“Laras! Cepat, kemari!”
Laras berjalan masuk ke ruanganku yang pintunya tak ditutup. Aku duduk berhadapan dengan Damar, seorang HRD yang seharusnya mengurus perihal lamaran pekerjaan.
“Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Laras, begitu sopan.
“Kenalkan, dia Damar, HRD di sini. Seharusnya, kemarin dia yang mengurus lamaran pekerjaan kamu di sini. Dokumen prestasi memang tidak penting bagi saya, tapi bagaimanapun juga, dokumen kamu akan tetap diarsipkan untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Kamu pasti mengerti maksud say, kan? Silahkan berikan dokumen kamu pada Damar.”
“Baik. Tunggu sebentar, saya akan ambil di meja saya.”
Sementara itu, Damar menatap serius Laras yang tengah berjalan keluar dari ruangan.
“Hei, Damar. Ada laporan apa hari ini? Beberapa hari ini saya tidak dengar laporan dari kamu.”
Seketika itu, Damar terhenyak dan menolehkan pandangannya ke depan.
“Oh, iya. Maaf, Pak. Iya, ada beberapa karyawan yang kinerjanya mulai menurun.”
“Saya serahkan semuanya padamu. Ingat, kesalahan fatal dalam perusahaan ini adalah jatuh cinta sesama karyawan. Bahkan kamu sekalipun tidak boleh melanggar aturan itu. Kalau sampai kamu melanggar, kamu tahu, kan, risikonya?”
Cukup banyak yang tidak setuju dengan aturan tidak masuk akal yang aku buat. Ya, aku tahu hal ini cukup menyebalkan. Namun, jika memang maksud dan tujuan mereka untuk bekerja di sini, maka mengorbankan perihal percintaan bukan masalah besar.
“Permisi, Pak. Ini dokumen saya.” Laras kembali berdiri di samping sofa, ia memberikan Damar beberapa dokumen penting yang beberapa waktu lalu ia bawa untuk melamar pekerjaan di perusahaan ini.
Damar menerimanya, lalu membuka beberapa dokumen, lalu ia baca.
“Laras Sukmawati. Kamu pernah bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan advertising. Pendidikan terakhir kamu adalah Administrasi Perkantoran, S1. CV-mu bagus menurut saya. Tidak ada masalah.” Damar manggut-manggut.
“Damar, bagaimana dengan Rani, sekretaris tidak becus rekomendasi darimu? Kenapa dia tidak pernah ada di saat saya membutuhkannya?”
“M-maaf, Pak. Rani tidak pernah bisa dihubungi.”
“Pecat dia! Berikan pesangon yang cukup. Saya tidak butuh orang tidak becus.”
Lelaki dengan hidung pesek, serta alis tebal tersebut terlihat menelan saliva. Ia manggut pelan kemudian. “Baik, Pak.”
“Dan kamu, Laras! Karena saya sudah berbaik hati mau menerima kamu di perusahaan saya, kamu tidak boleh mengecewakan saya!”
“I-iya, Pak. S-saya tidak akan mengecawakan Bapak.”
“Bagus kalau kamu sudah mengerti. Sekarang, lakukan tugasmu dengan baik. Kembali ke ruangan. Kamu juga, Damar. Hari ini saya ada pertemuan penting dengan Pak Bambang.”
“Permisi, Pak.”
Keduanya keluar dari ruangan.
-II-
“Laras! Apa jadwal saya hari ini?”
“Pukul 10.00, Bapak ada pertemuan dengan klien penting. Kemarin beliau sudah membuat kesepakatan, namanya Ibu Satia. Kemudian, pukul 11.00, Bapak ada undangan ke kantor mitra untuk membahas kerjasama yang kemarin Bapak telah sepakati.”
“Ada lagi?”
“Tidak ada, Pak. Hanya itu.”
“Baik. Ini masih jam sembilan. Buatkan saya kopi sekarang.”
