"Apa Ayah tidak salah memilih Angga sebagai Direktur di Perusahaan keluarga kita?"
Itulah kalimat pertama yang dikeluarkan seorang pemuda berusia 27 tahun begitu tiba di hadapan sang ayah setelah menghabiskan waktu selama 14 Jam di dalam pesawat.
Semenjak kehilangan ibu, dan ayahnya yang tak lain ialah Artami Hadinata menikahi seorang janda bernama Murti, Irkhas tak begitu akur dengan sang ayah. Hubungan Irkhas dengan Arta seolah-olah hanya terikat oleh darah dan status, sementara dalam kehidupan nyata, tak sekalipun mereka pernah saling memedulikan. Arta lebih sibuk membimbing Angga yang berstatus sebagai anak tiri ketimbang mengurus Irkhas yang berstatus sebagai putra kandung, sementara Irkhas lebih sibuk mengurus beberapa proyek kerja di luar negeri ketimbang memperbaiki hubungan dengan Arta.
Arta yang tengah menyantap makanan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, kemudian berdiri untuk melangkah mendekati Irkhas dan menjawab, "Itu adalah keputusan yang paling tepat."
Kata-kata itu membuat Irkhas merasa seperti tidak lagi dianggap anak oleh ayahnya sendiri.
Murti yang selalu berpura-pura manis di hadapan Arta ikut berdiri sambil bicara dengan lembut, "Sayang, anak kita kan baru tiba, mari kita ajak makan dulu sebelum berbincang." Arta menoleh pada Irkhas dan bicara, "Sayang, mari makan dulu."
Arta yang tak memedulikan kata-kata istrinya melanjutkan ucapannya di hadapan Irkhas, "Selama ini, Angga yang telah berjuang membantu mengurus perusahaan di sini."
"Itu karena Ayah hanya memercayakan segalanya kepada putra semata wayang Ayah itu!" kata Irkhas seraya menunjuk wajah Angga di meja makan.
Sebuah tamparan keras dari Arta mendarat ke pipi Irkhas, rupanya pria yang berusia kepala lima itu sangat tersinggung dengan ucapan putra kandung satu-satunya.
Sejenak Irkhas tertegun, lidahnya kaku, matanya memerah, dan hatinya hancur oleh ayahnya sendiri. Namun, tiba-tiba bibirnya melengkung, ia tersenyum menatap sang ayah yang berdiri di hadapannya.
"Ayah akan kecewa." Hanya tiga kata, hanya tiga kata itu yang Irkhas tinggalkan pada Arta sebelum berbalik dan meninggalkan tempat itu.
Murti segera mendekati Arta. Wanita itu menyentuh kedua pundak suaminya, lalu berkata, "Kamu tidak salah." Murti melanjutkan kata-katanya sambil mengelus salah satu pundak Arta, "Dia hanya belum sepenuhnya dewasa, jadi dia tidak juga sepenuhnya salah."
"Tidak," Arta langsung menyela ucapan istrinya, "Ini sudah keterlaluan, dia tidak menghormatiku sebagai ayahnya. Aku harus tegas mulai sekarang."
Arta kemudian mengeluarkan ponsel dari sakunya. Sementara Murti melirik putranya di meja makan, dan Angga nampak puas telah menyaksian perseteruan antara ayah dan anak di rumah itu.
-o0o-
"Bukankah Angga yang telah menghamili Nina dan kabur dari tanggung jawabnya, sehingga Nina frustasi dan bunuh diri di depan mata kepalamu sendiri?" pertanyaan itu terus terngiang di telinga Irkhas, ketika ia tengah duduk di dalam taksi.
Pertanyaan itu juga yang membuatnya tidak bisa menerima keputusan ayahnya. Baginya, keputusan ayahnya seperti petir yang meledak di dalam dada. Bagaimana bisa lelaki yang telah merusak kehidupan gadis yang sangat ia cintai diangkat sebagai Direktur di Perusahaan keluarganya sendiri?
