“Sayang, dimakan dulu sarapannya,” ucap Laras sembari meletakkan roti bakar di atas meja dan segelas minuman di sampingnya.
“Makasih, Sayang,” balasku sambil tersenyum hangat.
Suasana di pagi ini tak seperti hari-hari sebelumnya kala aku dan Laras saling bertengkar. Beginilah seharusnya, tanpa ada sebuah kecurigaan di hati, atau amarah yang membludak di benak.
“Kamu habisin, ya.” Laras tersenyum, lalu menggigit roti miliknya dan mulai mengunyah.
Aku kini mengerti bahwa harmoni itu tidak dicari, tetapi diciptakan. Aku tentu harus berinisiatif menciptakan keharmonisan tersebut. Jika terus-menerus mengikuti apa yang dikatakan pikiran burukku, maka semua bisa saja hancur dalam waktu singkat.
“Vila Palm sudah ada yang keep, loh, Sayang. Hari ini rencananya aku akan bertemu dengan klien bernama Pak Trisno.”
“Kamu hebat, Laras. Vila itu sudah lama kosong, dan sekarang sudah ada yang mau
“Pak, ada tamu mencari Bapak. Orangnya nunggu di ruang tamu.”Berjalan dengan gerakan yang masih sangat kaku, aku membuka pintu kamar, menemui Mbok Sumi yang tengah berdiri di depan pintu.“Siapa, Mbok?” tanyaku sambil memegang kusen pintu sebagai tumpuan.“Mbok tidak tahu, Pak.”“Ya, sudah. Saya akan temui orangnya. Suruh nunggu sebentar, ya, Mbok.”Setelah mengangguk, Mbok Sumi melangkah ke ruang tamu. Sementara itu, aku kembali berjalan untuk duduk di kursi roda.“Siapa yang betamu, ya,” gumam Laras yang tengah duduk di ranjang sambil menikmati beberapa buah-buahan segar.“Nggak tahu juga, Sayang. Aku ke ruang tamu dulu, ya.”“Eh, aku ikut, deh.” Laras bangkit dan menggapai handle kursi roda, lalu mendorongku menuju ruang tamu.Aku tidak pernah menduga sebelumnya bahwa dialah yang bertamu ke rumah ini. Seorang lelaki paruh bay
Babak baru sebuah permulaan.-II-"Woy! Mampus lo!"Indra Setiawan tercengang ketika mendengar sebuah teriakan dari belakangnya. Dengan perlahan dia memutar tubuhnya dan mendapati sekitar sepuluh orang laki-laki bertubuh besar tengah menuju ke arahnya."S-siapa mereka?" tanya lelaki bertubuh tinggi berotot ini sambil harap-harap cemas.Indra Setiawan tidak lantas berlari, tetapi dia bergeming dan berusaha melihat apa yang ingin dilakukan puluhan orang yang berlari ke arahnya sambil membawa senjata tajam dan senjata api itu."Lo nggak lari lo, hah?! Besar juga nyali lo!" ujar salah satu lelaki dengan pistol hitam di tangannya ketika telah tiba di hadapan Indra.Indra pun kini sadar bahwa dialah yang sedang diinca
Dengan kemampuan dan kecepatannya, Indra begitu saja membelokkan tubuhnya ke samping kanan sehingga berhasil menghindari peluru yang sedikit lagi menembus kepalanya. Untungnya, tidak ada yang menyadari apa yang dilakukan lelaki tampan ini.“Sialan!”Di titik ini, Indra menyaksikan adegan baku tembak antara para berandal yang menangkapnya dengan beberapa orang yang ada di dalam mobil sedan.Mobil Jeep membawa Indra berkelok-kelok ke sebuah hutan serta melewati jalanan berlumpur. Berkali-kali Indra berpegangan pada kap mobil.“Sialan! Kenapa aku jadi terlibat baku tembak sama para berandal ini?”Sebisa mungkin, Indra mengatur posisinya agar tidak menjadi sasaran empuk untuk ditembak musuh. Dia juga tidak