“Tapi, Pak. Membuat kopi, kan, bukan—“
“Sekarang juga!” potongku, bernada sedikit tinggi.
Laras menundukkan wajahnya, entah ekspresi apa yang ia tunjukkan. Yang pasti, tidak satu pun karyawan di perusahaan ini yang tidak menyimpan dendam padaku.
“B-baik, Pak. Akan saya buatkan segera.” Laras berbalik, lalu berjalan pelan.
Sebelum akhirnya keluar dari ruangan, aku berucap, “Laras! Ingat, saya tidak suka kopi yang terlalu pahit, juga tidak suka yang terlalu manis.”
“Baik, Pak.” Perempuan dengan dagu lancip ini mengangguk beberapa kali, lantas keluar.
Sekembalinya, ia meletakkan secangkir kopi hitam, hangat.
Aku mengangkat cangkir, lalu menciumi aroma kopi.
“Tidak ada aroma kopi yang kental. Kamu yakin kopi ini akan nikmat saat saya meminumnya?” Aku menaikkan sebelah alis, mencari kepastian dari Laras yang masih berdiri di depan meja.
“Saya ... yakin, Pak.”
Melihat ekspresi Laras yang agak ragu, aku pun memutuskan untuk menyeruput kopi perlahan. Beberapa kali.
“Bagaimana, Pak?” tanya Laras, berusaha mendapatkan kepastian.
“Tidak terlalu spesial. Biasa saja.” Aku meletakkan kembali cangkir di atas meja. “Sudah. Kamu boleh kembali ke ruanganmu. Selama pertemuan nanti dengan Ibu Satia, temui saya di kafe depan gedung jika ada yang menelepon.”
“Baik, Pak.”
Laras berjalan, tetapi aku menghentikannya lagi. “Oh, ya. Bekerja yang benar. Saya tidak tahu masalah apa yang kamu hadapi sehingga mau bekerja di sini sambil memohon-mohon seperti beberapa hari lalu. Tapi, jangan khianati kepercayaan saya.”
“Terima kasih, Pak. Saya akan bekerja dengan benar.”
-II-
Datang ke kantor pada pukul 8.00, melewati ruangan Laras, ternyata masih sepi. Ia tampaknya belum datang. Aku melangkah kembali ke meja receptionist.
“Lina, apakah Laras sudah datang?” tanyaku pada Lina.
“Saya belum melihat Mbak Laras melewati lobi dari setengah jam yang lalu, Pak.”
“Oke. Kalau kamu melihat dia datang nanti lebih 5 menit dari sekarang, suruh dia ke ruangan saya saat itu juga.”
“Baik, Pak.”
Aku pun berjalan menuju ruangan. Lima menit menunggu sambil memangku kepala di meja kerja, Laras belum juga hadir. Hari ini, tampaknya ia akan terlambat. Kesalahan fatal kedua, dan aturan kedua yang tidak boleh dilanggar.
Hingga lima belas menit berlalu, barulah kenop pintu ruanganku berputar. Pintu didorong masuk, muncullah sosok Laras dengan wajah agak khawatir. Setelah berdiri di hadapanku, aku memperhatikan keringatnya berlomba keluar dari pori kulit yang lembut.
“Pak. Ma—“
“Kamu tahu bahwa terlambat adalah aturan kedua yang sangat tidak boleh dilanggar. Ketika saya datang, artinya semua karyawan sudah harus datang dan berada di ruangan masing-masing.” Tanpa menatap ke arah dirinya, aku berdalih.
“Maaf. Saya ... tadi ada keperluan penting, Pak. Dan jalanan—“
“Macet? Kenapa tidak berangkat lebih awal? Jika kamu tahu bahwa kamu ada keperluan, kenapa kamu tidak bersiap-siap lebih pagi? Saya tidak butuh alasan, LARAS! Perusahaan ini bisa hancur karena kamu yang tidak disiplin!”
