Seminggu sudah berlalu semenjak pertama kali aku membuka mata dari ketidaksadaran. Kini, aku tak lagi berada di Amerika, melainkan telah pulang ke Indonesia. Banyak yang telah berubah selama berada di Amerika, termasuk juga keadaanku yang kini hanya bisa terduduk di kursi roda, tak dapat melangkahkan kaki dan menggerakkan badanku. Aku lumpuh sebagaimana Laras menyampaikan penjelasan dokter di Amerika.
Oleh karenanya, aku dibawa pulang oleh Laras atas bantuan Rasyid juga. Setiap hari, aku check up ke dokter untuk mengetahui perkembangan beberapa syaraf motorik serta berlatih berjalan. Namun, semua itu sangat sulit kurasakan.
Aku sepenuhnya menjadi lelaki tak berguna bagi istriku sendiri yang bahkan kini tengah mengandung anak kami. Aku benar-benar tidak ada gunanya bagi dia, selalu merepotkannya karena mengurus diriku yang bahkan berjalan saja tidak becus.
“Sayang, kamu harus makan dulu. Sini, aku suapin,” ucap Laras yang beberapa waktu lalu
Ketika membuka mata, kulihat wajah Laras yang sangat dekat di wajahku. Mungkin sedari tadi ia berusaha membangunkanku. Oleh karenanya, ia kini menatapku begitu dekat.“Laras ....”“Sayang. Bangun, gih. Ini sudah siang,” ucapnya sambil mengulas senyum yang hangat.Setelah kuanggukkan kepala, Laras membantuku bangkit, lalu mengambilkan kursi roda dan kemudian membantuku lagi duduk di kursi roda.“Sarapannya udah siap,” katanya sembari membawaku ke ruang makan.Aku sungguh terharu bahwa Laras masih bertahan dengan keadaanku seperti sekarang ini. Bukan hanya itu, kurasa cinta dan perhatiannya tidak berkurang sedikit pun.“Suapin?” tanyanya sambil mengambilkan semangkok bubur.“Nggak perlu. Aku bisa sendiri,” balasku.Laras pun menaruh bubur di hadapanku, lalu ia duduk di sebelahku untuk ikut menyantap sarapan di pagi ini.“Aku ... mau ke kantor hari ini,&rdquo
Atas kemauan keras Laras untuk mengurus perusahaan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Penolakanku akan keinginannya tidak mempan sama sekali. Itu hanya membuat lubang yang besar di hatinya, juga menjadi pertengkaran yang bisa saja merusak harmoni dalam keluarga kami. Oleh karena itu, aku menyerahkan semuanya pada sang istri. Memang benar apa yang ia katakan, aku tidak bisa berbuat apa-apa karena sedang lumpuh.Aku tak menyangka Laras akan mengatakan hal kejam tersebut, tetapi sayang itulah kenyataannya sekarang.Seminggu sudah berlalu semenjak Laras mulai bekerja dan mengurus segala hal masalah perusahaan. Ia menjadi seorang perempuan sibuk yang bahkan telah mengurangi porsi waktu yang semestinya ia berikan untukku. Kadang, ia kerja lembur, membuat hatiku begitu kesepian tanpa hadirnya. Aku tidak lagi mendapatkan kasih sayang sesuai porsi, kini digantikan dengan hadirnya pembantu yang juga merupakan ide gila dari istriku sendiri.Mbok Sumi, seorang pembantu yang L
“Sayang ...,” panggilku pada sang istri di tengah-tengah makan siang yang berlangsung. Hari ini, Laras katanya sedang tidak ada jadwal, karenanya ia bisa pulang cepat dan menemaniku makan siang.“Iya, Sayang? Ada apa—“Kriingg! Kriiingg!Dering ponsel pintar Laras yang tergeletak di meja makan lantas memotong pembicaraan yang sedang berlangsung. Laras melihat layar untuk memastikan siapa yang meneleponnya.“Sayang, bentar, ya. Ini dari klien penting. Bentar, ya, bentar.”Laras menjauh dari meja makan dan mengangkat panggilan yang katanya penting. Aku tidak heran dan bukan yang kali pertamanya. Aku sudah seperti bukan siapa-siapa bagi sang istri. Mungkin saat ini perusahaan dan uang lebih penting baginya. Akhirnya, semua aku rasakan. Apa-apa yang pernah aku lakukan dulu berbalik menikam seperti sebuah karma dari Tuhan. Aku dulu sangat sering berlaku seperti itu, ambisius dalam bekerja dan lebih meme
