Jika melakukan kilas balik, pertemuanku dengan Laras seperti sebuah rencana matang yang ditakdirkan oleh Tuhan. Aku tidak pernah menyangka wanita tersebut akan sangat dekat denganku mengetahui dulu aku begitu sering membentak dan memperlakukannya dengan kasar. Meski begitu, tak sedikit pun ia menyimpan dendam padaku. Berbeda sekali denganku. Ketika seseorang melakukan hal buruk, aku pasti akan mengingatnya, kemudian mendendam hingga menjadi sakit sendiri.
Kami masih dalam perjalanan menuju vila milikku. Cukup lama, sekitar tiga jam perjalanan. Sedari tadi Laras hanya diam dan sesekali matanya menatap keramaian di jalanan. Menyaksikan beberapa kendaraan lain saling salip menyalip.
“Laras. Gimana ceritanya kamu bisa diculik sama anak buah Cassandra?” tanyaku.
Aku cukup penasaran dengan hal ini. Sebab, setahuku Laras sudah pergi dari komplek perumahaannya. Lalu, dari mana mereka bisa tahu keberadaan Laras? Mereka memang tidak bisa diremehkan.
&ld
Sekian waktu kami jalani dengan bercucur keringat dan air mata. Tak peduli orang lain mencoba memisahkan, tetapi semesta kuharap menyatukan cinta kami.Beberapa hari sudah aku di vila bersama dengan Laras. Sebenarnya agak canggung tinggal bersamanya meskipun tidur di kamar yang berbeda. Yang pasti, detak jantung ini tidak pernah bisa aku hentikan kala saling berpapasan dengannya. Meski begitu, aku harap selamanya akan seperti ini sampai akhirnya kami duduk di pelaminan nanti.Momen-momen membahagiakan selalu aku jalani bersamanya. Laras mengajarkanku segala sesuatu tentang memasak, sementara di sore dan pagi hari, kadang aku mengajaknya untuk berolahraga.Laras menatap diriku yang sedang sibuk berkutat dengan dumbell untuk menyembulkan otot-otot bicep-ku. Dengan satu tangan aku menaik-turunkan dumbell seberat 15 Kg sembari menghitung di dalam hati. Aku menolehkan pandangan ke arah Laras yang sedang bergeming menyaksikan diriku.Aku naikkan sebela
“Kenapa sekarang kamu berubah pikiran, Laras?” tanyaku sambil berposisi duduk. Laras bersandar di dada bidangku. Kami menyaksikan ombak yang dihiasi pantulan cahaya bulan yang begitu indah.“Kamu lelaki yang baik, Gas. Aku mungkin akan nyesel banget kalau sampai nolak kamu. Dan satu alasan kenapa aku berubah pikiran.” Laras menundukkan kepalanya, beberapa detik kemudian ia menoleh ke belakang, melihat raut di wajahku.“Apa memangnya?”“Aku udah mulai ngerasa kalau aku jatuh cinta sama kamu.”Rasanya seperti terbang ke langit yang paling tinggi. Lama sekali aku tidak lagi mendengar seseorang mengatakan kata-kata cinta kepadaku. Meski begitu, kalimat yang baru saja keluar dari mulut Laras jauh lebih indah dari kata-kata cinta yang pernah diucapkan oleh Intan ataupun Cassandra.“Gimana sama kamu, Gas? Apa ... kamu juga—““Sudah lama. Sudah lama sekali aku ngerasa di dalam d
Aku mengempaskan tubuh Laras dan membuatnya berbaring di sofa. Sebelum melangkah menuju dapur, aku menatap perempuan itu lekat. Betapa seksi dirinya, tetapi aku bukan suami untuk dia. Kuhela napas panjang, lalu ke dapur untuk mengambil sebotol minuman dingin.Sampai di dapur, aku melihat botol wine tergeletak di atas meja. Oke, apa yang aku pikirkan tentang kejadian ini ternyata benar. Mungkin Laras salah minum? Ah, tidak mungkin juga, bukan? Atau jangan-jangan ia penasaran dengan rasa anggur? Ah, masa seperti itu?Dengan segera aku kembali ke ruang depan. Laras masih saja bergumam tak jelas sambil menyebut-nyebut namaku.Aku menggelengkan kepala, lalu kembali meraih tubuh Laras untuk membantu ia menuju kamarnya. Cukup berat juga tubuhnya. Aku pikir dia sudah banyak berubah semenjak pertama bertemu denganku.“Bagas ....”Aku lepaskan tubuh Laras di atas tempat tidur, ia sudah ngantuk dan tidak berdaya, tetapi terus saja menggumamkan nam
