Siapa sebenarnya pria di rumah sakit yang selalu dibesuk oleh Laras? Hingga kini, aku belum bisa mengambil kesimpulan. Seorang pria yang sepantaran denganku. Dibalut dengan infus, dan ia koma. Apakah suami perempuan itu? Tapi, aku pernah membaca salah satu dokumen di lamaran kerjanya, statusnya sama sekali belum menikah. Lalu, siapa dia?
Aku berusaha keras memikirkan perihal ini dari beberapa hari yang lalu. Jika aku bertanya pada Laras, sangat tidak mungkin. Dia pernah bilang bahwa aku tidak seharusnya ikut campur dalam urusan pribadinya. Lalu, hingga saat ini aku juga belum melaksanakan perintah dari tua bangka—Bambang. Sangat berat hatiku untuk memecat Laras. Jika alasannya bekerja di perusahaan ini adalah untuk membiaya perawatan pria di rumah sakit itu, dan aku memecatnya, maka sudahlah pantas diri ini disebut sebagai orang yang tidak berkeprimanusiaan.
“Bagas! Kenapa perempuan jalang itu belum juga kamu pecat?!” Cassandra nyelonong masuk ke ruang kerjaku. Ia terpekik menyatakan protesnya, sedangkan aku tak bisa berkata-kata.
Aku tak bisa mengambil keputusan.
“Sekarang juga, aku mau kamu panggil perempuan itu ke sini! Biar aku yang memecatnya, Bagas!”
“Cassandra! Kamu tidak punya hak untuk memecat karyawan saya! Perusahaan ini milik saya. Saya bosnya!”
“Aku nggak mau tahu!”
Cassandra melangkah keluar. Sekembalinya, ia membawa Laras sambil menyeret perempuan tersebut dengan paksa.
“Ma-maaf. Ada apa, Nona? S-salah saya apa?” Laras bertanya-tanya.
Jelas saja. Kenapa dia harus terbawa dalam masalah pribadiku? Memang benar tidak semestinya hal ini terjadi.
“Diam kamu, Jalang!”
Laras kemudian bergeming. Ia menundukkan wajahnya sendu, gugup, sesekali kulihat tangannya bergetar karena takut dengan Cassandra.
“Sekarang, kamu pecat dia, Bagas!”
Aku mengernyitkan gigi. Cassandra sudah keterlaluan. Aku bangkit dengan lugas, melangkah ke hadapan Cassandra dan menatapnya dengan lamat.
“Apa? Kamu mau marah? Silahkan marah, Bagas! Kamu harus ingat, aku adalah kunci dari suksesnya perusahaan kamu!”
“Lepasin dia sekarang juga!” ucapku menegaskan. “Saya tidak akan memecat Laras!”
“Sialan kamu, Bagas!” Tangan kanan Cassandra melayang menuju pipi kiriku, tetapi kemudian kutangkis.
“Perempuan tidak berkeprimanusiaan kamu, Cassandra! Setan kamu! Kamu mau saya memecat seseorang yang butuh pekerjaan dan uang? Dia berusaha keras mencari uang untuk membiaya perawatan orang yang dia sayang di rumah sakit! Kamu mau saya jadi iblis seperti kamu, haaa?!” Kulepaskan tangan kanan Cassandra yang tadi kugenggam. “Maaf saja. Saya tidak mau menuruti kemauan kamu dan ayah kamu si tua bangka itu! Saya punya harga diri dan kehormatan sebagai manusia! Tidak seperti kamu, Cassandra, yang hanya mengandalkan kekayaan orang tua kamu!”
Akhirnya, aku sudah tak bisa menarik kata-kataku. Benar-benar tidak bisa. Nasi sudah menjadi bubur. Tua bangka itu akan melakukan segala macam cara untuk membuatku bangkrut dan menjadi miskin.
Mungkin, aku sudah menghantam palung hatinya, Cassandra tak merespons hingga akhirnya dia melangkah pergi dari ruanganku.
Terlanjur sudah. Apa yang aku perjuangkan sebenarnya? Aku sadar bahwa aku hanya seorang budak dari si tua bangka itu. Aku menyesal telah menjalin kerjasama dengan dia. Pada akhirnya, aku tidak bebas, hakku dibelenggu Bambang.
Untuk pertama kalinya, aku meneteskan air mata di hadapan Laras. Ia masih bergeming di pijakanannya. Dengan ragu-ragu ia menatap wajah hancurku.
