"Kalau tubuhku gatal-gatal karena baju ini, bagaimana?" ucap Irkhas sambil memperhatikan kaos lusuh di tangannya.
Kaos kumal itu dibeli seharga ratusan ribu oleh Dirgan dari salah satu pemulung yang dijumpainya sehari yang lalu.
"Itu sih resiko kamu, aku tidak pernah memintamu jadi kuli hanya untuk mengetahui bagaimana struktur perusahaan dari devisi terbawah," ucap Dirgan dengan entengnya.
"Aku juga ingin mencari tahu siapa yang menelan anggaran dari proyek kita," sambut Irkhas, lalu bertanya sambil menunjuk blazer dan kaos oblong yang tengah dikenakannya, "kalau pakai ini saja, bagaimana?"
Dirgan menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskan semuanya, kemudian bertanya balik, "Itu blazer hargannya berapa?"
"Dua ratus dollar," jawab Irkhas.
Dirgan kembali bertanya, "Terus kaos berapa?"
"Seratusan dollar," jawab Irkhas dengan polosnya.
"Kalau terkena semen, masih mau dipakai?" tanya Dirgan lagi.
Irkhas menggeleng, lalu bicara, "Tapi kan masih bisa beli yang baru."
"Memangnya mau beli baju tiap hari?" sanggah Dirgan.
Irkhas menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskan napas kasar. Lalu membuka blazer yang tengah dikenakannya, begitu pula kaos oblong di dalamnya, hingga yang tersisa hanya singlet. Kemudian Irkhas mengenakan baju kumal itu dengan mimik wajah yang nampak sedikit jijik.
Dirgan berkata, "Dengan begini, anda terlihat lebih tampan." Lalu terkekeh sambil membuka pintu.
"Sialan," umpat Irkhas, kemudian keluar menyusul Dirgan.
Irkhas terus mengikuti Dirgan memasuki lahan proyek. Matanya tak henti-henti memperhatikan orang-orang bertubuh kering dan berotot yang tengah bekerja serabutan di tempat itu. Hingga tanpa sengaja ia menabrak dan membuat seorang pria tersungkur.
"Aduh," pekik lelaki itu.
"Maaf, maaf," ucap Irkhas sambil membantunya berdiri.
Dirgan nampak menahan tawa melihat momen langka itu terjadi. Selama masa SMA, Dirgan telah banyak dipermalukan oleh Irkhas, namun kini ia merasa puas melihat kekonyolan sahabatnya itu.
"Paman tidak apa-apa?" tanya Dirgan pada lelaki itu.
Irkhas nampak bingung karena Dirgan menyebut lelaki itu dengan sebutan Paman.
"Tidak apa-apa," jawab lelaki itu sambil menatap Dirgan, lalu bertanya sambil menatap Irkhas, "ini siapa, Pak Direktur?"
"Oo...." Dirgan ber-oh, kemudian membuat penuturan palsu. "Orang ini selalu mencari pekerjaan di kantor, tapi enggak punya ijazah. Jadi, saya membawanya ke sini, biar dia punya kerjaan dan enggak ganggu saya lagi."
Irkhas menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan amarahnya. Ia memang menginginkan Dirgan merahasiakan identitasnya, tapi tidak dengan cerita seburuk itu.
"Ouh ... jadi dia cuma pengangguran?" kata Lelaki itu sambil manggut-manggut dan menatap Irkhas dengan tatapan aneh.
"Iya, Paman. Dia cuma pengangguran," kata Dirgan yang membuat Irkhas semakin kesal.
Dirgan tersenyum jail, ia nampak puas karena merasa dendam yang disimpan selama bertahun-tahun akhirnya bisa terbalas.
"Oke. Kalau begitu saya permisi dulu, Paman," ucap Dirgan.
"Oh iya, Pak Direktur. Hati-hati," jawab lelaki itu
Dirgan mengangguk, kemudian menatap Irkhas dan berkata, "Ini Pak Tarno, mandor kamu di sini. Selamat bekerja."