Setelah Rasyid membagikan lokasinya melalui aplikasi WhatsApp, aku segera menuju tempat tersebut yang katanya merupakan tempat Bambang akan melakukan transaksi. Ya, Rasyid memang sudah bekerjasama dengan temannya yang seorang polisi untuk melacak tua bangka itu dengan segala macam cara.Laras, maaf. Aku ternyata lebih memilih untuk menciptakan ketenangan antara kita dengan meringkus Bambang dan memenjarakannya.Aku tahu perbuatanku telah mengingkari janji pada Laras, tetapi ini yang terbaik menurutku agar mereka tidak lagi mengganggu ketenanganku bersama perempuan yang sangat aku cintai. Aku sudah melihat bagaimana air mata bersimbah di wajahnya, ketakutan menyelimuti, serta rasa trauma menikam dirinya, dan itu membuatku harus membalas semua perlakuan Bambang dan Cassandra.Beberapa jam mengendarai dengan kecepatan tinggi, aku sampai di sebuah bangunan kumuh di dalam sebuah kampung. Tidak, ini bukan lokasi yang mana pernah mereka jadikan tempat untuk me
Kehampaan yang tak berujung terasa menikam seluruh tubuh. Meskipun ada, tapi ragaku terasa meniada. Aku di mana? Apakah masih di pangkuan Laras? Ya, tapi kenapa kehangatannya tak lagi terasa? Atau jangan-jangan aku sudah mati? Semua tampak gelap, pekat, tak seberkas pun cahaya menyilau.Aku merasa tangan kananku ada yang menyentuh, tapi tak dapat kulihat siapa yang menyentuhnya. Walau begitu, perasaanku benar-benar kuat dan yakin kulit yang menyentuhku ialah milik Laras.Tak berselang lama, aku melihat seberkas cahaya. Dalam kepekatan tersebut, aku berusaha menggapainya, merasa bangkit, lalu semua terlihat benderang. Benda yang pertama kali kulihat ialah bohlam lampu sebagai satu-satunya penerang yang bercahaya. Cukup terang sehingga menyilaukan.“An ... dr ... a ....”Telingaku belum berfungsi dengan baik. Yang jelas, aku yakin suara yang menyebut namaku itu ialah Laras—perempuan yang sangat aku cintai dengan sepenuh hati. Apakah aku ma
Untuk menemui kedua orang tua Laras, tentu saja aku harus menyiapkan diri, berpakaian yang rapi, serta merangkai kalimat untuk melamar perempuan tersebut. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dari tidur, kemudian membasuh tubuh dan berpakaian yang elegan. Begitu pun dengan Laras, malah ia lebih dulu bangun dan tampak sudah cantik.Selesai mengenakan pakaian, aku segera keluar dari kamar dan menuju ruang makan, menghampiri calon istriku yang tengah menyiapkan sarapan.Perempuan tersebut menyadari keberadaanku saat menarik kursi dan duduk.“Roti bakar. Soalnya nggak ada bahan makanan di rumah kamu,” ucap Laras sambil memperhatikan pemanggang roti.“Iya, aku suka roti bakar.”Laras menghadapku, memperhatikan diriku yang sudah rapi dengan jas hitam. Ah, setiap hari aku memang selalu mengenakan jas hitam. Jadi, mungkin tidak ada bedanya penampilanku saat ini dengan hari-hari lainnya.“Kerah kemeja kamu keluar, belum rap
“Bagas!”Aku tersadar dari imaji, tiba-tiba saja sudah ada Intan—perempuan gila yang beberapa waktu lalu menyita waktuku karena bersimpati padanya. Sementara itu, Laras menyaksikan diriku yang tengah dipeluk erat oleh Intan.“Andraku, Andraku, Andraku.” Hanya itu yang Intan ucapkan sembari tersenyum dan tertawa. Ya, dia gila. Tapi, kenapa? Apa semuanya adalah salahku? Jika memang benar Intan gila, Tuhan pasti akan menghukumku lagi dengan yang lebih berat.“Intan ....” Aku bernada amat pelan, sementara kubiarkan perempuan tersebut memelukku dengan erat. Namun, sepertinya dia tidak hanya ingin memelukku, tetapi ingin melenyapkanku dari dunia karena tangannya tiba-tiba naik ke leher dan mencengkeramnya dengan amat keras.“I-Intan ... j-jangan lakukan itu—““Bagas!” Laras panik, mencoba membantuku untuk melepaskan cengkeraman Intan serta menjauhkannya dariku. Begitu juga dengan Pak
“Saya terima nikah dan kawinnya Laras Sukmawati binti Muhammad Fajar Wadi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!”“SAH!”Semua tamu undangan bersorak-sorai menyerukan bahwa ijab qobul yang baru saja terlontar dari mulutku telah sah dan tidak satu pun kata terlewat. Aku memang mampu untuk memberikan mas kawin yang lebih besar dengan harta dan benda, tetapi sayang ayah dan ibu Laras tidak menginginkan hal itu. Laras juga demikian. Hanya dengan seperangkat alat sholat saja, mereka sudah bahagia tiada tara asalkan aku mampu membahagiakan anak mereka.Setelah itu, doa dipimpin oleh pak penghulu untuk memanjatkan harapan kepada Tuhan agar aku dan Laras menjadi suami istri yang senantiasa sakinah. Tidak lupa setelah acara selesai, Laras mencium tanganku dengan amat mesra sebagai pertanda bahwa kami sudah menjadi pasangan yang sah di hadapan Tuhan.“Aku bahagia, Bagas.” Begitulah ucap Laras seraya memasang seny