Intan di meja sebelah bersama dengan kedua orang tuanya dan entah siapa lelaki yang juga hadir di sana bersama dua orang—pria paruh baya serta wanita paruh baya. Mereka tampak berbincang-bincang, tetapi lantas Intan malah menatap ke arahku dengan lamat. Yang dia pahat di wajahnya hanya ekspresi sendu. Seolah wajah itu sedang mengajakku berbicara, memintaku untuk melakukan sesuatu. Entahlah.
“Laras, ayo kita pergi dari sini!” Aku bangkit tanpa merespons pertanyaan Laras. Kugapai tangan perempuan di hadapan dan mengajaknya menjauh dari restoran tempatku berada.
Namun, ketika menoleh ke belakang untuk memeriksa Intan, perempuan tersebut tidak lagi di bangku tadi. Ke mana dia? Aku lantas menghentikan langkah dan sadar bahwa tangan Laras masih melekat di genggamanku.
“Oh, maaf. Saya tidak sengaja,” ucapku sambil membuang pandangan ke sembarang arah.
“Nggak apa-apa. Kita ... jadi pulang?” tanyanya kemudian.
&ldqu
Aku tak mampu menahan tubuh yang terasa semakin lemas, sendi-sendi lututku rasanya keropos. Tiada daya dan upaya, akhirnya tubuhku roboh. Namun, perempuan tersebut menangkapku dengan lugas. Kurasakan kepalaku berbaring di bahunya. Ah, dia wangi sekali. Siapa dia? Aku bahkan belum melihat wajahnya. Tepatnya aku tidak mampu. Entah mengapa, aku merasakan sepasang tangannya mendekapku dengan erat.“Kamu kenapa, Bagas?”Oh, ternyata Laras. Benar sekali. Aku mengenal suaranya, tetapi tak mampu mataku melihat ekspresi di wajahnya. Tak mampu mengangkat kepalaku. Aku tenggelam dalam semerbak wangi tubuhnya. Sayup-sayup kulihat kulitnya yang begitu putih dan lembut di kedua mata.“Aku bantu kamu.”Ia balikkan tubuhku, kemudian membantuku menuju sofa di ruang tengah. Ia merebahkan tubuhku begitu pelan. Mataku mengembun, semakin pudar penglihatanku. Air mata sepertinya akan meghunjam di kedalaman jiwaku, lagi.“Kamu kenapa, Bagas?
Tak ada apa pun di ruangan ini. Tak ada siapa pun. Ke mana perginya lelaki itu? Laras bersimpuh kala sendi-sendi lutut ia rasakan keropos, tak berdaya. Ah, harapanku dengan harapannya tentu saja berbeda. Tak akan asa ini bersatu. Itulah mengapa aku mengatakan ketika secercah asa tercipta, asa yang lain memporak-poranda. Doaku dengan doanya pasti berbeda. Kala ia menginginkan sang kekasih untuk bertahan hidup, lalu apakah aku menginginkan dia untuk sirna dari dunia ini? Tidak, aku hanya berharap ia mencintaiku, dan itu secara tidak langsung juga mengharapkan kekasihnya menghilang dari dunia selamanya.“Maaf, Mas, Mbak. Sekitar pukul 7.00 pagi, kami sudah menelepon ke nomor Mbak Laras. Tapi sepertinya tidak ada tanggapan. Kami dengan sangat menyesal memberitahukan bahwa Saudara Arman telah meninggal dunia.”Laras bergeming seolah menjadi batu karang di tepi lautan. Benar-benar ekspresinya tidak mempercayai apa yang baru saja dikatakan oleh dokter berkacamata
Bukan maksud hati ini membuat Laras sakit hingga memilih untuk pergi. Memang, semua sangat tidak wajar dari awal. Seharusnya aku tidak mengatakan hal yang membangkitkan kemarahan di benaknya. Momen tak tepat, terlanjur menghancurkan semuanya. Dan kini yang tersisa hanyalah harapan yang nyaris tanggal.Tiap-tiap malam aku berpikir keras untuk menemukan keberadaan perempuan tersebut. Aku tahu kampung halamannya di mana. Namun, akan sangat aneh juga jika aku mengajarnya. Seolah aku memaksanya untuk menerima ajakanku untuk menikah dengannya. Bulan-bulan aku lalui tanpa hadirnya. Sepi dan sunyi. Suasana tak lagi hidup. Warna tak lagi mewarni sebagaimana mestinya ketika dia hadir di tatapanku.Aku juga tidak bisa membiarkan perusahaan dalam keadaan di ambang batas. Aku mulai lagi menyibukkan diri seperti sedia kala. Tanpa cinta, tanpa hadirnya aku menjalani semuanya sendiri.Perusahaan kembali kubangun. Menjalin hubungan dengan mitra-mitra yang kuanggap berpotensi mem