Sang Direktur itu kemudian meninggalkan Irkhas begitu saja tanpa beban, sementara Irkhas hanya bisa memandang punggung Dirgan yang terus menjauh.
"Eh!" suara Pak Tarno yang melengking mengejutkan Irkhas. "Sudah telat setengah jam ini, sana kerja."
Irkhas mengangguk, kemudian melangkah dengan bingung tanpa arah, ia bahkan tidak pernah melihat seseorang memegang paving block seumur hidupnya, apalagi melakukan pekerjaan semacam itu.
"Woe!" suara Pak Tarno kembali membuatnya terkejut untuk yang kedua kalinya.
Irkhas cukup merasa kesal, ayahnya yang membuatnya rela melakukan pekerjaan itu saja tidak pernah membentaknya, apalagi memanggilnya dengan cara seperti itu. Kalau saja ia tidak sedang dalam mode penyamaran, ia pasti sudah memecat laki-laki itu. Ia bisa saja memecat Pak Tarno saat ini, tetapi itu akan membuat kepala devisi pembangunan bisa mencurigainya. Irkhas menahan amarahnya, lalu berbalik badan dan memandang laki-laki itu.
"Bawa semen-semen itu masuk ke dalam pakai Arco," kata Pak Tarno sambil menunjuk ke tumpukan semen yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
Irkhas mengangguk kemudian mengangkat beberapa semen dan meletakkannya di Atas Arco. Sebenarnya, ia sudah terbiasa melakukan latihan beban untuk membangun masa otot, sehingga mengangkat semen bukanlah hal yang terlalu berat baginya. Namun tetap saja, karena tidak terbiasa bekerja serabutan maka ia harus terseok-seok ketika membawa semen dengan gerobak dorong itu ke dalam gedung.
Sementara Pak Tarno mengeluarkan ponselnya, lalu perhatiannya tertuju ke salah satu nama dalam daftar kontak di screen ponselnya.
"Ana," ucapnya begitu panggilan terjawab. "Paman memesan 47 porsi untuk diantar siang ini ke tempat Paman bekerja."
-o0o-
"Kamu mau bikin perusahaan ini bangkrut, iya?"Ucap Pak Tarno yang secara tiba-tiba telah berada di belakang Irkhas, sedangkan Irkhas yang tengah membuat campuran semen di depan molen nampak bingung, kesalahan apa yang telah dibuatnya sehingga Mandor rewel itu menegur."Empat satu itu maksudnya, empat gerobak pasir dicampur dengan satu sak semen," bentak Pak Tarno yang menjelaskan, "bukan empat sak semen dicampur dengan satu gerobak pasir."Irkhas yang bercucuran keringat di bawah panas terik matahari hanya bisa diam saat dimarahi mandornya. Ia seperti singa yang patuh pada seekor tikus di tempat itu."Sekarang sebaiknya kamu ambil Arco dan kembali memasukkan semen ke dalam gudang," titah sang Mandor.Irkhas hanya bisa mengiyakan, meski dalam pikirannya, ia ingin sekali menendang bokong mandor itu.Ketika Irkhas masuk ke dalam gedung membawa semen dengan sempoyongan, Ana baru tiba di samping Pak Tarno dengan skuter kesayangannya.Pak