Aku roboh dan bersimpuh, menutup wajahku menggunakan kedua tangan. Semuanya menjadi semakin rumit. Sejak kehadiran Laras di perusahaan ini, setiap hari seolah menjadi drama yang tak berkesudahan. Di satu sisi, aku sangat berat jika ia harus berhenti dari perusahaanku. Di sisi lain, aku juga membencinya karena telah hadir sebagai penghancur segalanya. Salahkah aku menduga seperti itu?
“Kenapa Bapak tahu kalau saya sedang berusaha mengumpulkan uang untuk biaya perawatan seseorang?” tanya Laras setelah beberapa waktu cukup diam dan menyaksikanku menghabiskan air mata.
Aku tidak merespons, tetap menunduk karena tidak mampu memperlihatkan wajah ini padanya. Aku juga yang salah telah masuk ke dalam hidupnya, sedangkan dia sudah melarangku puluhan kali.
“Pak ... saya akan mengundurkan diri.”
“Tidak bisa!” pekikku, mulai bangkit setelah mengusap bulir-bulir air mata di wajahku. “Kamu tidak boleh keluar dari perusahaan ini. Saya tahu kamu sedang butuh uang.”
“Tapi, Pak. Saya sudah tahu semuanya. Kalau Bapak tetap mempertahankan saya di perusahaan Bapak, Nona Cassandra akan membuat Anda hancur.”
“Saya tidak peduli. Saya tahu bagaimana kerasnya hidup ini. Toh, saya hanya akan kehilangan satu investor.”
“Tapi, Pak—“
“Diam, Laras! Dan terima keputusan saya! Saya bosmu di sini!”
“Saya tidak mengerti dengan Anda, Pak. Berbulan-bulan saya bekerja di sini, saya belum juga bisa memahami Anda. Anda keras dan kasar pada saya. Tapi kemudian Anda mempertahankan saya, yang hanya seorang karyawan biasa. Padahal, nasib perusahaan Anda lebih penting dari saya,” ucap Laras pelan. Dadanya kembang kempis. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sebagai tanda tidak mengerti seperti apa yang dia ucapkan.
“Kembali ke ruangan kamu dan bekerja seperti biasa,” kataku sambil merapikan rambut yang agak berantakan.
Laras menurut saja, ia segera keluar dari ruangan.
-II-
Semenjak kejadian di mana Cassandra berhasil kuhancurkan segala perasaannya, bukan hanya Bambang yang memutus jalinan kerjasama. Namun, ya, mereka memang keluarga picik. Mereka tahu dengan siapa saja perusahaanku bekerjasama. Mereka mempengaruhi satu per satu investorku, lalu beberapa dari mereka juga ikut memutus jalinan kerjasama.
Perusahaanku kehilangan sumber daya yang banyak, kehilangan pemasukan aktif, omset menurun dan beberapa masalah lainnya datang menghampiri. Puluhan karyawan terpaksa di-PHK. Ada yang mengundurkan diri secara terhormat.
Namun, malah bukan itu yang aku khawatirkan. Pikiranku hanya tertuju pada perempuan berambut sepunggung dengan hidung lancip tersebut. Aku takut ia juga mengundurkan diri karena terkena dampak dari perusahaan yang keadaannya sedang gonjang-ganjing. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Entah mengapa. Bahkan ketika Laras masuk ke ruanganku pun, aku selalu berpikir negatif bahwa ia pasti akan mengundurkan diri.
“Pak ....” Tanpa sadar Laras sudah berdiri di depan mejaku.
“Iya, maaf. Saya—“
“Bapak sedang banyak pikiran?” tanyanya begitu lembut.
Entah sejak kapan aku tak pernah lagi diperlakukan atau ditanyai tentang diriku begitu lembut oleh seorang perempuan. Dan ini memang membuatku sedikit terharu. Menyentuh sesuatu di kedalaman hatiku.
“Tidak. Ada apa? Apa kamu mau mengundurkan diri juga?” tukasku kemudian.
Laras menggeleng pelan. “Tidak, Pak. Saya tidak bermaksud untuk mengundurkan diri.”
“Lalu?”
“Boleh saya duduk?”
“Iya, silahkan.”
Laras mengempas pantat di kursi. Sekarang posisinya berhadapan denganku.
