Untuk menemui kedua orang tua Laras, tentu saja aku harus menyiapkan diri, berpakaian yang rapi, serta merangkai kalimat untuk melamar perempuan tersebut. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dari tidur, kemudian membasuh tubuh dan berpakaian yang elegan. Begitu pun dengan Laras, malah ia lebih dulu bangun dan tampak sudah cantik.
Selesai mengenakan pakaian, aku segera keluar dari kamar dan menuju ruang makan, menghampiri calon istriku yang tengah menyiapkan sarapan.
Perempuan tersebut menyadari keberadaanku saat menarik kursi dan duduk.
“Roti bakar. Soalnya nggak ada bahan makanan di rumah kamu,” ucap Laras sambil memperhatikan pemanggang roti.
“Iya, aku suka roti bakar.”
Laras menghadapku, memperhatikan diriku yang sudah rapi dengan jas hitam. Ah, setiap hari aku memang selalu mengenakan jas hitam. Jadi, mungkin tidak ada bedanya penampilanku saat ini dengan hari-hari lainnya.
“Kerah kemeja kamu keluar, belum rap
“Bagas!”Aku tersadar dari imaji, tiba-tiba saja sudah ada Intan—perempuan gila yang beberapa waktu lalu menyita waktuku karena bersimpati padanya. Sementara itu, Laras menyaksikan diriku yang tengah dipeluk erat oleh Intan.“Andraku, Andraku, Andraku.” Hanya itu yang Intan ucapkan sembari tersenyum dan tertawa. Ya, dia gila. Tapi, kenapa? Apa semuanya adalah salahku? Jika memang benar Intan gila, Tuhan pasti akan menghukumku lagi dengan yang lebih berat.“Intan ....” Aku bernada amat pelan, sementara kubiarkan perempuan tersebut memelukku dengan erat. Namun, sepertinya dia tidak hanya ingin memelukku, tetapi ingin melenyapkanku dari dunia karena tangannya tiba-tiba naik ke leher dan mencengkeramnya dengan amat keras.“I-Intan ... j-jangan lakukan itu—““Bagas!” Laras panik, mencoba membantuku untuk melepaskan cengkeraman Intan serta menjauhkannya dariku. Begitu juga dengan Pak
“Saya terima nikah dan kawinnya Laras Sukmawati binti Muhammad Fajar Wadi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!”“SAH!”Semua tamu undangan bersorak-sorai menyerukan bahwa ijab qobul yang baru saja terlontar dari mulutku telah sah dan tidak satu pun kata terlewat. Aku memang mampu untuk memberikan mas kawin yang lebih besar dengan harta dan benda, tetapi sayang ayah dan ibu Laras tidak menginginkan hal itu. Laras juga demikian. Hanya dengan seperangkat alat sholat saja, mereka sudah bahagia tiada tara asalkan aku mampu membahagiakan anak mereka.Setelah itu, doa dipimpin oleh pak penghulu untuk memanjatkan harapan kepada Tuhan agar aku dan Laras menjadi suami istri yang senantiasa sakinah. Tidak lupa setelah acara selesai, Laras mencium tanganku dengan amat mesra sebagai pertanda bahwa kami sudah menjadi pasangan yang sah di hadapan Tuhan.“Aku bahagia, Bagas.” Begitulah ucap Laras seraya memasang seny
“Gimana apartemennya, Sayang? Bagus? Nyaman? Keren? Menurut kamu?”“Waaaah. Ini, sih, lebih dari sekedar bagus, Gas! Aku sukaa banget! Fasilitasnya lengkap, ya. Ada TV, kulkas, dapur, dan banyak lagi!” seru Laras sembari duduk dan mencoba sofa berwarna putih empuk di apartemen yang aku sewa.“Syukur, deh, kalau suka. Sekalian juga kamarnya dicobain,” ucapku yang kemudian membuka pintu kamar apartemen.“Ish! Nakal kamu, ya, mau main coba-coba aja.” Laras mencebikkan bibirnya, lalu melangkah masuk ke kamar. Aku mengikuti di belakangnya.“Loh. Kan, nggak bermaksud yang itu, Sayang. Maksud aku itu, cobain tempat tidurnya, lihat lemarinya, dan lain-lain.”“Alah, ngeles, deh. Dari kemarin perasaan bahas yang itu terus. Aku, kan, jadi kepikiran ke sana juga.”Laras membanting pantat ke atas ranjang, lalu merasakan keempukan serta kenyamanan spring bed berukuran kin
“Sayaaannggg. Udah siap, belum? Lama banget, deh, make up-nya.” Aku berteriak dari ruang tamu agar Laras mendengar yang sedang ada di kamar.Aku tidak heran, sebab seorang perempuan pasti sangat lama bersolek di depan cermin. Dulu, Laras sangat minim menggunakan make up, tapi setelah menikah denganku, hampir setiap menit ia bercermin. Ia sering kali menggunakan gincu dan beberapa make up lainnya dan berhasil memikat hasratku kepadanya.Tiga puluh menit sudah berlalu sejak Laras selesai membasuh tubuh. Aku menanti di ruang tamu sembari menikmati kopi biasa-biasa saja buatan Laras. Oh, tentu saja di Amerika kopinya berbeda. Jadi, rasa kopi yang dibuat Laras sedikit berbeda pula. Ah, tapi tetap saja rasanya tak ada yang istimewa. Meski begitu, aku tetap menyesapnya hingga tandas.Setelah terjadinya pergolakan hasrat tadi malam, akhirnya tercipta diskusi singkat antara aku dengan Laras. Oleh karena itu, aku hari ini akan mengaj
