Beranda / CEO / I'm the Director / Rasa Penasaran

Share

Rasa Penasaran

Hal yang paling aku benci adalah timbulnya rasa penasaran di setiap urusan orang lain. Tidak hanya terjadi sekali saja, tetapi dulu ketika aku mengenal Intan, berawal dari rasa penasaranlah yang membuat perempuan itu menjadikan bahuku sebagai sandarannya. Sangat sulit bagiku untuk mengendalikan perasaan ini ketika hadir di benak.

Aku mungkin telah salah ingin ikut campur dengan urusan pribadi Laras, tetapi entah mengapa emosi kerap kali hadir ketika aku tidak berhasil mengetahui sesuatu yang ia tutup dengan rapat dariku. Sebagai manusia, aku tahu perilaku ini sangat kelewatan dan tak wajar. Bagi kebanyakan orang, aku bukan manusia. Aku tidak pantas menjadi seorang pemimpin, atasan, atau sesuatu yang mendeskripsikan kepemimpinan itu sendiri. Karena seperti yang semua orang tahu, aku terlalu memaksakan kehendak kepada mereka.

“Laras, saya mau melihat schedule saya beberapa minggu ke depan. Tolong kamu bawakan dokumennya ke ruangan saya.”

Setelah menelepon perempuan itu, ia masuk ke ruanganku sambil membawa secarik kertas.

“Silahkan, Pak.” Ia sodorkan kertas tersebut sehingga aku mengambilnya.

Selesai membaca beberapa jadwal yang mengharuskanku untuk melakukan pertemuan, memimpin rapat dan segalanya, aku mengembuskan napas gusar.

“Ada apa, Pak?” tanya Laras.

“Tidak apa-apa. Bawa ini, dan kembalilah ke ruanganmu.”

Laras mengambil kertas di tanganku, lalu ia melangkah pergi dari ruangan. Sementara itu, aku memperhatikan tubuhnya yang perlahan hilang, menutup pintu dan tak terlihat lagi.

Sejak mengurus perusahaan, aku menjadi seseorang yang gila kerja. Aku jarang sekali berlibur atau melakukan hal yang seharusnya bisa membuat pikiranku tidak gundah.

Hal biasa yang aku lakukan untuk melampiaskan kegundahan itu adalah kerja lembur. Tidak jarang juga aku tak memperbolehkan beberapa pekerja pulang meskipun jam kerjanya telah habis.

“Permisi, Pak. Ini adalah beberapa dokumen yang harus Anda tandatangani dalam perjanjian kerjasama dengan mitra.” Setumpuk kertas Laras letakkan di mejaku.

Aku mengambil dan membaca tumpukan paling atas.

“Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak.” Setelah menundukkan wajah, Laras mencoba melangkah pergi.

“Tunggu. Kamu mau ke mana?”

Perempuan tersebut kembali membalikkan badannya. “Pulang, Pak. Ini sudah jam pulang.”

“Saya mau kamu tetap di sini untuk beberapa jam. Kita lembur. Ada beberapa dokumen yang harus kamu kerjakan dan selesaikan hari ini juga.”

“Tapi, Pak. Saya sudah ada janji untuk—“

“Jangan membantah! Lakukan saja apa yang saya perintahkan!” tegasku kemudian sehingga Laras memejamkan kedua mata beberapa detik dan mengembuskan napas.

“Baik.”

“Kembali ke ruangan kamu. Akan saya kirimkan dokumennya ke komputer kamu.”

Tak merespons, Laras langsung melangkah pergi.

-II-

Cassandra masuk ke ruanganku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Hal yang selalu membuatku tidak menyukai dia. Sikapnya semena-mena, tidak tahu aturan, dan banyak lagi yang aku tidak suka dari dirinya.

“Sayang. Aku kangeeenn banget sama kamu,” ucapnya langsung ingin memeluk diriku yang tengah duduk di kursi.

Aku tentu saja menghindari hal tersebut.

“Loh, kenapa? Kok menghindar?”