"Sangat baik," jawab Ana yang terus mendekat. "Tapi please! Berhenti memanggilku Nona cantik, karena kamu tahu namaku," ucap gadis itu di hadapan Dirgan."Namamu terlalu sakral untuk diucapkan," goda pemuda itu."Terserah deh kamu mau bilang apa," ucap Ana sambil mendaratkan bokongnya di salah satu kursi Kafe."Ini pesanannya." Gatot menyodorkan pesanan Dirgan.Dirgan kemudian mengeluarkan uang lima puluh ribu dari sakunya, lalu berkata, "Kembaliannya simpan saja.""Thank you," ucap Gatot sambil menerima uang itu lalu memasukkannya ke dalam laci penyimpanan uang."By The Way, terimakasih sudah memberikan paman saya pekerjaan," ucap Ana sambil tersenyum."Santai ... Kita kan sudah berteman dari kecil. Kalau kamu tidak pindah rumah, mungkin paman sudah dari dulu mendapat pekerjaan," kata Dirgan.-o0o-"Aduh!" ringih Irkhas."Kenapa sih?" tanya Dirgan sambil menginjak punggung Irkhas dengan pelan di ata
Rupanya Dirgan membawa Irkhas ke kafe Florizo. Sang Direktur muda memarkirkan mobilnya di depan Florizo, lalu memasuki kafe itu. Sementara Irkhas hanya mengikuti."Wah, sekalinya nyari karyawan baru, langsung dua sekaligus," ujar Dirgan sambil mendekati bar kafe."Kebetulan, kafe sudah mulai rame," kata Gatot sambil menunjuk seisi kafe dengan dagunya, lalu melanjutkan ucapannya, "jadi... saya sudah mulai kwalahan.""Wah, kemajuan yang luar biasa," ujar Dirgan sambil memerhatikan kursi kafe yang hampir tak tersisa, lalu mengembalikan perhatiannya pada Gatot dan bertanya, "Ana mana?""Mau mengisi perut, atau mau mengisi hati, nih?" ujar Gatot."Dua-duanya," jawab Dirgan lalu menyeringai."Rakus sekali anda," sambut Gatot yang membuat keduanya tertawa.Sementara Irkhas hanya dapat memperhatikan, dan pura-pura ikut menyeringai."Oh iya, kenalkan," Dirgan menyela, lalu mengenalkan Irkhas, "ini sahabat saya, Irkhas."Gatot men
Irkhas yang baru tiba di dalam kafe menatap kursi yang telah ia duduki tengah ditempati oleh orang lain, matanya menyapu seisi kafe, namun tetap tak melihat Dirgan.Irkhas bertanya pada Gatot, "Ke mana Dirgan?"Gatot yang tengah menyiapkan kopi menjawab, "Dia sedang mengantar Ana ke rumah sakit. Tunggu saja, nanti dia akan kembali."Irkhas melenguh panjang, "Ya Tuhan!" Lalu berceloteh, "Kenapa sekarang malah dia yang bucin sih?"Gatot menyeringai, kemudian memberitahu Irkhas, "Dirgan dengan Ana itu dulunya tetanggaan, mereka sudah bersahabat sejak kecil. Jadi, jangan heran kalau Dirgan sangat perhatian sama Ana."Irkhas mengangguk, kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Matanya mencari sebuah nama di daftar kontak, hingga jarinya berhenti pada sebuah nama yang bernama, 'Irham Mandiling.'Tak lama setelah menempelkan ponsel itu di telinganya, Irkhas mengatakan, "Saya bisa bertemu dengan anda malam ini."-o0o-Ana namp
"Apa Ayah tidak salah memilih Angga sebagai Direktur di Perusahaan keluarga kita?"Itulah kalimat pertama yang dikeluarkan seorang pemuda berusia 27 tahun begitu tiba di hadapan sang ayah setelah menghabiskan waktu selama 14 Jam di dalam pesawat.Semenjak kehilangan ibu, dan ayahnya yang tak lain ialah Artami Hadinata menikahi seorang janda bernama Murti, Irkhas tak begitu akur dengan sang ayah. Hubungan Irkhas dengan Arta seolah-olah hanya terikat oleh darah dan status, sementara dalam kehidupan nyata, tak sekalipun mereka pernah saling memedulikan. Arta lebih sibuk membimbing Angga yang berstatus sebagai anak tiri ketimbang mengurus Irkhas yang berstatus sebagai putra kandung, sementara Irkhas lebih sibuk mengurus beberapa proyek kerja di luar negeri ketimbang memperbaiki hubungan dengan Arta.Arta yang tengah menyantap makanan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, kemudian berdiri untuk melangkah mendekati Irkhas dan menjawab, "Itu adalah keputusan yang
