"Sangat baik," jawab Ana yang terus mendekat. "Tapi please! Berhenti memanggilku Nona cantik, karena kamu tahu namaku," ucap gadis itu di hadapan Dirgan.
"Namamu terlalu sakral untuk diucapkan," goda pemuda itu.
"Terserah deh kamu mau bilang apa," ucap Ana sambil mendaratkan bokongnya di salah satu kursi Kafe.
"Ini pesanannya." Gatot menyodorkan pesanan Dirgan.
Dirgan kemudian mengeluarkan uang lima puluh ribu dari sakunya, lalu berkata, "Kembaliannya simpan saja."
"Thank you," ucap Gatot sambil menerima uang itu lalu memasukkannya ke dalam laci penyimpanan uang.
"By The Way, terimakasih sudah memberikan paman saya pekerjaan," ucap Ana sambil tersenyum.
"Santai ... Kita kan sudah berteman dari kecil. Kalau kamu tidak pindah rumah, mungkin paman sudah dari dulu mendapat pekerjaan," kata Dirgan.
-o0o-
"Aduh!" ringih Irkhas.
"Kenapa sih?" tanya Dirgan sambil menginjak punggung Irkhas dengan pelan di atas sofa apartemennya.
"Sakit!" keluh Irkhas.
Pekerjaan yang telah dilakukan Irkhas sepanjang hari membuat beberapa bagian tubuhnya yang tak terbiasa melakukan pekerjaan berat merasakan pegal dan sakit.
"Bukannya kamu sudah terbiasa olahraga angkat beban?" tanya Dirgan.
"Itukan dulu," jawab Irkhas, "setelah memulai proyek pembuatan game, aku jadi enggak punya waktu buat olahraga."
Dirgan turun dari tubuh Irkhas, sementara Irkhas bangkit dari pembaringannya kemudian duduk.
"Tapi upah harianmu lumayan kan?" tanya Dirgan sambil menurunkan bokongnya di atas sofa dan menyeringai.
Irkhas mengeluarkan selembar uang berwarna biru dari saku celananya, kemudian merentangkannya di depan mata Dirgan.
Dirgan melotot melihat uang itu sambil menelan ludah, lalu mengambilnya sambil bertanya, "Ini gaji kamu seharian?"
"Masih ada lagi," ucap Irkhas sambil mengeluarkan selembar uang berwarna hijau, lalu merentangkannya di depan mata Dirgan sambil menyeringai.
Dirgan seperti bermimpi melihat uang yang berada di depan matanya itu, ia mengambilnya dari tangan Irkhas, lalu mengarsir uang itu seolah-olah tidak percaya jika bos di perusahaannya digaji dengan begitu murah. "Ini uang asli, bukan?" tanya Dirgan. "Jangan-jangan uang palsu lagi."
"Asli lah," jawab Irkhas sambil menggoyangkan pundak dan punggungnya yang terasa sakit dengan ekspresi seperti baru selesai disunat.
"Kerja seharian sampai badan sakit begini cuma dibayar tujuh puluh ribu?" kata Dirgan yang terus mengamati uang itu dengan raut wajah yang begitu heran.
"Yaps," jawab Irkhas.
"Kita bisa beli apa pakai uang segini?" tanya Dirgan yang masih belum memercayai jumlah upah dari bosnya.
"Beli bakso buat kita berdua," jawab Irkhas.
"Kalau begitu," ucap Dirgan sebelum berdiri dan berkata, "Ayo kita rayakan gaji pertamamu dengan makan bakso."
"Boleh," sambut Irkhas, kemudian bangkit dari duduknya. "Kebetulan sudah lama kita tidak makan bakso."
-o0o-
"Hari ini, aku kembali melihat gadis yang kukejar kemarin?"
"Oh iya?" tanya Dirgan yang tengah mengemudikan mobil.
"Iya," jawab Irkhas yang duduk di jok samping kemudi, "tapi sayang ...."
"Sayang kenapa?" tanya Dirgan yang penasaran.
