"Kamu mau bikin perusahaan ini bangkrut, iya?"
Ucap Pak Tarno yang secara tiba-tiba telah berada di belakang Irkhas, sedangkan Irkhas yang tengah membuat campuran semen di depan molen nampak bingung, kesalahan apa yang telah dibuatnya sehingga Mandor rewel itu menegur.
"Empat satu itu maksudnya, empat gerobak pasir dicampur dengan satu sak semen," bentak Pak Tarno yang menjelaskan, "bukan empat sak semen dicampur dengan satu gerobak pasir."
Irkhas yang bercucuran keringat di bawah panas terik matahari hanya bisa diam saat dimarahi mandornya. Ia seperti singa yang patuh pada seekor tikus di tempat itu.
"Sekarang sebaiknya kamu ambil Arco dan kembali memasukkan semen ke dalam gudang," titah sang Mandor.
Irkhas hanya bisa mengiyakan, meski dalam pikirannya, ia ingin sekali menendang bokong mandor itu.
Ketika Irkhas masuk ke dalam gedung membawa semen dengan sempoyongan, Ana baru tiba di samping Pak Tarno dengan skuter kesayangannya.
Pak Tarno yang melihat kedatangan Ana dengan membawa dua pelastik berisi nasi kotak langsung menyambut, "Waah, keponakanku yang paling cantik ternyata sudah tiba."
"Iya dong," ucap Ana yang telah memarkirkan skuternya sambil menurunkan pelastik berisi pesanan makan siang. "47 porsi."
"Tepat sekali," ucap Pak Tarno sambil mengambil dua plastik makanan itu, lalu mengeluarkan uang yang telah dipersiapkan untuk diserahkan kepada Ana, "800,000 rupiah."
"Terimakasih," ucap Ana setelah menerima uang itu, lalu memasukkannya ke dalam saku. "Ana langsung balik, Iya. Paman harus bekerja, dan Ana harus mengantar pesanan lain."
"Siap, Nona Cantik," jawab Pak Tarno. "Hati-hati."
Ana mengangguk, sementara Irkhas yang baru keluar dari dalam gedung terkejut melihat Ana tengah membalikkan motornya dan akan pergi.
"Mbak!" Irkhas berseru panjang sambil melepas Arco.
Namun, hanya Pak Tarno yang menoleh, sementara Ana mulai memacu skuternya.
Melihat Ana yang menjauh, Irkhas mencoba mengejar dan menghentikan Ana seperti orang gila, "Berhenti mbak!"
Tapi sayang, ia harus menghadapi Pak Tarno yang menyergah dan menahannya, "Eh, mau kemana?"
"Tolong hentikan gadis itu," kata Irkhas sambil menunjuk Ana yang semakin menjauh dengan skuternya. "Saya adalah bosmu," tambah Irkhas.
Pak Tarno terkekeh, kemudian menarik-narik tubuh Irkhas sambil berkata, "Jangan membual, dan kembali bekerja."
Irkhas terus bicara sambil meronta-ronta seperti anak kecil yang merengek meminta mainan, "Aku tidak membual, aku benar-benar bosmu. Tolong biarkan aku mengejar gadis itu."
"Sudah kubilang, berhenti membual, kembali bekerja."
Irkhas mulai menyerah, ia hanya bisa pasrah kehilangan Ana.
-o0o-
Dirgan memasuki Kafe Florizo, Gatot yang melihat langsung menyambut dengan Ramah, "Eeeh... Pak Direktur."
"Ana mana?" tanya Dirgan.
"Dia sedang mengantar pesanan dan belum kembali," jawab Gatot.
Dirgan hanya ber-oh.
"Pak Direktur mau memesan apa?" tanya Gatot.
"Seperti biasa," jawab Dirgan.
"Ekspresso Caffe latte," Gatot memperjelas.
"Tepat sekali," ucap Dirgan.
"Oke," ucap Gatot lalu membuatkan Dirgan kopi.
Ketika Dirgan tengah menunggu, perhatiannya langsung terpusat pada Ana yang baru tiba dengan skuternya, matanya tak henti memperhatikan penampilan Ana yang sederhana tapi menawan. Gadis itu seperti tidak memedulikan penampilannya, namun kecantikannya tetap tidak bisa disembunyikan. Itulah yang menjadi daya tarik tersendiri gadis itu bagi sang Direktur muda. Ia yang telah lama mengincar gadis itu bahkan tidak tahu, jika Ana telah membuat sahabatnya telah terpikat juga.
"Bagaimana kabarmu, wahai Nona Cantik," sapa Dirgan ketika Ana memasuki Kafe.