Aku tahu bahwa cinta tanpa pengorbanan adalah hampa tak ada makna. Mengatakan cinta, tetapi tak mau lelah menanggung luka dan perih. Apa yang aku rasakan kini adalah alami datang dari Tuhan Sang Pengendali Hati. Ketika mendengar kabar tentang Laras yang diancam, bahkan disekap entah di mana, aku merasa telah menjadi seorang lelaki yang tak dapat melakukan apa pun.Dengan tega aku membiarkan ia masuk dalam masalah pelik kehidupanku. Memang lucu, apakah benar cinta tidak harus memiliki sehingga akhirnya aku harus mengorbankan jiwa dan raga, kemudian menikah dengan Cassandra—wanita yang sama sekali tidak pernah aku cintai. Hanya benci dan rasa jijik yang aku miliki untuk Cassandra. Semua aspek kehidupannya membuatku bergidik, menggeleng tak suka.Namun, kala Laras hadir setelah sekian lama diri ini terjajah oleh harta tua bangka itu, jiwaku merasa tentram. Nyaman yang kurasa kala ia bertutur kata. Lembut, kadang aku merasa seperti dirinya selalu memperhatikanku. Ket
“Hahahaha! Keras juga suara pistol lo, Mat! Eh, jangan bikin dua orang di dalam kaget, dong. Kasihan, oi.”“Ah, biarinlah. Kita, kan, diminta membereskan dua orang itu kalau sampai macam-macam.”“Oh, iya. Ini udah sepuluh menit. Ayo kita balik bawa orang itu ke Bos.”Bisa kudengar percakapan mereka dari dalam ruangan bersama Laras. Ternyata suara tembakan yang baru saja terdengar adalah ulah mereka berdua. Ya, aku sempat berpikir bahwa mereka seperti ingin menghabisi kami tanpa alasan. Namun, mana mungkin. Keberadaanku sangat penting bagi atasan mereka.Kini, keduanya terdengar melangkah ke arah ruangan. Aku masih membaringkan kepala di pangkuan Laras. Berpura-pura tidur. Ini sebuah taktik yang sudah kupikirkan semenjak tiba di ruangan.“Kamu diam. Saya akan lepaskan tali-tali di tubuh kamu.”Jantungku berontak. Ini saat-saat yang menegangkan bagiku. Sambil berpura-pura tidur, tanganku mencoba
Sebenarnya, orang-orang tidak perlu repot mengurusi hidupku. Toh, tak ada manfaatnya bagi mereka. Namun, aku tahu ini semua adalah ujian dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Aku mungkin telah banyak melakukan dosa. Telah banyak menyakiti orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Aku yakin ini adalah ganjaran yang setimpal, yang Tuhan berikan untukku.Meski begitu, seburuk-buruknya pengalaman, pasti menyimpan sebuah hikmah di baliknya.Pagi harinya, aku memutuskan untuk mengunjungi kantor. Memang, sampai di gedung tersebut, banyak sekali wartawan dan jurnalis yang berkerumun menantiku untuk mendapatkan kejelasan tentang masalah Cassandra dan perusahaanku yang sedang berada di ambang kehancuran.“Damar, keluarlah. Saya di tempat parkir. Temani saya masuk ke gedung, di sini banyak sekali wartawan yang berkumpul,” ucapku pada Damar melalui panggilan telepon.Tak lama menunggu, Damar terlihat sedang berjalan ke arah mobilku. Ia kemudian berdir
Jika melakukan kilas balik, pertemuanku dengan Laras seperti sebuah rencana matang yang ditakdirkan oleh Tuhan. Aku tidak pernah menyangka wanita tersebut akan sangat dekat denganku mengetahui dulu aku begitu sering membentak dan memperlakukannya dengan kasar. Meski begitu, tak sedikit pun ia menyimpan dendam padaku. Berbeda sekali denganku. Ketika seseorang melakukan hal buruk, aku pasti akan mengingatnya, kemudian mendendam hingga menjadi sakit sendiri.Kami masih dalam perjalanan menuju vila milikku. Cukup lama, sekitar tiga jam perjalanan. Sedari tadi Laras hanya diam dan sesekali matanya menatap keramaian di jalanan. Menyaksikan beberapa kendaraan lain saling salip menyalip.“Laras. Gimana ceritanya kamu bisa diculik sama anak buah Cassandra?” tanyaku.Aku cukup penasaran dengan hal ini. Sebab, setahuku Laras sudah pergi dari komplek perumahaannya. Lalu, dari mana mereka bisa tahu keberadaan Laras? Mereka memang tidak bisa diremehkan.&ld
Sekian waktu kami jalani dengan bercucur keringat dan air mata. Tak peduli orang lain mencoba memisahkan, tetapi semesta kuharap menyatukan cinta kami.Beberapa hari sudah aku di vila bersama dengan Laras. Sebenarnya agak canggung tinggal bersamanya meskipun tidur di kamar yang berbeda. Yang pasti, detak jantung ini tidak pernah bisa aku hentikan kala saling berpapasan dengannya. Meski begitu, aku harap selamanya akan seperti ini sampai akhirnya kami duduk di pelaminan nanti.Momen-momen membahagiakan selalu aku jalani bersamanya. Laras mengajarkanku segala sesuatu tentang memasak, sementara di sore dan pagi hari, kadang aku mengajaknya untuk berolahraga.Laras menatap diriku yang sedang sibuk berkutat dengan dumbell untuk menyembulkan otot-otot bicep-ku. Dengan satu tangan aku menaik-turunkan dumbell seberat 15 Kg sembari menghitung di dalam hati. Aku menolehkan pandangan ke arah Laras yang sedang bergeming menyaksikan diriku.Aku naikkan sebela