Irkhas bicara dengan suara yang berat dan terdengar frustasi, "Mandor sialan itu menghalangiku menemuinya."
Sontak Dirgan langsung terkekeh.
"Ini engak lucu, iya," tegur Irkhas sambil memandangi sahabatnya itu dengan ekspresi kesal.
Dirgan berkata sambil terkekeh, "Oke, oke ...." Pemuda itu mengatur napas, lalu kembali bicara sambil menahan tawa, "Lalu apa yang bisa kubantu?"
Irkhas nampak sumringah, lalu bertanya balik, "Kamu benar-benar mau membantuku?"
"Tentu saja," jawab Dirgan.
"Tolong pecat mandor sialan itu," ucap Irkhas.
"Ooh ... kalo yang itu, maaf. Tapi aku enggak bisa," ucap Dirgan.
"Aku yang punya perusahaan, kenapa enggak bisa? Apa karena dia paman kamu?" tanya Irkhas yang nampak keberatan.
"Dia bukan pamanku."
Jawaban itu membuat Irkhas mengedutkan alis, hingga Dirgan melanjutkan, "Tapi, kamu tidak boleh mengikut sertakan masalah pribadimu dalam urusan pekerjaan."
"Ya Tuhan," ucap Irkhas yang penuh dengan penyesalan.
Dirgan hanya bisa tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu. Sesaat mereka tidak bertukar kata, hingga Irkhas mengawali pembicaraan yang lebih serius. "Oh iya, Gan. Bagaimana dengan perkembangan perusahaan kita?"
Dirgan yang tengah mengemudikan mobil, kini bicara dengan serius juga, "Insiden yang merugikan perusahaan tempo hari, cukup menyita perhatian banyak investor. Bahkan pemegang SHM untuk pengembangan sirkuit di lombok membatalkan tanda tangan kontrak, dan memindahkannya pada salah satu anak perusahaan UNI Group."
Mendengar nama perusahaan keluargannya, Irkhas mengencangkan rahangnya, dan tangannya membuat kepalan. Luka di hatinya selalu terasa jika mengingat segala hal yang telah dilakukan Ayahnya.
"Aku akan mengembalikan kontrak kerjasama itu," ucap Irkhas dengan suara yang dipenuhi ambisi.
"Enggak semudah itu, yang menangani proyek itu bukan perusahaan kecil. Jadi, bagaimana caranya anak bawang seperti kamu mengembalikan kontrak perusahaan?" tanya Dirgan.
Irkhas hanya menyimpulkan senyuman. Ia tak memberi jawaban, namun matanya nampak dipenuhi keyakinan.
-o0o-
Rupanya Dirgan membawa Irkhas ke kafe Florizo. Sang Direktur muda memarkirkan mobilnya di depan Florizo, lalu memasuki kafe itu. Sementara Irkhas hanya mengikuti."Wah, sekalinya nyari karyawan baru, langsung dua sekaligus," ujar Dirgan sambil mendekati bar kafe."Kebetulan, kafe sudah mulai rame," kata Gatot sambil menunjuk seisi kafe dengan dagunya, lalu melanjutkan ucapannya, "jadi... saya sudah mulai kwalahan.""Wah, kemajuan yang luar biasa," ujar Dirgan sambil memerhatikan kursi kafe yang hampir tak tersisa, lalu mengembalikan perhatiannya pada Gatot dan bertanya, "Ana mana?""Mau mengisi perut, atau mau mengisi hati, nih?" ujar Gatot."Dua-duanya," jawab Dirgan lalu menyeringai."Rakus sekali anda," sambut Gatot yang membuat keduanya tertawa.Sementara Irkhas hanya dapat memperhatikan, dan pura-pura ikut menyeringai."Oh iya, kenalkan," Dirgan menyela, lalu mengenalkan Irkhas, "ini sahabat saya, Irkhas."Gatot men