“Tadi ada yang menghubungi saya, Pak. Katanya dia berminat untuk invest di perusahaan Bapak. Tapi, dia akan menghubungi lagi nanti.”
“Yang benar kamu?” tanyaku merasa tidak percaya.
“Iya, Pak. Karena itu saya langsung lapor ke Bapak. Saya berharap orang itu tidak cuma omong belaka.”
“Ya, saya harap.” Aku menghela napas panjang. “Laras, kenapa kamu memilih untuk tidak mengundurkan diri seperti yang lainnya? Puluhan orang sudah keluar dari perusahaan ini. Apa kamu tidak takut gajimu ditangguhkan?”
“Tidak, Pak. Saya yakin sekali perusahaan Bapak bisa bangkit kembali. Tapi, alasan saya hanya satu kenapa saya tidak mengundurkan diri.”
“Apa itu?”
“Dulu, bukankah saya yang datang memohon-mohon untuk Bapak terima bekerja di sini? Saya berpikir seharusnya saya bertahan karena datang secara baik-baik, terlebih lagi sayalah yang memaksa Bapak menerima saya,” tutur Laras sambil sesekali tertunduk menyembunyikan senyumnya.
Kalimatnya membuatku benar-benar haru. Aku masih penasaran, terbuat dari apa hatinya perempuan di hadapanku ini? Apakah sama sekali ia tidak dendam denganku?
“Apa kamu tidak dendam dengan saya? Saya selalu membentak dan—“
“Rasa geram memang ada, Pak. Tapi ... saya bukan orang yang mau menghabiskan energi saya untuk dendam pada orang. Apalagi Bapak memang adalah bos saya.”
Lagi-lagi kalimatnya benar-benar sejuk ibarat es di kutub utara. Ia seperti angin, yang ketika panas, ia datang untuk menyejukkan.
Aku tidak bisa berkata-kata karenanya. Mulutku seperti dibelenggu tanpa bisa mengucap sepatah kata pun. Suasana canggung akhirnya membalut seluruh ruangan. Hening, kudengar suara helaan napas perempuan tersebut. Ia lebih tenang daripada sebelumnya.
“Apa saya boleh tanya satu hal lagi?”
“Boleh, Pak. Silahkan.”
“Ah, tidak jadi. Saya yakin kamu akan berkata kalau saya tidak boleh ikut campur dalam urusan pribadi—“
“Orang yang di rumah sakit itu adalah pacar saya, Pak.”
Tiba-tiba sesuatu yang besar dan amat berat terasa seperti menghantam relungku. Kembali terluka dan berdarah-darah. Aku tidak tahu bahwa kenyataan yang baru terlontar dari mulutnya begitu membuatku sesak. Tubuhku rasanya panas dan tidak mampu kudinginkan. Resah.
“Dulu, kami sudah berjanji akan menikah. Dia mederita kanker, Pak. Sebulan sebelum pernikahan kami, kondisinya lemah dan akhirnya koma. Dia tidak punya orang tua, dan sudah lama bekerja keras untuk mencari uang agar kami—“
“Cukup, Laras! Hentikan!”
Ya, aku begitu pengecut. Hatiku begitu sakit mendengar cerita romansa yang ia alami di hidupnya. Namun, kenapa ini bisa terjadi? Diriku yang lain seolah-olah takut tersaingi dengan pria yang selalu Laras besuk di rumah sakit itu. Kenapa?
Apakah hatiku yang telah lama beku ini, telah berhasil ia cairkan? Dan sekarang ... aku punya rasa yang disebut ... cinta?
Hah! Omong kosong!
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatianku.
“Masuk!”
