menutup pintu mobil dengan cara sedikit membantingnya.
Ia berjalan buru-buru. Sedangkan aku belum melajukan mobil, hanya memandangnya sampai akhir dia berbelok ke sebuah komplek perumahan.
Sekarang saya tahu.
-II-
“Sayang? Kamu suapin aku, dong.”Aku hanya menatap kosong, tak merespons Cassandra yang duduk tepat di hadapanku.“Sayang? Kamu kenapa, sih? Hei ....” Cassandra menggapai pipi kiriku, berusaha membuat wajahku memandang ke arah dirinya. Namun, aku menepis tangannya pelan.“Bagas! Apa-apaan, sih, kamu? Kamu kenapa? Akhir-akhir ini kamu nggak peduli banget sama aku!” Cassandra mulai bernada tinggi, membuat gendang telingaku hampir pecah.“Saya tidak apa-apa.”“Aku tahu.” Cassandra menyipitkan kedua matanya, mencoba menebak-nebak apa yang terjadi dengan diriku. “Kamu sudah kena pelet, ya, sama sekretaris kamu itu?”“Cassandra! Apa-apaan kamu?! Jangan melibatkan orang lain! Saya cuma lagi capek tahu nggak! Dan kamu memaksa saya menemui kamu dalam keadaan seperti ini.” Suaraku tak kalah tinggi sehingga membuat Cassandra membelalakkan mata.“Oh, jadi be
“Saya butuh gaji saya bulan ini, Pak.”“Gaji? Tanggal gajianmu masih lama, Laras. Seminggu yang lalu kami sudah transfer melalui rekening bank kamu. Lantas, kenapa kamu meminta gaji lagi untuk bulan ini sebelum tanggal gajian?”Laras duduk terpaku di hadapanku. Ia pijat pelipisnya. Aslinya yang lancip hitam terlihat berkeringat.“Iya, saya tahu, Pak. Tapi ... saya butuh uang,” ucapnya pelan.“Uang untuk apa?”Aku menyipitkan mata, mencoba menyelidiki ekspresi wajah perempuan di hadapanku.“Bapak tidak perlu tahu. Saya hanya ingin mengambil gaji saya lebih cepat karena saya sangat butuh. Saya janji akan bekerja lebih baik lagi.”“Tidak bisa!” Aku menggeprak meja sehingga Laras mengerjapkan mata, ia alihkan pandangannya ke sembarang tempat. “Kinerja kamu bulan lalu saja menurun, Laras. Saya tidak percaya dengan janji kamu itu. Ketika seseorang berjanji akan se
Beberapa hari ini, aku benar-benar tidak mood melakukan sesuatu. Semua pekerjaan sudah aku serahkan pada Laras, juga Damar selaku HRD. Meskipun hadir di kantor, aku hanya memangku kepala dengan tangan, menatap hampa, tak melakukan apa-apa. Tidak hanya itu, tetapi ketika berpapasan dengan Laras, aku tak berniat menyapa dirinya atau menegur tentang segala hal seperti yang biasanya aku lakukan.Kesalahan fatal. Aku tidak tahu perasaan apa yang sering datang akhir-akhir ini. Namun, seakan ambisiku pada perusahaan ini lenyap seketika. Aku juga tak peduli lagi jika Cassandra melaporkan pada ayahnya soal tindakanku beberapa hari lalu. Semua menjadi tidak penting.“Pak?”Tiba-tiba saja Laras ada di hadapanku, duduk sambil memiringkan kepala dan meneliti ekspresi wajahku.“Kamu?! Kalau masuk seharusnya—““Saya sudah mengetuk pintu beberapa kali, Pak. Tapi, Bapak tidak menyahut juga. Maaf kalau saya lancang masuk
Siapa sebenarnya pria di rumah sakit yang selalu dibesuk oleh Laras? Hingga kini, aku belum bisa mengambil kesimpulan. Seorang pria yang sepantaran denganku. Dibalut dengan infus, dan ia koma. Apakah suami perempuan itu? Tapi, aku pernah membaca salah satu dokumen di lamaran kerjanya, statusnya sama sekali belum menikah. Lalu, siapa dia?Aku berusaha keras memikirkan perihal ini dari beberapa hari yang lalu. Jika aku bertanya pada Laras, sangat tidak mungkin. Dia pernah bilang bahwa aku tidak seharusnya ikut campur dalam urusan pribadinya. Lalu, hingga saat ini aku juga belum melaksanakan perintah dari tua bangka—Bambang. Sangat berat hatiku untuk memecat Laras. Jika alasannya bekerja di perusahaan ini adalah untuk membiaya perawatan pria di rumah sakit itu, dan aku memecatnya, maka sudahlah pantas diri ini disebut sebagai orang yang tidak berkeprimanusiaan.“Bagas! Kenapa perempuan jalang itu belum juga kamu pecat?!” Cassandra nyelonong masuk ke ruan
