Aku tak mampu menahan tubuh yang terasa semakin lemas, sendi-sendi lututku rasanya keropos. Tiada daya dan upaya, akhirnya tubuhku roboh. Namun, perempuan tersebut menangkapku dengan lugas. Kurasakan kepalaku berbaring di bahunya. Ah, dia wangi sekali. Siapa dia? Aku bahkan belum melihat wajahnya. Tepatnya aku tidak mampu. Entah mengapa, aku merasakan sepasang tangannya mendekapku dengan erat.
“Kamu kenapa, Bagas?”
Oh, ternyata Laras. Benar sekali. Aku mengenal suaranya, tetapi tak mampu mataku melihat ekspresi di wajahnya. Tak mampu mengangkat kepalaku. Aku tenggelam dalam semerbak wangi tubuhnya. Sayup-sayup kulihat kulitnya yang begitu putih dan lembut di kedua mata.
“Aku bantu kamu.”
Ia balikkan tubuhku, kemudian membantuku menuju sofa di ruang tengah. Ia merebahkan tubuhku begitu pelan. Mataku mengembun, semakin pudar penglihatanku. Air mata sepertinya akan meghunjam di kedalaman jiwaku, lagi.
“Kamu kenapa, Bagas?
Tak ada apa pun di ruangan ini. Tak ada siapa pun. Ke mana perginya lelaki itu? Laras bersimpuh kala sendi-sendi lutut ia rasakan keropos, tak berdaya. Ah, harapanku dengan harapannya tentu saja berbeda. Tak akan asa ini bersatu. Itulah mengapa aku mengatakan ketika secercah asa tercipta, asa yang lain memporak-poranda. Doaku dengan doanya pasti berbeda. Kala ia menginginkan sang kekasih untuk bertahan hidup, lalu apakah aku menginginkan dia untuk sirna dari dunia ini? Tidak, aku hanya berharap ia mencintaiku, dan itu secara tidak langsung juga mengharapkan kekasihnya menghilang dari dunia selamanya.“Maaf, Mas, Mbak. Sekitar pukul 7.00 pagi, kami sudah menelepon ke nomor Mbak Laras. Tapi sepertinya tidak ada tanggapan. Kami dengan sangat menyesal memberitahukan bahwa Saudara Arman telah meninggal dunia.”Laras bergeming seolah menjadi batu karang di tepi lautan. Benar-benar ekspresinya tidak mempercayai apa yang baru saja dikatakan oleh dokter berkacamata
Bukan maksud hati ini membuat Laras sakit hingga memilih untuk pergi. Memang, semua sangat tidak wajar dari awal. Seharusnya aku tidak mengatakan hal yang membangkitkan kemarahan di benaknya. Momen tak tepat, terlanjur menghancurkan semuanya. Dan kini yang tersisa hanyalah harapan yang nyaris tanggal.Tiap-tiap malam aku berpikir keras untuk menemukan keberadaan perempuan tersebut. Aku tahu kampung halamannya di mana. Namun, akan sangat aneh juga jika aku mengajarnya. Seolah aku memaksanya untuk menerima ajakanku untuk menikah dengannya. Bulan-bulan aku lalui tanpa hadirnya. Sepi dan sunyi. Suasana tak lagi hidup. Warna tak lagi mewarni sebagaimana mestinya ketika dia hadir di tatapanku.Aku juga tidak bisa membiarkan perusahaan dalam keadaan di ambang batas. Aku mulai lagi menyibukkan diri seperti sedia kala. Tanpa cinta, tanpa hadirnya aku menjalani semuanya sendiri.Perusahaan kembali kubangun. Menjalin hubungan dengan mitra-mitra yang kuanggap berpotensi mem
Aku tahu bahwa cinta tanpa pengorbanan adalah hampa tak ada makna. Mengatakan cinta, tetapi tak mau lelah menanggung luka dan perih. Apa yang aku rasakan kini adalah alami datang dari Tuhan Sang Pengendali Hati. Ketika mendengar kabar tentang Laras yang diancam, bahkan disekap entah di mana, aku merasa telah menjadi seorang lelaki yang tak dapat melakukan apa pun.Dengan tega aku membiarkan ia masuk dalam masalah pelik kehidupanku. Memang lucu, apakah benar cinta tidak harus memiliki sehingga akhirnya aku harus mengorbankan jiwa dan raga, kemudian menikah dengan Cassandra—wanita yang sama sekali tidak pernah aku cintai. Hanya benci dan rasa jijik yang aku miliki untuk Cassandra. Semua aspek kehidupannya membuatku bergidik, menggeleng tak suka.Namun, kala Laras hadir setelah sekian lama diri ini terjajah oleh harta tua bangka itu, jiwaku merasa tentram. Nyaman yang kurasa kala ia bertutur kata. Lembut, kadang aku merasa seperti dirinya selalu memperhatikanku. Ket