-II-
“Mau apa lagi Anda datang ke kantor saya?”Bambang bertingkah semaunya, ia rebahkan badannya di sofa, membentang berselonjor kakinya sampai di meja sambil membuka halaman koran hari ini. Sedangkan sedari tua bangka itu masuk, Laras menunduk tak mampu mengangkat wajahnya.“Saya hanya mau melihat kehancuran kamu, Bagas. Karena kamu telah berani menyakiti anak saya, inilah akibatnya. Kamu pikir saya main-main dengan perkataan saya?” Bambang tertawa meremehkan.“Sayangnya saya tidak peduli. Anda bukan satu-satunya orang kaya di dunia ini. Masih banyak yang lainnya. Sekarang juga, saya minta Anda PERGI DARI SINI! Tua bangka iblis!”Bambang beranjak sambil meremas koran hingga berbentuk bulat, lalu ia buang sembarangan.“Kamu dan perempuan jalangmu, Bagas, sudah hancur.” Tua bangka tersebut berlalu pergi.Cukup lama terdiam, Laras mengangkat wajahnya. “S-sabar, ya, Pak ....”&ldquo
“Maaf, maksud Bapak apa, ya? Saya tidak mengerti.”“Ssst. Laras, mulai sekarang jangan terlalu formal dengan saya. Kamu boleh pakai bahasa sehari-hari saat berada di luar kantor,” ucapku yang kemudian tersenyum tipis ke arah Laras.Perempuan tersebut tidak menanggapi. Ia menundukkan wajahnya sejenak.“Bapak belum menjawab—““Ssst! Saya sudah bilang kalau kamu jangan terlalu formal dengan saya!”Laras menghela napas dalam. “Baik. Kamu ... belum jawab pertanyaanku, B-Bagas.”Terkesan begitu canggung saat Laras mulai berkomunikasi dengan bahasa tidak formal denganku. Meski memintanya begitu, aku masih belum bisa menghilangkan kepribadianku yang saat ini. Aku sudah biasa menggunakan bahasa formal, baik di luar kantor, maupun di dalam kantor. Akan tetapi, aku meminta Laras berlaku tidak formal hanya karena ingin dia merasa lebih dekat denganku. Ingin meleburkan hubungan antara atas
Intan di meja sebelah bersama dengan kedua orang tuanya dan entah siapa lelaki yang juga hadir di sana bersama dua orang—pria paruh baya serta wanita paruh baya. Mereka tampak berbincang-bincang, tetapi lantas Intan malah menatap ke arahku dengan lamat. Yang dia pahat di wajahnya hanya ekspresi sendu. Seolah wajah itu sedang mengajakku berbicara, memintaku untuk melakukan sesuatu. Entahlah.“Laras, ayo kita pergi dari sini!” Aku bangkit tanpa merespons pertanyaan Laras. Kugapai tangan perempuan di hadapan dan mengajaknya menjauh dari restoran tempatku berada.Namun, ketika menoleh ke belakang untuk memeriksa Intan, perempuan tersebut tidak lagi di bangku tadi. Ke mana dia? Aku lantas menghentikan langkah dan sadar bahwa tangan Laras masih melekat di genggamanku.“Oh, maaf. Saya tidak sengaja,” ucapku sambil membuang pandangan ke sembarang arah.“Nggak apa-apa. Kita ... jadi pulang?” tanyanya kemudian.&ldqu
Aku tak mampu menahan tubuh yang terasa semakin lemas, sendi-sendi lututku rasanya keropos. Tiada daya dan upaya, akhirnya tubuhku roboh. Namun, perempuan tersebut menangkapku dengan lugas. Kurasakan kepalaku berbaring di bahunya. Ah, dia wangi sekali. Siapa dia? Aku bahkan belum melihat wajahnya. Tepatnya aku tidak mampu. Entah mengapa, aku merasakan sepasang tangannya mendekapku dengan erat.“Kamu kenapa, Bagas?”Oh, ternyata Laras. Benar sekali. Aku mengenal suaranya, tetapi tak mampu mataku melihat ekspresi di wajahnya. Tak mampu mengangkat kepalaku. Aku tenggelam dalam semerbak wangi tubuhnya. Sayup-sayup kulihat kulitnya yang begitu putih dan lembut di kedua mata.“Aku bantu kamu.”Ia balikkan tubuhku, kemudian membantuku menuju sofa di ruang tengah. Ia merebahkan tubuhku begitu pelan. Mataku mengembun, semakin pudar penglihatanku. Air mata sepertinya akan meghunjam di kedalaman jiwaku, lagi.“Kamu kenapa, Bagas?