Setelah 3 tahun yang lalu Angga menghancurkan hatinya menjadi potongan-potongan kecil dan memasukkannya ke dalam kobaran api, kini ayah kandungnya sendiri akan memberikan singgasana perusahaan keluarganya kepada pria itu. Hal itulah yang telah membuatnya melesat dari Berlin ke Jakarta tanpa perlu pertimbangan apa pun. Namun sayang, ia harus disambut dengan goresan luka oleh ayahnya sendiri setelah terpisah selama lebih dari 2 tahun.
"Mau kemana, Mas?" suara sopir taksi menyadarkan Irkhas dari lamunan.
Dari kejauhan, secara tidak sengaja Irkhas melihat mesin ATM (Anjungan Tunai Mandiri) di tepi jalan.
"Mampir di ATM itu dulu, Pak," pinta Irkhas pada sopir.
"Iya, Mas," kata sopir taksi itu, kemudian menepikan mobilnya ke tepi jalan tepat di depan Mesin ATM.
Begitu taksi telah berhenti, Irkhas membuka pintu, lalu keluar dari dalam taksi. Sementara seorang gadis yang berusia sekitar 25 tahun baru saja tiba dengan mengendarai skuter. Setelah memarkirkan skuternya, gadis itu melepaskan helm sambil memperhatikan Irkhas yang memasuki ATM. Gadis itu terus memperhatikan Irkhas sambil melangkah mendekati pintu ATM.
Di dalam ATM, Irkhas nampak kebingungan. Ia mengeluarkan beberapa kartu ATM dari dalam dompetnya, namun wajahnya selalu saja kecewa setiap kali telah memasukkan sandi di beberapa kartunya. Nampaknya, semua kartu yang dibawanya telah diblokir.
Karena frustasi, Irkhas menggebrak tepian mesin ATM, "Aaahhh!!"
Dengan langkah yang berat, Irkhas keluar dari ATM. Ia benar-benar merasa kalut malam ini. Pemuda itu terus melangkah tanpa memperhatikan gadis yang terus memperhatikannya di samping pintu. Begitu Irkhas keluar, gadis itu langsung memasuki ATM.
Setelah tiba di depan taksi, Irkhas tidak memasuki taksi, melainkan bicara pada sopir taksi dengan raut wajah yang menyedihkan, "Pak, apa saya bisa bayar pakai jam saya?" Sambil melepas arloji di tangannya, Irkhas berkata, "Ini Rollex edisi terbatas, saya beli seharga 30 juta di Jerman."
Ekspresi sopir taksi itu pun seketika berubah.
-o0o-
"Kamu jangan menipu saya, ya," katanya dengan ketus, "istri dan anak saya mau makan apa kalau kamu tidak bisa bayar?"Irkhas mencoba meyakini sopir itu, "Bapak bisa jual jam ini dengan harga 25 Juta di toko Rollex, dan kebutuhan keluarga Bapak bisa terpenuhi selama beberapa bulan."Suara sopir taksi meninggi. "Saya tidak percaya," kata sopir taksi sambil membuka pintu, lalu keluar, kemudian melangkah mendekati Irkhas yang nampak telah siap menampung amarah sopir itu.Irkhas tetap tidak putus asa dan terus berusaha meyakini sopir taksi, "Bapak bisa bawa saya ke toko Rollex sekarang, kalau bapak tidak percaya."Sopir taksi yang telah berdiri di hadapan Irkhas masih bersikukuh, "Mana ada toko jam yang buka jam segini." Pria itu mulai bicara sambil menuding Irkhas, "Kamu jangan main-main ya."Irkhas tetap meyakini sopir itu, "Saya sedang tidak main-main, Pak." Irkhas menunjuk arloji yang dipegangnya, "Ini jam mahal, Pak."Namun sopir taksi tetap