Indra tercengang mendapati seorang perempuan yang tengah dikawal oleh sekitar 5 orang laki-laki berjas hitam serta berkacamata hitam.“Siapa perempuan itu? Apa dia salah satu komplotan para begundal itu?” pikir Indra sambil terus memperhatikan gerak-gerik perempuan berambut sepunggung yang mengenakan dress brokat berwarna merah.Kini, Indra menatap ke arah para berandal yang beberapa waktu lalu mengadakan pesta minuman keras. Namun, terlihat bahwa mereka berdiri dan berderet dengan rapi. Hal ini semakin menambah rasa penasaran di benak Indra.Karena tidak ingin keberadaannya terlihat jelas, Indra menempel tubuhnya di pintu gudang, sesekali ia menatap ke luar gudang. Hanya sedikit kepalanya yang terlihat di ventilasi, hanya pada bagian mata kirinya.“Kit
Tak segan-segan, lelaki berjas hitam itu langsung melayangkan tinjunya ke arah Indra. Untungnya, secepat kilat Indra menghindar sembari menjauh. Dia menjaga jarak. Kini, keduanya saling menatap satu sama lain.“Hampir aja aku kena pukulannya,” batin Indra. Lelaki bertubuh atletis ini berusaha fokus.“Nggak apa-apa kalau aku ngeluarin kebolehanku di sini. Lagian, nggak akan ada orang yang melihat kami,” pikir Indra.Dengan begitu, Indra memutuskan untuk mengerahkan kemampuan dan ketangkasan yang ia miliki. Tanpa basa-basi, lelaki ini melayangkan tendangan menyamping. Sayangnya, lelaki berjas cukup cepat dalam merespons serangan Indra.“Wow, hebat juga!” seru Indra yang kemudian ter
Indra tak tinggal diam dan segera berlari keluar setelah mengambil dompetnya yang tergeletak di antara mayat para berandal. Setelah mencapai gerbang kayu untuk keluar dari lahan tersebut, bangunan beserta gudang itu benar-benar meledak. Dan tentu saja apa yang dikatakan oleh lelaki berpupil kuning itu benar.Karena tekanan dari udara dari bom yang meledak cukup kencang, Indra terdorong hingga terempas di sebuah pohon kelapa. Untungnya, secepat kilat lelaki ini bertumpu menggunakan kedua tangan.“Sial! Jadi sakit gini!” keluh Indra setelah menggelepar di tanah kering berdebu. Dia berusaha bangkit, tetapi dirasakan bahwa pinggangnya terasa encok.“Sial banget. Aku nggak bisa mendarat dengan benar.”
Setelah mendapatkan beberapa informasi penting dari Jeremy, Indra berniat untuk segera melanjutkan misinya.“Lo yakin nggak mau nginap di sini dulu? Luka-luka lo belum sepenuhnya sembuh. Saran gue, sih, lo nginap aja. Daripada lo terlibat baku tembak lagi nanti, bisa jadi lo gagal dalam menjalankan misi,” pungkas Jeremy pada Indra yang sedang berdiri dan meregangkan beberapa bagian tubuhnya.“Nggak apa-apa. Justru ini misi yang sangat menantang bagiku. Tyrex, aku nggak akan biarin mereka berkembang pesat di negeri ini. Mereka udah banyak ngelakuin tindakan kriminal.”Jeremy tersenyum mendengar penjelasan Indra. “Okay. Lo emang orang yang keras kepala. Wajar aja lo berambisi buat nangkap Tyrex dan membubarkan mereka. Soalnya, hadiah yang akan lo