“Hahahaha! Keras juga suara pistol lo, Mat! Eh, jangan bikin dua orang di dalam kaget, dong. Kasihan, oi.”“Ah, biarinlah. Kita, kan, diminta membereskan dua orang itu kalau sampai macam-macam.”“Oh, iya. Ini udah sepuluh menit. Ayo kita balik bawa orang itu ke Bos.”Bisa kudengar percakapan mereka dari dalam ruangan bersama Laras. Ternyata suara tembakan yang baru saja terdengar adalah ulah mereka berdua. Ya, aku sempat berpikir bahwa mereka seperti ingin menghabisi kami tanpa alasan. Namun, mana mungkin. Keberadaanku sangat penting bagi atasan mereka.Kini, keduanya terdengar melangkah ke arah ruangan. Aku masih membaringkan kepala di pangkuan Laras. Berpura-pura tidur. Ini sebuah taktik yang sudah kupikirkan semenjak tiba di ruangan.“Kamu diam. Saya akan lepaskan tali-tali di tubuh kamu.”Jantungku berontak. Ini saat-saat yang menegangkan bagiku. Sambil berpura-pura tidur, tanganku mencoba
Sebenarnya, orang-orang tidak perlu repot mengurusi hidupku. Toh, tak ada manfaatnya bagi mereka. Namun, aku tahu ini semua adalah ujian dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Aku mungkin telah banyak melakukan dosa. Telah banyak menyakiti orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Aku yakin ini adalah ganjaran yang setimpal, yang Tuhan berikan untukku.Meski begitu, seburuk-buruknya pengalaman, pasti menyimpan sebuah hikmah di baliknya.Pagi harinya, aku memutuskan untuk mengunjungi kantor. Memang, sampai di gedung tersebut, banyak sekali wartawan dan jurnalis yang berkerumun menantiku untuk mendapatkan kejelasan tentang masalah Cassandra dan perusahaanku yang sedang berada di ambang kehancuran.“Damar, keluarlah. Saya di tempat parkir. Temani saya masuk ke gedung, di sini banyak sekali wartawan yang berkumpul,” ucapku pada Damar melalui panggilan telepon.Tak lama menunggu, Damar terlihat sedang berjalan ke arah mobilku. Ia kemudian berdir
Jika melakukan kilas balik, pertemuanku dengan Laras seperti sebuah rencana matang yang ditakdirkan oleh Tuhan. Aku tidak pernah menyangka wanita tersebut akan sangat dekat denganku mengetahui dulu aku begitu sering membentak dan memperlakukannya dengan kasar. Meski begitu, tak sedikit pun ia menyimpan dendam padaku. Berbeda sekali denganku. Ketika seseorang melakukan hal buruk, aku pasti akan mengingatnya, kemudian mendendam hingga menjadi sakit sendiri.Kami masih dalam perjalanan menuju vila milikku. Cukup lama, sekitar tiga jam perjalanan. Sedari tadi Laras hanya diam dan sesekali matanya menatap keramaian di jalanan. Menyaksikan beberapa kendaraan lain saling salip menyalip.“Laras. Gimana ceritanya kamu bisa diculik sama anak buah Cassandra?” tanyaku.Aku cukup penasaran dengan hal ini. Sebab, setahuku Laras sudah pergi dari komplek perumahaannya. Lalu, dari mana mereka bisa tahu keberadaan Laras? Mereka memang tidak bisa diremehkan.&ld
Sekian waktu kami jalani dengan bercucur keringat dan air mata. Tak peduli orang lain mencoba memisahkan, tetapi semesta kuharap menyatukan cinta kami.Beberapa hari sudah aku di vila bersama dengan Laras. Sebenarnya agak canggung tinggal bersamanya meskipun tidur di kamar yang berbeda. Yang pasti, detak jantung ini tidak pernah bisa aku hentikan kala saling berpapasan dengannya. Meski begitu, aku harap selamanya akan seperti ini sampai akhirnya kami duduk di pelaminan nanti.Momen-momen membahagiakan selalu aku jalani bersamanya. Laras mengajarkanku segala sesuatu tentang memasak, sementara di sore dan pagi hari, kadang aku mengajaknya untuk berolahraga.Laras menatap diriku yang sedang sibuk berkutat dengan dumbell untuk menyembulkan otot-otot bicep-ku. Dengan satu tangan aku menaik-turunkan dumbell seberat 15 Kg sembari menghitung di dalam hati. Aku menolehkan pandangan ke arah Laras yang sedang bergeming menyaksikan diriku.Aku naikkan sebela