Irkhas tersentak, lalu bangkit dan melihat Dirgan tengah memamerkan giginya di dalam mobil."Kenapa enggak nelpon?" tanya Dirgan dari dalam mobil sambil mengulurkan tangannya."Ponselku kehabisan daya," jawab Irkhas sambil menjabat tangan Dirgan."Iya sudah, masuk," kata Dirgan mempersilahkan sahabatnya itu.Irkhas yang sudah penat dengan kehidupannya hari ini, bergegas memasuki mobil Dirgan. Mobil itu langsung melaju begitu Irkhas telah menutup pintu."Udah nikah?" itulah pertanyaan pertama yang dikeluarkan Irkhas pada sahabatnya setelah terpisah cukup lama.Dirgan yang tengah menyetir mobil nampak kurang menyukai pertanyaan itu dan berkata, "Memangnya enggak ada pertanyaan lain?"Irkhas akhirnya bisa terkekeh saat ini. "Mustahil seorang sahabat menikah tanpa kehadiran sahabatnya.""Nah, itu kamu tahu," kata Dirgan sambil menoleh secara sekilas. "Terus kenapa bertanya?"Sambil mengamati keadaan mobil, Irkhas menjawab, "
Di sebuah Kafe yang bernuansa minimalis dan sepi, seorang pemuda berusia 27 tahun yang bekerja sebagai barista di kafe itu nampak murung memandangi setumpuk uang yang dipegangnya. "Kenapa Tot?" tanya gadis yang pernah menolong Irkhas di hadapan pemuda itu. Gadis itu bernama Ana. "Adikku yang baru lulus SMA mau kuliah, tapi sepertinya gaji ini masih belum cukup buat biaya pendaftaran kampus. Bingung mau pinjam uang ke siapa" jawab barista Kafe itu, ia bernama Gatot. Ana yang nampak bersimpati pada Gatot bertanya, "Emang biaya pendaftarannya berapa?" Dengan berat hati Gatot menjawab, "Dua koma lapan kayaknya." Ana tersenyum, kemudian berkata sambil menepuk pundak gatot, "Ya sudah, nanti aku coba carikan pinjaman ke temanku." Gatot yang sumringah ingin memegang pipi Ana yang mulus, namun sebelum jari-jarinya tiba di kulit gadis itu, Ana telah lebih dulu menepisnya sambil berkata, "Eh, jangan pegang-pegang." Gatot cengar-ceng
"Selamat pagi, Pak Dirgan," sambut Satpam di depan pintu kantor sambil membukakan pintu. "Pagi, Pak Janu," jawab Dirgan sambil memasuki pintu. Irkhas yang kagum karena sang Direktur Utama bisa menghapal nama seorang satpam di kantornya terus mengikuti Dirgan. Lelaki itu mengenakan setelan jas rapi seperti yang dikenakan sahabatnya. Perasaannya sedikit berdebar, karena hari itu akan menjadi salah satu hari bersejarah di dalam hidupnya. Setelah melewati pintu kantor, Dirgam membawa Irkhas mendekati Office Lady kantornya. "Selamat pagi, Pak Dirgan," sambut Office Lady yang berwajah oriental dan begitu anggun dengan senyumannya. "Pagi Wulan." Dirgan berhenti tepat di depan meja office Lady kantornya, kemudian bertanya, "Semua Direktur dan Kepala Devisi sudah datang?" "Sudah, Pak Dirgan. Semuanya sedang menunggu Bapak di Meeting Room," jawab wanita itu dengan suara yang santun. "oke," jawab Dirgan, lalu menoleh pada Irkhas untuk mem
"Kalau tubuhku gatal-gatal karena baju ini, bagaimana?" ucap Irkhas sambil memperhatikan kaos lusuh di tangannya. Kaos kumal itu dibeli seharga ratusan ribu oleh Dirgan dari salah satu pemulung yang dijumpainya sehari yang lalu. "Itu sih resiko kamu, aku tidak pernah memintamu jadi kuli hanya untuk mengetahui bagaimana struktur perusahaan dari devisi terbawah," ucap Dirgan dengan entengnya. "Aku juga ingin mencari tahu siapa yang menelan anggaran dari proyek kita," sambut Irkhas, lalu bertanya sambil menunjuk blazer dan kaos oblong yang tengah dikenakannya, "kalau pakai ini saja, bagaimana?" Dirgan menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskan semuanya, kemudian bertanya balik, "Itu blazer hargannya berapa?" "Dua ratus dollar," jawab Irkhas. Dirgan kembali bertanya, "Terus kaos berapa?" "Seratusan dollar," jawab Irkhas dengan polosnya. "Kalau terkena semen, masih mau dipakai?" tanya Dirgan lagi. Irkhas mengge
