“Gimana apartemennya, Sayang? Bagus? Nyaman? Keren? Menurut kamu?”
“Waaaah. Ini, sih, lebih dari sekedar bagus, Gas! Aku sukaa banget! Fasilitasnya lengkap, ya. Ada TV, kulkas, dapur, dan banyak lagi!” seru Laras sembari duduk dan mencoba sofa berwarna putih empuk di apartemen yang aku sewa.
“Syukur, deh, kalau suka. Sekalian juga kamarnya dicobain,” ucapku yang kemudian membuka pintu kamar apartemen.
“Ish! Nakal kamu, ya, mau main coba-coba aja.” Laras mencebikkan bibirnya, lalu melangkah masuk ke kamar. Aku mengikuti di belakangnya.
“Loh. Kan, nggak bermaksud yang itu, Sayang. Maksud aku itu, cobain tempat tidurnya, lihat lemarinya, dan lain-lain.”
“Alah, ngeles, deh. Dari kemarin perasaan bahas yang itu terus. Aku, kan, jadi kepikiran ke sana juga.”
Laras membanting pantat ke atas ranjang, lalu merasakan keempukan serta kenyamanan spring bed berukuran kin
“Sayaaannggg. Udah siap, belum? Lama banget, deh, make up-nya.” Aku berteriak dari ruang tamu agar Laras mendengar yang sedang ada di kamar.Aku tidak heran, sebab seorang perempuan pasti sangat lama bersolek di depan cermin. Dulu, Laras sangat minim menggunakan make up, tapi setelah menikah denganku, hampir setiap menit ia bercermin. Ia sering kali menggunakan gincu dan beberapa make up lainnya dan berhasil memikat hasratku kepadanya.Tiga puluh menit sudah berlalu sejak Laras selesai membasuh tubuh. Aku menanti di ruang tamu sembari menikmati kopi biasa-biasa saja buatan Laras. Oh, tentu saja di Amerika kopinya berbeda. Jadi, rasa kopi yang dibuat Laras sedikit berbeda pula. Ah, tapi tetap saja rasanya tak ada yang istimewa. Meski begitu, aku tetap menyesapnya hingga tandas.Setelah terjadinya pergolakan hasrat tadi malam, akhirnya tercipta diskusi singkat antara aku dengan Laras. Oleh karena itu, aku hari ini akan mengaj
Aku berjalan cepat menuju apartemen seketika mengingat Laras yang tengah tertidur sendirian. Di dalam hati, berusaha berpikir bahwa sang istri baik-baik saja. Ya, dia akan baik-baik saja.“Laras!” Aku berteriak dan membuka pintu apartemen dengan cukup keras. Segera aku menuju kamar, memeriksa keberadaan perempuan tersebut.Kosong!Ke mana Laras?“Laras!”Aku lalu menjejak ke dapur. Namun, juga tak ada. Tak ada tanda-tanda keberadaan istriku di mana pun di apartemen ini. Ke mana dirinya? Apakah empat orang yang baru saja pergi dari apartemen ini telah menculiknya?Aku berdiri dengan perasaan kalut sembari kedua mata mengitari sekeliling ruangan. Dadaku berontak dan berpacu dua kali lebih cepat dari biasanya.Namun, aku terkejut tatkala merasa bahuku disentuh sesuatu, lantas kubalikkan badan.Laras—sang istri sedang bertatap heran dan mengerutkan dahi.“Ya, ampun. Laras,” ucapku se
“Laras ....”Lirih suara ini saking terhenyaknya tak mampu menyuara tinggi. Ada beribu pertanyaan yang muncul di kepalaku ketika yang membuka pintu ruangan ini ialah Laras—istriku sendiri. Bagaimana bisa? Dari mana sang istri mengetahui keberadaanku?“K-kamu ngapain di sini, Sayang?” tanyaku sambil sesekali menatap sosoknya di hadapan.Tak merespons, Laras malah melangkah pergi dengan langkah tergesa. Aku bingung, tetapi yang penting aku harus mengejar istriku.“Laras! Sayang! Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi sebenarnya?” tanyaku sembari mengejar langkah kaki perempuan tersebut.Aku berusaha meraih tangannya untuk menghentikan langkah Laras yang mengayun cepat. Kutambah kecepatan kakiku, lalu meraih tangannya dengan lugas. Laras berusaha menolak, membanting tanganku hingga terlepas. Meski begitu, aku terus mencoba hingga bisa membuat langkahnya berhenti.Tepat di depan lobi. Ternyata, aku berada
“Jadi, tujuan kamu ngajak aku ke sini sebenarnya juga untuk ngejar Pak Bambang?!” Laras bernada cukup tinggi dan menatapku dengan lamat.Aku tak mampu menatap sang istri, lantas menundukkan wajah. Berbicara jujur saja rasanya aku tidak mampu, pasti itu bisa membuat hatinya sakit.“Laras—““Jawab, Gas! Jawab aku!” Ia berteriak lagi, tatapannya sendu, memancar kekecewaan yang begitu mendalam.“Aku bisa jelasin—““Kamu pernah janji apa sama aku?! Kamu pernah janji apa, Gas? Jawab!”Baru kali ini aku melihat sisi keras di dalam diri istriku. Namun, semuanya memang salahku. Akulah yang salah, bukan salahnya. Aku mengkhianati kepercayaannya, mengkhianati janji yang telah kuucap padanya.“Maaf,” ucapku lirih.Nelangsa sudah hati ini. Telah kelam suasana ini. Murkalah orang yang selama ini sangat percaya padaku.“Aku mau kita pulang ke Indo