Hal biasa yang aku lakukan ketika memberikan teguran kepada karyawan, terutama sekretaris yang bekerja di bawahku.
Laras menundukkan wajahnya menyesal. Matanya sedikit memerah, tetapi kemudian aku mengalihkan pandangan darinya.
“Bekerja itu harus komitmen, Laras. Kamu tidak boleh seenaknya, karena ini adalah perusahaan saya.”
“Saya—“
“Diam! Saya belum memberikan kesempatan kepada kamu untuk berbicara. Diam dan dengarkan.”
Aku bangkit dari kursi, melangkah lebih dekat pada perempuan tersebut.
“Kamu ingat? Aturan saya, apakah kamu ingat? Kamu tidak boleh bicara sebelum saya perbolehkan. Bila perlu, kamu catat! Di otak kamu.” Aku menghela napas dalam. “Saya tidak mau mendengar alasan apa pun dari kamu. Keluar dari ruangan saya, dan lakukan pekerjaan kamu.”
Merespons dengan anggukan, Laras berjalan cepat meninggalkan ruangan.
Aku memijat pelipis, lalu duduk di kursi. Beberapa saat, ponselku berdering panjang, menandakan sebuah panggilan masuk. Cassandra, aku mengangkatnya kemudian.
“Halo. Ada apa?”
“Sayang? Nada bicaramu, kok, kayak orang yang lagi marah gitu? Hari ini, kan, hari Sabtu. Kamu nggak lembur, kan, Sayang? Aku mau mengajak kamu—“
“Maaf, saya sibuk.”
Klik.
Cassandra—seorang putri dari keluarga Bambang—pemberi modal terbesar di perusahaan ini. Perempuan yang hanya memanfaatkan harta orang tuanya. Tidak pernah tahu bagaimana rasanya berjuang, berusaha dari titik nol hingga mengorbankan banyak hal. Pada dasarnya, aku tidak suka dengannya. Namun, karena kebetulan Pak Bambang selalu baik padaku, aku pun harus mencoba dekat dengan Cassandra. Tidak ada yang spesial dari dirinya. Ia pun mengincarku karena harta dan kemewahan.
Aku keluar dari ruangan. Melewati ruangan Laras, aku melihatnya dari kaca jendela tengah menunduk sambil terpaku di kursi. Setelah menghadapkan wajahnya ke arahku, menyadari aku sedang berdiri di luar, ia bergeming, beberapa detik setelah itu, ia kembali bekerja, berkutat dengan komputer.
Aku berjalan keluar dari gedung. Tidak ingin tahu tentang perempuan tersebut. Meskipun beberapa saat lalu, aku melihat sebulir air mata di netrranya.
-II-
“Mau ke mana kamu?!”Laras yang berjalan untuk keluar dari gedung, lantas berhenti dan berbalik.“Saya ... mau makan siang, Pak.”“Ikut saya!” tandasku tegas.“Tapi, Pak. Saya mau makan—““Nanti. Kamu harus ikut saya sekarang juga. Tidak ada bantahan!”Laras mengangguk pelan, kemudian mengikuti langkahku menuju tempat parkir di luar gedung.“Kita mau ke—““Berhenti. Jangan bicara lagi. Jangan banyak tanya.” Aku membuka pintu mobil hitam elegan—CR-V. “Masuk!”Tak banyak tanya lagi, Laras segera masuk ke mobil.Sebelum jam makan siang tadi, seorang pria bernama Abdi Jaya memintaku untuk menemuinya di sebuah restoran hotel bintang lima. Abdi Jaya merupakan seorang investor bergelimang harta, sudah berpengalaman dalam investasi di bidang properti. Pria berusia 40 tahun yang pandai melihat peluang dalam ber