“Kalau masuk, kamu ketuk pintu dulu. Dan ini bukan kafe atau club. Ini ruang kerja saya. Kantor. Kamu tidak bisa sembarangan meluk saya atau mencium saya.”

“Oh my God! Ayolah, Sayang. Kamu nggak tahu seberapa rindunya aku sama kamu. Kamu selalu sibuk kerja. Kalau diajakin ketemu, alasannya inilah, itulah. Aku juga butuh kamu,” cecar perempuan berlipstik merah menyala di hadapanku.

Aku tak merespons. Karena percuma saja merespons Cassandra, ia selalu saja cerewet. Bahkan, aku tidak pernah menganggap dia sebagai kekasihku. Aku tidak pernah menyatakan perasaan padanya. Namun, entah bagaimana ia kini selalu mengaku-ngaku menjadi kekasihku.

Cassandra tak menyerah, ia terus menggodaku, bahkan berposisi menindih tubuhku di atas kursi. Ia tarik dasi yang terikat di leher.

“Aku sangat ingin mencium kamu, Sayang,” bisiknya tajam. Seketika semerbak wangi napasnya tercium jelas di hidung. Tak bisa, sangat mustahil ia bisa menggoda lelaki sepertiku. Mau bagaimanapun penampilan atau tingkahnya di depan, aku tidak akan terpengaruh olehnya.

Tak berselang lama, muncullah Laras. Masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Seketika aku memperbaiki posisi, lalu menjauhkan Cassandra dari tubuhku.

Melihat hal yang tidak wajar di hadapannya, Laras tampak ragu untuk melanjutkan langkah.

“Tidak apa-apa, masuklah. Lain kali, kamu harus mengertuk pintu.”

“Maaf, saya lupa, Pak.”

“Ya, sudah. Ada apa?”

“Ini ... berkas-berkas yang Anda minta, Pak.” Disodorkannya sekumpulan berkas.

Aku memeriksa beberapa berkas yang telah dikerjakan oleh Laras.

“Oke, bagus. Sudah betul semua.”

“Dia siapa, Sayang?” Cassandra bertanya sambil mendekati Laras yang tertunduk gugup.

“Sekretaris baru.”

“Kamu, kok, nggak bilang aku, sih, kalau ada pegawai baru? Pengganti si Rani? Cantik juga.”

“S-saya Laras, sekretaris baru, Bu.”

“IBU?! Kamu memanggil saya ibu? Hei, saya masih muda. Kamu panggil saya nona.”

“M-maaf, Nona.”

“Bagus.”

“Cassandra! Jangan seenaknya kamu dengan pegawai saya.”

“Loh, memangnya kenapa, Sayang? Bukannya pemberi modal paling besar di perusahaan kamu ini adalah ayahku? Aku punya hak, dong, Sayang.”

Inilah salah satu hal yang aku benci dari Cassandra. Senjata ampuh baginya untuk membungkam mulutku dan tidak merespons lagi.

“Laras, kembalilah ke ruangan kamu.”

“Baik, Pak.”

Seperginya Laras dari ruangan, Cassandra menatapku dengan lamat. Ia menyipitkan matanya penuh selidik.

“Kamu pintar, ya, ternyata memilih karyawan, Sayang. Cantik,” ucapnya pelan.

Ia dekatkan bibirnya di telingaku kemudian, lalu berbisik, “Kalau sampai kamu tergoda dengan sekretaris baru kamu itu, kamu akan tahu akibatnya, Sayang ....”

Aku menelan saliva, menandakan bahwa Cassandra berhasil membuatku begitu kesal. Ingin aku membentak perempuan tersebut, sayangnya itu akan menghancurkan bisnis yang enam tahun sudah kuperjuangkan.

“Oh, ya. Aku tunggu kamu di rumah, ya. Jemput aku.”

Cassandra melangkah pergi tanpa peduli aku menyanggupi atau tidak. Tentu saja, mau tidak mau aku harus menuruti apa yang ia katakan. Jika tidak, ia akan mengadu pada ayahnya dan membuat usahaku bangkrut.

