"Kamu jangan menipu saya, ya," katanya dengan ketus, "istri dan anak saya mau makan apa kalau kamu tidak bisa bayar?"
Irkhas mencoba meyakini sopir itu, "Bapak bisa jual jam ini dengan harga 25 Juta di toko Rollex, dan kebutuhan keluarga Bapak bisa terpenuhi selama beberapa bulan."
Suara sopir taksi meninggi. "Saya tidak percaya," kata sopir taksi sambil membuka pintu, lalu keluar, kemudian melangkah mendekati Irkhas yang nampak telah siap menampung amarah sopir itu.
Irkhas tetap tidak putus asa dan terus berusaha meyakini sopir taksi, "Bapak bisa bawa saya ke toko Rollex sekarang, kalau bapak tidak percaya."
Sopir taksi yang telah berdiri di hadapan Irkhas masih bersikukuh, "Mana ada toko jam yang buka jam segini." Pria itu mulai bicara sambil menuding Irkhas, "Kamu jangan main-main ya."
Irkhas tetap meyakini sopir itu, "Saya sedang tidak main-main, Pak." Irkhas menunjuk arloji yang dipegangnya, "Ini jam mahal, Pak."
Namun sopir taksi tetap tidak percaya. "Saya bukan anak kecil yang bisa kamu bodoh-bodohi."
Irkhas tetap menjelaskan dengan sabar, "Saya tidak berbohong, Pak. Arloji ini saya beli di Jerman, dan harganya tidak murah."
"Saya tidak peduli," timpal sopir taksi itu. "Pokoknya saya mau dibayar pakai uang."
Irkhas nampak kebingan, pemuda itu mulai kehabisan kata-kata.
"Kalau kamu tidak bisa bayar," kata sopir taksi itu sambil meraih kerah baju Irkhas.
"Berapa, Pak?" Tiba-tiba suara seorang gadis memecah perseteruan itu.
Kedua pria itu menoleh pada pemilik suara itu, dan ternyata ia adalah gadis yang sebelumnya telah memperhatikan Irkhas sebelum memasuki ATM.
Sopir taksi itu melepaskan kerah kemeja Irkhas, kemudian menjawab, "129 ribu."
Gadis itu mengeluarkan uang 150,000 rupiah dari dalam dompetnya, kemudian menyerahkannya pada sopir sambil berkata, "Ini, Pak. Kembaliannya diambil saja."
Sopir taksi itu nampak sumringah, ia menerima uang itu dengan senyum lebar, lalu berkata, "Terimakasih, Neng,"
"Sama-sama, Pak," kata gadis itu.
Sopir taksi menoleh pada Irkhas, kemudian bersungut, "Tampang doang kinclong, dompet melompong." Kemudian meninggalkan Irkhas yang nampak mulai sedikit emosi.
"Eh, Pak! Kalau sudah dibayar, jangan nyolot gitu dong."
Tapi sopir taksi yang telah tiba di depan pintu taksi tak memedulikan kata-kata Irkhas dan membuka pintu, lalu masuk begitu saja ke dalam mobilnya.
Meskipun mobil taksi itu telah berlalu, Irkhas masih bersungut, "Sopir di sini kenapa belagu banget sih?"
Tiba-tiba Irkhas teringat kembali pada gadis yang baru saja menolongnya, namun ketika menoleh ke tempat gadis itu telah memarkirkan motor sebelumnya, ternyata gadis itu telah pergi. "Aahh...!" Irkhas kembali merasa kesal ketika menyadari jika ia belum mengetahui nama gadis itu.
Irkhas mengeluarkan ponselnya, namun setelah tertimpa begitu banyak kesialan yang membuat kekesalannya memuncak, kini ia harus mengalami kesialan yang lain, ponselnya telah kehabisan daya. "Kenapa harus sesial ini sih?"
Ia menyapu ke segala arah dengan matanya, nampak semua toko yang dilihatnya baru saja tutup, dan ia hanya sendiri di tempat itu. Pria tampan itu perlahan-lahan duduk, ia mengasihani diri sendiri sambil meratapi nasip.