Tak ada apa pun di ruangan ini. Tak ada siapa pun. Ke mana perginya lelaki itu? Laras bersimpuh kala sendi-sendi lutut ia rasakan keropos, tak berdaya. Ah, harapanku dengan harapannya tentu saja berbeda. Tak akan asa ini bersatu. Itulah mengapa aku mengatakan ketika secercah asa tercipta, asa yang lain memporak-poranda. Doaku dengan doanya pasti berbeda. Kala ia menginginkan sang kekasih untuk bertahan hidup, lalu apakah aku menginginkan dia untuk sirna dari dunia ini? Tidak, aku hanya berharap ia mencintaiku, dan itu secara tidak langsung juga mengharapkan kekasihnya menghilang dari dunia selamanya.“Maaf, Mas, Mbak. Sekitar pukul 7.00 pagi, kami sudah menelepon ke nomor Mbak Laras. Tapi sepertinya tidak ada tanggapan. Kami dengan sangat menyesal memberitahukan bahwa Saudara Arman telah meninggal dunia.”Laras bergeming seolah menjadi batu karang di tepi lautan. Benar-benar ekspresinya tidak mempercayai apa yang baru saja dikatakan oleh dokter berkacamata
Bukan maksud hati ini membuat Laras sakit hingga memilih untuk pergi. Memang, semua sangat tidak wajar dari awal. Seharusnya aku tidak mengatakan hal yang membangkitkan kemarahan di benaknya. Momen tak tepat, terlanjur menghancurkan semuanya. Dan kini yang tersisa hanyalah harapan yang nyaris tanggal.Tiap-tiap malam aku berpikir keras untuk menemukan keberadaan perempuan tersebut. Aku tahu kampung halamannya di mana. Namun, akan sangat aneh juga jika aku mengajarnya. Seolah aku memaksanya untuk menerima ajakanku untuk menikah dengannya. Bulan-bulan aku lalui tanpa hadirnya. Sepi dan sunyi. Suasana tak lagi hidup. Warna tak lagi mewarni sebagaimana mestinya ketika dia hadir di tatapanku.Aku juga tidak bisa membiarkan perusahaan dalam keadaan di ambang batas. Aku mulai lagi menyibukkan diri seperti sedia kala. Tanpa cinta, tanpa hadirnya aku menjalani semuanya sendiri.Perusahaan kembali kubangun. Menjalin hubungan dengan mitra-mitra yang kuanggap berpotensi mem
Aku tahu bahwa cinta tanpa pengorbanan adalah hampa tak ada makna. Mengatakan cinta, tetapi tak mau lelah menanggung luka dan perih. Apa yang aku rasakan kini adalah alami datang dari Tuhan Sang Pengendali Hati. Ketika mendengar kabar tentang Laras yang diancam, bahkan disekap entah di mana, aku merasa telah menjadi seorang lelaki yang tak dapat melakukan apa pun.Dengan tega aku membiarkan ia masuk dalam masalah pelik kehidupanku. Memang lucu, apakah benar cinta tidak harus memiliki sehingga akhirnya aku harus mengorbankan jiwa dan raga, kemudian menikah dengan Cassandra—wanita yang sama sekali tidak pernah aku cintai. Hanya benci dan rasa jijik yang aku miliki untuk Cassandra. Semua aspek kehidupannya membuatku bergidik, menggeleng tak suka.Namun, kala Laras hadir setelah sekian lama diri ini terjajah oleh harta tua bangka itu, jiwaku merasa tentram. Nyaman yang kurasa kala ia bertutur kata. Lembut, kadang aku merasa seperti dirinya selalu memperhatikanku. Ket
“Hahahaha! Keras juga suara pistol lo, Mat! Eh, jangan bikin dua orang di dalam kaget, dong. Kasihan, oi.”“Ah, biarinlah. Kita, kan, diminta membereskan dua orang itu kalau sampai macam-macam.”“Oh, iya. Ini udah sepuluh menit. Ayo kita balik bawa orang itu ke Bos.”Bisa kudengar percakapan mereka dari dalam ruangan bersama Laras. Ternyata suara tembakan yang baru saja terdengar adalah ulah mereka berdua. Ya, aku sempat berpikir bahwa mereka seperti ingin menghabisi kami tanpa alasan. Namun, mana mungkin. Keberadaanku sangat penting bagi atasan mereka.Kini, keduanya terdengar melangkah ke arah ruangan. Aku masih membaringkan kepala di pangkuan Laras. Berpura-pura tidur. Ini sebuah taktik yang sudah kupikirkan semenjak tiba di ruangan.“Kamu diam. Saya akan lepaskan tali-tali di tubuh kamu.”Jantungku berontak. Ini saat-saat yang menegangkan bagiku. Sambil berpura-pura tidur, tanganku mencoba