Hal yang paling aku benci adalah timbulnya rasa penasaran di setiap urusan orang lain. Tidak hanya terjadi sekali saja, tetapi dulu ketika aku mengenal Intan, berawal dari rasa penasaranlah yang membuat perempuan itu menjadikan bahuku sebagai sandarannya. Sangat sulit bagiku untuk mengendalikan perasaan ini ketika hadir di benak.Aku mungkin telah salah ingin ikut campur dengan urusan pribadi Laras, tetapi entah mengapa emosi kerap kali hadir ketika aku tidak berhasil mengetahui sesuatu yang ia tutup dengan rapat dariku. Sebagai manusia, aku tahu perilaku ini sangat kelewatan dan tak wajar. Bagi kebanyakan orang, aku bukan manusia. Aku tidak pantas menjadi seorang pemimpin, atasan, atau sesuatu yang mendeskripsikan kepemimpinan itu sendiri. Karena seperti yang semua orang tahu, aku terlalu memaksakan kehendak kepada mereka.“Laras, saya mau melihat schedule saya beberapa minggu ke depan. Tolong kamu bawakan dokumennya ke ruangan saya.”Setel
“Sayang? Kamu suapin aku, dong.”Aku hanya menatap kosong, tak merespons Cassandra yang duduk tepat di hadapanku.“Sayang? Kamu kenapa, sih? Hei ....” Cassandra menggapai pipi kiriku, berusaha membuat wajahku memandang ke arah dirinya. Namun, aku menepis tangannya pelan.“Bagas! Apa-apaan, sih, kamu? Kamu kenapa? Akhir-akhir ini kamu nggak peduli banget sama aku!” Cassandra mulai bernada tinggi, membuat gendang telingaku hampir pecah.“Saya tidak apa-apa.”“Aku tahu.” Cassandra menyipitkan kedua matanya, mencoba menebak-nebak apa yang terjadi dengan diriku. “Kamu sudah kena pelet, ya, sama sekretaris kamu itu?”“Cassandra! Apa-apaan kamu?! Jangan melibatkan orang lain! Saya cuma lagi capek tahu nggak! Dan kamu memaksa saya menemui kamu dalam keadaan seperti ini.” Suaraku tak kalah tinggi sehingga membuat Cassandra membelalakkan mata.“Oh, jadi be
“Saya butuh gaji saya bulan ini, Pak.”“Gaji? Tanggal gajianmu masih lama, Laras. Seminggu yang lalu kami sudah transfer melalui rekening bank kamu. Lantas, kenapa kamu meminta gaji lagi untuk bulan ini sebelum tanggal gajian?”Laras duduk terpaku di hadapanku. Ia pijat pelipisnya. Aslinya yang lancip hitam terlihat berkeringat.“Iya, saya tahu, Pak. Tapi ... saya butuh uang,” ucapnya pelan.“Uang untuk apa?”Aku menyipitkan mata, mencoba menyelidiki ekspresi wajah perempuan di hadapanku.“Bapak tidak perlu tahu. Saya hanya ingin mengambil gaji saya lebih cepat karena saya sangat butuh. Saya janji akan bekerja lebih baik lagi.”“Tidak bisa!” Aku menggeprak meja sehingga Laras mengerjapkan mata, ia alihkan pandangannya ke sembarang tempat. “Kinerja kamu bulan lalu saja menurun, Laras. Saya tidak percaya dengan janji kamu itu. Ketika seseorang berjanji akan se
Beberapa hari ini, aku benar-benar tidak mood melakukan sesuatu. Semua pekerjaan sudah aku serahkan pada Laras, juga Damar selaku HRD. Meskipun hadir di kantor, aku hanya memangku kepala dengan tangan, menatap hampa, tak melakukan apa-apa. Tidak hanya itu, tetapi ketika berpapasan dengan Laras, aku tak berniat menyapa dirinya atau menegur tentang segala hal seperti yang biasanya aku lakukan.Kesalahan fatal. Aku tidak tahu perasaan apa yang sering datang akhir-akhir ini. Namun, seakan ambisiku pada perusahaan ini lenyap seketika. Aku juga tak peduli lagi jika Cassandra melaporkan pada ayahnya soal tindakanku beberapa hari lalu. Semua menjadi tidak penting.“Pak?”Tiba-tiba saja Laras ada di hadapanku, duduk sambil memiringkan kepala dan meneliti ekspresi wajahku.“Kamu?! Kalau masuk seharusnya—““Saya sudah mengetuk pintu beberapa kali, Pak. Tapi, Bapak tidak menyahut juga. Maaf kalau saya lancang masuk