Tiba-tiba sebuah mobil offroad berwarna hitam mendekati Irkhas yang duduk dan tertunduk di tepi jalan, mobil itu berhenti tepat di hadapan Irkhas. Kaca di samping jok kemudi perlahan-lahan terbuka, lalu terdengar suara yang familiar dari dalam mobil, "Ngemis kok malem-malem."
-o0o-
Irkhas tersentak, lalu bangkit dan melihat Dirgan tengah memamerkan giginya di dalam mobil."Kenapa enggak nelpon?" tanya Dirgan dari dalam mobil sambil mengulurkan tangannya."Ponselku kehabisan daya," jawab Irkhas sambil menjabat tangan Dirgan."Iya sudah, masuk," kata Dirgan mempersilahkan sahabatnya itu.Irkhas yang sudah penat dengan kehidupannya hari ini, bergegas memasuki mobil Dirgan. Mobil itu langsung melaju begitu Irkhas telah menutup pintu."Udah nikah?" itulah pertanyaan pertama yang dikeluarkan Irkhas pada sahabatnya setelah terpisah cukup lama.Dirgan yang tengah menyetir mobil nampak kurang menyukai pertanyaan itu dan berkata, "Memangnya enggak ada pertanyaan lain?"Irkhas akhirnya bisa terkekeh saat ini. "Mustahil seorang sahabat menikah tanpa kehadiran sahabatnya.""Nah, itu kamu tahu," kata Dirgan sambil menoleh secara sekilas. "Terus kenapa bertanya?"Sambil mengamati keadaan mobil, Irkhas menjawab, "
Di sebuah Kafe yang bernuansa minimalis dan sepi, seorang pemuda berusia 27 tahun yang bekerja sebagai barista di kafe itu nampak murung memandangi setumpuk uang yang dipegangnya. "Kenapa Tot?" tanya gadis yang pernah menolong Irkhas di hadapan pemuda itu. Gadis itu bernama Ana. "Adikku yang baru lulus SMA mau kuliah, tapi sepertinya gaji ini masih belum cukup buat biaya pendaftaran kampus. Bingung mau pinjam uang ke siapa" jawab barista Kafe itu, ia bernama Gatot. Ana yang nampak bersimpati pada Gatot bertanya, "Emang biaya pendaftarannya berapa?" Dengan berat hati Gatot menjawab, "Dua koma lapan kayaknya." Ana tersenyum, kemudian berkata sambil menepuk pundak gatot, "Ya sudah, nanti aku coba carikan pinjaman ke temanku." Gatot yang sumringah ingin memegang pipi Ana yang mulus, namun sebelum jari-jarinya tiba di kulit gadis itu, Ana telah lebih dulu menepisnya sambil berkata, "Eh, jangan pegang-pegang." Gatot cengar-ceng
"Selamat pagi, Pak Dirgan," sambut Satpam di depan pintu kantor sambil membukakan pintu. "Pagi, Pak Janu," jawab Dirgan sambil memasuki pintu. Irkhas yang kagum karena sang Direktur Utama bisa menghapal nama seorang satpam di kantornya terus mengikuti Dirgan. Lelaki itu mengenakan setelan jas rapi seperti yang dikenakan sahabatnya. Perasaannya sedikit berdebar, karena hari itu akan menjadi salah satu hari bersejarah di dalam hidupnya. Setelah melewati pintu kantor, Dirgam membawa Irkhas mendekati Office Lady kantornya. "Selamat pagi, Pak Dirgan," sambut Office Lady yang berwajah oriental dan begitu anggun dengan senyumannya. "Pagi Wulan." Dirgan berhenti tepat di depan meja office Lady kantornya, kemudian bertanya, "Semua Direktur dan Kepala Devisi sudah datang?" "Sudah, Pak Dirgan. Semuanya sedang menunggu Bapak di Meeting Room," jawab wanita itu dengan suara yang santun. "oke," jawab Dirgan, lalu menoleh pada Irkhas untuk mem