"Kamu mau bikin perusahaan ini bangkrut, iya?"Ucap Pak Tarno yang secara tiba-tiba telah berada di belakang Irkhas, sedangkan Irkhas yang tengah membuat campuran semen di depan molen nampak bingung, kesalahan apa yang telah dibuatnya sehingga Mandor rewel itu menegur."Empat satu itu maksudnya, empat gerobak pasir dicampur dengan satu sak semen," bentak Pak Tarno yang menjelaskan, "bukan empat sak semen dicampur dengan satu gerobak pasir."Irkhas yang bercucuran keringat di bawah panas terik matahari hanya bisa diam saat dimarahi mandornya. Ia seperti singa yang patuh pada seekor tikus di tempat itu."Sekarang sebaiknya kamu ambil Arco dan kembali memasukkan semen ke dalam gudang," titah sang Mandor.Irkhas hanya bisa mengiyakan, meski dalam pikirannya, ia ingin sekali menendang bokong mandor itu.Ketika Irkhas masuk ke dalam gedung membawa semen dengan sempoyongan, Ana baru tiba di samping Pak Tarno dengan skuter kesayangannya.Pak
"Sangat baik," jawab Ana yang terus mendekat. "Tapi please! Berhenti memanggilku Nona cantik, karena kamu tahu namaku," ucap gadis itu di hadapan Dirgan."Namamu terlalu sakral untuk diucapkan," goda pemuda itu."Terserah deh kamu mau bilang apa," ucap Ana sambil mendaratkan bokongnya di salah satu kursi Kafe."Ini pesanannya." Gatot menyodorkan pesanan Dirgan.Dirgan kemudian mengeluarkan uang lima puluh ribu dari sakunya, lalu berkata, "Kembaliannya simpan saja.""Thank you," ucap Gatot sambil menerima uang itu lalu memasukkannya ke dalam laci penyimpanan uang."By The Way, terimakasih sudah memberikan paman saya pekerjaan," ucap Ana sambil tersenyum."Santai ... Kita kan sudah berteman dari kecil. Kalau kamu tidak pindah rumah, mungkin paman sudah dari dulu mendapat pekerjaan," kata Dirgan.-o0o-"Aduh!" ringih Irkhas."Kenapa sih?" tanya Dirgan sambil menginjak punggung Irkhas dengan pelan di ata
Rupanya Dirgan membawa Irkhas ke kafe Florizo. Sang Direktur muda memarkirkan mobilnya di depan Florizo, lalu memasuki kafe itu. Sementara Irkhas hanya mengikuti."Wah, sekalinya nyari karyawan baru, langsung dua sekaligus," ujar Dirgan sambil mendekati bar kafe."Kebetulan, kafe sudah mulai rame," kata Gatot sambil menunjuk seisi kafe dengan dagunya, lalu melanjutkan ucapannya, "jadi... saya sudah mulai kwalahan.""Wah, kemajuan yang luar biasa," ujar Dirgan sambil memerhatikan kursi kafe yang hampir tak tersisa, lalu mengembalikan perhatiannya pada Gatot dan bertanya, "Ana mana?""Mau mengisi perut, atau mau mengisi hati, nih?" ujar Gatot."Dua-duanya," jawab Dirgan lalu menyeringai."Rakus sekali anda," sambut Gatot yang membuat keduanya tertawa.Sementara Irkhas hanya dapat memperhatikan, dan pura-pura ikut menyeringai."Oh iya, kenalkan," Dirgan menyela, lalu mengenalkan Irkhas, "ini sahabat saya, Irkhas."Gatot men