Aku berjalan cepat menuju apartemen seketika mengingat Laras yang tengah tertidur sendirian. Di dalam hati, berusaha berpikir bahwa sang istri baik-baik saja. Ya, dia akan baik-baik saja.“Laras!” Aku berteriak dan membuka pintu apartemen dengan cukup keras. Segera aku menuju kamar, memeriksa keberadaan perempuan tersebut.Kosong!Ke mana Laras?“Laras!”Aku lalu menjejak ke dapur. Namun, juga tak ada. Tak ada tanda-tanda keberadaan istriku di mana pun di apartemen ini. Ke mana dirinya? Apakah empat orang yang baru saja pergi dari apartemen ini telah menculiknya?Aku berdiri dengan perasaan kalut sembari kedua mata mengitari sekeliling ruangan. Dadaku berontak dan berpacu dua kali lebih cepat dari biasanya.Namun, aku terkejut tatkala merasa bahuku disentuh sesuatu, lantas kubalikkan badan.Laras—sang istri sedang bertatap heran dan mengerutkan dahi.“Ya, ampun. Laras,” ucapku se
“Laras ....”Lirih suara ini saking terhenyaknya tak mampu menyuara tinggi. Ada beribu pertanyaan yang muncul di kepalaku ketika yang membuka pintu ruangan ini ialah Laras—istriku sendiri. Bagaimana bisa? Dari mana sang istri mengetahui keberadaanku?“K-kamu ngapain di sini, Sayang?” tanyaku sambil sesekali menatap sosoknya di hadapan.Tak merespons, Laras malah melangkah pergi dengan langkah tergesa. Aku bingung, tetapi yang penting aku harus mengejar istriku.“Laras! Sayang! Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi sebenarnya?” tanyaku sembari mengejar langkah kaki perempuan tersebut.Aku berusaha meraih tangannya untuk menghentikan langkah Laras yang mengayun cepat. Kutambah kecepatan kakiku, lalu meraih tangannya dengan lugas. Laras berusaha menolak, membanting tanganku hingga terlepas. Meski begitu, aku terus mencoba hingga bisa membuat langkahnya berhenti.Tepat di depan lobi. Ternyata, aku berada
“Jadi, tujuan kamu ngajak aku ke sini sebenarnya juga untuk ngejar Pak Bambang?!” Laras bernada cukup tinggi dan menatapku dengan lamat.Aku tak mampu menatap sang istri, lantas menundukkan wajah. Berbicara jujur saja rasanya aku tidak mampu, pasti itu bisa membuat hatinya sakit.“Laras—““Jawab, Gas! Jawab aku!” Ia berteriak lagi, tatapannya sendu, memancar kekecewaan yang begitu mendalam.“Aku bisa jelasin—““Kamu pernah janji apa sama aku?! Kamu pernah janji apa, Gas? Jawab!”Baru kali ini aku melihat sisi keras di dalam diri istriku. Namun, semuanya memang salahku. Akulah yang salah, bukan salahnya. Aku mengkhianati kepercayaannya, mengkhianati janji yang telah kuucap padanya.“Maaf,” ucapku lirih.Nelangsa sudah hati ini. Telah kelam suasana ini. Murkalah orang yang selama ini sangat percaya padaku.“Aku mau kita pulang ke Indo
Saat membuka mata, bangun dari tidur di sofa, aku telah terselimuti oleh sehelai kain tebal bermotif bunga. Hal pertama kali yang terlintas di pikiranku ialah, bahwa ini pasti perbuatan Laras. Aku tahu sebenarnya ia sangat ingin menyudahi kecanggungan di antara kami. Namun, mungkin saja ia tidak tahu caranya. Meski kecewa, ia tetap melayani diriku sebagai seorang suami, menyiapkan sarapan, serta berusaha memberikan kasih sayang yang tulus.Buktinya, ketika aku melangkah ke dapur, di meja makan sudah tersedia beberapa makanan untuk sarapan. Akan tetapi, Laras tak hadir di sini. Ia masih saja mengurung diri dan berpuasa bicara denganku. Aku mungkin harus lebih berani untuk menyudahi pertengkaran di antara kami.Aku menuju kamar mandi untuk membasuh tubuhku. Namun, di luar pintu kamar mandi, aku menemukan Laras yang tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk. Sementara itu, tubuhnya juga hanya terbalut handuk putih.Aku cukup tersentak melihat hadir sang istri. Ku