"Kalau tubuhku gatal-gatal karena baju ini, bagaimana?" ucap Irkhas sambil memperhatikan kaos lusuh di tangannya. Kaos kumal itu dibeli seharga ratusan ribu oleh Dirgan dari salah satu pemulung yang dijumpainya sehari yang lalu. "Itu sih resiko kamu, aku tidak pernah memintamu jadi kuli hanya untuk mengetahui bagaimana struktur perusahaan dari devisi terbawah," ucap Dirgan dengan entengnya. "Aku juga ingin mencari tahu siapa yang menelan anggaran dari proyek kita," sambut Irkhas, lalu bertanya sambil menunjuk blazer dan kaos oblong yang tengah dikenakannya, "kalau pakai ini saja, bagaimana?" Dirgan menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskan semuanya, kemudian bertanya balik, "Itu blazer hargannya berapa?" "Dua ratus dollar," jawab Irkhas. Dirgan kembali bertanya, "Terus kaos berapa?" "Seratusan dollar," jawab Irkhas dengan polosnya. "Kalau terkena semen, masih mau dipakai?" tanya Dirgan lagi. Irkhas mengge
"Kamu mau bikin perusahaan ini bangkrut, iya?"Ucap Pak Tarno yang secara tiba-tiba telah berada di belakang Irkhas, sedangkan Irkhas yang tengah membuat campuran semen di depan molen nampak bingung, kesalahan apa yang telah dibuatnya sehingga Mandor rewel itu menegur."Empat satu itu maksudnya, empat gerobak pasir dicampur dengan satu sak semen," bentak Pak Tarno yang menjelaskan, "bukan empat sak semen dicampur dengan satu gerobak pasir."Irkhas yang bercucuran keringat di bawah panas terik matahari hanya bisa diam saat dimarahi mandornya. Ia seperti singa yang patuh pada seekor tikus di tempat itu."Sekarang sebaiknya kamu ambil Arco dan kembali memasukkan semen ke dalam gudang," titah sang Mandor.Irkhas hanya bisa mengiyakan, meski dalam pikirannya, ia ingin sekali menendang bokong mandor itu.Ketika Irkhas masuk ke dalam gedung membawa semen dengan sempoyongan, Ana baru tiba di samping Pak Tarno dengan skuter kesayangannya.Pak
"Sangat baik," jawab Ana yang terus mendekat. "Tapi please! Berhenti memanggilku Nona cantik, karena kamu tahu namaku," ucap gadis itu di hadapan Dirgan."Namamu terlalu sakral untuk diucapkan," goda pemuda itu."Terserah deh kamu mau bilang apa," ucap Ana sambil mendaratkan bokongnya di salah satu kursi Kafe."Ini pesanannya." Gatot menyodorkan pesanan Dirgan.Dirgan kemudian mengeluarkan uang lima puluh ribu dari sakunya, lalu berkata, "Kembaliannya simpan saja.""Thank you," ucap Gatot sambil menerima uang itu lalu memasukkannya ke dalam laci penyimpanan uang."By The Way, terimakasih sudah memberikan paman saya pekerjaan," ucap Ana sambil tersenyum."Santai ... Kita kan sudah berteman dari kecil. Kalau kamu tidak pindah rumah, mungkin paman sudah dari dulu mendapat pekerjaan," kata Dirgan.-o0o-"Aduh!" ringih Irkhas."Kenapa sih?" tanya Dirgan sambil menginjak punggung Irkhas dengan pelan di ata
Rupanya Dirgan membawa Irkhas ke kafe Florizo. Sang Direktur muda memarkirkan mobilnya di depan Florizo, lalu memasuki kafe itu. Sementara Irkhas hanya mengikuti."Wah, sekalinya nyari karyawan baru, langsung dua sekaligus," ujar Dirgan sambil mendekati bar kafe."Kebetulan, kafe sudah mulai rame," kata Gatot sambil menunjuk seisi kafe dengan dagunya, lalu melanjutkan ucapannya, "jadi... saya sudah mulai kwalahan.""Wah, kemajuan yang luar biasa," ujar Dirgan sambil memerhatikan kursi kafe yang hampir tak tersisa, lalu mengembalikan perhatiannya pada Gatot dan bertanya, "Ana mana?""Mau mengisi perut, atau mau mengisi hati, nih?" ujar Gatot."Dua-duanya," jawab Dirgan lalu menyeringai."Rakus sekali anda," sambut Gatot yang membuat keduanya tertawa.Sementara Irkhas hanya dapat memperhatikan, dan pura-pura ikut menyeringai."Oh iya, kenalkan," Dirgan menyela, lalu mengenalkan Irkhas, "ini sahabat saya, Irkhas."Gatot men