Irkhas yang baru tiba di dalam kafe menatap kursi yang telah ia duduki tengah ditempati oleh orang lain, matanya menyapu seisi kafe, namun tetap tak melihat Dirgan.Irkhas bertanya pada Gatot, "Ke mana Dirgan?"Gatot yang tengah menyiapkan kopi menjawab, "Dia sedang mengantar Ana ke rumah sakit. Tunggu saja, nanti dia akan kembali."Irkhas melenguh panjang, "Ya Tuhan!" Lalu berceloteh, "Kenapa sekarang malah dia yang bucin sih?"Gatot menyeringai, kemudian memberitahu Irkhas, "Dirgan dengan Ana itu dulunya tetanggaan, mereka sudah bersahabat sejak kecil. Jadi, jangan heran kalau Dirgan sangat perhatian sama Ana."Irkhas mengangguk, kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Matanya mencari sebuah nama di daftar kontak, hingga jarinya berhenti pada sebuah nama yang bernama, 'Irham Mandiling.'Tak lama setelah menempelkan ponsel itu di telinganya, Irkhas mengatakan, "Saya bisa bertemu dengan anda malam ini."-o0o-Ana namp
"Apa Ayah tidak salah memilih Angga sebagai Direktur di Perusahaan keluarga kita?"Itulah kalimat pertama yang dikeluarkan seorang pemuda berusia 27 tahun begitu tiba di hadapan sang ayah setelah menghabiskan waktu selama 14 Jam di dalam pesawat.Semenjak kehilangan ibu, dan ayahnya yang tak lain ialah Artami Hadinata menikahi seorang janda bernama Murti, Irkhas tak begitu akur dengan sang ayah. Hubungan Irkhas dengan Arta seolah-olah hanya terikat oleh darah dan status, sementara dalam kehidupan nyata, tak sekalipun mereka pernah saling memedulikan. Arta lebih sibuk membimbing Angga yang berstatus sebagai anak tiri ketimbang mengurus Irkhas yang berstatus sebagai putra kandung, sementara Irkhas lebih sibuk mengurus beberapa proyek kerja di luar negeri ketimbang memperbaiki hubungan dengan Arta.Arta yang tengah menyantap makanan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, kemudian berdiri untuk melangkah mendekati Irkhas dan menjawab, "Itu adalah keputusan yang
"Kamu jangan menipu saya, ya," katanya dengan ketus, "istri dan anak saya mau makan apa kalau kamu tidak bisa bayar?"Irkhas mencoba meyakini sopir itu, "Bapak bisa jual jam ini dengan harga 25 Juta di toko Rollex, dan kebutuhan keluarga Bapak bisa terpenuhi selama beberapa bulan."Suara sopir taksi meninggi. "Saya tidak percaya," kata sopir taksi sambil membuka pintu, lalu keluar, kemudian melangkah mendekati Irkhas yang nampak telah siap menampung amarah sopir itu.Irkhas tetap tidak putus asa dan terus berusaha meyakini sopir taksi, "Bapak bisa bawa saya ke toko Rollex sekarang, kalau bapak tidak percaya."Sopir taksi yang telah berdiri di hadapan Irkhas masih bersikukuh, "Mana ada toko jam yang buka jam segini." Pria itu mulai bicara sambil menuding Irkhas, "Kamu jangan main-main ya."Irkhas tetap meyakini sopir itu, "Saya sedang tidak main-main, Pak." Irkhas menunjuk arloji yang dipegangnya, "Ini jam mahal, Pak."Namun sopir taksi tetap
Irkhas tersentak, lalu bangkit dan melihat Dirgan tengah memamerkan giginya di dalam mobil."Kenapa enggak nelpon?" tanya Dirgan dari dalam mobil sambil mengulurkan tangannya."Ponselku kehabisan daya," jawab Irkhas sambil menjabat tangan Dirgan."Iya sudah, masuk," kata Dirgan mempersilahkan sahabatnya itu.Irkhas yang sudah penat dengan kehidupannya hari ini, bergegas memasuki mobil Dirgan. Mobil itu langsung melaju begitu Irkhas telah menutup pintu."Udah nikah?" itulah pertanyaan pertama yang dikeluarkan Irkhas pada sahabatnya setelah terpisah cukup lama.Dirgan yang tengah menyetir mobil nampak kurang menyukai pertanyaan itu dan berkata, "Memangnya enggak ada pertanyaan lain?"Irkhas akhirnya bisa terkekeh saat ini. "Mustahil seorang sahabat menikah tanpa kehadiran sahabatnya.""Nah, itu kamu tahu," kata Dirgan sambil menoleh secara sekilas. "Terus kenapa bertanya?"Sambil mengamati keadaan mobil, Irkhas menjawab, "