-o0o-
"Sangat baik," jawab Ana yang terus mendekat. "Tapi please! Berhenti memanggilku Nona cantik, karena kamu tahu namaku," ucap gadis itu di hadapan Dirgan."Namamu terlalu sakral untuk diucapkan," goda pemuda itu."Terserah deh kamu mau bilang apa," ucap Ana sambil mendaratkan bokongnya di salah satu kursi Kafe."Ini pesanannya." Gatot menyodorkan pesanan Dirgan.Dirgan kemudian mengeluarkan uang lima puluh ribu dari sakunya, lalu berkata, "Kembaliannya simpan saja.""Thank you," ucap Gatot sambil menerima uang itu lalu memasukkannya ke dalam laci penyimpanan uang."By The Way, terimakasih sudah memberikan paman saya pekerjaan," ucap Ana sambil tersenyum."Santai ... Kita kan sudah berteman dari kecil. Kalau kamu tidak pindah rumah, mungkin paman sudah dari dulu mendapat pekerjaan," kata Dirgan.-o0o-"Aduh!" ringih Irkhas."Kenapa sih?" tanya Dirgan sambil menginjak punggung Irkhas dengan pelan di ata
Rupanya Dirgan membawa Irkhas ke kafe Florizo. Sang Direktur muda memarkirkan mobilnya di depan Florizo, lalu memasuki kafe itu. Sementara Irkhas hanya mengikuti."Wah, sekalinya nyari karyawan baru, langsung dua sekaligus," ujar Dirgan sambil mendekati bar kafe."Kebetulan, kafe sudah mulai rame," kata Gatot sambil menunjuk seisi kafe dengan dagunya, lalu melanjutkan ucapannya, "jadi... saya sudah mulai kwalahan.""Wah, kemajuan yang luar biasa," ujar Dirgan sambil memerhatikan kursi kafe yang hampir tak tersisa, lalu mengembalikan perhatiannya pada Gatot dan bertanya, "Ana mana?""Mau mengisi perut, atau mau mengisi hati, nih?" ujar Gatot."Dua-duanya," jawab Dirgan lalu menyeringai."Rakus sekali anda," sambut Gatot yang membuat keduanya tertawa.Sementara Irkhas hanya dapat memperhatikan, dan pura-pura ikut menyeringai."Oh iya, kenalkan," Dirgan menyela, lalu mengenalkan Irkhas, "ini sahabat saya, Irkhas."Gatot men
Irkhas yang baru tiba di dalam kafe menatap kursi yang telah ia duduki tengah ditempati oleh orang lain, matanya menyapu seisi kafe, namun tetap tak melihat Dirgan.Irkhas bertanya pada Gatot, "Ke mana Dirgan?"Gatot yang tengah menyiapkan kopi menjawab, "Dia sedang mengantar Ana ke rumah sakit. Tunggu saja, nanti dia akan kembali."Irkhas melenguh panjang, "Ya Tuhan!" Lalu berceloteh, "Kenapa sekarang malah dia yang bucin sih?"Gatot menyeringai, kemudian memberitahu Irkhas, "Dirgan dengan Ana itu dulunya tetanggaan, mereka sudah bersahabat sejak kecil. Jadi, jangan heran kalau Dirgan sangat perhatian sama Ana."Irkhas mengangguk, kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Matanya mencari sebuah nama di daftar kontak, hingga jarinya berhenti pada sebuah nama yang bernama, 'Irham Mandiling.'Tak lama setelah menempelkan ponsel itu di telinganya, Irkhas mengatakan, "Saya bisa bertemu dengan anda malam ini."-o0o-Ana namp
"Apa Ayah tidak salah memilih Angga sebagai Direktur di Perusahaan keluarga kita?"Itulah kalimat pertama yang dikeluarkan seorang pemuda berusia 27 tahun begitu tiba di hadapan sang ayah setelah menghabiskan waktu selama 14 Jam di dalam pesawat.Semenjak kehilangan ibu, dan ayahnya yang tak lain ialah Artami Hadinata menikahi seorang janda bernama Murti, Irkhas tak begitu akur dengan sang ayah. Hubungan Irkhas dengan Arta seolah-olah hanya terikat oleh darah dan status, sementara dalam kehidupan nyata, tak sekalipun mereka pernah saling memedulikan. Arta lebih sibuk membimbing Angga yang berstatus sebagai anak tiri ketimbang mengurus Irkhas yang berstatus sebagai putra kandung, sementara Irkhas lebih sibuk mengurus beberapa proyek kerja di luar negeri ketimbang memperbaiki hubungan dengan Arta.Arta yang tengah menyantap makanan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, kemudian berdiri untuk melangkah mendekati Irkhas dan menjawab, "Itu adalah keputusan yang