Irkhas yang baru tiba di dalam kafe menatap kursi yang telah ia duduki tengah ditempati oleh orang lain, matanya menyapu seisi kafe, namun tetap tak melihat Dirgan.Irkhas bertanya pada Gatot, "Ke mana Dirgan?"Gatot yang tengah menyiapkan kopi menjawab, "Dia sedang mengantar Ana ke rumah sakit. Tunggu saja, nanti dia akan kembali."Irkhas melenguh panjang, "Ya Tuhan!" Lalu berceloteh, "Kenapa sekarang malah dia yang bucin sih?"Gatot menyeringai, kemudian memberitahu Irkhas, "Dirgan dengan Ana itu dulunya tetanggaan, mereka sudah bersahabat sejak kecil. Jadi, jangan heran kalau Dirgan sangat perhatian sama Ana."Irkhas mengangguk, kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Matanya mencari sebuah nama di daftar kontak, hingga jarinya berhenti pada sebuah nama yang bernama, 'Irham Mandiling.'Tak lama setelah menempelkan ponsel itu di telinganya, Irkhas mengatakan, "Saya bisa bertemu dengan anda malam ini."-o0o-Ana namp
Irkhas yang baru tiba di dalam kafe menatap kursi yang telah ia duduki tengah ditempati oleh orang lain, matanya menyapu seisi kafe, namun tetap tak melihat Dirgan.Irkhas bertanya pada Gatot, "Ke mana Dirgan?"Gatot yang tengah menyiapkan kopi menjawab, "Dia sedang mengantar Ana ke rumah sakit. Tunggu saja, nanti dia akan kembali."Irkhas melenguh panjang, "Ya Tuhan!" Lalu berceloteh, "Kenapa sekarang malah dia yang bucin sih?"Gatot menyeringai, kemudian memberitahu Irkhas, "Dirgan dengan Ana itu dulunya tetanggaan, mereka sudah bersahabat sejak kecil. Jadi, jangan heran kalau Dirgan sangat perhatian sama Ana."Irkhas mengangguk, kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Matanya mencari sebuah nama di daftar kontak, hingga jarinya berhenti pada sebuah nama yang bernama, 'Irham Mandiling.'Tak lama setelah menempelkan ponsel itu di telinganya, Irkhas mengatakan, "Saya bisa bertemu dengan anda malam ini."-o0o-Ana namp
Rupanya Dirgan membawa Irkhas ke kafe Florizo. Sang Direktur muda memarkirkan mobilnya di depan Florizo, lalu memasuki kafe itu. Sementara Irkhas hanya mengikuti."Wah, sekalinya nyari karyawan baru, langsung dua sekaligus," ujar Dirgan sambil mendekati bar kafe."Kebetulan, kafe sudah mulai rame," kata Gatot sambil menunjuk seisi kafe dengan dagunya, lalu melanjutkan ucapannya, "jadi... saya sudah mulai kwalahan.""Wah, kemajuan yang luar biasa," ujar Dirgan sambil memerhatikan kursi kafe yang hampir tak tersisa, lalu mengembalikan perhatiannya pada Gatot dan bertanya, "Ana mana?""Mau mengisi perut, atau mau mengisi hati, nih?" ujar Gatot."Dua-duanya," jawab Dirgan lalu menyeringai."Rakus sekali anda," sambut Gatot yang membuat keduanya tertawa.Sementara Irkhas hanya dapat memperhatikan, dan pura-pura ikut menyeringai."Oh iya, kenalkan," Dirgan menyela, lalu mengenalkan Irkhas, "ini sahabat saya, Irkhas."Gatot men