Cassandra—perempuan dengan hooded eyes yang selalu mengandalkan kekayaannya, kejam dan tidak punya hati. Keinginannya harus terpenuhi. Seorang Bagas tidak bisa berkutik jika berurusan dengannya.

Aku menggeprak meja dengan keras, melampiaskan kekesalan yang dibuat oleh Cassandra.

-II-

Keluar dari ruang kerja, kulihat Laras di luar pintu ruangannya tengah meregangkan otot-ototnya yang mungkin terasa pegal karena lembur. Sudah pukul 8.00 malam, wajar saja dia merasa pegal-pegal, jam pulangnya mundur beberapa jam dari semestinya.

Aku menatap perempuan tersebut lamat sambil mengunci pintu. Ia belum menyadari. Namun, beberapa saat setelah melihatku sedang menatap ke arahnya penuh tanya, ia berusaha bersikap biasa saja. Ia sunggingkan senyum tipis, lalu akhirnya melangkah untuk keluar dari gedung.

Di luar, aku melihat Laras berdiri di pinggir jalan sembari kepalanya menoleh ke kiri dan kanan.

“Laras, ikut saya,” ucapku yang berdiri beberapa meter di belakangnya.

“Ada apa lagi, Pak? Saya tidak berkewajiban lagi mengikuti perintah Anda.”

“Ikut saya!”

Laras bersikeras, tetap tidak mau melangkahkan kakinya. Aku pun tak menunggu lama, dengan segera kuraih tangan perempuan tersebut dan membuatnya mengikuti jejakku.

“Pak! Anda tidak bisa semena-mena dengan saya!”

Sampai di tempat parkir mobil, aku berkata, “Saya akan antar kamu pulang.”

Laras menggeleng pelan. “Tidak usah, Pak. Saya bisa pakai taksi.”

“Tidak. Saya bisa antar kamu pulang. Maaf, saya sudah membuat kamu lembur. Tapi, saya mau berterima kasih karena kamu sudah menyelesaikan dokumen-dokumen penting itu.”

“Tidak perlu, Pak. Saya sudah ikhlas.”

Laras tetap tidak mau, ia membalikkan tubuhnya, tetapi dengan lugas, aku kembali meraih lengannya sambil membuka pintu mobil.

“Pak! Lepasin! Ini namanya pemaksaan, Pak! Anda tidak bisa seperti itu, dong!”

Tidak peduli, aku tetap membuat tubuh ramping Laras memasuki mobil.

Selama perjalanan, Laras menggertakkan giginya sekuat tenaga. Ia tampak sangat kesal. Tak terelakkan, tetapi aku benar-benar hanya ingin berterima kasih kepadanya.

“Maaf, cara saya mungkin kasar. Tapi, saya sangat tidak suka orang menolak niat baik saya.”

“Denger, ya, Pak! Jika bukan karena sangat butuh pekerjaan, saya tidak akan pernah sudi menjadi bawahan Anda!” Nada Laras penuh dengan penekanan. Akhirnya, ia bisa juga meluapkan emosi dan kekesalannya.

“Oh, oke. No problem bagi saya. Yang pasti, kamu sudah ditakdirkan jadi bawahan saya!”

Suasana menjadi hening seketika, Laras tak bersuara lagi. Ia menyedekapkan tangan, lalu berekspresi penuh emosi.

“Ngomong-ngomong, apa kamu tidak mau memberitahukan jalan ke rumahmu?”

“Lurus saja. Persimpangan empat di depan belok ke kiri. Saya mau turun di sana dan saya tidak mau Anda ikut campur lagi!”

Aku hanya menanggapi dengan anggukan. Sampai di persimpangan empat dan berbelok ke kiri, sesuai yang diminta perempuan tersebut, aku menghentikan mobil. Laras keluar dan menutup pintu mobil dengan cara sedikit membantingnya.

Ia berjalan buru-buru. Sedangkan aku belum melajukan mobil, hanya memandangnya sampai akhir dia berbelok ke sebuah komplek perumahan.

Sekarang saya tahu.

-II-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status