Siapa sebenarnya pria di rumah sakit yang selalu dibesuk oleh Laras? Hingga kini, aku belum bisa mengambil kesimpulan. Seorang pria yang sepantaran denganku. Dibalut dengan infus, dan ia koma. Apakah suami perempuan itu? Tapi, aku pernah membaca salah satu dokumen di lamaran kerjanya, statusnya sama sekali belum menikah. Lalu, siapa dia?Aku berusaha keras memikirkan perihal ini dari beberapa hari yang lalu. Jika aku bertanya pada Laras, sangat tidak mungkin. Dia pernah bilang bahwa aku tidak seharusnya ikut campur dalam urusan pribadinya. Lalu, hingga saat ini aku juga belum melaksanakan perintah dari tua bangka—Bambang. Sangat berat hatiku untuk memecat Laras. Jika alasannya bekerja di perusahaan ini adalah untuk membiaya perawatan pria di rumah sakit itu, dan aku memecatnya, maka sudahlah pantas diri ini disebut sebagai orang yang tidak berkeprimanusiaan.“Bagas! Kenapa perempuan jalang itu belum juga kamu pecat?!” Cassandra nyelonong masuk ke ruan
“Mau apa lagi Anda datang ke kantor saya?”Bambang bertingkah semaunya, ia rebahkan badannya di sofa, membentang berselonjor kakinya sampai di meja sambil membuka halaman koran hari ini. Sedangkan sedari tua bangka itu masuk, Laras menunduk tak mampu mengangkat wajahnya.“Saya hanya mau melihat kehancuran kamu, Bagas. Karena kamu telah berani menyakiti anak saya, inilah akibatnya. Kamu pikir saya main-main dengan perkataan saya?” Bambang tertawa meremehkan.“Sayangnya saya tidak peduli. Anda bukan satu-satunya orang kaya di dunia ini. Masih banyak yang lainnya. Sekarang juga, saya minta Anda PERGI DARI SINI! Tua bangka iblis!”Bambang beranjak sambil meremas koran hingga berbentuk bulat, lalu ia buang sembarangan.“Kamu dan perempuan jalangmu, Bagas, sudah hancur.” Tua bangka tersebut berlalu pergi.Cukup lama terdiam, Laras mengangkat wajahnya. “S-sabar, ya, Pak ....”&ldquo
“Maaf, maksud Bapak apa, ya? Saya tidak mengerti.”“Ssst. Laras, mulai sekarang jangan terlalu formal dengan saya. Kamu boleh pakai bahasa sehari-hari saat berada di luar kantor,” ucapku yang kemudian tersenyum tipis ke arah Laras.Perempuan tersebut tidak menanggapi. Ia menundukkan wajahnya sejenak.“Bapak belum menjawab—““Ssst! Saya sudah bilang kalau kamu jangan terlalu formal dengan saya!”Laras menghela napas dalam. “Baik. Kamu ... belum jawab pertanyaanku, B-Bagas.”Terkesan begitu canggung saat Laras mulai berkomunikasi dengan bahasa tidak formal denganku. Meski memintanya begitu, aku masih belum bisa menghilangkan kepribadianku yang saat ini. Aku sudah biasa menggunakan bahasa formal, baik di luar kantor, maupun di dalam kantor. Akan tetapi, aku meminta Laras berlaku tidak formal hanya karena ingin dia merasa lebih dekat denganku. Ingin meleburkan hubungan antara atas