Indra tidak mampu lagi menahan rasa sakit di setiap kulitnya yang lecet dan beberapa bagian tubuhnya yang terluka. Kepalanya dipenuhi oleh cairan darah yang terus mengalir. Pandangan lelaki ini menjadi buram serta perlahan-lahan suara di keramaian mulai hilang.“Sialan!”Indra pun sepenuhnya tidak sadarkan diri. Di titik ini, orang-orang dari mobil Van melihat keadaan Indra.“Dia udah pingsan,” ucap salah satu pria berjas sambil menatap rekannya yang juga duduk di sebelahnya.“Sebelum orang-orang berdatangan dan polisi datang ke tempat ini, sebaiknya kita bawa dia ke markas, gimana?”Setelah setuju dengan usulan itu, bebe
Kikan tetap menarik lengan Deon sampai akhirnya keluar dari bar dan tiba di sebuah gang sempit. Dengan sangat keras, Kikan mengempaskan punggung Deon pada dinding. Perempuan ini menumpu kedua tangannya di antara kepala sang lelaki.“Ada apa ini?!” Deon bertanya dengan penuh penekanan.“Jangan ikut campur urusanku!” tegas Kikan dengan tatapan yang begitu tajam. Tak sedikit pun dia mengalihkan pandangan dari mata Deon.“Oh, gitu. Okay, aku sadar kalau itu bukan urusanku. Tapi, seorang laki-laki nggak akan tinggal diam saat melihat perempuan sedang tersiksa di depannya,” pungkas Deon, santai.“Tersiksa?! Apa aku terlihat tersiksa?! Dasar bodoh!”
Atas kedatangan Deon yang secara tiba-tiba, Kikan cukup terkejut. Keningnya mengerut dan berangsur-angsur menjaga jarak. Sementara itu, lelaki dengan sweater yang telah mendapatkan pukulan keras dari Deon, kini menatap dengan tajam penuh intimidasi.“Sialan. Siapa lo?! Berani-beraninya lo memukul gue!” tegas lelaki dengan sweater.Deon mengangkat sebelah alisnya, lalu berkata, “Siapa aku nggak penting. Yang jelas, kamu udah bertindak kasar sama cewek. Kamu itu cowok, bukan banci, kan?!”Mendengar tanggapan Deon tersebut, sang lelaki dengan sweater lantas tertawa terbahak-bahak.“Sialan. Baru kali ini gue nemuin orang yang berani sama gue. Lo belum tahu siapa gue, hah?!”
Deon terakhir kali mengingat bahwa dirinya telah menyelesaikan pertarungan dengan Aldrikov, juga Kikan yang memberikan ucapan selamat padanya. Kini, saat lelaki ini terbangun, entah mengapa dia terlihat sangat kebingungan.“Di mana aku?” tanya Deon sambil beranjak duduk. Dia melirik ke sekitar ruangan yang tak cukup luas tempatnya berada saat ini.Selang beberapa saat, matanya berhenti pada perempuan yang terlihat membatu.“Anggraini? Apa aku ada di rumah sakit?” tanya Deon kesekian kalinya.“Deon! Syukurlah lo udah sadar!”Tanpa menjawab pertanyaan sang lelaki, Anggraini lantas memeluk tubuh Deon yang dipenuhi oleh perba
Semua persiapan telah dilakukan oleh Deon dan Aldrikov. Kini, keduanya saling tatap satu sama lain.“Aku yang menang, Tua Bangka!”Keduanya melesat dengan sangat cepat. Deon menggerakkan tangannya secara vertikal, tetapi Aldrikov melompat begitu tinggi hingga melewati tubuh Deon. Hal ini membuat lelaki bertubuh atletis ini tersentak kaget. Dia kehilangan momentum. Alhasil, ketika berbalik badan, tangan Aldrikov telah siap melukai wajah dan perutnya.Walau begitu, Deon tak tinggal diam. Tak ingin kalah cepat, dia memutar kedua tangannya ke arah kanan dan berhasil menangkis serangan lawan. Sayangnya, entakan yang begitu kuat membuat Deon terempas beberapa meter.“Kamu terlalu percaya diri.”