"Kamu jangan menipu saya, ya," katanya dengan ketus, "istri dan anak saya mau makan apa kalau kamu tidak bisa bayar?"Irkhas mencoba meyakini sopir itu, "Bapak bisa jual jam ini dengan harga 25 Juta di toko Rollex, dan kebutuhan keluarga Bapak bisa terpenuhi selama beberapa bulan."Suara sopir taksi meninggi. "Saya tidak percaya," kata sopir taksi sambil membuka pintu, lalu keluar, kemudian melangkah mendekati Irkhas yang nampak telah siap menampung amarah sopir itu.Irkhas tetap tidak putus asa dan terus berusaha meyakini sopir taksi, "Bapak bisa bawa saya ke toko Rollex sekarang, kalau bapak tidak percaya."Sopir taksi yang telah berdiri di hadapan Irkhas masih bersikukuh, "Mana ada toko jam yang buka jam segini." Pria itu mulai bicara sambil menuding Irkhas, "Kamu jangan main-main ya."Irkhas tetap meyakini sopir itu, "Saya sedang tidak main-main, Pak." Irkhas menunjuk arloji yang dipegangnya, "Ini jam mahal, Pak."Namun sopir taksi tetap
Irkhas tersentak, lalu bangkit dan melihat Dirgan tengah memamerkan giginya di dalam mobil."Kenapa enggak nelpon?" tanya Dirgan dari dalam mobil sambil mengulurkan tangannya."Ponselku kehabisan daya," jawab Irkhas sambil menjabat tangan Dirgan."Iya sudah, masuk," kata Dirgan mempersilahkan sahabatnya itu.Irkhas yang sudah penat dengan kehidupannya hari ini, bergegas memasuki mobil Dirgan. Mobil itu langsung melaju begitu Irkhas telah menutup pintu."Udah nikah?" itulah pertanyaan pertama yang dikeluarkan Irkhas pada sahabatnya setelah terpisah cukup lama.Dirgan yang tengah menyetir mobil nampak kurang menyukai pertanyaan itu dan berkata, "Memangnya enggak ada pertanyaan lain?"Irkhas akhirnya bisa terkekeh saat ini. "Mustahil seorang sahabat menikah tanpa kehadiran sahabatnya.""Nah, itu kamu tahu," kata Dirgan sambil menoleh secara sekilas. "Terus kenapa bertanya?"Sambil mengamati keadaan mobil, Irkhas menjawab, "
Di sebuah Kafe yang bernuansa minimalis dan sepi, seorang pemuda berusia 27 tahun yang bekerja sebagai barista di kafe itu nampak murung memandangi setumpuk uang yang dipegangnya. "Kenapa Tot?" tanya gadis yang pernah menolong Irkhas di hadapan pemuda itu. Gadis itu bernama Ana. "Adikku yang baru lulus SMA mau kuliah, tapi sepertinya gaji ini masih belum cukup buat biaya pendaftaran kampus. Bingung mau pinjam uang ke siapa" jawab barista Kafe itu, ia bernama Gatot. Ana yang nampak bersimpati pada Gatot bertanya, "Emang biaya pendaftarannya berapa?" Dengan berat hati Gatot menjawab, "Dua koma lapan kayaknya." Ana tersenyum, kemudian berkata sambil menepuk pundak gatot, "Ya sudah, nanti aku coba carikan pinjaman ke temanku." Gatot yang sumringah ingin memegang pipi Ana yang mulus, namun sebelum jari-jarinya tiba di kulit gadis itu, Ana telah lebih dulu menepisnya sambil berkata, "Eh, jangan pegang-pegang." Gatot cengar-ceng
"Selamat pagi, Pak Dirgan," sambut Satpam di depan pintu kantor sambil membukakan pintu. "Pagi, Pak Janu," jawab Dirgan sambil memasuki pintu. Irkhas yang kagum karena sang Direktur Utama bisa menghapal nama seorang satpam di kantornya terus mengikuti Dirgan. Lelaki itu mengenakan setelan jas rapi seperti yang dikenakan sahabatnya. Perasaannya sedikit berdebar, karena hari itu akan menjadi salah satu hari bersejarah di dalam hidupnya. Setelah melewati pintu kantor, Dirgam membawa Irkhas mendekati Office Lady kantornya. "Selamat pagi, Pak Dirgan," sambut Office Lady yang berwajah oriental dan begitu anggun dengan senyumannya. "Pagi Wulan." Dirgan berhenti tepat di depan meja office Lady kantornya, kemudian bertanya, "Semua Direktur dan Kepala Devisi sudah datang?" "Sudah, Pak Dirgan. Semuanya sedang menunggu Bapak di Meeting Room," jawab wanita itu dengan suara yang santun. "oke," jawab Dirgan, lalu menoleh pada Irkhas untuk mem