“Kenapa sekarang kamu berubah pikiran, Laras?” tanyaku sambil berposisi duduk. Laras bersandar di dada bidangku. Kami menyaksikan ombak yang dihiasi pantulan cahaya bulan yang begitu indah.“Kamu lelaki yang baik, Gas. Aku mungkin akan nyesel banget kalau sampai nolak kamu. Dan satu alasan kenapa aku berubah pikiran.” Laras menundukkan kepalanya, beberapa detik kemudian ia menoleh ke belakang, melihat raut di wajahku.“Apa memangnya?”“Aku udah mulai ngerasa kalau aku jatuh cinta sama kamu.”Rasanya seperti terbang ke langit yang paling tinggi. Lama sekali aku tidak lagi mendengar seseorang mengatakan kata-kata cinta kepadaku. Meski begitu, kalimat yang baru saja keluar dari mulut Laras jauh lebih indah dari kata-kata cinta yang pernah diucapkan oleh Intan ataupun Cassandra.“Gimana sama kamu, Gas? Apa ... kamu juga—““Sudah lama. Sudah lama sekali aku ngerasa di dalam d
Kikan tetap menarik lengan Deon sampai akhirnya keluar dari bar dan tiba di sebuah gang sempit. Dengan sangat keras, Kikan mengempaskan punggung Deon pada dinding. Perempuan ini menumpu kedua tangannya di antara kepala sang lelaki.“Ada apa ini?!” Deon bertanya dengan penuh penekanan.“Jangan ikut campur urusanku!” tegas Kikan dengan tatapan yang begitu tajam. Tak sedikit pun dia mengalihkan pandangan dari mata Deon.“Oh, gitu. Okay, aku sadar kalau itu bukan urusanku. Tapi, seorang laki-laki nggak akan tinggal diam saat melihat perempuan sedang tersiksa di depannya,” pungkas Deon, santai.“Tersiksa?! Apa aku terlihat tersiksa?! Dasar bodoh!”
Atas kedatangan Deon yang secara tiba-tiba, Kikan cukup terkejut. Keningnya mengerut dan berangsur-angsur menjaga jarak. Sementara itu, lelaki dengan sweater yang telah mendapatkan pukulan keras dari Deon, kini menatap dengan tajam penuh intimidasi.“Sialan. Siapa lo?! Berani-beraninya lo memukul gue!” tegas lelaki dengan sweater.Deon mengangkat sebelah alisnya, lalu berkata, “Siapa aku nggak penting. Yang jelas, kamu udah bertindak kasar sama cewek. Kamu itu cowok, bukan banci, kan?!”Mendengar tanggapan Deon tersebut, sang lelaki dengan sweater lantas tertawa terbahak-bahak.“Sialan. Baru kali ini gue nemuin orang yang berani sama gue. Lo belum tahu siapa gue, hah?!”
Deon terakhir kali mengingat bahwa dirinya telah menyelesaikan pertarungan dengan Aldrikov, juga Kikan yang memberikan ucapan selamat padanya. Kini, saat lelaki ini terbangun, entah mengapa dia terlihat sangat kebingungan.“Di mana aku?” tanya Deon sambil beranjak duduk. Dia melirik ke sekitar ruangan yang tak cukup luas tempatnya berada saat ini.Selang beberapa saat, matanya berhenti pada perempuan yang terlihat membatu.“Anggraini? Apa aku ada di rumah sakit?” tanya Deon kesekian kalinya.“Deon! Syukurlah lo udah sadar!”Tanpa menjawab pertanyaan sang lelaki, Anggraini lantas memeluk tubuh Deon yang dipenuhi oleh perba
Semua persiapan telah dilakukan oleh Deon dan Aldrikov. Kini, keduanya saling tatap satu sama lain.“Aku yang menang, Tua Bangka!”Keduanya melesat dengan sangat cepat. Deon menggerakkan tangannya secara vertikal, tetapi Aldrikov melompat begitu tinggi hingga melewati tubuh Deon. Hal ini membuat lelaki bertubuh atletis ini tersentak kaget. Dia kehilangan momentum. Alhasil, ketika berbalik badan, tangan Aldrikov telah siap melukai wajah dan perutnya.Walau begitu, Deon tak tinggal diam. Tak ingin kalah cepat, dia memutar kedua tangannya ke arah kanan dan berhasil menangkis serangan lawan. Sayangnya, entakan yang begitu kuat membuat Deon terempas beberapa meter.“Kamu terlalu percaya diri.”