Saat membuka mata, bangun dari tidur di sofa, aku telah terselimuti oleh sehelai kain tebal bermotif bunga. Hal pertama kali yang terlintas di pikiranku ialah, bahwa ini pasti perbuatan Laras. Aku tahu sebenarnya ia sangat ingin menyudahi kecanggungan di antara kami. Namun, mungkin saja ia tidak tahu caranya. Meski kecewa, ia tetap melayani diriku sebagai seorang suami, menyiapkan sarapan, serta berusaha memberikan kasih sayang yang tulus.Buktinya, ketika aku melangkah ke dapur, di meja makan sudah tersedia beberapa makanan untuk sarapan. Akan tetapi, Laras tak hadir di sini. Ia masih saja mengurung diri dan berpuasa bicara denganku. Aku mungkin harus lebih berani untuk menyudahi pertengkaran di antara kami.Aku menuju kamar mandi untuk membasuh tubuhku. Namun, di luar pintu kamar mandi, aku menemukan Laras yang tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk. Sementara itu, tubuhnya juga hanya terbalut handuk putih.Aku cukup tersentak melihat hadir sang istri. Ku
Entah berapa lama, kesadaran perlahan kembali pada diriku. Namun, sayangnya aku tidak bisa membuka netra. Hanya suara-suara riuh yang terdengar di telinga.“Bagas! Aku mohon bertahan, Bagas! Aku mohon!”Tubuhku seperti berada di atas sesuatu, terasa berjalan dan dikelilingi banyak orang. Yang jelas, aku mendengar suara milik perempuan yang sangat kukenal. Benar, Laras. Aku pun yakin bahwa saat ini sedang dibawa ke rumah sakit. Biarlah aku tidak dapat melihat apa pun. Sesungguhnya aku tidak ingin melihat wajah hancur istri tercintaku.“Please, help him! Please, Doc. Please!”Meski tak dapat membuka mata, tetapi cairan bening berusaha mengucur dari sudut-sudut netra. Ini semua karena mendengar rintih permintaan tolong sang istri.Maafkan aku, Laras.Seandainya saja aku tidak bertemu dengan Bambang, mungkin aku akan bisa melupakan tentang dendam ini dan pulang ke Indonesia untuk hidup secara normal dengan Laras.
Seminggu sudah berlalu semenjak pertama kali aku membuka mata dari ketidaksadaran. Kini, aku tak lagi berada di Amerika, melainkan telah pulang ke Indonesia. Banyak yang telah berubah selama berada di Amerika, termasuk juga keadaanku yang kini hanya bisa terduduk di kursi roda, tak dapat melangkahkan kaki dan menggerakkan badanku. Aku lumpuh sebagaimana Laras menyampaikan penjelasan dokter di Amerika.Oleh karenanya, aku dibawa pulang oleh Laras atas bantuan Rasyid juga. Setiap hari, aku check up ke dokter untuk mengetahui perkembangan beberapa syaraf motorik serta berlatih berjalan. Namun, semua itu sangat sulit kurasakan.Aku sepenuhnya menjadi lelaki tak berguna bagi istriku sendiri yang bahkan kini tengah mengandung anak kami. Aku benar-benar tidak ada gunanya bagi dia, selalu merepotkannya karena mengurus diriku yang bahkan berjalan saja tidak becus.“Sayang, kamu harus makan dulu. Sini, aku suapin,” ucap Laras yang beberapa waktu lalu
Ketika membuka mata, kulihat wajah Laras yang sangat dekat di wajahku. Mungkin sedari tadi ia berusaha membangunkanku. Oleh karenanya, ia kini menatapku begitu dekat.“Laras ....”“Sayang. Bangun, gih. Ini sudah siang,” ucapnya sambil mengulas senyum yang hangat.Setelah kuanggukkan kepala, Laras membantuku bangkit, lalu mengambilkan kursi roda dan kemudian membantuku lagi duduk di kursi roda.“Sarapannya udah siap,” katanya sembari membawaku ke ruang makan.Aku sungguh terharu bahwa Laras masih bertahan dengan keadaanku seperti sekarang ini. Bukan hanya itu, kurasa cinta dan perhatiannya tidak berkurang sedikit pun.“Suapin?” tanyanya sambil mengambilkan semangkok bubur.“Nggak perlu. Aku bisa sendiri,” balasku.Laras pun menaruh bubur di hadapanku, lalu ia duduk di sebelahku untuk ikut menyantap sarapan di pagi ini.“Aku ... mau ke kantor hari ini,&rdquo