Sepekan sudah aku dan Laras tidak saling berbicara. Ketika akan berangkat ke kantor, ia bahkan tidak duduk bersamaku di meja makan untuk sarapan bersama. Aku tidak mengerti bagaimana cara mengakhiri pertengkaran yang tak berkesudahan di antara kami. Semestinya keluarga yang aku harapkan berjalan harmonis, tak ada pertengkaran, tetapi itu tak ada di dunia ini. Ya, tak ada sebuah rumah di dunia ini yang tidak bisa diterpa hujan.Jam 10.00 malam, Laras pulang sementara aku masih berada di ruang tengah menonton siaran televisi. Padahal, pikiranku tidak fokus pada acara yang diputar, tetapi fokus pada masalahku dengan Laras. Namun, suara Laras menyadarkanku kemudian. Aku mendengar ia mual-mual, melihatnya segera melangkah ke kamar mandi dengan setelan yang masih menempel di tubunya.Terpikir untuk menghampiri dan ingin tahu apa yang terjadi dengan sang istri. Tanpa perlu memikirkan pertengkaran di antara kami, segera kuputar roda kursi untuk sampai ke kamar mandi. Aku menun
“Sayang, dimakan dulu sarapannya,” ucap Laras sembari meletakkan roti bakar di atas meja dan segelas minuman di sampingnya.“Makasih, Sayang,” balasku sambil tersenyum hangat.Suasana di pagi ini tak seperti hari-hari sebelumnya kala aku dan Laras saling bertengkar. Beginilah seharusnya, tanpa ada sebuah kecurigaan di hati, atau amarah yang membludak di benak.“Kamu habisin, ya.” Laras tersenyum, lalu menggigit roti miliknya dan mulai mengunyah.Aku kini mengerti bahwa harmoni itu tidak dicari, tetapi diciptakan. Aku tentu harus berinisiatif menciptakan keharmonisan tersebut. Jika terus-menerus mengikuti apa yang dikatakan pikiran burukku, maka semua bisa saja hancur dalam waktu singkat.“Vila Palm sudah ada yang keep, loh, Sayang. Hari ini rencananya aku akan bertemu dengan klien bernama Pak Trisno.”“Kamu hebat, Laras. Vila itu sudah lama kosong, dan sekarang sudah ada yang mau
“Pak, ada tamu mencari Bapak. Orangnya nunggu di ruang tamu.”Berjalan dengan gerakan yang masih sangat kaku, aku membuka pintu kamar, menemui Mbok Sumi yang tengah berdiri di depan pintu.“Siapa, Mbok?” tanyaku sambil memegang kusen pintu sebagai tumpuan.“Mbok tidak tahu, Pak.”“Ya, sudah. Saya akan temui orangnya. Suruh nunggu sebentar, ya, Mbok.”Setelah mengangguk, Mbok Sumi melangkah ke ruang tamu. Sementara itu, aku kembali berjalan untuk duduk di kursi roda.“Siapa yang betamu, ya,” gumam Laras yang tengah duduk di ranjang sambil menikmati beberapa buah-buahan segar.“Nggak tahu juga, Sayang. Aku ke ruang tamu dulu, ya.”“Eh, aku ikut, deh.” Laras bangkit dan menggapai handle kursi roda, lalu mendorongku menuju ruang tamu.Aku tidak pernah menduga sebelumnya bahwa dialah yang bertamu ke rumah ini. Seorang lelaki paruh bay
Babak baru sebuah permulaan.-II-"Woy! Mampus lo!"Indra Setiawan tercengang ketika mendengar sebuah teriakan dari belakangnya. Dengan perlahan dia memutar tubuhnya dan mendapati sekitar sepuluh orang laki-laki bertubuh besar tengah menuju ke arahnya."S-siapa mereka?" tanya lelaki bertubuh tinggi berotot ini sambil harap-harap cemas.Indra Setiawan tidak lantas berlari, tetapi dia bergeming dan berusaha melihat apa yang ingin dilakukan puluhan orang yang berlari ke arahnya sambil membawa senjata tajam dan senjata api itu."Lo nggak lari lo, hah?! Besar juga nyali lo!" ujar salah satu lelaki dengan pistol hitam di tangannya ketika telah tiba di hadapan Indra.Indra pun kini sadar bahwa dialah yang sedang diinca
Dengan kemampuan dan kecepatannya, Indra begitu saja membelokkan tubuhnya ke samping kanan sehingga berhasil menghindari peluru yang sedikit lagi menembus kepalanya. Untungnya, tidak ada yang menyadari apa yang dilakukan lelaki tampan ini.“Sialan!”Di titik ini, Indra menyaksikan adegan baku tembak antara para berandal yang menangkapnya dengan beberapa orang yang ada di dalam mobil sedan.Mobil Jeep membawa Indra berkelok-kelok ke sebuah hutan serta melewati jalanan berlumpur. Berkali-kali Indra berpegangan pada kap mobil.“Sialan! Kenapa aku jadi terlibat baku tembak sama para berandal ini?”Sebisa mungkin, Indra mengatur posisinya agar tidak menjadi sasaran empuk untuk ditembak musuh. Dia juga tidak