Deon dan Aldrikov menoleh ke sumber suara. Keduanya tercengang karena melihat bahwa Kikan-lah yang memiliki suara menggelegar barusan. Deon mengerutkan kening, lalu meningkatkan kewaspadaan. Baginya, tidak mungkin perempuan sadis ini tidak ikut campur dalam pertarungannya.“Apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu mau mengganggu pertarunganku dengan si tua bangka ini?!” tegas Deon dengan tatapan yang begitu tajam.Kikan lantas tertawa bergelak mendengar dugaan Deon.“Nggak juga. Aku datang nggak untuk mengganggu jalannya pertarunganmu dengan Aldrikov.”Sambil mengangkat sebelah alisnya, Deon bertanya, “Lalu? Apa yang kamu inginkan?”
“B-bang … sat!”Tubuh Deon lemas seketika. Anggraini terbelalak kaget karena merasakan cairan kental memenuhi tangannya. Dia lihat, lalu air matanya pun keluar begitu banyak.“DEON!”Di titik ini, napas Deon mulai tak beraturan. Dia seperti orang yang kedinginan, tetapi udara yang masuk ke mulutnya sangat terbatas. Bahkan saat Anggraini menjadi lemas, Deon tidak mampu menopang beban tubuhnya hingga harus tergeletak di tanah.Dengan posisi berbaring, Deon menyaksikan wajah pria paruh baya yang masih mengacungkan pistol ke arahnya. Sang lawan menyeringai, lalu berkata, “Saya sudah mengatakannya padamu. Kamu akan mati di tempat ini.”
Ketika pria berambut panjang hendak pergi bersama para anak buahnya yang bertugas membawa Deon, sebuah suara menghentikannya.“Serahkan Deon sama gue!”Pria paruh baya berbalik badan. Yang terlihat ialah seorang perempuan yang sedang membawa dua pistol di tangan dan dua pedang yang terselip di punggung.“Oh, bukankah kamu ….” Pria tersebut tidak melanjutkan kalimatnya. Namun, dia pun tertawa kemudian.“Ya, ya. Saya pernah mendengar desas-desus kalau salah satu senjata pembunuh Tyrex ikut bergabung ke Bruno. Dan tentu saja, yang mereka maksud adalah kamu. Kamulah pengkhianatnya.”Perempuan yang tak lain ialah Melind
Mendengar pernyataan pria berambut panjang, tatapan Deon semakin serius. Baginya, sekarang basa-basi tidak lagi diperlukan. Entah benar atau tidak bahwa para anggota Bruno tengah bertempur dengan anak buah si pemasok senjata ini.“Kalau gitu, kita buktiin di sini siapa yang lebih hebat.”Ketika Deon hendak menyiapkan kuda-kuda, pria berambut panjang berkata, “Tidak perlu.”Selang beberapa saat pria tersebut memberikan sinyal pada salah satu anak buahnya. Deon semakin waspada. Namun, dia tidak cukup cekat dalam menghindari sebuah peluru yang kemudian dilesatkan oleh anak buah si pemasok senjata. Alhasil, timah panas menancap di bahu sebelah kanan Deon.“Sialan!” jerit Deon sambil m
Tidak mudah bagi Deon untuk melakukan pergerakan saat ini. Bahwa keadaan tubuhnya dipenuhi luka dan juga para anak buah pria berambut panjang terlihat siap dengan berbagai senjata yang mereka bawa. Untuk itu, Deon hanya menatap ke arah sang lawan. Sesekali bergantian menatap Anggraini yang sedang dalam keadaan tertodong senjata.“Akhirnya, kami menemukanmu. Sebelum jadi mayat di sini, ada baiknya kita bicara beberapa patah kata,” ucap pria berambut panjang sambil berjalan mondar-mandir.Deon berusaha bangkit meski tubuhnya masih terasa pegal dan sakit. Tidak dipungkiri ada beberapa tulang yang patah akibat dirinya yang menggelinding di bukit terjal ini.“Oh, aku kira kalian nggak bisa berbasa-basi. Ternyata, sama aja.”