Di sebuah Kafe yang bernuansa minimalis dan sepi, seorang pemuda berusia 27 tahun yang bekerja sebagai barista di kafe itu nampak murung memandangi setumpuk uang yang dipegangnya. "Kenapa Tot?" tanya gadis yang pernah menolong Irkhas di hadapan pemuda itu. Gadis itu bernama Ana. "Adikku yang baru lulus SMA mau kuliah, tapi sepertinya gaji ini masih belum cukup buat biaya pendaftaran kampus. Bingung mau pinjam uang ke siapa" jawab barista Kafe itu, ia bernama Gatot. Ana yang nampak bersimpati pada Gatot bertanya, "Emang biaya pendaftarannya berapa?" Dengan berat hati Gatot menjawab, "Dua koma lapan kayaknya." Ana tersenyum, kemudian berkata sambil menepuk pundak gatot, "Ya sudah, nanti aku coba carikan pinjaman ke temanku." Gatot yang sumringah ingin memegang pipi Ana yang mulus, namun sebelum jari-jarinya tiba di kulit gadis itu, Ana telah lebih dulu menepisnya sambil berkata, "Eh, jangan pegang-pegang." Gatot cengar-ceng
"Selamat pagi, Pak Dirgan," sambut Satpam di depan pintu kantor sambil membukakan pintu. "Pagi, Pak Janu," jawab Dirgan sambil memasuki pintu. Irkhas yang kagum karena sang Direktur Utama bisa menghapal nama seorang satpam di kantornya terus mengikuti Dirgan. Lelaki itu mengenakan setelan jas rapi seperti yang dikenakan sahabatnya. Perasaannya sedikit berdebar, karena hari itu akan menjadi salah satu hari bersejarah di dalam hidupnya. Setelah melewati pintu kantor, Dirgam membawa Irkhas mendekati Office Lady kantornya. "Selamat pagi, Pak Dirgan," sambut Office Lady yang berwajah oriental dan begitu anggun dengan senyumannya. "Pagi Wulan." Dirgan berhenti tepat di depan meja office Lady kantornya, kemudian bertanya, "Semua Direktur dan Kepala Devisi sudah datang?" "Sudah, Pak Dirgan. Semuanya sedang menunggu Bapak di Meeting Room," jawab wanita itu dengan suara yang santun. "oke," jawab Dirgan, lalu menoleh pada Irkhas untuk mem
"Kalau tubuhku gatal-gatal karena baju ini, bagaimana?" ucap Irkhas sambil memperhatikan kaos lusuh di tangannya. Kaos kumal itu dibeli seharga ratusan ribu oleh Dirgan dari salah satu pemulung yang dijumpainya sehari yang lalu. "Itu sih resiko kamu, aku tidak pernah memintamu jadi kuli hanya untuk mengetahui bagaimana struktur perusahaan dari devisi terbawah," ucap Dirgan dengan entengnya. "Aku juga ingin mencari tahu siapa yang menelan anggaran dari proyek kita," sambut Irkhas, lalu bertanya sambil menunjuk blazer dan kaos oblong yang tengah dikenakannya, "kalau pakai ini saja, bagaimana?" Dirgan menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskan semuanya, kemudian bertanya balik, "Itu blazer hargannya berapa?" "Dua ratus dollar," jawab Irkhas. Dirgan kembali bertanya, "Terus kaos berapa?" "Seratusan dollar," jawab Irkhas dengan polosnya. "Kalau terkena semen, masih mau dipakai?" tanya Dirgan lagi. Irkhas mengge