"Kamu jangan menipu saya, ya," katanya dengan ketus, "istri dan anak saya mau makan apa kalau kamu tidak bisa bayar?"Irkhas mencoba meyakini sopir itu, "Bapak bisa jual jam ini dengan harga 25 Juta di toko Rollex, dan kebutuhan keluarga Bapak bisa terpenuhi selama beberapa bulan."Suara sopir taksi meninggi. "Saya tidak percaya," kata sopir taksi sambil membuka pintu, lalu keluar, kemudian melangkah mendekati Irkhas yang nampak telah siap menampung amarah sopir itu.Irkhas tetap tidak putus asa dan terus berusaha meyakini sopir taksi, "Bapak bisa bawa saya ke toko Rollex sekarang, kalau bapak tidak percaya."Sopir taksi yang telah berdiri di hadapan Irkhas masih bersikukuh, "Mana ada toko jam yang buka jam segini." Pria itu mulai bicara sambil menuding Irkhas, "Kamu jangan main-main ya."Irkhas tetap meyakini sopir itu, "Saya sedang tidak main-main, Pak." Irkhas menunjuk arloji yang dipegangnya, "Ini jam mahal, Pak."Namun sopir taksi tetap
Irkhas tersentak, lalu bangkit dan melihat Dirgan tengah memamerkan giginya di dalam mobil."Kenapa enggak nelpon?" tanya Dirgan dari dalam mobil sambil mengulurkan tangannya."Ponselku kehabisan daya," jawab Irkhas sambil menjabat tangan Dirgan."Iya sudah, masuk," kata Dirgan mempersilahkan sahabatnya itu.Irkhas yang sudah penat dengan kehidupannya hari ini, bergegas memasuki mobil Dirgan. Mobil itu langsung melaju begitu Irkhas telah menutup pintu."Udah nikah?" itulah pertanyaan pertama yang dikeluarkan Irkhas pada sahabatnya setelah terpisah cukup lama.Dirgan yang tengah menyetir mobil nampak kurang menyukai pertanyaan itu dan berkata, "Memangnya enggak ada pertanyaan lain?"Irkhas akhirnya bisa terkekeh saat ini. "Mustahil seorang sahabat menikah tanpa kehadiran sahabatnya.""Nah, itu kamu tahu," kata Dirgan sambil menoleh secara sekilas. "Terus kenapa bertanya?"Sambil mengamati keadaan mobil, Irkhas menjawab, "
Di sebuah Kafe yang bernuansa minimalis dan sepi, seorang pemuda berusia 27 tahun yang bekerja sebagai barista di kafe itu nampak murung memandangi setumpuk uang yang dipegangnya. "Kenapa Tot?" tanya gadis yang pernah menolong Irkhas di hadapan pemuda itu. Gadis itu bernama Ana. "Adikku yang baru lulus SMA mau kuliah, tapi sepertinya gaji ini masih belum cukup buat biaya pendaftaran kampus. Bingung mau pinjam uang ke siapa" jawab barista Kafe itu, ia bernama Gatot. Ana yang nampak bersimpati pada Gatot bertanya, "Emang biaya pendaftarannya berapa?" Dengan berat hati Gatot menjawab, "Dua koma lapan kayaknya." Ana tersenyum, kemudian berkata sambil menepuk pundak gatot, "Ya sudah, nanti aku coba carikan pinjaman ke temanku." Gatot yang sumringah ingin memegang pipi Ana yang mulus, namun sebelum jari-jarinya tiba di kulit gadis itu, Ana telah lebih dulu menepisnya sambil berkata, "Eh, jangan pegang-pegang." Gatot cengar-ceng