Deon dan Aldrikov menoleh ke sumber suara. Keduanya tercengang karena melihat bahwa Kikan-lah yang memiliki suara menggelegar barusan. Deon mengerutkan kening, lalu meningkatkan kewaspadaan. Baginya, tidak mungkin perempuan sadis ini tidak ikut campur dalam pertarungannya.“Apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu mau mengganggu pertarunganku dengan si tua bangka ini?!” tegas Deon dengan tatapan yang begitu tajam.Kikan lantas tertawa bergelak mendengar dugaan Deon.“Nggak juga. Aku datang nggak untuk mengganggu jalannya pertarunganmu dengan Aldrikov.”Sambil mengangkat sebelah alisnya, Deon bertanya, “Lalu? Apa yang kamu inginkan?”
“B-bang … sat!”Tubuh Deon lemas seketika. Anggraini terbelalak kaget karena merasakan cairan kental memenuhi tangannya. Dia lihat, lalu air matanya pun keluar begitu banyak.“DEON!”Di titik ini, napas Deon mulai tak beraturan. Dia seperti orang yang kedinginan, tetapi udara yang masuk ke mulutnya sangat terbatas. Bahkan saat Anggraini menjadi lemas, Deon tidak mampu menopang beban tubuhnya hingga harus tergeletak di tanah.Dengan posisi berbaring, Deon menyaksikan wajah pria paruh baya yang masih mengacungkan pistol ke arahnya. Sang lawan menyeringai, lalu berkata, “Saya sudah mengatakannya padamu. Kamu akan mati di tempat ini.”
Ketika pria berambut panjang hendak pergi bersama para anak buahnya yang bertugas membawa Deon, sebuah suara menghentikannya.“Serahkan Deon sama gue!”Pria paruh baya berbalik badan. Yang terlihat ialah seorang perempuan yang sedang membawa dua pistol di tangan dan dua pedang yang terselip di punggung.“Oh, bukankah kamu ….” Pria tersebut tidak melanjutkan kalimatnya. Namun, dia pun tertawa kemudian.“Ya, ya. Saya pernah mendengar desas-desus kalau salah satu senjata pembunuh Tyrex ikut bergabung ke Bruno. Dan tentu saja, yang mereka maksud adalah kamu. Kamulah pengkhianatnya.”Perempuan yang tak lain ialah Melind
Mendengar pernyataan pria berambut panjang, tatapan Deon semakin serius. Baginya, sekarang basa-basi tidak lagi diperlukan. Entah benar atau tidak bahwa para anggota Bruno tengah bertempur dengan anak buah si pemasok senjata ini.“Kalau gitu, kita buktiin di sini siapa yang lebih hebat.”Ketika Deon hendak menyiapkan kuda-kuda, pria berambut panjang berkata, “Tidak perlu.”Selang beberapa saat pria tersebut memberikan sinyal pada salah satu anak buahnya. Deon semakin waspada. Namun, dia tidak cukup cekat dalam menghindari sebuah peluru yang kemudian dilesatkan oleh anak buah si pemasok senjata. Alhasil, timah panas menancap di bahu sebelah kanan Deon.“Sialan!” jerit Deon sambil m
Tidak mudah bagi Deon untuk melakukan pergerakan saat ini. Bahwa keadaan tubuhnya dipenuhi luka dan juga para anak buah pria berambut panjang terlihat siap dengan berbagai senjata yang mereka bawa. Untuk itu, Deon hanya menatap ke arah sang lawan. Sesekali bergantian menatap Anggraini yang sedang dalam keadaan tertodong senjata.“Akhirnya, kami menemukanmu. Sebelum jadi mayat di sini, ada baiknya kita bicara beberapa patah kata,” ucap pria berambut panjang sambil berjalan mondar-mandir.Deon berusaha bangkit meski tubuhnya masih terasa pegal dan sakit. Tidak dipungkiri ada beberapa tulang yang patah akibat dirinya yang menggelinding di bukit terjal ini.“Oh, aku kira kalian nggak bisa berbasa-basi. Ternyata, sama aja.”