"Sangat baik," jawab Ana yang terus mendekat. "Tapi please! Berhenti memanggilku Nona cantik, karena kamu tahu namaku," ucap gadis itu di hadapan Dirgan."Namamu terlalu sakral untuk diucapkan," goda pemuda itu."Terserah deh kamu mau bilang apa," ucap Ana sambil mendaratkan bokongnya di salah satu kursi Kafe."Ini pesanannya." Gatot menyodorkan pesanan Dirgan.Dirgan kemudian mengeluarkan uang lima puluh ribu dari sakunya, lalu berkata, "Kembaliannya simpan saja.""Thank you," ucap Gatot sambil menerima uang itu lalu memasukkannya ke dalam laci penyimpanan uang."By The Way, terimakasih sudah memberikan paman saya pekerjaan," ucap Ana sambil tersenyum."Santai ... Kita kan sudah berteman dari kecil. Kalau kamu tidak pindah rumah, mungkin paman sudah dari dulu mendapat pekerjaan," kata Dirgan.-o0o-"Aduh!" ringih Irkhas."Kenapa sih?" tanya Dirgan sambil menginjak punggung Irkhas dengan pelan di ata
"Kamu mau bikin perusahaan ini bangkrut, iya?"Ucap Pak Tarno yang secara tiba-tiba telah berada di belakang Irkhas, sedangkan Irkhas yang tengah membuat campuran semen di depan molen nampak bingung, kesalahan apa yang telah dibuatnya sehingga Mandor rewel itu menegur."Empat satu itu maksudnya, empat gerobak pasir dicampur dengan satu sak semen," bentak Pak Tarno yang menjelaskan, "bukan empat sak semen dicampur dengan satu gerobak pasir."Irkhas yang bercucuran keringat di bawah panas terik matahari hanya bisa diam saat dimarahi mandornya. Ia seperti singa yang patuh pada seekor tikus di tempat itu."Sekarang sebaiknya kamu ambil Arco dan kembali memasukkan semen ke dalam gudang," titah sang Mandor.Irkhas hanya bisa mengiyakan, meski dalam pikirannya, ia ingin sekali menendang bokong mandor itu.Ketika Irkhas masuk ke dalam gedung membawa semen dengan sempoyongan, Ana baru tiba di samping Pak Tarno dengan skuter kesayangannya.Pak
"Kalau tubuhku gatal-gatal karena baju ini, bagaimana?" ucap Irkhas sambil memperhatikan kaos lusuh di tangannya. Kaos kumal itu dibeli seharga ratusan ribu oleh Dirgan dari salah satu pemulung yang dijumpainya sehari yang lalu. "Itu sih resiko kamu, aku tidak pernah memintamu jadi kuli hanya untuk mengetahui bagaimana struktur perusahaan dari devisi terbawah," ucap Dirgan dengan entengnya. "Aku juga ingin mencari tahu siapa yang menelan anggaran dari proyek kita," sambut Irkhas, lalu bertanya sambil menunjuk blazer dan kaos oblong yang tengah dikenakannya, "kalau pakai ini saja, bagaimana?" Dirgan menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskan semuanya, kemudian bertanya balik, "Itu blazer hargannya berapa?" "Dua ratus dollar," jawab Irkhas. Dirgan kembali bertanya, "Terus kaos berapa?" "Seratusan dollar," jawab Irkhas dengan polosnya. "Kalau terkena semen, masih mau dipakai?" tanya Dirgan lagi. Irkhas mengge
"Selamat pagi, Pak Dirgan," sambut Satpam di depan pintu kantor sambil membukakan pintu. "Pagi, Pak Janu," jawab Dirgan sambil memasuki pintu. Irkhas yang kagum karena sang Direktur Utama bisa menghapal nama seorang satpam di kantornya terus mengikuti Dirgan. Lelaki itu mengenakan setelan jas rapi seperti yang dikenakan sahabatnya. Perasaannya sedikit berdebar, karena hari itu akan menjadi salah satu hari bersejarah di dalam hidupnya. Setelah melewati pintu kantor, Dirgam membawa Irkhas mendekati Office Lady kantornya. "Selamat pagi, Pak Dirgan," sambut Office Lady yang berwajah oriental dan begitu anggun dengan senyumannya. "Pagi Wulan." Dirgan berhenti tepat di depan meja office Lady kantornya, kemudian bertanya, "Semua Direktur dan Kepala Devisi sudah datang?" "Sudah, Pak Dirgan. Semuanya sedang menunggu Bapak di Meeting Room," jawab wanita itu dengan suara yang santun. "oke," jawab Dirgan, lalu menoleh pada Irkhas untuk mem