“Mau apa lagi Anda datang ke kantor saya?”Bambang bertingkah semaunya, ia rebahkan badannya di sofa, membentang berselonjor kakinya sampai di meja sambil membuka halaman koran hari ini. Sedangkan sedari tua bangka itu masuk, Laras menunduk tak mampu mengangkat wajahnya.“Saya hanya mau melihat kehancuran kamu, Bagas. Karena kamu telah berani menyakiti anak saya, inilah akibatnya. Kamu pikir saya main-main dengan perkataan saya?” Bambang tertawa meremehkan.“Sayangnya saya tidak peduli. Anda bukan satu-satunya orang kaya di dunia ini. Masih banyak yang lainnya. Sekarang juga, saya minta Anda PERGI DARI SINI! Tua bangka iblis!”Bambang beranjak sambil meremas koran hingga berbentuk bulat, lalu ia buang sembarangan.“Kamu dan perempuan jalangmu, Bagas, sudah hancur.” Tua bangka tersebut berlalu pergi.Cukup lama terdiam, Laras mengangkat wajahnya. “S-sabar, ya, Pak ....”&ldquo
“Maaf, maksud Bapak apa, ya? Saya tidak mengerti.”“Ssst. Laras, mulai sekarang jangan terlalu formal dengan saya. Kamu boleh pakai bahasa sehari-hari saat berada di luar kantor,” ucapku yang kemudian tersenyum tipis ke arah Laras.Perempuan tersebut tidak menanggapi. Ia menundukkan wajahnya sejenak.“Bapak belum menjawab—““Ssst! Saya sudah bilang kalau kamu jangan terlalu formal dengan saya!”Laras menghela napas dalam. “Baik. Kamu ... belum jawab pertanyaanku, B-Bagas.”Terkesan begitu canggung saat Laras mulai berkomunikasi dengan bahasa tidak formal denganku. Meski memintanya begitu, aku masih belum bisa menghilangkan kepribadianku yang saat ini. Aku sudah biasa menggunakan bahasa formal, baik di luar kantor, maupun di dalam kantor. Akan tetapi, aku meminta Laras berlaku tidak formal hanya karena ingin dia merasa lebih dekat denganku. Ingin meleburkan hubungan antara atas
Intan di meja sebelah bersama dengan kedua orang tuanya dan entah siapa lelaki yang juga hadir di sana bersama dua orang—pria paruh baya serta wanita paruh baya. Mereka tampak berbincang-bincang, tetapi lantas Intan malah menatap ke arahku dengan lamat. Yang dia pahat di wajahnya hanya ekspresi sendu. Seolah wajah itu sedang mengajakku berbicara, memintaku untuk melakukan sesuatu. Entahlah.“Laras, ayo kita pergi dari sini!” Aku bangkit tanpa merespons pertanyaan Laras. Kugapai tangan perempuan di hadapan dan mengajaknya menjauh dari restoran tempatku berada.Namun, ketika menoleh ke belakang untuk memeriksa Intan, perempuan tersebut tidak lagi di bangku tadi. Ke mana dia? Aku lantas menghentikan langkah dan sadar bahwa tangan Laras masih melekat di genggamanku.“Oh, maaf. Saya tidak sengaja,” ucapku sambil membuang pandangan ke sembarang arah.“Nggak apa-apa. Kita ... jadi pulang?” tanyanya kemudian.&ldqu
Aku tak mampu menahan tubuh yang terasa semakin lemas, sendi-sendi lututku rasanya keropos. Tiada daya dan upaya, akhirnya tubuhku roboh. Namun, perempuan tersebut menangkapku dengan lugas. Kurasakan kepalaku berbaring di bahunya. Ah, dia wangi sekali. Siapa dia? Aku bahkan belum melihat wajahnya. Tepatnya aku tidak mampu. Entah mengapa, aku merasakan sepasang tangannya mendekapku dengan erat.“Kamu kenapa, Bagas?”Oh, ternyata Laras. Benar sekali. Aku mengenal suaranya, tetapi tak mampu mataku melihat ekspresi di wajahnya. Tak mampu mengangkat kepalaku. Aku tenggelam dalam semerbak wangi tubuhnya. Sayup-sayup kulihat kulitnya yang begitu putih dan lembut di kedua mata.“Aku bantu kamu.”Ia balikkan tubuhku, kemudian membantuku menuju sofa di ruang tengah. Ia merebahkan tubuhku begitu pelan. Mataku mengembun, semakin pudar penglihatanku. Air mata sepertinya akan meghunjam di kedalaman jiwaku, lagi.“Kamu kenapa, Bagas?