Di sebuah Kafe yang bernuansa minimalis dan sepi, seorang pemuda berusia 27 tahun yang bekerja sebagai barista di kafe itu nampak murung memandangi setumpuk uang yang dipegangnya. "Kenapa Tot?" tanya gadis yang pernah menolong Irkhas di hadapan pemuda itu. Gadis itu bernama Ana. "Adikku yang baru lulus SMA mau kuliah, tapi sepertinya gaji ini masih belum cukup buat biaya pendaftaran kampus. Bingung mau pinjam uang ke siapa" jawab barista Kafe itu, ia bernama Gatot. Ana yang nampak bersimpati pada Gatot bertanya, "Emang biaya pendaftarannya berapa?" Dengan berat hati Gatot menjawab, "Dua koma lapan kayaknya." Ana tersenyum, kemudian berkata sambil menepuk pundak gatot, "Ya sudah, nanti aku coba carikan pinjaman ke temanku." Gatot yang sumringah ingin memegang pipi Ana yang mulus, namun sebelum jari-jarinya tiba di kulit gadis itu, Ana telah lebih dulu menepisnya sambil berkata, "Eh, jangan pegang-pegang." Gatot cengar-ceng
Irkhas tersentak, lalu bangkit dan melihat Dirgan tengah memamerkan giginya di dalam mobil."Kenapa enggak nelpon?" tanya Dirgan dari dalam mobil sambil mengulurkan tangannya."Ponselku kehabisan daya," jawab Irkhas sambil menjabat tangan Dirgan."Iya sudah, masuk," kata Dirgan mempersilahkan sahabatnya itu.Irkhas yang sudah penat dengan kehidupannya hari ini, bergegas memasuki mobil Dirgan. Mobil itu langsung melaju begitu Irkhas telah menutup pintu."Udah nikah?" itulah pertanyaan pertama yang dikeluarkan Irkhas pada sahabatnya setelah terpisah cukup lama.Dirgan yang tengah menyetir mobil nampak kurang menyukai pertanyaan itu dan berkata, "Memangnya enggak ada pertanyaan lain?"Irkhas akhirnya bisa terkekeh saat ini. "Mustahil seorang sahabat menikah tanpa kehadiran sahabatnya.""Nah, itu kamu tahu," kata Dirgan sambil menoleh secara sekilas. "Terus kenapa bertanya?"Sambil mengamati keadaan mobil, Irkhas menjawab, "
"Kamu jangan menipu saya, ya," katanya dengan ketus, "istri dan anak saya mau makan apa kalau kamu tidak bisa bayar?"Irkhas mencoba meyakini sopir itu, "Bapak bisa jual jam ini dengan harga 25 Juta di toko Rollex, dan kebutuhan keluarga Bapak bisa terpenuhi selama beberapa bulan."Suara sopir taksi meninggi. "Saya tidak percaya," kata sopir taksi sambil membuka pintu, lalu keluar, kemudian melangkah mendekati Irkhas yang nampak telah siap menampung amarah sopir itu.Irkhas tetap tidak putus asa dan terus berusaha meyakini sopir taksi, "Bapak bisa bawa saya ke toko Rollex sekarang, kalau bapak tidak percaya."Sopir taksi yang telah berdiri di hadapan Irkhas masih bersikukuh, "Mana ada toko jam yang buka jam segini." Pria itu mulai bicara sambil menuding Irkhas, "Kamu jangan main-main ya."Irkhas tetap meyakini sopir itu, "Saya sedang tidak main-main, Pak." Irkhas menunjuk arloji yang dipegangnya, "Ini jam mahal, Pak."Namun sopir taksi tetap